Powered By Blogger

Sabtu, 31 Maret 2012

Makna Ujian Nasional bagi Kehidupan Siswa

Makna Ujian Nasional bagi Kehidupan Siswa



Perayaan Lulus UN
Pada berita-berita di media minggu ini dinyatakan bahwa angka kelulusan Ujian Nasional (UN) naik signifikan, bahkan di Mimika dan Jayapura angka kelulusannya luar biasa. Jayapura sampai 99,99 persen anak-anak SMA yang lulus. Artinya, kalau pakai logika pemerintah, maka kualitas pendidikan di Jayapura mengalahkan Jakarta yang angka kelulusannya hanya 99,52 persen. Dan inilah yang diklaim pemerintah: bahwa naiknya UN adalah keberhasilan pendidikan dan bahkan dinyatakan juga di beberapa daerah sebagai naiknya tingkat kejujuran dalam mengerjakan UN. Entah parameternya apa, apakah dari aduan siswa atau guru, fakta dari tim pengawas, atau apa? Tapi apapun itu baik dari siswa, guru maupun tim pengawas UN, maka yang diawasi hanyalah proses UN saja, padahal amat sangat mungkin dengan formula 60:40 bagi UN dan nilai sekolah, maka proses ketidakjujuran dan kecurangan dilakukan di sekolah (dalam nilai sekolah).
Mengapa hal ini terjadi, apakah guru sudah tidak punya nurani, jawabannya bisa iya dan bisa sebaliknya, yakni: justru karena prihatin dan empati dengan siswa maka segala upaya dilakukan agar siswa nilainya tinggi karena sebagai syarat UN, jadi dasarnya adalah empati dan rasa sayang. Motif lain tentu adalah prestise sekolah, guru, kepala sekolah, kepala dinas dan lainnya. Selain itu di media pemerintah juga bilang bahwa UN sudah kredibel dan oleh karenanya derajat kemungkinannya untuk jadi pertimbangan masuk kampus makin besar. Apa ukuran kredibel tersebut juga tidak dibagi formula dan metodologinya pada publik, hmm….

Terlepas dari hiruk-pikuk kelulusan UN: corat-coret sebagai penanda kelulusan, histeria bagi yang lulus maupun tidak lulus, penyelenggaraan istighasah akbar menyambut UN, bahkan di Jawa Timur sampai datang minta air ke Ponari, minta pensilnya yang akan digunakan untuk mengerjakan UN dikasih mantra dan rajah, praktik drill & practice menjelang UN, semuanya terjadi sebagai satu paket fenomena psiko-sosio-kultural UN. Ada yang menganggap semua itu wajar, ada pula yang menyatakannya berlebihan, ada pula yang bilang kontradiktif dengan tujuan pendidikan. Nah, saya kira kebiasaan kita menerima semua konsep tanpa kritik agaknya harus diakhir dengan mengawali serangkaian pertanyaan, minimal seperti yang saya ajukan berikut ini.
Namun saya tidak akan berbicara soal data kecurangan, kebocoran, pengaduan, dan lainnya dari berbagai informasi yang bersliweran di media tersebut. Kalau ingin melihat data-data tersebut lihat saja sumber aslinya, yang akan saya lakukan adalah memaparkan—dalam arti analisis kritis—apa yang sebenarnya terjadi di balik praktik UN dan masalah-masalah yang ditimbulkannya, dasar logika dan ideologi apa yang mendasari praktik tersebut, pola dan mekanisme apakah yang terjadi dalam UN, untung rugi apa yang timbul dari adanya UN secara ideologis, kultural, dan nilai (values). Jadi ini adalah interpretasi yang lebih kontemplatif, lebih pada aras kritik ideologi dan refleksi kritis.

Beberapa Renungan Kritis
-          Apa Makna Peningkatan dan Penurunan Nilai UN?
Kalau acuannya UN adalah pemahaman bahwa soal-soal yang diujikan melalui UN dan desain UN itu sendiri adalah merepresentasikan kualitas pendidikan dalam arti mengembangkan bakat, minat, optimalisasi potensi dan sejenisnya, maka peningkatan angka kelulusan UN adalah penting. Namun kalau soal-soal yang diujikan dalam UN dan desain UN itu sendiri tidak merepresentasikan kualitas tersebut, maka kenaikan atau penurunan nilai UN (secara nasional pun) tidak ada artinya. Sekarang mari kita lihat sekilas metode yang ada dalam UN: (1) jenis pertanyaan adalah multiple choie, (2) yang tidak lulus tidak dapat studi lanjut.
Apakah tepat menilai bahwa pertanyaan yang dijawab ala multiple choice itu menggambarkan kualitas hasil belajar seorang siswa secara keseluruhan dan maksimal? Kalau dilihat dari ranah yang diolah dalam pembelajaran: kira-kira soal-soal jenis multiple choice itu dapat menampung pertanyaan atau soal-soal kognitif, afektif, psikomotorik semuanya, atau dua di antaranya, atau hanya satu jenis saja? Kalau satu jenis saja, misalnya adalah kognitif, pertanyaannya adalah: bagaimana bisa alat test yang hanya menguji satu ranah pembelajaran dijadikan sebagai acuan untuk menilai kualitas pendidikan secara umum baik pada diri individu siswa maupun pendidikan secara umum?
Kalau dugaan saya benar—berdasarkan pengalaman mengikuti Ebtanas semasa SMA dulu dan sampai sekarang tidak beranjak dari jenis soal multiple choice—bahwa soal-soal yang diujikan hanyalah jenis soal untuk mengetahui kemampuan kognitif tingkat rendah (kalau tingkat tinggi adalah nalar kritis, kreativitas, inovasi dan lainnya yang cara mengetahui kualitasnya adalah dengan adu argumentasi, dialog, diskusi, menulis essei pendek, panjang, dan seterusnya), jelas tidak tepat UN dijadikan acuan mutlak menentukan kualitas capaian pendidikan seorang siswa. Jadi, nilai-nilai (tepatnya skor, score) yang didapat melalui UN hanyalah untuk mengetahui kualitas capaian pembelajaran siswa pada ranah kognitif tingkat rendah saja. Jadi, angka-angka UN yang begitu tinggi sekarang ini tiada lain adalah gambaran kualitas kognitif tingkat rendah dari anak-anak SMA pada umumnya. Bukan gambaran kualitas capaian pendidikan secara komprehensif dan substansial.
Nah, kalaupun UN dalam desainnya yang ada sekarang dijadikan sebagai peta pendidikan (mapping purposed), maka peta yang didapat adalah peta kualitas kognitif tingkat rendah siswa seluruh Indonesia saja, belum peta afektif dan psikomotorik. Tingginya nilai UN sekarang sejatinya menunjukkan bahwa pada kemampuan dan kualitas kognitif tingkat rendah siswa-siswa SMA di Indonesia sudah bagus. Nah, kalau soal angka kelulusan yang begitu tinggi itu lain soal lagi, karena memang rumusan kelulusan oleh pemerintah tahun 2011 adalah gabungan dari nilai UN dan nilai sekolah (nilai sekolah rumusnya adalah nilai rata-rata ujian sekolah dan nilai rapor siswa dari semester 3 sampai 5). Ketika ujian sekolah modelnya tetap soal-soal jenis multiple choice, maka tidak ada artinya dan tidak ada bedanya dengan UN yang sama-sama sekadar mengukur kemampuan kognitif tingkat rendah saja.
Akan agak berbeda kalau nilai dari sekolah yang dipertimbangkan untuk “lulus sekolah” (sikap saya pribadi tidak ada istilah tidak lulus di sekolah, semua lulus, namun di sini sekadar untuk menunjukkan betapa jenis ujian model UN tidak tepat dalam membangun praksis pendidikan yang substansial dan komprehensif) adalah hasil rapor sebagai track record siswa dari ia masuk SMA sampai keluar. Dengan catatan bawah sistem penilaian rapor siswa betul-betul menunjukkan kualitas penguasaan materi pada ranah kognitif, afektif dan psikomotorik, maka dapat diterima sebagai pertimbangan kelulusan, namun sekali lagi karena pendapat saya tidak ada istilah tidak lulus (alias semuanya lulus), maka penilaian rapor siswa tersebut harus dijadikan sebagai alat evaluasi siswa (bahkan guru, sekolah, dan daerah) tanpa adanya UN. Dengan kata lain bukan model persentase 60:40 kelulusan, melainkan 100 persen kualitas (bukan kelulusan) siswa dilihat melalui model rapor track record siswa tersebut…
Kembali pada realitas policy pendidikan pemerintah sekarang: Namun ketika melihat rumusan bahwa persentase UN adalah 60 sedangkan nilai dari sekolah adalah 40, maka jelas simpulannya: angka kelulusan UN sekarang juga setidaknya 60 persen menunjukkan kemampuan atau kualitas kognitif tingkat rendah via soal-soal multiple choice. Itu belum kalau kita telusuri lagi: apakah kemampuan bagus siswa dalam ranah kognitif tingkat rendah tersebut didapat melalui praktik dan proses pembelajaran yang substansial atau sekadar melalui drill & practice saja? Kalau lebih banyak kontribusi drill & practice-nya kira-kira kita dapat memahami kedalaman dan kedangkalan pengetahuan yang dipelajari, dapat juga dipahami apakah sekolah-sekolah kita dan termasuk pemerintah lebih mengutamakan proses pembelajaran atau hasil dalam bentuk UN? Akhirnya, sekali lagi, kenaikan angka kelulusan UN tahun 2011 tidak menunjukkan kualitas pendidikan secara substansial, melainkan lebih menunjukkan kenaikan angka kualitas kognitif tingkat rendah saja.
Apakah itu cukup untuk tujuan “mencerdaskan kehidupan bangsa”? Kira-kira problem utama bangsa ini adalah kemampuan kognitif atau afektif (moralitas, etika, estetika, toleransi, sensitivitas sosial, pemahaman kebudayaan, dst)? Kalau kita lihat capaian-capaian Olimpiade internasional dalam bidang yang mengandalkan otak (ranah kognitif) dan kemudian kita bandingkan dengan problem-problem moralitas, korupsi, terorisme dan lainnya, maka problemnya bukanlah ranah kognitif, melainkan afektif. Ironisnya, justru ranah afektif itulah yang tidak diutamakan dalam pembelajaran di sekolah-sekolah.
-          Posisi UN: Tujuan Pendidikan itu UN atau Optimalisasi Potensi dan Bakat Siswa?
Pertanyaan ini penting untuk dijawab dan akhirnya akan menentukan derajat penting tidaknya UN dalam desain pendidikan nasional. Posisi dan peran-fungsional UN dalam pendidikan kita apakah diposisikan sebagai alat evaluasi, alat test atau tujuan pendidikan itu sendiri? Kalau sebagai alat test atau alat ukur misalnya, mengapa dalam praktik pendidikan kita faktanya justru mengutamakan UN, semua energi sekolah, guru, Kepala Dinas, dan pemerintah sendiri difokuskan pada peningkatan nilai UN. Kalau dipahami UN sebagai alat ukur capaian praktik pendidikan, maka artinya UN bukan tujuan pendidikan, oleh karenanya bukankah amat mubazir ketika fokus energi pendidikan kita—bahkan dalam skala nasional—adalah pada peningkatan nilai UN. Mestinya fokus pendidikan adalah pada proses pembelajaran yang memadai untuk mencapai target visioner pendidikan, sementara alat test, alat evaluasi dan sejenisnya berada pada posisi sebagai alat ukur saja, tidak lebih.
UN ibarat mistar untuk mengukur tinggi seorang anak, maka UN hanya mengukur kualitas kognitif tingkat rendah saja. Mistar sebagai alat ukur tidak dapat meninggikan tubuh anak, UN pun demikian, penaikan standar UN juga tidak dapat meningkatkan kualitas pendidikan, penaikan standar UN hanya ibarat memperpanjang mistar saja, bukan tubuh siswa. Lalu dengan apa bisa meninggikan tubuh anak, jawabnya adalah dengan asupan gizi yang cukup, olahraga cukup dan sejenisnya, pendidikan juga sama: pendidikan di Indonesia akan meningkat kualitasnya dengan cara memberikan fasilitas pendidikan memadai, guru berkualitas, akses informasi dan pengetahuan luas, kesejahteraan guru, sekolah dan lainnya, bukan dengan menaikkan standar kelulusan via UN. Itu semua adalah “gizi” untuk meningkatkan kualitas pendidikan secara substansial.
Justru dengan mempertinggi standar kelulusan, maka akan makin membuat tekanan besar bagi siswa, guru dan sekolah untuk mencapai UN (karena ia sebagai syarat kelulusan sekolah, padahal tidak lulus dianggap sebagai “akhir kehidupan” dan “matinya masa depan” siswa, ini semua karena hegemoni rezim ijazah dan paradigma lulus tidak lulus dalam sekolah) secara “terpaksa”. Tiadanya “gizi” yang memadai akhirnya membuat segala cara dilakukan, dan karena UN hanya alat ukur kualitas kognitif tingkat rendah, maka pihak sekolah pun akan memenuhi kelangkaan “gizi” tersebut dengan makanan-makanan instan, siap saji, yang jelas masuk dalam jenis junkfood, juga jelas tidak sehat, seperti model driil & practice, try out berkali-kali dan lainnya. Seandainya “mistar” itu sebagai keseluruhan proses pembelajaran, bukan hasil akhir berupa testing seperti UN, maka untuk meningkatkan kualitas pendidikan akan dipenuhi dengan makan-makanan bergizi tinggi berupa praktik pendidikan kritis, kreatif, inovatif, fokus pada optimalisasi potensi, bakat dan minat siswa dan sejenisnya.
Bagi dunia pendidikan, praktik-praktik pemberian makanan instan dan siap saji tersebut jelas juga tidak sehat, pertama, hal tersebut menunjukkan peran sekolah digeser oleh lembaga bimbingan belajar (Bimbel). Dan hal itu tepat dalam arti: kalau tujuan pendidikan hanya untuk lulus UN, ya tidak perlu sekolah yang melakukannya, cukup Bimbel saja yang berperan. Kalau UN adalah tujuan pendidikan, maka jadikanlah semua sekolah sebagai Bimbel, dan jadikan Bimbel sebagai sekolah. Faktanya dalam UN di Indonesia peran Bimbel atau model belajar ala Bimbel besar sekali. Kedua, nilai-nilai instant dan siap saji, yang dibawa Bimbel dan model belajar Bimbel seperti pemberian tips-tips, rumus-rumus tanpa dasar historis dan epistemologis pembentukannya dan seterusnya, maka di sinilah adanya UN telah menghadirkan praktik pembelajaran nilai-nilai instant, pragmatisme, yang penting hasil akhir, nilai-nilai kedangkalan, dan sejenisnya.
Bukankah mestinya pendidikan mementingkan proses serius dalam pembelajaran untuk betul-betul membangkitkan kesadaran kritis siswa, agar paham betul konteks pengetahuan yang ia pelajari, apa gunanya pengetahuan tersebut, formulasi pembentuknya, metodologi pembentukan pengetahuan tersebut dan seterusnya. Kalau yang dipentingkan adalah hasil akhir—yang dalam hal ini diwujudkan dalam bentuk UN—maka saya misalnya sebagai siswa bisa saja curang dengan cara: tidak usah serius belajar dalam proses sehari-hari, karena yang dinilai dan dianggap penting adalah UN, maka cukup satu semester menjelang UN saya ikut proses drill & practice, berkali-kali ikut try out agar hasil akhir UN bisa bagus. Inilah cara pandang yang mementingkan hasil, dalam bentuk yang paling ekstrem segala cara (kecurangan, ketidakjujuran) dapat dilakukan, karena yang penting hasil akhir bagus nilainya.
Cara pandang ini juga tidak melihat keuletan anak-anak yang memang bekal intelektualnya rendah, para guru dengan cara pandang mementingkan hasil tidak akan memperhatikan detail-detail praktik pembelajaran. Upaya keras dan serius yang dilakukan anak-anak berkemampuan intelektual rendah tidak dihargai oleh guru, yang dihargai adalah yang nilai hasil akhirnya tinggi. Susah payahnya belajar siswa yang intelektualitasnya rendah tidak dianggap penting (karena jelas tidak dinilai). Walaupun begitu saya yakin masih banyak guru yang memiliki cara pandang mementingkan proses ketimbang hasil di negeri ini, keyakinan ini penting mengingat cita-cita membangun kualitas batu fondasi kokohnya pendidikan dan bangsa Indonesia adalah proses-proses yang tepat, akurat dan proporsional, agar juga ingat bahwa dalam lingkup yang lebih luas pemerintah selalu bangga dengan capaian angka-angka statistik GDP, HDI, PISA, Webometric, THE, QS, dan lain-lainnya, semuanya itu dianggap sebagai tujuan akhir dan semuanya itu merupakan hasil akhir, padahal itu hanya ilusi, karena kualitas kehidupan masyarakat dalam ekonomi, pendidikan dan budaya tidak dapat diwakili oleh angka-angka GDP, HDI, PISA dan lain-lainnya itu.
Itu belum lagi kalau kita kaji serius nilai-nilai ketidakjujuran, kebohongan, dan lainnya yang dibelajarkan melalui UN pada siswa, guru, sekolah, kepala sekolah, kepala dinas dan lainnya. Belum juga kalau kita coba hitung berapa biaya yang dikeluarkan menyambut UN, mulai dari les privat per individu, try out berkali-kali, istighasah akbar, cetak kertas UN, biaya distribusi UN, biaya pengamanan (Polisi, TNI, Densus 88), honor tim pengawas, dan lain-lainnya.
-          Posisi Matapelajaran yang Diujikan dalam UN dan UN dalam Konteks Kehidupan.
Rumor yang berkembang di media akhir 2010 kemarin pemerintah akan menambah matapelajaran yang dimasukkan dalam UN. Pertanyaan saya: posisi dan derajat matapelajaran yang diujian melalui UN dapat dipahami sebagai naik derajatnya, prestisnya, atau justru turun? Apakah matapelajaran yang diujikan melalui UN memang dianggap lebih penting bagi masa depan siswa-siswa tersebut? Apakah juga nilai-nilai UN itu punya peran penting bagi kehidupan siswa-siswa setelah lulus? Kalau dibandingkan misalnya: lebih berperan mana antara penguasaan atas kemampuan membaca peluang usaha dan dunia kerja oleh seorang siswa SMA jurusan IPS yang didapat dari praksis pembelajaran berkualitas dibandingkan dengan skor bagus pelajaran ekonomi seorang siswa SMA yang juga jurusan IPS dari UN?
Penilaian kualitasnya jelas: kemampuan membaca peluang usaha dan dunia kerja tidak diujikan melalui UN, melainkan melalui bacaan yang luas atas situasi sosial, ekonomi, kultural, politik dan lainnya, dan kemampuan membaca ini secara substansial penilaiannya adalah dengan melihat siswa itu sendiri membaca, menganalisis, mengambil kesimpulan, dan merumuskan tindakan-tindakan konkrit. Keseluruhan proses ini jelas tidak dapat ditampung oleh UN. Artinya, kalau dengan kemampuan yang tidak diuji melalui UN tersebut siswa justru mampu memperluas kesempatannya dalam membuka lapangan usaha atau masuk dalam dunia kerja secara tepat, sedangkan bagi yang nilai UN pelajaran ekonominya bagus tapi tidak punya kemampuan baca yang bagus (karena tidak diujikan di UN), skor UN yang ia dapatkan tidak cukup menolongnya dalam mengambil keputusan kehidupan. Angka-angka itu tak dapat membantu kehidupan, karena memang hanya berupa angka penunjuk kualitas kognitif tingkat rendah belaka, kemampuan riil lah yang dapat membantu kehidupan secara langsung…
Kembali ke depan, seberapa banyak pun matapelajaran yang dimasukkan dalam UN tapi ketika masuk UN artinya ia hanya diuji target kognitif tingkat rendahnya saja, bukankah artinya hal itu justru merendahkan matapelajaran tersebut? Taruh contoh pelajaran agama dan moral Pancasila (sekarang Pendidikan Kewarganegaraan), ketika ia masuk UN, banyak orang termasuk guru agama dan Pendidikan Kewarganegaraan merasa “sejajar” posisinya sama “prestise” dengan guru bahasa Inggris, matematika, dan lainnya yang masuk UN, tapi ketika dengan demikian praktik pembelajaran pendidikan agama dan moral Pancasila sekadar ditujukan untuk lulus UN, artinya bukankah justru dengan demikian mereduksi tujuan pembelajaran agama dan moral Pancasila yang lebih mengolah ranah afektif (sedangkan UN dominan kognitif)? Dengan begitu pula maka kemungkinan besar (karena dituntut untuk nilai bagus di UN) praktik pembelajaran agama dan moral Pancasila dalam keseharian di sekolah juga akan dilakukan dengan cara di-drill & practice saja, di-try out-kan saja, karena yang penting lulus UN. Sebanyak dan sekeras apapun guru bilang bahwa penguasaan materi secara substansial lebih penting, namun adanya UN jelas membuyarkan kesadaran tersebut.
Bukankah akan lebih tepat pelajaran agama dan moral Pancasila difokuskan pada olah ranah afektif, artinya tidak melalui UN, tidak melalui belajar teori-teori belaka, melainkan melalui praktik berkehidupan yang baik, praktik beragama yang toleran, praktik cinta tanah air (nasionalisme, patriotisme) dan seterusnya. Nah tepatnya pembelajaran afektif tersebut pun tidak diuji dalam arti testing, melainkan dievaluasi saja sebagai bahan perbaikan, dan evaluasi ini dapat dilakukan pada jadwal pembelajaran tertentu sesuai kurikulum, bukan di akhir kurikulum (semester 6, kelas XII) yang akan menjadikannya cenderung dianggap sebagai testing (ujian). Memang agak kabur di mata awam antara evaluasi dan ujian, secara singkat bisa dikatakan bahwa sistem penilaian dibagi dua: yakni evaluasi dan testing, evaluasi adalah untuk menilai proses dan hasilnya untuk perbaikan proses selanjutnya, sedangkan testing untuk menjustifikasi capaian akhir. Testing (ujian) ditujukan pada dua hal, yang utama adalah untuk mengetahui tingkat capaian belajar (seperti UN), yang kedua untuk memprediksi kemampuan belajar (seperti tes masuk kampus). Kalau dasar filosofi pendidikan mementingkan proses, maka yang digunakan adalah evaluasi, sedang testing akhir menurut saya tidak usah digunakan, sementara itu test prediksi agaknya masih bisa digunakan untuk sekadar tahu potensi dan prediksi kemampuan belajar dan sejenisnya.
Mungkin kita perlu juga membuat riset serius dengan pertanyaan penelitian kira-kira: Apakah nilai-nilai UN yang tinggi tersebut betul-betul punya kontribusi riil bagi masa depan siswa-siswa SMA, SMK, dan MA? Kalau dipilah lagi dengan mengacu pada contoh pelajaran ekonomi di atas: Kira-kira bukankah kontribusi penguasaan pelajaran (dalam arti betul-betul menguasai) oleh seorang siswa lebih berperan dalam memberikan bekal dalam kehidupan siswa setelah lulus ketimbang nilai-nilai UN? Bukankah nilai UN hanya jadi penentu lulus tidaknya siswa dari sekolah, dan karena hegemoni “rezim ijazah” dari dunia industri plus dibumbui oleh “teror” dari pemerintah maka UN seakan-akan menjadi penting dalam kehidupan? Mari kita telaah dari tiga kemungkinan peristiwa di bawah ini mengenai korelasi skor UN dan kehidupan yang lebih luas.
Pertama, bagi anak-anak yang setelah lulus SMA, SMK atau MA tidak melanjutkan ke perguruan tinggi atau dunia kerja industri, maka nilai-nilai UN tersebut tidak ada gunanya sama sekali, kecuali sebagai penanda nostalgia semasa SMA saja. Ketika kemudian mereka bekerja di ladang, bertani, melaut, dan lainnya, yang lebih penting adalah penguasaan substansial pelajaran di sekolah, bukan nilai UN yang tinggi. Ketika pendidikan diarahkan untuk lulus UN, maka peluang menguasai pelajaran secara substansial otomatis berkurang, karena semua energi guru dan sekolah adalah untuk sukses lulus UN, padahal anak-anak tersebut butuh menguasai betul-betul pelajaran yang dapat membantu kehidupannya dalam arti sempit (saat itu) maupun luas (di masa depan). Inilah bentuk diskriminasi bagi anak-anak petani, nelayan dan lainnya. Dengan kata lain, desain pendidikan kita ditujukan untuk melayani elite melalui UN sebagai sistem seleksi.
Kedua, bagi anak-anak SMA, SMK atau MA yang langsung ingin bekerja di dunia industri, nilai UN lumayan berguna melalui ijazah lulus sekolah. Artinya dunia industri sebenarnya melakukan penilaian secara generalisasi, yang dilihat dalam mempertimbangkan anak lulusan sekolah ketika masuk dalam dunia kerja (terutama dunia industri) adalah ijazah, peringkat pertama tentu yang diprioritaskan adalah sarjana (terlebih lagi S2), setelah itu lulusan SMA dan yang sederajat (seringkali lulusan MA [madrasah ‘aliyah] menjadi terpinggirkan dalam dunia kerja industri, karena dianggap bahwa yang dipelajari adalah urusan akhirat saja dan dianggap juga tujuan masuk MA sekadar untuk jadi da’i, ustadz Kyai dan sejenisnya), setelah itu lulusan SMP, kemudian SD, dan yang terakhir adalah yang “tidak berpendidikan”. Nah, di level SMA saringan seleksinya baru setelah ijazah kemudian dilihat nilai (score) UN-nya, nilai tertinggi biasanya paling mendapat prioritas untuk lolos diterima kerja.
Apa yang terjadi sebenarnya: pada hakikatnya dunia industri sedang terbawa ilusi kualitas yang ditunjukkan oleh ijazah dan nilai UN tersebut. Mengapa? Karena seakan-akan semua lulusan SMA berkualitas (dibandingkan yang tidak lulus, dibandingkan yang lulus SMA melalui ujian kejar paket C, dibandingkan lulusan SMP, SD, pesantren, sekolah-sekolah alternatif dan lainnya), seakan-akan juga nilai UN tinggi adalah penanda kualitas siswa secara otentik, padahal tidak karena sekali lagi UN itu hanya penanda kualitas kognitif tingkat rendah saja. Inilah yang disebut ilusi berupa bias pemahaman nilai (values) di mana dalam ilmu semiotik soal sistem tanda, maka penanda (dalam hal ini adalah UN) tidak merujuk pada petanda atau hal yang dirujuk: yakni kualitas komprehensif siswa, kualitas pendidikan secara keseluruhan. UN merujuk pada dirinya sendiri sebenarnya, namun karena ia dianggap menandakan kualitas, maka yang terjadi adalah ilusi.
Lebih lanjut, jadi, yang diterima bekerja adalah lulusan SMA yang nilai kognitif tingkat rendahnya tinggi. Kalau ditelusuri lagi analisisnya lebih jauh, maka kira-kira sebagian besar tenaga kerja di Indonesia adalah mereka yang tinggi kualitas kognitif tingkat rendahnya, soal mereka juga punya bekal modal sosial dan intelektual bagus itu adalah bonus yang tidak tercakup dalam nilai-nilai UN. Kalau ada yang bilang bahwa UN juga implisit di dalamnya test kejujuran, karenanya kalau UN bagus nilainya tapi tidak jujur maka bisa dianulir kelulusannya, maka pernyataan tersebut perlu diklarifikasi: bagaimana menilai dan mengetahui jujur dan tidak jujurnya siswa? Tidak ada jaminan di sekolah yang dilaporkan tidak ada kebocoran soal bahwa semua jujur, termasuk siswa, guru, dan lainnya.
Terlepas dari itu, lebih lanjut, secara faktual sebenarnya kemudian nilai-nilai UN tersebut tidak terpakai, karena ketika lulusan SMA tersebut masuk dunia kerja, maka ia biasanya juga diseleksi dengan test seleksi yang bermacam-macam jenisnya (TPA, psikotest dll). Artinya, nilai UN hanyalah basa-basi awal untuk menyaring saja, karena yang menentukan betul adalah seleksi selanjutnya. Model tes seleksi jelas masuk beda dengan model testing UN, hal itulah yang menjadikan nilai UN “secara teoretik-konseptual” memang tidak bisa secara langsung digunakan sebagai pertimbangan untuk diterima bekerja atau tidak di dunia industri. Pun setelah itu ia akan dilatih (on job training) macam-macam.
Ketiga, bagi anak-anak SMA, SMK atau MA yang ingin studi lanjut di perguruan tinggi, maka nilai UN lumayan berguna, tapi tetap kampus punya sistem seleksi sendiri dengan tujuan dan desain konseptual yang berbeda dari UN. Sebagaimana dunia industri, ijazah dan nilai UN hanya diposisikan sebagai penyaring general dan formalitas saja dengan anggapan bahwa: yang sudah lulus sekolah, nilai UN bagus, maka otomatis ia berkualitas. Hal ini jelas dapat dibantah dari fenomena anak tidak lulus UN tapi lulus ujian masuk kampus. Mengapa hal ini terjadi? UN-nya atau tes masuk kampusnya yang salah? Jawabannya tidak sesimpel itu, ada banyak faktor penyebab, secara substansial tentu karena desain dan arah UN dan seleksi masuk kampus berbeda, UN untuk mengetahui capaian belajar siswa yang bersifat testing (bukan evaluatif), sedangkan test seleksi masuk kampus tujuannya untuk prediksi kemampuan calon mahasiswa. Selain itu juga bisa faktor psikologis, tekanan waktu UN yang lebih berat dan lainnya. Kedua dimensi konseptual desain ujian dan psikologis ini yang ternyata tidak banyak dilihat sebagai faktor pembeda di sekitar UN.
Penilaian di sekolah yang berguna adalah ketika kampus menggunakan sistem seleksi mandiri yang menggunakan track record belajar siswa (via rapor siswa), track record tersebut dianggap dapat memenuhi derajat penilaian untuk memprediksi kemampuan siswa ketika berkuliah nanti, karena dapat dilihat dari grafik naik turunnya nilai tiap semester selama sekolah. Kalau dihubungkan dengan hal apa yang bisa membuat siswa-siswa giat belajar, serius belajar, betul-betul berhasrat untuk menguasai materi pelajaran kalau UN ditiadakan dan semua siswa lulus—dalam gagasan saya, jawabannya: dalam konteks siswa ingin masuk kampus, maka faktor pendorongnya adalah standar masuk kampus, kampus punya standar minimal yang harus dipenuhi siswa, oleh karenanya siswa tidak bisa seenaknya sendiri dengan bilang “nggak usah belajar serius, toh semua lulus…”
Ya, semua lulus, tapi tidak semua bisa diterima di kampus, oleh karenanya kalau mau diterima masuk kampus, syaratnya giat belajar, serius belajar, betul-betul berhasrat untuk menguasai materi pelajaran. Proses itulah yang direkam dalam rapor siswa sebagai track record-nya yang akan dijadikan sebagai pertimbangan dalam prediksi kemampuan calon mahasiswa, di sisi lain hanya dengan betul-betul menguasai pelajaran yang diberikan, maka siswa akan dapat lolos test masuk kampus dengan baik, tidak seperti ide pemerintah yang justru ingin menggunakan UN sebagai alat masuk kampus dengan menafikan proses drill & practice menyambut UN. Bukankah terang dalam literatur pendidikan kontemporer, baik dari perspektif pedagogi kritis, progresif, maupun teori belajar konstruktivis dan humanis bahwa sistem bank (banking system of education) sebagaimana dikatakan Paulo Freire tidak humanis, tidak membangun basis atau fondasi intelektual yang kuat pada diri siswa, dan pasti tidak membangun kesadaran kritis.
Dari ketiga kemungkinan tersebut, posisi dan peran UN tidaklah signifikan, pada yang kedua dan ketiga sedikit kegunaan UN adalah ilusi kualitas, oleh karenanya, kegunaannya jadi hilang karena sekadar ilusi. hal itu masih ditambah lagi dengan problem moralitas, bias tujuan pendidikan, bias kualitas pendidikan dan lainnya, lalu mengapa pemerintah tetap ngotot mempertahankan UN? Semoga bukan karena begitu banyaknya anggaran yang dialokasikan untuk UN, ya semoga bukan karena itu…
Ancangan Solusi
Kiranya dapat dirangkum mengenai akibat dari ngotot dilaksanakannya UN tersebut sebelum kita lanjut pada ancangan solusi yang dapat dikaji lebih dalam. Beberapa hal substansial yang terjadi di balik praktik UN adalah: (1) UN menjadi salah satu sebab dari reduksi pemahaman tujuan pendidikan yang substansial; (2) UN menjadi pendorong praktik pendidikan yang mementingkan hasil, bukan proses dalam optimalisasi bakat dan potensi siswa; (3) UN menjadi praktik kebijakan yang menjadikan guru, siswa, pihak sekolah dan pelaksana teknis kebijakan sebagai korban (blaming the victim); dan (4) mengajarkan nilai-nilai ketidakjujuran, kebohongan, pragmatisme. Banyak argumentasi yang bisa dibangun, namun tentu butuh penelitian yang serius, namun secara logika saja UN sudah tidak tepat ketika dibenturkan dengan berbagai konsepsi pedagogi kritis dan sejenisnya, maka perkiraan saya riset-riset yang ditujukan secara serius melihat UN secara kritis akan kian meneguhkan pendapat bahwa UN tidak tepat.
Namun untuk melakukan riset serius tentu tidak gampang, misalnya: Apakah kita boleh memperoleh dokumen soal-soal UN tahun 2011 ini? (karena konon merupakan “rahasia negara”) Kemudian kita kaji jenis soalnya, ranah pembelajaran apa yang ditunjukkan oleh soal-soal tersebut (kognitif, afektif, psikomotorik, kognitfi tingkat rendah, menengah atau tinggi?). Apa betul visi pendidikan dicakup oleh UN dan ujian sekolah? Perlu juga riset serius mengenai pengaruh nilai UN dan praktik UN terhadap pemahaman nilai siswa terhadap kehidupan (world view), terhadap sikap dan perilaku dalam keseharian di sekolah dan setelah sekolah serta setelah lulus. Di mana anak-anak yang nilai UN-nya tinggi sekarang dan di masa depan? Pekerjaannya apa dan korelasi nilai UN terhadap pekerjaannya ada atau tidak? Riset-riset inilah yang tidak dilakukan oleh pemerintah, agaknya yang dilakukan adalah riset evaluasi policy pendidikan saja, pun misalnya kalau dari kalangan aktivis dan praktisi pendidikan melakukan riset-riset semacam itu kendalanya adalah pada dana.
Bagi saya pribadi dan saya kira kawan-kawan di Koalisi Pendidikan serta gerakan penentang UN lain juga berpendapat serupa, bahwa sikap yang diambil harus jelas: hapuskan UN! Secara garis besar argumen mengenai solusi apa yang digagas kalau tidak ada UN dan tidak ada standar kelulusan—dalam gagasan saya—sudah implisit dalam bahasan di atas, namun karena bahkan dalam diskusi dan beberapa dialog singkat argumentasi penolakan UN dan solusinya belum juga banyak dipahami oleh awam, maka di sini ada baiknya saya tulis lagi secara padat dan jelas dalam bentuk pertanyaan dan jawaban:
  1. Kalau tidak dengan UN, lalu dengan apa capaian praktik pembelajaran dilihat? Jawab: dengan melihat penilaian evaluatif sejak masuk sekolah sampai masa akhir kurikulum yang diambilnya habis, bentuk instrumennya adalah track record dalam rapor siswa sejak awal masuk. Dengan melihat hasil evaluasi tersebut, maka proses pembelajaran selanjutnya dapat diperbaiki, yang nilainya jelek boleh mengulang seperti dalam sistem perkuliahan pada semester lain.
  2. Kalau tidak dengan menaikkan standar UN, lalu dengan apa kualitas pendidikan dapat naik? Jawab: pendidikan dapat naik kualitasnya dengan memberikan fasilitas pembelajaran yang bagus, membuka akses informasi dan pengetahuan bagi guru dan siswa, membangun manajemen pendidikan yang kuat, demokratis dan dapat merawat iklim intelektual. Menaikkan standar UN atau standar kelulusan hanya membuat beban, teror, bias tujuan pendidikan, dan mendorong praksis pendidikan jadi pragmatis dengan model belajar ala Bimbel, yakni drill & practice serta try out berkali-kali.
  3. Kalau tidak ada standar kelulusan melalui standar nilai minimal UN dan standar kelulusan, lalu apa acuan pendidikan? Jawab: acuan desain dan praksis pendidikan bukan UN, melainkan visi dan tujuan pendidikan. Acuan visi dan tujuan pendidikan tersebut terdapat dalam kurikulum, jadi ya tinggal mengikuti kurikulum saja. Dengan begitu proses pendidikan tidak mengejar standar lulus UN, melainkan mengejar tujuan visioner pendidikan yang lebih substansial.
  4. Kalau pendidikan persekolahan tujuannya bukan untuk lulus UN (lulus sekolah), lalu untuk apa pendidikan persekolahan? Jawab: tujuan pendidikan persekolahan (schooling) adalah optimalisasi potensi dan bakat siswa agar kualitas berkehidupannya bagus di masyarakat, sedangkan UN sama sekali tidak menunjukkan derajat optimalisasi potensi dan bakat siswa secara komprehensif, melainkan hanya penanda kualitas kognitif tingkat rendah saja. Istilah lulus dan tidak lulus itu digunakan kalau sebuah konsep dan praksis pendidikan menggunakan standar baku dalam arti standar seleksi, tapi kalau tidak, maka tidak ada istilah lulus dan tidak lulus, semuanya lulus, hanya kualitasnya berbeda antara satu dan lainnya.
  5. Kalau tidak tidak ada UN dan semua siswa diluluskan, lalu buat apa belajar, toh semuanya lulus? Jawab: tidak ada UN dan semua siswa lulus bukan berarti tidak ada visi dan tujuan pendidikan serta “standar” kualitas, sekali lagi visi dan tujuannya dapat dilihat dalam kurkulum, sedangkan “standar” kualitasnya ditentukan oleh realitas kehidupan yang lebih luas, yakni dunia kerja (bagi yang ingin langsung kerja) dan kampus (bagi yang ingin studi lanjut). Justru dengan begitu, kalau siswa sejak awal tidak belajar serius untuk menguasai materi pelajaran, maka ketika materi kurikulumnya habis (sudah semester 5 dan 6) dan siswa lulus, maka ia tidak akan memenuhi “standar” dunia kerja dan kampus. Dengan begitu justru lagi-lagi sejak awal siswa sudah didorong untuk serius belajar menguasai materi pelajaran.(Saya kira kita mesti juga curiga istilah lulus tidak lulus ini akarnya apa, di mana, untuk apa, dasarnya apa dan seterusnya)
  6. UN juga mengajarkan ranah afektif, yakni kejujuran dalam mengerjakan UN, tidak hanya kognitif tingkat rendah, jadi UN tetap diperlukan. Jawab: ya memang diajarkan, tapi fakta banyak ketidakjujuran dan kebohongan juga diajarkan melalui UN. Lagipula tidak ada metodologi penilaian afektif yang dijalankan dalam praktik UN, tidak adanya laporan kecurangan bukan berarti di sekolah tersebut tidak ada kecurangan, dengan kata lain: tidak tahu terjadi kecurangan dan kebocoran soal bukan berarti tidak terjadi kecurangan dan kebocoran soal.
Kalau UN dihapuskan—menurut pendapat saya personal—memang kemudian tidak usah ada istilah lulus dan tidak lulus, dengan kata lain semua lulus. Tapi bukan berarti siswa-siswa yang lulus tanpa ijazah, sertifikat atau apapun itu namanya. Mereka tetap mendapat ijazah dalam bentuk dokumen track record dan capaian kemampuan mereka dalam menguasai matapelajaran selama sekolah. Jadi ya dideskripsikan saja kemampuan mereka di situ, termasuk penilaian dengan angka tidak masalah asal tepat dalam merepresentasikan kualitas yang dimaksud, termasuk naik turunnya nilai penguasaan materi pelajaran. Dokumen track record itulah yang merepresentasikan kualitas siswa lebih tepat. Dua pertanyaan yang muncul kemudian adalah: (1) bagaimana desain pendidikannya ketika misalnya nilai track record siswa jelek di akhir masa studi; dan (2) bagaimana dunia industri dan kampus yang sudah terbiasa dengan konsep UN menghadapi konsep baru ini.
Pertama, hal pertama yang harus dilakukan adalah mengadopsi konsep perkuliahan yang lebih fleksibel jadwal dan kurikulumnya, di sinilah sebenarnya gagasan “otonomi sekolah” dipraktikkan (bukan “otonomi keuangan sekolah”). Jadi ketika seorang siswa telah selesai masa studinya, yakni habis jadwal kurikulum yang harus ia ambil pada semester 6 atau kelas XII, namun ternyata nilainya masih jelek (dilihat dari dokumen track record-nya dia). Di sinilah siswa tersebut dapat memperbaiki nilainya dengan cara mengikuti kembali praktik pembelajaran, ikut masuk di kelas di mana ia mendapat nilai yang tidak bagus. Mengenai waktu lamanya ia mengikuti praktik pembelajaran ulang dan dinilai kembali tergantung pada kurikulum yang didesain oleh sekolah tersebut. Waktu wajarnya tentu satu semester. Desain sekolah ini tentu saja baru, dan basis filosofinya adalah sekolah yang didesain berdasarkan pada realitas empiris, konteks sosio-kultural, dan masalah yang terjadi (termasuk siswa-siswa yang ingin memperbaiki nilainya), selalu dinamis, tidak membangun “kemapanan” rezim, tepatnya adalah filosofi dan ideologi pedagogi kritis.
Kedua, dunia industri dan kampus harus diberi pemahaman mengenai konsep baru ini tentunya. Bagi dunia kampus agaknya dapat cepat menerimanya, karena selama ini kampus dalam model penerimaan calon mahasiswa mandiri melalui prestasi telah menggunakan track record siswa dalam bentuk nilai rapor siswa selama sekolah. Track record tersebut secara konseptual dapat dikatakan memiliki derajat sebagai instrument untuk memperkirakan secara prediktif kemampuan calon mahasiswa untuk berkuliah. Pihak yang harus diperhatikan serius adalah dunia industri: dengan mengacu pada dokumen track record tersebut, justru dunia industri tidak ditipu oleh ilusi ijazah dan nilai UN, karena dokumen track record tersebut tidak hanya menilai kualitas kognitif tingkat rendah (seperti UN), melainkan merekam jejak kualitas praktik pembelajaran siswa secara komprehensif pada ranah kognitif, afektif dan psikomotorik.
Analoginya adalah sistem TOEFL, dalam TOEFL tidak ada istilah lulus atau tidak, semuanya lulus, tapi score capaiannya beda-beda. Bagi yang mau belajar kuliah ke luar negeri minimal misal TOEFL 550, kalau tidak mencapai itu ya tidak bisa diterima, maka si anak tersebut dapat berlatih lagi dan ujian lagi sampai mencapai score 550 tadi. Dalam konteks UN sekarang, hal itu tidak bisa, karena nilai UN adalah nilai akhir, yang tidak bisa diperbaiki, tidak seperti TOEFL.
Apa untungnya model TOEFL? Ada beberapa contoh kemungkinan, misalnya: kalau mau masuk kampus Universitas Indonesia (UI) standar nilai DPK (saya sebut saja DPK, yakni Dokumen Penilaian Komprehensif) minimal adalah 550 (misal pakai penilaian ala TOEFL), maka kalau anak sampai pada kelas XII nilai DPK-nya tidak sampai 550 otomatis ia tidak bisa daftar di UI. Nah di sini ketakutan bahwa tanpa UN anak tidak akan serius belajar akan terbantahkan, karena dengan model DPK ini anak sejak awal harus serius belajar untuk meningkatkan nilai DPK-nya tersebut menjadi minimal 550 ketika ia ingin masuk UI. Jadi pembelajaran tidak dilakukan ala drill & practice lagi hanya untuk lulus UN, melainkan berfokus pada proses yang lebih substansial mengolah bakat dan potensi siswa.
Di akhir kelas XII kalau score-nya tidak cukup untuk masuk UI, maka untuk mendapatkan nilai 550 ia harus belajar giat lagi dan ikut masuk kelas di mana ia mendapat nilai jelak sebagaimana dicatat dalam DPK. Demikian juga untuk masuk di dunia kerja, untuk masuk perusahaan besar dan sedang standar minimal DPK-nya berbeda, misal yang perusahaan sedang standar DPK-nya minimal 500 sedangkan perusahaan besar standar DPK-nya minimal 550. Nah, siswa-siswa yang nilai DPK-nya 500 bisa daftar langsung di perusahaan sedang, dan bagi yang DPK-nya 550 bisa mendaftar di perusahaan besar. Tentu di sini harus ada kesepemahaman antara dunia pendidikan dan dunia industri. Nah, hal ini tidak ada dalam UN, justru adanya UN telah membuahkan dua standar yang akhirnya tidak match antara dunia pendidikan dan dunia kerja, yakni standar capaian pendidikan (UN) yang statis dan standar dunia kerja sendiri dan juga kampus yang dinamis. Di sinilah desain pendidikan tepat didasarkan pada filosofi bahwa pendidikan adalah untuk kehidupan, dan realitas kehidupan ada di luar sekolah, yakni dunia kerja, kampus, masyarakt dan lainnya, bukan filosofi pendidikan untuk pendidikan yang tidak melihat relevansinya dalam kehidupan siswa dan masyarakat luas.
Bagi yang tidak ke dunia industri dan studi lanjut, tapi membuka usaha sendiri, atau mengolah lahan pertanian, perkebunan, perikanan dan lainnya, maka DPK yang diperoleh dapat dijadikan prediksi kira-kira bagaimana prediksi sukses dan tidaknya siswa tersebut di dunia kerja. Karena posisi DPK adalah sebagai dokumentasi evaluasi, maka praktik pembelajaran ditujukan untuk betul-betul menguasai pelajaran, siswa tidak bisa melakukan model drill & practice agar nilai DPK bagus, karena begitu model pembalajaran dilakukan ala drill & practice, maka DPK akan mencatatnya sebagai praktik pembelajaran yang tidak konstruktif dan kritis. Dapat juga dibuat DPK sekolah, berbeda dari DPK siswa, DPK sekolah untuk mencatat menilai track record kualitas sekolah secara berkelanjutan. Jadi, begitu model pembelajarannya ala drill & practice, maka nilai di track record-nya jelek. Jadi, dengan DPK sekolah dapat memperbaiki kualitas pembelajarannya, kurikulumnya dan lainnya secara lebih tepat. Pun kalau siswa mau sekadar mendapatkan nilai DPK tinggi, maka mau tidak mau ia harus melakukan praksis pembelajaran yang substansial, bukan ala Bimbel.
Untuk lebih detail misal pada pelajaran bahasa dan sastra Indonesia: ketika tujuan pelajaran bahasa Indonesia tujuannya adalah agar siswa dapat menyimak bacaan, mengapresiasi, menulis, menganalisis bacaan secara kritis dan lainnya, maka cara evaluasinya adalah dengan memberi tugas bagi siswa untuk membaca novel, menganalisisnya, mengapresiasinya dalam bentuk essei, dan bahkan berkarya puisi atau prosa dan sejenisnya. Semuanya itu dicatat dalam track record pribadi siswa (DPK). Jadi tidak dinilai melalui multiple choice. Kalau penilaian substansial dan komprehensif ini dilakukan, kalau peta pendidikan dibuat berdasarkan data akumulatif dari penilaian jenis ini, maka peta pendidikan tersebut tidak hanya menunjukkan peta kemampuan kognitif tingkat rendah seperti UN, melainkan peta kualitas pendidikan yang lebih lengkap dan substansial.
Terakhir, praktik pendidikan mestinya melampaui bentuk-bentuk formalitas—seperti UN—yang kontraproduktif dengan tujuan substansial pendidikan. Pengutamaan UN pada hakikatnya telah terjebak untuk sekadar fokus pada dimensi instrumental, teknis, dan metodologis dari pendidikan saja. Asumsi yang dibangun adalah: menyediakan instrumen pendidikan dan memenuhinya. Dengan memenuhi standar-standar yang terdapat dalam instrumen pendidikan (kurikulum, silabus, alat test) maka diasumsikan tujuan pendidikan sudah tercapai, padahal sebenarnya mereka hanya memenuhi standar-standar instrumental pendidikan belaka. Benar bahwa instrumen tersebut dibuat untuk mencapai visi pendidikan, namun salah jika menganggap memenuhi instrumen pendidikan diartikan sebagai telah memenuhi visi pendidikan. Paling ironis adalah ketika instrumen yang dibuat tersebut—dalam hal ini adalah UN—ternyata salah kaprah, maka memfokuskan dan mengutamakan instrumen adalah kesalahan fatal.  [ ]
Catatan akhir: Tulisan ini adalah revisi dari catatan yang saya sampaikan pada diskusi “Menelaah Ujian Nasional” di Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Jum’at, 20 Mei 2011, di Ruang Pers lt. 1 DPD RI, Kompleks Parlemen, Jl. Jend. Gatot Soebroto, No. 6, Senayan, Jakarta. Saya ditelpon oleh mbak Intan dari DPD karena Pak Lody Paat tidak bisa datang, jadi saya datang sebagai wakilnya Pak Lody. Berhubung Pak Lody adalah Koordinator Koalisi Pendidikan, maka saya bilang ke panitia, ya sudah saya ditulis sebagai anggota Koalisi Pendidikan saja, pernyataan saya dalam catatan ini adalah pendapat pribadi saya, walau begitu setidaknya relatif sama dengan pemikiran mayoritas kawan-kawan di Koalisi Pendidikan yang bersikap menolak UN.

Kritik atas Pendidikan Profesi Guru dan Solusinya (hasil dialog)

Kritik atas Pendidikan Profesi Guru dan Solusinya (hasil dialog)


Demo guru bantu
Terkait rencana penerbitan majalah LPM EDUKASI IAIN Walisongo Semarang Edisi 43 yang mengangkat tema utama “Pendidikan Profesi Guru (PPG)”, kru majalah mahasiswa tersebut kemarin mengirimkan email pada saya dengan niat agar saya bersedia sharing pendapat seputar masalah tersebut. Di sinilah saya sampaikan jawaban saya atas pertanyaan yang diberikan oleh mereka. Jawaban di bawah ini sekaligus menegaskan sikap dan posisi saya dalam soal PPG tersebut.
1. Menurut Anda apakah peningkatan mutu guru lewat sertifikasi (lewat portofolio & PLPG) yang telah berjalan saat ini cukup efektif sebagai alat peningkatan profesionalisme guru?
Jawab: Pertama, pertanyaan Anda ambigu, karena dengan menggunakan kata “peningkatan” tersebut seolah-olah menyatakan bahwa program sertifikasi memang telah meningkatkan mutu guru. Kedua, perlu diperjelas konsep “efektif” yang Anda maksud, apa maksud efektif tersebut? Apakah efektif dalam arti pragmatis, yakni meminimalkan aktivitas untuk dapat menghasilkan target, capaian dan tujuan maksimal, atau apa? Ketiga, perlu diperjelas juga arti “profesionalisme” guru tersebut, apakah seperti yang sering dilakukan oleh khalayak ramai, yakni menyamakan profesionalisme dengan kualitas, kemampuan, dan kondisi yang baik, atau bagaimana? Keempat, saya secara personal belum pernah melakukan penelitian secara khusus mengenai “efektivitas” ini (satu hal yang saya ketahui: tema penelitian efektivitas ini banyak dilakukan di kampus-kampus pendidikan dalam bentuk skripsi, tesis maupun disertasi yang akhirnya hanya akan menghasilkan kesimpulan efektif atau tidak sebuah program tertentu dari nalar positivistic), pun saya tidak tertarik untuk melakukannya karena tidak akan menghasilkan riset yang mendalam untuk memahami dan mengidentifikasi praksis pendidikan. Oleh karenanya, saya tidak dapat menjawab secara tepat apa yang dimaksud sebagai efektif atau tidaknya dari program PLPG tersebut. Namun saya akan coba artikulasikan dalam istilah yang berbeda.
Kita mesti paham dulu apa itu PLPG dan kemudian melihatnya dari sisi dasar konseptual, operasional dan imbasnya terhadap guru dan sekolah. Sekali lagi saya tidak punya dokumen PLPG, namun saya dapat memberikan acuan teoretisnya, bahwa kalau yang dituju adalah profesionalisme guru, maka konsep PLPG juga harus dapat memenuhi tujuan profesionalisme guru tersebut. Kalau rujukan PLPG adalah standar kompetensi guru, ada standar pedagogi, standar kepribadian dan sejenisnya itu, maka bisa jadi PLPG cukup dapat membekali guru untuk menjadi professional. Namun pertanyaan besarnya adalah: apakah cukup guru menjadi professional? Tepat atau tidak guru menjadi professional? Kalau Anda menjawab “iya”, maka Anda berada pada posisi yang bersebarangan dengan saya yang mengatakan “tidak”.
Mengapa? Karena bagi saya yang lebih penting dari profesionalitas dan profesionalisme adalah kualitas guru itu sendiri, kualitas tentu di sini dalam arti kualitas yang bagus berupa penguasaan pengetahuan, pemahaman dan pengamalan nilai, konstruksi kultural yang ia bawa dan sejenisnya. Kualitas tidak ada hubungannya dengan professional, itu sudah beda bahasan. “Professional” adalah kata sifat dari “profesi” yang artinya secara ringkas adalah “pekerjaan” (kalau dikaji dari akar katanya, “profession” dari kata “profess” yang artinya “menunjukkan pada publik”), jadi: professional adalah bersifat pekerjaan. Pekerjaan itu apa? Pekerjaan adalah aktivitas yang tujuannya untuk menghasilkan produk atau mencapai tujuan tertentu, dan dari aktivitas itulah seseorang yang melakukannya mendapatkan bayaran. Dengan demikian, kerja professional adalah kerja untuk mendapatkan untung profit (profitable), contoh sederhana: petinju professional bertinju untuk mendapat upah yang sepadan dari apa yang ia lakukan, petinju amatir bertinju untuk mengharumkan nama bangsa.
Jadi, kalau guru disebut professional, maka artinya guru tersebut bekerja untuk mendapatkan upah atau bayaran, sah-sah saja anggapan seperti itu, terlebih dalam alam pikir neoliberal, namun sekali lagi dengan demikian professional tidak ada hubungannya dengan kualitas dan kemampuan diri seseorang guru tersebut. Orang yang bekerja untuk mendapatkan upah (yang disebut sebagai professional) bisa jadi kemampuannya bagus atau tidak, becus atau tidak becus, pintar atau bodoh. Nah, pemahaman awam yang digunakan dan bahkan menjadi rezim baru kebenaran sekarang menyamakan professional dengan kualitas yang bagus. Apa sebenarnya yang terjadi? Tiada lain ini adalah membangun makna dan nilai baru dengan dasar ideologi kapitalisme, bahwa cukup dengan memenuhi indicator sebagai pekerja (baca: professional), maka seseorang tersbut dapat dikatakan sebagai berkualitas. Cukup dengan memenuhi tugas-tugas yang diemban oleh seorang pekerja berdasarkan spesialisasi kerjanya maka ia dapat disebut sebagai berkualitas, padahal lebih tepat disebut sebagai professional saja—yang tidak otomatis disebut sebagai berkualitas dan berkemampuan bagus.
Edward Said dalam bukunya Representations of the Intellectual menegaskan bahwa para intelektual (termasuk guru dalam hal ini) haruslah menjadi amatir, bukan professional. Amatir (amateurs) dari kata “amor” yang artinya cinta. Walau sama-sama dilekatkan pada aktivitas kerja, namun jika seseorang bekerja secara amatir maka ia mendasarkan aktivitas kerjanya pada rasa cinta, pengabdian dan ketulusan, jika mendasarkan pada profesionalisme maka ia mendasarkan pada spesialisasi kerja ala modernitas dan kapitalisme serta hasrat untuk mendapat upah yang layak.
Oleh karena itu, ketika ditanyakan apakah PLPG cukup memberikan bekal profesionalisme, ya saya kira cukup walau saya tidak punya datanya, namun jika ditanyakan apakah PLPG cukup memberikan bekal untuk menjadi guru yang berkualitas bagus, saya bisa jawab: tidak cukup! Guru yang berkualitas bagus menurut Henry Giroux adalah seorang intelektual transformatif, mereka ini beraktivitas kerja tidak didasari hasrat spesialisasi kerja dan profit, melainkan didasari oleh kesadaran kritis untuk perubahan sosial, kecintaan pada manusia dan aktivitas pedagogi dan seterusnya dan seterusnya.
2. Bagaimana Anda melihat flowup pemerintah terhadap guru yang telah lulus sertifikasi?
Jawab: Sejauh yang dapat kita lihat secara umum, tindak lanjut dari program sertifikasi ya guru mendapat tunjangan profesi, itu saja. Klo bicara soal kualitas guru tentu itu soal lain, program sertifikasi itu jelas tidak dapat meningkatkan kualitas guru menjadi lebih baik dalam pemahaman dan praksis pedagogi mereka di kelas. Karena sertifikasi khan sekadar bentuk pengakuan secara formal bahwa guru bersangkutan telah memenuhi indicator-indikator tertentu yang dibuktikan dengan dokumen portofolio dan sejenisnya, ya sudah cukup di situ saja. Kalau mau meningkatkan kualitas ya guru diberi pelatihan, pendalaman materi pelajaran, up date pengetahuan baru berkaitan dengan subjek pelajaran yang ia ampu dan pengetahuan pendidikan kontemporer serta pendampingan intensif dari para intelektual kepada para guru. Tampaknya pemerintah melalui Kemdiknas, dinas pendidikan di daerah, LPMP dan LPTK belum mengarah pada upaya-upaya tersebut. Sekarang yang ada ya MGMP, tapi juga agaknya tidak terdapat proses yang mengarah pada pemberdayaan MGMP untuk meningkatkan intelektualitas guru berkaitan dengan program sertifikasi mereka.
3. Apa asumsi Anda terkait alasan mendasar pemerintah mencanangakan PPG (upaya mempercepat sertifikasi atau peningkatan profesionalisme)?
Jawab: PPG ada dua, dalam jabatan dan prajabatan. Semuanya agaknya dimotivasi oleh hasrat untuk meningkatkan kemampuan guru sebagai pekerja yang dapat memenuhi indicator-indikator kinerja (performance) tertentu. Kalau dikaitkan dengan sertifikasi rasanya kok tidak ada hubungannya, karena sertifikasi tidak ada hubungannya dengan peningkatan kualitas guru, sedangkan PPG ditujukan untuk meningkatkan profesionalisme guru yang disamakan dengan peningkatan kualitas guru.
Nah, dari dua program PPG tersebut saya menganggap bermasalah, atau kalaupun diterima ya dengan catatan kritis. Pertama adalah PPG Prajabatan, tujuannya untuk meningkatkan kualitas calon guru. Apa kampus LPTK selama ini kurang membekali mahasiswanya untuk jadi guru berkualitas? Kalau iya jawabannya dan itu yang jadi alasan digagasnya PPG Prajabatan, maka yang harus diperbaiki adalah desain konseptual dan praksis perkuliahan di kampus, bukannya membuat program baru. Dengan adanya PPG Prajabatan mahasiswa program S1 kependidikan harus keluar duit lagi untuk ikut program tersebut, ini artinya PPG tidak efisien dari segi waktu dan finansial. Selain itu apa yang diberikan di PPG Prajabatan juga tidak beda dengan apa yang diberikan di kampus kependidikan. Pertanyaan saya, loh buat apa mengulang kuliah lagi? Ini jelas mubazir—untuk tidak mengatakan “tidak efektif”. Kalau mereka para konseptor PPG Prajabatan menyatakan “ada bedanya”, saya sampai sekarang belum tahu apa bedanya, tapi dari draft panduan PPG Prajabatan jelas tidak ada bedanya. Kalaupun dicari-cari “kebaikan” adari PPG, ya kampus penyelenggara akan mendapatkan untung profit, karena mereka akan menerima mahasiswa PPG Prajabatan selama satu tahun berkuliah di situ. Inilah proyek besar pendidikan di Indonesia hehe…
Sementara itu ada PPG dalam jabatan, yakni yang ditujukan untuk meningkatkan profesionalisme guru yang sudah bekerja sebagai guru. Secara pribadi saya mengatakan ya memang perlu tapi bentuknya bukan dalam bentuk kuliah satu tahun seperti PPG Prajabatan, melainkan pelatihan dan pendampingan intensif dan sejenisnya, itu saja. Tapi sebagaimana saya katakan di depan bahwa tidak cukup guru menjadi professional, yang harus dilakukan adalah guru harus menjadi intelektual, berkualitas bagus dan seterusnya. Jadi, PPG dalam jabatan tidak cukup untuk program meningkatkan kualitas dan intelektualitas guru sekarang.
4. Perlu atau tidak kah pendidikan profesi untuk pendidik (guru dan dosen)? Apa alasannya?
Guru GTT Demo
Guru GTT Demo









Jawab: tidak perlu, karena guru dan dosen sudah bekerja, dengan kata lain sudah memiliki profesi, untuk apa dididik lagi untuk menjadi pekerja atau profesional? Kalau yang dimaksud pendidikan profesi untuk menjadikan guru dan dosen menjadi profesi, loh bukankah sekarang guru dan dosen juga sudah sebuah profesi? Kalaupun yang dimaksud pendidikan profesi tersebut adalah cara untuk meningkatkan profesionalitas dan kualitas guru dan dosen, maka seperti argument saya di depan, bentuknya mesti jelas, yakni pendampingan dan pelatihan intensif untuk guru, pemberdayaan MGMP dan sejenisnya (untuk PPG dalam jabatan), sedangkan yang PPG Prajabatan sama sekali tidak relevan, tidak efektif dan efisien dari sisi biaya, dan dasar epistemology dan empirisnya gak kuat (lihat argument saya di depan).
Untuk dosen lebih-lebih lagi buat apa? Dosen untuk menjadi berkualitas ya cukup mengaktifkan diskusi intelektual, melakukan penelitian, banyak membaca, melakukan pengadian masyarakat, dan studi lanjut. Mereka yang masih S1 harus studi S2, yang S2 studi lagi untuk S3, yang S3 bisa berupaya jadi professor atau mengambil post-doctoral di banyak kampus di luar (untuk di Indonesia aktivitas belajar post-doctoral agaknya belum familiar). Saya pikir pemerintah jangan lebay deh membuat gagasan yang maunya biar jadi trend, jadi brand, sebuah penanda keberhasilan ide dan program pendidikan di bawah periode menteri tertentu, tapi jelas mubazir dan konyol idenya. 
5. (Jika Perlu) Bagaimana konsep itu (PPG) yang harus disusun? (Jika tidak) Bagaimana alternatif peningkatan mutu pendidikan yang tepat -dipandang dari segi gurunya- mengingat dalam tataran global pendidikan kita tertinggal dari bangsa-bangsa lainnya?
Jawab: Masalahnya tidak sesimpel dijawab perlu atau tidak PPG. Tentu tidak adil juga kalau memang di masyarakat kita, misal ada mahasiswa yang non-kependidikan mendadak di tengah atau akhr perkuliahannya dia menjadi sadar dan terbentuk niatnya bahwa menjadi guru adalah tugas mulia, dan dorongan itu menjadikan ia berniat sungguh-sungguh jadi guru. Secara factual banyak juga para pendidik yang bagus di masyarakat latar belakangnya justru bukan berasal dari kampus-kampus kependidikan, namun karena mereka serius secara mandiri membaca dan terjun dalam aktivitas pendidikan, maka mereka justru membangun pengtahuan pedagoginya sendiri menjadi lebih baik berbasis pada pengalaman riil. Oleh karena itu PPG Prajabatan boleh ada namun dengan catatan: bahwa mahasiswa S1 kependidkan tidak ikut dalam program tersebut.
Pihak yang boleh ikut PPG Prajabatan adalah mereka yang lulusan kampus non-kependidikan, catatan kritisnya adalah: harus diseleksi ketat, mulai dari niat tulusnya, apakah hanya untuk asal bekerja dapat duit (niat profesi), atau niatnya untuk mengabdikan diri dalam aktivitas pendidikan (niat amatir)? Kalau niatnya adalah yang pertama, maka harus ditolak untuk masuk PPG Prajabatan. Soal niat ini pun sebenarnya juga masalah tersendiri di kampus kependidikan, karena faktanya di kampus kependidikan juga banyak mahasiswanya yang tidak berniat jadi guru, jadi ia kuliah asal mendapat aktivitas pasca SMA/SMK/MA saja, asal mendapat ijazah untuk bekerja. Jadi, niatnya adalah adalah sekadar bekerja dapat duit, selesai. Bagi saya pribadi mereka yang sperti itu tidak layak menjadi guru yang berkualitas. Mereka mestinya bekerja di sector yang memang tujuannya untuk mendapat profit langsung, misal di dunia industri, wirausaha, pertanian dan sejenisnya.
Nah, dengan adanya seleksi ketat tersebut, maka mereka para mahasiswa lulusan program non-kependidikan yang bisa diterima adalah para pilihan calon guru, kualitasnya juga pasti diharapkan menjadi lebih baik. Di sinilah PPG Prajabatan desainnya mestinya tidak hanya satu tahun, itu khan seperti kursus singkat saja. Idealnya dengan tujuan untuk membekali dasar teoretik pedagogi, metodologi pembelajaran, manajemen sekolah, teori kurikulum, pengembangan kurikulum, sosiologi pendidikan, filosofi pendidikan dan lainnya butuh waktu 2 sampai 3 tahun termasuk praktik pembelajaran di lapangan (PPL). Jadi tidak sebagaimana desain PPG Prajabatan yang ada dalam draft sekarang, cuma 1 tahun, jadi sperti kursus singkat menjadi tukang ngajar.
Nah, untuk PPG dalam jabatan sebagaimana saya kemukakan di depan, selain dengan pelatihan dan pendampingan intensif, para guru juga dapat melakukan studi lanjut ke jenjang S2 dan S3. Kenapa tidak? Jadi mereka jelas tidak hanya dapat up date pengetahuan, tapi juga dapat gelar, artinya: secara pragmatis tunjangan kesejahteraan mereka akan naik. Selain itu, kalau program S2 dan S3nya bagus, maka tidak hanya keuntungan pragmatis saja yang didapat guru, melainkan memang betul-betul guru dapat meningkatkan kualitas intelektual dirinya. Tentu kendalanya adalah soal biaya. Namun sejauh yang saya ketahui pemerintah punya alokasi beasiswa untuk keperluan studi lanjut guru tersebut. Justru yang paling rawan adalah seringkali di lapangan, para guru progresif yang berniat studi lanjut sering dihalang-halangi oleh para guru senior namun berpandangan konservatif. Perasaan senioritas (age-ism) dan rasa tidak mau disaingi dan dilangkahi karirnya membuat upaya studi lanjut guru-guru berkualitas jadi terhambat.
Selanjutnya, dari pertanyaan poin ke-5 (lima) tersebut, saya rasa acuan peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia tidak selayaknya menurut pada apa yang ada di negara-negara Barat dengan mengatakan “untuk mengejar ketertinggalan kita” dari mereka. Kalau kita mengatakan hal itu, artinya sama saja kita menyatakan bahwa tujuan dan orientasi pendidikan kita sama dengan negara-negara Barat yang ingin kita kejar tersebut, artinya juga: kita ada pada satu track lomba lari yang sama dengan tujuan finish yang sama. Ini artinya kita terjebak pada pola pikir ideologi kompetisi dan juga praktik kompetisi pendidikan dalam konteks kapitalisme global. Mestinya Indonesia—dalam tujuan peningkatan kualitas guru misalnya—punya tujuan sendiri, dalam arti kualitas guru Indonesia konsep idealnya tentu berbeda dengan konsep guru berkualitas di Amerika, Jepang dan lainnya. Memang ada anasir universal yang bisa diambil, tetapi tetap ada anasir lokal, nasional, yang hanya dapat dibangun berdasrkan pada konteks Indonesia. Dengan kata lain, jalur upaya peningkatan kualitas guru kita berbeda dengan negara seperti Amerika dan kawan-kawannya.
Kalau ada pertanyaan: loh kalau acuannya tidak ke negara-negara Barat yang sudah maju lalu apa? Kita akan jalan di tempat dong! Bagi saya itu ketakutan yang berlebihan yang didasari oleh logika kompetisi dan inferioritas diri warisan kolonialisme. Ada logika lain yang harus dibangun, yakni logika solidaritas, kebersamaan, gotong royong, dan membuat target-target personal. Analoginya adalah: kita cukup membuat target-target capaian sendiri, misalnya kita ingin fasih berbahasa Inggris dengan skor TOEFL 550, ya itu target kita sendiri yang kita upayakan untuk kita capai. Tidak ada urusannya harus berkompetisi dengan orang lain yang juga punya target sama atau lebih ari skor TOEFL 550. Kalau pendidikan kita dikatakan tertinggal dalam tataran global, maka perlu dipertanyakan, siapa yang mengatakan hal itu? Apakah pernyataan tersebut mendasarkan pada penilaian PISA, TIMMS, THE, QS, Webometric, OECD dan lainnya? Mengapa tidak membuat target sendiri berdasarkan pada acuan nilai dan ideologi kita sendiri? Memangnya para pakar pendidikan, aktivitas dan praktisi pendidikan yang ada di Indonesia bodoh-bodoh hingga harus membebek pada konsep dan standar penilaian institusi-institusi tersebut? Ataukah sebenarnya kita bisa membuat konsep penilaian sendiri berdasrkan pada acuan nilai dan ideologi kita, hanya saja ternyata pemerintah tidak melihat itu, pemerintah dengan rasa inferioritas warisan nalar dan kultur kolonial tidak percaya diri dan kemudian ngikut arus untuk sukarela didikte, dijajah, dikolonialisasi institusi-institusi tersebut.
Hanya dipisahkan dinding
Hanya dipisahkan dinding










Dengan begitu, artinya sekali lagi Anda terjebak pada pendiktean penilaian oleh institusi tertentu, yang mereka juga punya standar penilaian sendiri, berdasarkan pada basis ideologi dan nilai tertentu. Standar penilaian PISA dan Ujian Nasional (UN) aja beda, standar THE, QS dan Webometric untuk menilai “ranking” kampus-kampus juga berbeda. Masuk dan mengiyakan penilaian mereka artinya mengiyakan desain tata dunia global yang mereka idealkan untuk diwujudkan, artinya juga mengiyakan konsep nilai dan ideologi yang mendasari penilaian mereka. Di sisi lain dengan demikian imbasnya dari menunduk di bawah penilaian THE dan QS untuk menjadi world class university misalnya artinya semua energy akan dilakukan oleh kampus-kampus untuk mengikuti kompetisi tersebut yang boros duit tapi hasilnya nol untuk rakyat riil. Orientasi tersebut akan memangkas sensitivitas dan daya baca kritis serta keberpihakan kampus-kampus kita pada tujuan transformasi sosial masyarakat riil. Dari kacamata studi post-kolonial, kita punya konteks sendiri, kita punya konteks sosio-historis sendiri, kita punya kedaulatan sendiri untuk menentukan apa yang penting dan prioritas bagi kita sendiri.
Bagi saya, jangan risau dan terlalu berkiblat pada Barat yang ironisnya sampai sekarang masih meneguhkan kultur-kultur kolonialisme di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Beda cara pandang, paradigm, ideologi, juga akan berimbas pada beda acuan kualitas dan kebermaknaan. Kalau saya menggunakan dasar pro-rakyat dan keadilan sosial dalam membuat pemeringkatan kampus-kampus dunia, atau membuat perankingan dunia untuk pemerintah yang pro-rakyat dan keadilan sosial, pastinya negara-negara Amerika Latin seperti Venezuela, Bolivia, Brazil yang akan menempati peringkat pertama. Tapi dengan basis ideologi “elitism” dan/atau neoliberalisme, maka kampus-kampus yang dinilai oleh THE, QS, dan Webometric akan menempatkan kampus-kampus di Amerika sebagai unggulan berdasarkan kuantitas publikasi dan mutual relationship mereka dengan dunia industri. Saya pikir kita mesti paham betul praktik neo-kolonialisasi yang dilakukan oleh institusi “negara baru” ini…
6. Menurut Anda, tepatkah jika sertifikasi guru juga dimaksudkan untuk mengangkat kedudukan guru yang akhir-akhir ini di pandang “rendah” di banding profesi -dokter, arsitek, TNI-  lainnya?
Jawab: tidak tepat. Sertifikasi ya sekadar untuk syarat naik gaji melalui tunjangan profesi saja. Tidak lebih dari itu. Ini khan soal pemahaman dan paradigm berpikir sebenarnya. Guru dipandang rendah dibanding pekerjaan lain sebenarnya ketika dilihat dari prestisenya, nah prestise tersebut dilihat dari kepemilikan harta, benda, kekayaan, intinya adalah soal kesejahteraan yang berpangkal pada besaran gaji guru yang tidak seberapa. Kalau di Finlandia guru adalah pekerjaan yang prestise, kenapa? Ya karena gajinya tinggi, selain itu mereka dapat membawa kredibilitas diri mereka di sekolah dan masyarakat. Dulu konsep guru di Nusantara khan juga begitu, dihormati di padepokan, perguruan dan juga di masyarakat, tapi kemudian bergeser menjadi tidak prestise lagi karena perannya dipersempit hanya di sekolah dan gajinya rendah, bagi mereka calon mahasiswa yang cerdas tapi berpikiran modern (modern diartikan sebagai yang mencita-citakan kesuksesan dalam bentuk materi) tentu tidak akan memilih pekerjaan sebagai guru yang bergaji rendah, akhirnya mereka yang “cerdas” namun karena sejak kecil dibangun kesadaran bahwa ideal orang sukses dan orang modern adalah sebagai dokter, insyur, pengacara dll yang gajinya tinggi dan dihormati orang, maka mereka tidak masuk kampus keguruan, jadilah input LPTK dan eks-LPTK yang menjadi univesitas sekarang rendah.
Pandangan rendah berdasarkan prestise juga patut dipertanyakan, prestise itu khan gengsi, gengsi itu pengertiannya gak jelas, seperti penilaian yang dilakukan oleh anak-anak muda mendasarkan pada konsep keren, cool, gaul dst. Setidaknya acuan nilai dari gengsi, keren dan cool adalah merujuk pada hal-hal yang bersifat fisik-material, keren dan cool dilihat dari tampilan fisik seseorang, pakaian, dandanan rambut, gaya hidup dll, gengsi juga dilihat dari keberpunyaan materi sejenisnya. Pertanyaan saya: apakah tepat menilai guru berdasarkan pada konsep gengsi yang acuannya adalah fisik-material? Tentu tidak tepat karena bidang kerjanya beda, yang diolah adalah manusia, tentu akan beda kalau menggunakan konsep gengsi pada profesi yang memang tujuannya adalah untuk profit, misalnya pengusaha, dll. Pada alam kapitalisme global memang segala jenis profesi atau pekerjaan dalam upaya untuk dinaikkan gengsinya akan dilihat dari upah, bayaran atau gaji yang diterima, semuanya dimaterialkan dan dikuantitatifkan. Inilah yang disebut oleh Giroux sebagai culture of positivism yang sudah merasuk pada nalar pikir masyarakat kapitalisme akhir (the late of capitalism).
Kalau mau ikut-ikutan alur pikir tersebut juga bisa, yakni caranya adalah dengan menaikkan gaji guru. Saya pun sepakat dengan gaji guru naik, tapi beda dasar ideologisnya. Bagi saya, gaji guru harus naik tidak untuk menaikkan gengsi atau prestisenya dan derajatnya dibandingkan pekerjaan lain. Gaji tersebut hanya efek yang niscaya harus diberikan oleh pemerintah dengan jalan memahami dulu bahwa posisi guru memang sudah semestinya sama dengan jenis pekerjaan lain, atau bahkan lebih tinggi. Kalau TNI menjaga negara maka ia digaji tinggi, dokter menyelamatkan nyawa juga digaji tinggi, pengacara menyelamatkan masa depan seseorang dari jerat hukum juga dikasih imbalan tinggi, maka guru sebagai orang yang mengolah dan membangun potensi anak didik, mengarahkan masa depannya, menyiapkan para pemimpin negara, dan memperbaiki karakternya juga harus digaji tinggi. Menaikkan derajat guru dengan demikian pertama adalah melalui merombak cara pikir modernitas dan kapitalis yang menganggap peran guru di sekolah saja. Peran guru harus dikembalikan sebagai guru di masyarakat juga selain di sekolah, di situlah ia sebagai intelektual organik (Gramsci) dan intelektual transformatif (Giroux) dapat dijalankan dengan baik. Ketika guru perannya sudah menjadi penting di masyarakat—dan dalam konteks yang lebih tinggi adalah negara—maka konsekuensinya adalah penghargaan terhadap guru juga harus tinggi, termasuk kesejahteraan, akses terhadap pengetahuan, jaminan kesehatan, keamanan dan lainnya.
7. Boleh dibilang dengan diberlakukannya PPG bagi lulusan LPTK berarti pemerintah menafikkan mutu LPTK sendiri. Bagaimana tanggapan Anda?
Jawab: yang Anda maksud tentu adalah PPG Prajabatan. Ya, saya pikir program tersebut memang melecehkan keberadaan LPTK yang ada. Kalau tujuan PPG Prajabatan adalah untuk meningkatkan kualitas guru dalam kemampuan pedagogisnya—terlebih dulu dengan didasari oleh laporan dari “lapangan” bahwa kualitas mahasiswa lulusan LPTK dan universitas eks-IKIP sekarang tidak lebih baik dari lulusan SPG dulu—maka sudah semestinya yang diperbaiki adalah desain dan praksis perkuliahan di LPTK. Bukan malah membuat program baru yang mubazir dan menyalahi konsep pendidikan dan keguruan serta cenderung merunduk di bawah logika kapitalisme (division of labor and professionalism). Jika dilihat pada draft panduan PPG Prajabatan maka mahasiswa lulusan S1 kependidikan juga wajib ikut PPG tersebut, padahal yang dipelajari di PPG Prajabatan tersebut ada PPL, ada materi ilmu pendidikan, ada subjek palajaran tertentu, nah itu khan sudah dipelajari selama mahasiswa tersebut kuliah S1. Lalu untuk apa ikut PPG Prajabatan ketika materinya sama saja? Kalau materinya beda, bedanya di mana? Kalau ada konsep, materi dan desain belajar yang beda yang tujuannya untuk peningkatan kualitas lulusan, kenapa tidak dimasukkan dalam program S1 saja? Alasannya jelas, dengan PPG Prajabatan mahasiswa yang sudah lulus S1 kependidikan harus keluar duit lagi, memeras tenaga, pikiran dan lainnya lain. Dari itung-itungan ekonomi ini jelas tidak efisien. Yang untung secara ekonomi tentu kampus-kampus yang mendapat kesempatan sebagai penyelenggara PPG Prajabatan, karena uang dari mahasiswa akan mengalir ke kas mereka.
Demo guru bantu
Demo guru bantu
Saya punya cerita analogi yang serupa: dalam kasus UN sekolah-sekolah mewajibkan siswa-siswinya untuk mengikuti Bimbel agar siswa sekolah tersebut lulus UN 100%. Siswa wajib bayar per kepala sekian puluh ribu rupiah. Nah, sekolah bekerjasama dengan Bimbel tersebut, akhirnya sekolah dapat diskon yang bisa berupa potongan harga atau bonus ke dompet guru-guru di sekolah tersebut. Tapi ternyata lewat jalan lain bisa dilakukan dengan cara dan nalar proyek, yakni: guru-guru mendirikan Bimbel sebagai cara mencari duit, Bimbelnya sendiri berkantor di sekolah tersebut, Bimbel itu berfungsi sebagai tim sukses lulus UN 100%, akhirnya yang dapat untung juga guru-guru di sekolah tersebut yang sekaligus sebagai tenaga tutor Bimbelnya. Kasus PPG Prajabatan di kampus-kampus juga agaknya bisa terjadi dengan logika yang sama, tapi semoga saja tidak.
Dengan demikian apakah ini pelecehan atau tidak, ya tergantung dari sudut pandang siapa? Para dosen dan birokrat kampus LPTK mungkin lebh memandang ini menguntungkan dari sisi pemasukan yang akan didapat oleh kampus, persis ketika kampus membuka program baru, ditambah lagi ketika pihak kampus menganggap bahwa untuk menjadi profesi maka guru atau calon guru harus sekolah profesi dulu. Kalau merujuk pada UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada penjelasan pasal 15 dinyatakan bahwa “pendidikan profesi merupakan pendidikan tinggi setelah program sarjana yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus.” Pengertian pendidikan profesi tersebut merujuk pada konsep pendidikan profesi yang dilalui oleh dokter, psikolog, akuntan, advokat dan sejenisnya. Karakternya jelas, yakni spesifikasi, spesialisasi, penyiapan tenaga kerja dengan kemampuan tertentu yang jelas untuk menjalankan aktivitas kerja tertentu yang spesifik dan special. Nah, guru jelas berbeda, bidang garapan guru lebih luas dan lintas-bidang aktivitas, tidak spesifik dan spesialisasi. Guru dalam perspektif pedagogi kritis harus terlibat dalam aktivitas politik untuk transformasi sosial, artinya ia melintas batas bidang pedagogi dan politik, di sisi lain guru juga harus paham dimensi psikologis anak didiknya, di sini juga guru melintas batas bidang pedagogi dan psikologi, dan banyak lagi contohnya. Artinya: salah besar menyamakan guru dengan pekerjaan atau profesi seperti dokter! Oleh karenanya, PPG Prajabatan sebagai sekolah untuk menyiapkan tukang ngajar dengan spesifikasi dan kompentensi professional (karena Cuma satu tahun), yang dibuthkan adalah reformulasi pendidikan keguruan di LPTK untuk membangun pribadi guru lulusannya menjadi intelektual transformatif.

Yakinlah Selalu Akan Doamu, ……….

Yakinlah Selalu Akan Doamu, ……….



Suatu hari, sebuah kisah mulia terjadi dan bermula dari suatu tempat yang sangat sederhana, Pangkalan becak. Seorang bapak tua tengah membersihkan keringatnya setelah seharian bekerja.
Beliau adalah seorang tua yang berusia sekitar 75 tahun dan sudah lebih dari 35 tahun mencari nafkah dengan menarik becak. Sosoknya sangat sederhana dan murah senyum. Dikalangan teman- temannya, si bapak tua adalah seorang yang sangat disegani, karena kejujurannya.
ketika sore menjelang, ada seorang anak muda menaiki becaknya. Si anak muda adalah seorang yang kaya, terpelajar dan modern. Dia berniat datang ke kota tersebut untuk berekreasi dan melepas penatnya setelah lama bekerja di kota. Berjam- jam mereka berkeliling kota, sampai akhirnya adzan magrib pun berkumandang. Seketika, si bapak tua itu menghentikan becaknya di depan sebuah masjid, dan meminta ijin untuk sholat.
Setelah beberapa lama, mereka kemudian melanjutkan kembali acara jalan- jalan tadi. Dan, sampailah mereka pada sebuah warung kopi dipinggir jalan.
“Nak, apa bapak boleh minta ijin sebentar untuk buka puasa?”
” Bapak puasa? ” Jawab anak muda tersebut dengan sedikit terkejut.
” Iya. sebentar saja, bapak ingin beli air dulu”
” Saya ikut sekalian pak. Kita minum kopi bareng. Saya yang traktir” Kata si anak muda dengan semangat.
Mereka berduapun akhirnya melepas lelah sambil ngobrol dan bersantai di warung tersebut.
” Kenapa bapak puasa tapi masih mengayuh becak?. Apa ndak capek?” Si anak muda memulai pembicaraan.
” Bapak sudah terbiasa insyaallah. Ndak apa- apa nak” Jawab pak tua singkat.
Waktupun terus berlalu. Banyak hal mereka bicarakan bersama malam itu. Dan melihat hari semakin malam, anak muda tersebut berniat pamit pulang. Dia mengucapkan terimakasih seraya memberikan uang sebagai ongkos naik becak. Tapi di luar dugaan, bapak tukang becak itu menolaknya.
” Ini kan ongkos buat bapak tadi setelah seharian mengantar saya.” Kata anak muda itu kali ini dengan masih sangat heran
” Ndak nak, trimakasih” jawab bapak tua
” Maap apa masih kurang? Ok. Ini buat bapak semua” Tanyanya lagi sambil memberikan uang 2 ratus ribu.
“Maaf nak bukan begitu. Sebenarnya…”
” Kenapa pak? ” Diapun buru- buru memotong perkataan itu.
” Maaf nak, bukan bapak tidak mau menerima. Tapi hari ini hari kamis nak, bapak tidak mau menerima uang dari siapapun yang naik becak bapak. “
” Kok bisa begitu pak?” Tanya si anak muda dengan lebih penasaran. “
“Bapak inikan orang miskin dan bodoh, tapi… sebenarnya bapak ingin naik haji. Semua orang memang mentertawakan bapak, mereka bilang bapak suka berkhayal. Lah wong, buat makan sehari hari saja tidak cukup apalagi naik haji. Akhirnya bapak cuma bisa minta sama Allah, karena bapak yakin Allah satu- satunya yang tidak akan mentertawakan bapak.”
“Lalu…” si anak muda tidak dapat menghentikan rasa penasarannya.
“Kalau hari senin dan kamis bapak tidak akan meminta bayaran sedikitpun kalau ada orang yang naik becak. Bapak berniat sedekah dengan tenaga bapak itu. Bapak berharap suatu hari Allah melihat kesungguhan usaha ini dan akan mengabulkan doa bapak.”
” Apa bapak yakin? “
” Kalau kita berharap pada makhluk, kita harus siap- siap untuk setiap saat kecewa, tapi kalau kita berharap hanya pada Allah, Dia adalah satu- satunya yang tidak pernah mengkhianati kita, nak. Kita harus Yakin dengan apa yang kita doakan dan cita- citakan, Insyaallah Allah tidak akan mengkhianati kita. “
Sejenak si anak muda tersebut terdiam. Benar- benar kali dia kehilangan walaupun hanya satu huruf saja untuk di ucapkan. Tak terasa, kopi yang disuguhkan dihadapannya telah dingin. Dan dia masih belum bisa mengatakan apapun. Setelah beberapa saat dia pamit pulang meninggalkan pasar yang ramai dengan hiruk pikuknya.
Setelah sampai di rumah, pikirannya kemudian di penuhi dengan seribu satu hal. Kata- kata bapak tukang becak itu begitu lugu dan natural namun sangat dalam baginya. Entah mengapa, seketika perasaan malu menyeruak melingkupi batinnya. Teringat padanya, bahwa dia selama ini yang selalu dalam gelimang harta dan kekayaan, namun sangat susah baginya untuk sekedar meluangkan waktu untuk mengingat tuhannya.
Kesadarannya tiba- tiba muncul dan berkata bahwa ternyata selama ini, harta yang dia miliki hanyalah sekedar ujian baginya, dan sayangnya dia tidak berhasil dalam ujian itu, karena terbukti harta telah membuatnya jauh dari Allah sang maha Rahman.
Masih terngiang di kepalanya, ucapan bapak tukang becak tersebut. Herannya, dia bukanlah seorang profesor atau manusia yang mempunyai gelar terhormat, namun baru kali inilah, seorang yang lugu, sederhana, namun sangat sholeh, telah berhasil menyentuh hatinya.
Beberapa hari kemudian…
Si anak muda akhirnya telah kembali ke kota tersebut, dan kali ini dia berada di tengah- tengah pangkalan becak itu. Telah bulat tekadnya untuk menemui tukang becak tua yang dia jumpai beberapa hari lalu. Setelah beberapa jam mencari dan menunggu, maka bertemulah mereka berdua, masih di tempat warung kopi yang sama seperti dulu.
” Apakah bapak mau menemani saya?” tanya anak muda tersebut sambil tersenyum.
” Kemana nak?”
” Saya ingin mengajak bapak berhaji tahun ini”

Politik Dalam Agama


Politik Dalam Agama
ARTIKEL: Politik Dalam Agama - syahran.teokrasi


"maka berkat Rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras & berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka & mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka untuk urusan itu, kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertakwalah kepada Allah." (Ali Imran: 159)
"dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan melaksanakan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antar mereka dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang kami berikan kepada mereka" (Asy-Syura: 38)
"wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah maha teliti apa yang kamu kerjakan." (Al-Ma'idah: 8)
"sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh Allah Maha Mendengar, Maha Melihat." (An-Nisa': 58)
"maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai Hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (An-Nisa':65)
"serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat Petunjuk." (An-Nahl: 125)
"wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. sungguh, yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti." (Al-Hujurat: 13)
"Dan hendaklah diantara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang munkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung." (Ali Imran: 104)

Ayat-ayat al-Qur'an tersebut adalah bukti dan alasan bahwa bukan suatu pelanggaran jika kita berpolitik praktis, malah jika kita hubungkan kepada prinsip-prinsip dasar berpolitik, semuanya menjadi saling menguatkan dengan ayat-ayat al-Qur'an tadi, dan jadilah politik sesuatu yang wajib bagi kita.Rasulullah SAW bersabda bahwa siapa diantara kamu melihat sebuah kemungkaran maka hendaknya ia merubahnya dengan tangannya (kekuasaan yang besar dan bersifat fisik, militer misalnya) apabila tidak mampu maka hendaknya ia merubahnya dengan mulutnya (dengan perkataan, kritik dan nasehat misalnya) apabila tidak mampu juga, lakukan dengan hati (pada diri sendiri yaitu dengan hati, agar tidak mengikuti kemungkaran tersebut juga) dan itu adalah tingkatan iman yang paling rendah.Rendahnya iman ditandai dengan sedikitnya atau tidak ada sama sekali usaha yang dilakukan untuk merubah kemunkaran tadi. Sedangkan usaha tersebut sangat tergantung dengan sarana kekuasaan, yang jadi permasalahannya selanjutnya adalah cara mendapatkan serta mempengaruhi kekuasaan tersebut. Pada zaman sekarang dengan keadaan yang tidak terlalu menguntungkan, tidak ada cara paling efektif selain berpolitik.
Sebuah USHUL FIQH yang disepakati mayoritas ulama dan pemikir islam menyebutkan, SEGALA SESUATU YANG MENYEBABKAN SATU KEWAJIBAN (contohnya, Syari'at Islam) TIDAK SEMPURNA KECUALI DENGANNYA (Politik), MAKA HUKUM SESUATU ITU (Politik) WAJIB JUGA.
Memang banyak hasil pemikiran dan diskusi yang berkembang saat ini yang dibedah oleh pemikir-pemikir muslim ekstremis (garis keras) yang cenderung berlebih-lebihan (Ghuluw) dalam menyikapi muslim moderat (pertengahan) lainnya berpolitik.Begitu juga para penganut paham sekular yang mengaku muslim, mereka ini beranggapan bahwa agama seharusnya dipisahkan dari politik pemerintahan, dunia harus dipisahkan dengan akhirat dan hukum manusia juga harus dipisahkan dengan hukum tuhan, manusia dan tuhan hanya memiliki hubungan yang bersifat ruhani saja. Jangan lupa juga dengan para penganut aliran SUFI yang malah memisahkan diri dari dunia dan aspek-aspek materi serta kebendaan, hanya karena menganggap 'perhiasan' dunia bisa menghalangi dirinya dari jalan Allah. Untuk yang satu ini (SUFI/TASAWUF) Muhammad al-Ghazali berkomentar, harta benda didunia ini justru sangat penting untuk berjuang dijalan Allah serta harus dimaksimalkan, dan konsep zuhud yang benar tidak menjadikan hidup kita mundur.
Akibat dari pandangan yang ketinggalan jaman & dangkal serta tidak pada tempatnya tersebut, kemudian pemaknaan agama islam yang sepotong-sepotong, menjadikan orang-orang yang anti-politik, amburadul serta eksklusif. Mereka hanya menerima pemikiran-pemikiran yang sesuai dengan sudut pandang mereka (ekstremis, sekular dan sufi) walau pemikiran tersebut dari bukti sejarah kegelapan yang terjadi dibarat karena kungkungan Gereja Kristen yang berpolitik & tidak berlandaskan islam yang menyeluruh dan universal, tetap saja diresapi semuanya dan didoktrin habis-habis. Sedangkan hasil pemikiran & bukti-bukti yang pro-politik, benar-benar dikritisi secara sepihak serta diasingkan atau tidak diperdulikan, malah pemikirin pro-politik tersebut dituduh menyesatkan & ...
...pembawa bid'ah oleh para sekuler dan muslim ekstremis, walaupun kebenaran ada didepan hidung mereka.
Seorang ilmuwan dari universitas Yordania, Fathi al-Duranyi memberikan pendapatnya mengenai politik dalam agama, beliau berpendapat islam telah menimbulkan satu revolusi terhadap konsep agama. Berbeda dengan agama lain, islam memandang agama memiliki hubungan dengan politik, agama dengan sains, dunia dengan akhirat. Hal-hal yang selalu dilihat terpisah. Beliau juga berkata, segala aktifitas seorang muslim terutamanya aktifitas politik dihitung sebagai ibadah.
Sedangkan Yusuf al-Qardhawi, seorang intelektual muslim, mengatakan, terdapat hubungan simbiosis antara islam dengan politik sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan daripada hakikat islam itu sendiri. Penolakan & pemisahan politik daripada islam merupakan satu kejahilan & miskonsepsi terhadap hakikat islam.
Memang tidak disebutkan didalam al-Qur'an secara gamblang dan kasat mata bahwa jenis sistem pemerintahan model apa yang seharusnya diterapkan, karena tidak ada sistem kehidupan model apapun yang disebutkan baik dalam politik, pendidikan, sains, ekonomi dan lain-lain. Al-Qur'an juga tidak menyebutkan nama partai politik mana saja yang harus didukung, begitu juga dengan organisasi-organisasi serta jamaah-jamaah islam. Semua sudah diberikan secara garis besarnya saja yang sudah universal dan untuk semua zaman, tinggal manusianya yang membaca ayatnya, mempelajari maknanya sesuai dengan hukum-hukum & adab-adabnya melalui Hadits-hadits yang shahih lalu mengamalkannya sesuai dengan kemampuan masing-masing. Selain daripada hukum-hukum, adab, prinsip dan garis panduan yang diberikan al-Qur'an dan al-Hadits, islam-pun memberikan kelonggaran untuk memikirkan sendiri kaedah & bentuk pemerintahan yang di inginkan sesuai tuntutan zaman. Hal tersebut mencerminkan hukum yang sesuai fitrah manusia dan rasionalitas islam sebagai agama. Ia juga sesuai dengan sasaran hukum untuk menjaga kemashlahatan dan kepentingan manusia. Muhammad SAW sendiri tidak diutus untuk menjadi pemimpin politik, tetapi lebih tinggi dari itu yaitu seorang Rasul. Perlu dijelaskan, beliau menjadi Rasul tidak sebatas menyampaikan misi Allah, tetapi juga menjadi contoh & tauladan dalam ber-islam sebagai WAY OF LIFE. Muhammad SAW membawa misi perubahan bagi umat manusia. Dalam waktu singkat, beliau merubah gaya kehidupan bangsa Arab melalui budaya, sosial, ekonomi dan politik yang berubah menjadi maju & gemilang. Hal-hal tersebut berhasih dikarenakan beliau sudah mengatur strategi yang jitu & bijaksana. Semua dapat dilihat, bagaimana beliau mengatur perpindahan umatnya (Hijrah) dari kota Makkah ke Madinah, membangun & mengokohkan persatuan serta persaudaraan, mengatur tatanan kehidupan mulai dari ekonomi, sosial, politik dan kemamanan umat islam dimadinah, begitu juga dengan piagam Madinah yang dirumuskan adalah satu Undang-Undang Dasar pertama didunia karena ia dihasilkan dimasa dunia diperintah dengan sistem yang tidak memiliki undang-undang & tidak mengenal kedaulatan hukum.
Maka sudah jelas bahwa hubungan politik adalah suatu kebutuhan bagi umat islam, karena politik adalah alat yang sah & harus dimiliki untuk melakukan perubahan. Dengan memahami islam secara menyeluruh & konsisten, akan sangat terasa betapa kebutuhan yang satu ini, benar-benar menjadi penopang bagi kehidupan yang diinginkan.
Sejarah mencatat bagaimana kekuasan pemerintahan yang berlandaskan agama kristen dipegang sepenuhnya oleh gereja dibarat pada zaman pertengahan sebagai satu pengalaman buruk bagi masyarakat barat pada abad ke 17, penolakan keras terhadap kekuasaan gereja kristen yang memerintah secara mutlak masyarakatnya selama seribu tahun menjadi pengalaman pahit terhadap agama. Kebencian terhadap agama pada umumnya & kebencian terhadap sistem pemerintahan agama khususnya. Doktrin-doktrin kesucian & kependetaan pada agama kristen yang menjadi penguasa saat itu tidak wujud dalam agama islam, berarti ketakutan kelompok-kelompok ekstremis dan para sekuler terhadap PEMERINTAHAN BERDASARKAN AGAMA ISLAM, hanyalah prasangka yang buruk. Dalam agama islam tidak ada kelembagaan maupun badan institusi golongan agama (Clergy). Keilmuwan islam terbuka bagi siapa saja, tidak ada kasta, tidak juga pangkat agama. Hanya kelompok masyarakatlah yang punya kewenangan memberikan pangkat kehormatan bagi siapa saja yang mereka inginkan, Tidak tercampuri dengan agama islam. Ulama-ulama islam tidak memiliki kekuasaan untuk memaksa taat dan mengklain selalu benar terhadap kebenaran, mereka juga tidak berbicara atas nama Tuhan. Begitu juga jika menjadi Persiden sebuah negara islam, tidak ada syarat dan aturan yang mengharuskan seorang ulama yang menjadi persiden, tetapi hanya mensyaratkan orang-orang yang BERILMU yang semestinya menjadi Persiden. Karena ilmu adalah dasar peradaban islam.
Sayyid Qutb menjelaskan sendiri bahwa dalam agama islam, islam menolak sistem pemerintahan agama yang pernah berlaku dibarat pada zaman kegelapan dahulu. Karena kuasa Tuhan dalam islam tidak boleh di wakili oleh satu golongan yang mengklaim ada hubungan komunikasi eksklusif dengan tuhan.
Abul A'la Mawdudi malah mengatakan bahwa islam berada ditengah-tengah antara keduanya, kepemimpinan agama (Teokrasi) dan kepemimpinan massa (Demokrasi). beliau sendiri membuat nama baru bagi sistem politik islam yaitu Teodemokrasi, sebuah jalan tengah antara Teokrasi dan Demokrasi.
Sedangkan Yusuf al-Qardhawi, lebih mendukung pemahaman bahwa, sejatinya Demokrasi buatan barat adalah 'salinan' yang diambil dari unsur-unsur peradaban khazanah islam yang sedikit ditambah & dikurangi. contohnya, kecintaan & ketaatan umat islam kepada Allah SWT, dikonversi menjadi kecintaan & ketaatan kepada Negara serta Golongannya saja. Demokrasi yang dihasilkan oleh barat, sama dengan teknik jiplakan bidang kedokteran, sains & matematika yang diambil dari ilmuwan islam di Andalusia pada abad 14-15.
Pemerintahan islami sangat mendukung kemajuan dalam semua bidang. Sangat jauh berbeda dengan pemerintahan gereja kristen yang tidak masuk akal serta anti kemajuan teknologi dan sains.


Agama, Orientalisme, dan Poskolonialisme

Agama, Orientalisme, dan Poskolonialisme

Agama, Orientalisme, dan Poskolonialisme
Sebuah kajian tentang pertelingkahan antara Rasionalitas dan Mistik

Pengarang : RICHARD KING

(dirangkum oleh : Bayu Pramutoko,SE)
Telaah agama, orientalisme dan poskolonialisme, dimana menterjemahkan kandungan sebuah realitas agama yang didalamnya terdapat nilai sakral dan tidak dapat dijelaskan dengan mudah melalui visualitas dan rasionalitas sosial. Sehingga ketersembunyian dari agama tersebut menimbulkan interprestasi yang bermacam-macam dari mereka yang menganut dan terobsesi dengan apa yang telah mereka baca di kitab suci agama, dan mereka dengar dari ahli kitab atau pendeta atau juga ulama.
Wacana orientalisme memanifestasikan dirinya sebagai sebuah sistem ide yang berpengaruh atau sebagai jaringan pelbagai kepentingan dan makna yang bersifat intertektual yang diimplikasikan dalam pelbagai konteks, sosial, politik, dan konstitusional dari hegemoni kolonial. Orientalisme yang selama ini di cap sebagai bentuk perlawanan para intelektual barat (sekuler) yang memandang kekuatan agama sebagai hegemoni kelompok garis keras (ortodok) yang menentang hegemoni kelompok imperialisme . Sementara itu wacana Poskolonial berupaya menganalisis bagaimana kenyataan historis tentang kolonialisme Eropa terus membentuk hubungan antara barat dan non-Barat setelah negara-negara bekas koloni memperoleh kemerdekaannya. Poskolonialisme menggambarkan proses resistensi dan rekontruksi yang terus berlanjut yang dilakukan oleh non-Barat. Oleh karenanya , teori poskolonialisme mengekplorasi pelbagai pengalaman tentang penindasan, resistensi, ras, gender, representasi, perbedaan , pengusiran, dan migrasi dalam hubungannya dengan wacana dominan Barat tentang sejarah, Filsafat, Sains, dan Linguistik.
Dalam hal ini pendekatan lebih diarahkan ke agama kristen yang merupakan paradigma awal pemikiran dalam agama . Sebagai studi perbandingan dan tinjauan kritis terhadap agama lain seperti Hindu, Budha dan Islam. Dan pendekatan lain yang membahas lebih detail tentang kaitannya dengan agama-agama yang ada di belahan dunia timur.
Pemahaman tentang mistik yang berkaitan dengan agama serta pendapat-pendapat filsuf barat yang mencoba merasionalitaskan esensi mistik yang dikandung dalam agama yang dianut masyarakat. Studi tentang mistik secara akademis diawali semenjak akhir abad ke 19. Munculnya istilah mistisisme (mysticism), Michel de Certeau, mengatakan pertama kali di awal abad 17 di Perancis berasal dari kata La Mystique. Yang diperkenalkan pertama kali oleh intelektual-intelektual barat untuk menyebut fenomena atau aspek dalam tradisi Kristen.
Munculnya mistik dalam agama, memarjinalkan peran agama yang sesungguhnya, sarjana-sarjana agama dan para filsufpun tidak mampu menjelaskan secara pasti apa definisi sebenarnya “ Mistik “ itu, sehingga selama berabad-abad diskusi tentang mistik hanya berkutat pada masalah-masalah ritualitas yang berbeda dan pemunculan visual berikutnya dari ritual tersebut dan secara kebetulan sempat ditangkap oleh indera para sarjana-sarjana tersebut dari para penganut agama – agama itu. Selain itu perkembangan pemikiran dan ilmu pengetahuan juga banyaknya penelitian tentang filsafat dan agama.
Seiring dengan bergulirnya waktu ikut pula mengkontruksi polaritas esensial agama menjadi konstruksi modern. Maka penjelasan tentang agamapun menjadi lebih di prioritaskan kepada fungsi dan manfaat agama tersebut bagi pemeluknya. Anggapan tentang agama sebagai simbolitas sosial pemeluknya menjadi kejelasan keterpengaruhan aspek sosio kultural ketika agama itu dianut dan diyakini kebenarannya.
Selanjutnya adalah ketidak perfeknya pelaksanaan ritualitas religi itu, menginterprestasikan perbedaan yang cukup retorik guna memperjelas eksistensi diri maupun agama yang sedang dijalaninya. Para filsup Baratpun akhirnya memberikan pemisahan antara, agama dan sekulerisme. Bukti pemisahan ini terjadi di Amerika serikat yang secara ekplisit memisahkan Gereja dengan Negara, dan memberikan kebebasan kepada individu untuk menjalankan agama yang dipilihnnya.Pandangan didunia akademis modern yang sekuler, memandang gerakan-gerakan dan ideologi-ideologi politik seperti Marxisme, Nasionalisme dan lain sebagainya sebagai agama modern. Inilah sisi akademis dari upaya perebutan kekuasaan, yaitu justifikasi otonomi agama dan studi agama sebagai disiplin ilmu yang bersemangat dan penting di universitas modern yang sekuler.

Wacana Orientalis dalam perkembangannya banyak menuai kecurigaan dan kecaman dari para filsuf timur, paradigma yang dimunculkan selalu saja menyeret persengketaan pemahaman kultural yang sudah mapan dan tertata dari abad ke abad. Pandangan yang paling transparan oleh para Orientalis barat adalah kecenderungan mensekulerkan setiap pemahaman-pemahaman ortodok yang sebenarnya tidak semuanya pandangan ortodok itu salah diterapkan dalam sosial masyarakat. Hanya saja ketika para peneliti barat memasuki area spiritulisme timur, mereka kebingungan meletakkan dasar pijakan mana yang harus diselami dari aspek kultural masyarakat timur, sehingga benturan pemahaman dalam diri para filsuf barat terjadi. Kebersinggungan yang tak sepadan dari pemahaman tersebut melahirkan paradigma kontemporer yang sulit dijelaskan. Maka banyak sekali mereka yang berasal dari barat sering mengatakan bahwa dunia timur merupakan masyarakat yang konvesional dan ortodok.

Seperti yang dilakukan oleh Edward Said pada tahun 1978, yang menulis bukunya yang pertamakali dan menggoncangkan dunia, dengan judul, Orientalisme : Western Conceptions of the Orient. Dalam bukunya ini Said banyak menggulirkan kritik yang pedas dan kecaman terhadap cara-cara bagaimana “ wacana orientalis “ telah melegitimasi imperialisme Barat dan Eropa , hingga tercipta masyarakat yang lamban dalam mengadopsi setiap perkembangan dunia Global. Argumentasi itupun berawal dari wacana Barat yang sekuler. Setelah banyak terjadi penjajahan yang dilakukan oleh Eropa dan Barat, dengan segala cara menekan dan menindas habis sumberdaya yang ada di tanah jajahan, dan menggiring masyarakatnya menjadi terbelakang bertahun-tahun lamanya, sementara kemakmuran beralih ke Eropa dan Barat, ketertinggalan yang disengaja oleh mereka menjadi Poskolonialisme, yang tertanam hingga sekarang. Kaum Orientalis sekuler menilai bahwa ketertinggalan itu harus diatasi dengan Modernisasi. Dengan menitik beratkan pada sasaran menyerang kultur masyarakat dan mengganti dengan kultur barat yang sekuler serta menjual ide kepada mereka, disebutnya sebagai masa Pencerahan sebuah analog yang pernah digunakan dalam gerakan Renaisance di Paris oleh Martin Luther yang menentang Otorisasi Gereja, hingga Protes keras masyarakat Kristen terhadap hegemoni Gereja yang dilakukan oleh para Pendeta dan memecah agama Kristen menjadi dua, yang Katolik Ortodok dan Protestan. Sebuah rekayasa intelektual barat dalam rangka hegemoni global dan Perencanaan yang matang untuk masa depan barat kemudian .selain itu memudahkan mengatur masyarakat belahan dunia timur setelah kultur Barat dapat memasuki alam bawah sadarnya.

Modernitas yang selama ini menjadi jaminan para sarjana-sarjana barat, lebih dekat bila dikatakan Westernisasi yang dipaksa masuk untuk merubah paradigma lama para sarjana-sarjana timur untuk lebih mudah disepahamkan menjadi wilayah rasionalitas ide yang selama ini barat merasa sulit untuk menterjemahkan paradigma lama yang telah lama dipahami dan dijalani oleh penduduk. Maka Modernisasi dan Westernisasi sebenarnya tidak jauh berbeda. Hanya keseimbangan, antara pemikiran lama yang rasionalitas dan dari barat yang banyak menyerang pemahaman Timur, seakan lebih dan harus dirubah sesuai dengan pola pemikiran Barat yang belum tentu sesuai bila diterapkan di Timur. Karena banyak contoh yang tidak diberikan secara rinci tentang aktivitas kultural maupun religi yang bisa diterjemahkan secara rasionalitas atmosfir orientalis sekuler, karena tidak semuanya yang berpijak pada tataran ortodok selamanya harus irasional, hanya saja kurangnya pendekatan pada falsafah timur secara universal hanya Hindu di India. Dogma Hindu telah menyebar hampir di seluruh dunia, Di Indonesia seakan membumi dan sulit dihilangkan, sehingga tercipta hegemoni kultural Jawa dan berkembang wacana sinkrinitas , perpaduan dua budaya Hindu dan Islam.
Rasionalitas para intelektual barat ini outputnya adalah sikap superior , menanggapi paradigma lama yang banyak berkembang di belahan dunia timur. Mengkritisi agama-agama yang selama ini dianut oleh masyarakat timur dan mengkomparasikan dengan ajaran Kristen dan keterpengaruhannya dengan filsuf barat seperti Plato, Thomas Aquinas, Socrates dan lainnya juga ajaran Bibel. Karena sebelumnya pula Kristen mendapat resensi yang cukup kritis dari para filsuf tersebut, dan banyak karya rasionalitas barat yang mengacu pada pendekatan Bibel yang pada waktu itu menjadi jawaban akhir setiap pertanyaan yang timbul dari masyarakat abad pertengahan. Superioritas Religi Kultural yang teradaptasi dari serangkaian proses pencarian tersebut terakumulasi sebagai paradigma barat yang menerapkan paradigma Kristen dan Yahudi untuk membandingkan, esensialitas agama-agama yang ada di dunia. Sikap mendua dari sebagian sarjana-sarjana barat itu menjadi bahan diskusi menarik,satu sisi mereka berpihak pada pembenaran ajaran Bible dilain pihak mencoba menggali lebih jauh esensi didalamnya. Kegusaran inilah yang menjadi embrio kelompok Orientalis dalam mencari jawaban atas apa yang mereka yakini dan secara rasionalitas mampu terjemahkan.
Tetapi pada akhirnya mereka merasa bahwa apa yang telah mereka pelajari dari pendahulunya merupakan jawaban terhadap apa yang mereka pelajari dari kondisi Relegi Sosio Kultural masyarakat Timur. Sehingga feedback rasionalitas intelektual atas kesulitan pemahaman ini menghegemoni dan memarjinalkan kesepahaman intelektual masyarakat timur, terlebih dengan imperialisme yang dilakukan oleh Eropa dan Barat yang begitu kuat, ketergantungan dari aspek ekonomi politik menjadi tidak relevan dengan orisinilitas keintelektualan yang rasional dan ilmiah.
Penentangan terhadap wacana Orientalisme yang berkembang mendapat tanggapan radikal yang memberikan bukti, pemakaian ide orientalisme juga digunakan oleh tokoh-tokoh pembaharu seperti di India misalnya. Gandi. Dengan nasionalisme sekulernya mencairkan kebekuan masyarakatnya menjadi lebih rasional dalam memandang dunia ini. Gandi melihat bahwa pemikiran orientalis dalam mencairkan kebekuan kultural Hinduisme di India harus dilakukan dengan perombakan ide sarjana-sarjana India, itu diterima dan diterjemahkan oleh Gandi dengan menyesuaikan kultural masyarakat India. Di negara India agama Hindu selain sebagai agama juga merupakan bentuk sosial kultural dan interaksi yang terintegrasi begitu kuat di masyarakatnya. Keberhasilan kaum Orientalis memasuki intelektual sarjana-sarjana India selain karena imperialisme Inggeris juga penjajahan Kultural yang dilakukan, maka ada Tubuh, kulit dan rambut India, tetapi Otak dan gaya hidupnya Inggeris.
Mitos Modern tentang Agama Hindu. Ketika kebudayaan Eropa semakin terpesona misteri kultural dam sumber daya Ekonomi di wilayah-wilayah asing di abad Kolonial, ada suatu kepastian bahwa kesadaran yang terus berkembang akan diversitas kebudayaan dan agama menuntut karakteristik terhadap perspektif-perspektif alternatif dengan cara membandingkan perspektif mereka dengan perspektif Eropa (kristen) yang Normatif. Disini lebih pada penggambaran Agama Hindu di India dengan muatan mistisisme yang kental dan upaya membongkar tradisi ritual serta pengaruh pemahana filsafat Hindu terhadap masyarakat India.
Intelektual barat sekuler menyimpulkan, telah terjadi konstruksi sosial baru dengan ajaran yang diterapkan oleh Hindu, dan Hindu sendiri dipandang sebagai sebuah hasil proses kultural yang berkembang dan dimulai dari adat istiadat penduduk dalam pencarian atas jawaban persoalan hidup. Jadi bukan merupakan agama seperti Kristen dan Islam. Studi-studi kebudayaan-kebudayaan Asia di Barat pada umumnya berciri esensialisme yang mempostulasikan eksistensi properti, kualitas atau watak yang berlainan yang membedakan kebudayaan India dari kebudayaan Barat. Seperti telah ditunjukan oleh Inden, sarjana-sarjana barat cenderung berpendirian bahwa analisis semacam itu merupakan representasi yang akurat dan tidak problematik atas apa yang akan dijelaskan, dan bahwa sarjana-sarjana Barat lebih baik dari pada orang-orang India Sendiri dalam memahami, mengklasifikasi dan mendeskripsikan kebudayaan India.
Sederhananya, kita dapat menyebut dua jenis wacana Orientalis, pertama, umumnya melihat superioritas Eropa sebagai antagonistik dan Pasti, ke dua, umumnya melihat superioritas India sebagai Afirmatif, antusias dan sugestif dalam bidang-bidang tertentu yang pokok. Kedua bentuk Orientalisme merupakan karakteristik wacana hegemoni barat terhadap dunia timur, namun demikian, membuat penilaian esensialis yang mendukung konsepsi Kebudayaan India yang sangat simplistik dan homogen.
Namun demikian wacana-wacana Orientalis tidaklah Univokal, juga tidak dapat dinafikan dari perannya sebagai alat ideologi Imperialis Eropa. Maka , intelegensia India yang baru , yang terdidik di sekolah-sekolah yang dibangun oleh penjajah dan menurut standart kultural Eropa, mengambil muatan-muatan romantis dalam dialog-dialog Orientalis dan menyebarkan gagasan tradisi religius kuno yang secara spiritual maju yang disebut Hinduisme, sebagai agama bangsa India. Dengan cara ini , dari wacana-wacana nasionalis dan orientalis yang terinspirasikan oleh barat merembeslah kesadaran diri yang indegenous dan diterapkan kedalam wacana-wacana antikolonial oleh sarjana-sarjana India sendiri. Akan tetapi, wacana-wacana indegenous semacam ini tetap saja berhutang pada perkiraan-perkiraan Orientalisme yang umumnya gagal mengkritisi stereotip esensialis yang terkandung didalam narasi tersebut. Penolakan terhadap hegemoni politik Inggeris, tetapi dari sudut pandang yang masih menerima banyak perkiraan Inggeris tentang kebudayaan India, oleh Ashis Nandy disebut dengan koloni kedua terhadap India.
Agama Hindu di India selain sebagai sebuah ideologi juga menjadi Kultur yang mengakar kuat, orientalis barat melihat Agama Hindu memiliki nilai mistik yang tinggi, sesuai apa yang mereka temukan dalam Vedanta sebagai teologi Pokok dalam agama Hindu.
Karya-karya sastrawan Hindu yang populer dan menjadi rujukan atau perbandingan cerminan diri adalah kisah Mahabarata, yang merupakan teks dari Epos Hindu yang panjang. Juga Bhagawad Gita yang merupakan kisah perbincangan Sri Kresna dengan Arjuna dalam perang Bharatayuda di dalam teks Mahabarata. Sebuah kajian sufi agama Hindu dalam membedah makna hidup dan kehidupan serta tataran etika moral keijiwaan yang tinggi serta olah batin vertikal dan horisontal. Pembaca naskah ini seakan terbawa dalam lingkaran kebingungan Arjuna dalam berperang dan membunuh saudara-saudaranya kurawa, sebuah pertempuran batin dalam diri Arjuna. Namun terjawab dengan pendapat Sri Kresna tentang berbagai hal yang wajib dilakukan dan tidak dilakukan, aspek hak kewajiban manusia hidup di dunia fana.
Kajian Hindu dalam tataran sekulerisme dan mistik yang dikemas dalam literatur kuno semacam Bhagawad Gita yang mempesona kaum Otientalis Barat untuk mempelajari . Pendekatan Normatif dari agama Kristen terhadap masyarakat India yang coba diterjemahkan dalam kesamaan pandang , daripada alur cerita maupun kultur yang dikembangkan dalam teks-teks kuno itu nampaknya tidak menjadikan kesulitan bagi penganut Hindu di India. Terlebih memang secara historis keberangkatan Hindu dan Kristen berbeda, juga kepentingan integritas kultural itu jelas merupakan rencana kaum Orientalis untuk membuka mata dan menyalahkan ajaran Hindu yang dianut.
Ketertarikan kaum Intelektual Barat dan Hindu pada teks-teks ini juga memberi kontribusi pada tumbuhnya citra heroik dan asketik-mulia sebagai nilai-nilai pokok agama Hindu. Di bab ini banyak disajikan teks-teks Hindu yang menjadi rujukan barat dalam menganalisa nilai-nilai dikultural Hindu.
Historial lahirnya agama Budha yang merupakan salah satu rangkaian proses perjalanan panjang Ikatan Kultural Hindu yang cukup Romantik didalam Masyarakat India, karena sejarah mencatat kedua agama tersebut kelahirannya di negara yang sama yaitu India. Sebuah fenomena menarik manakala dalam kondisi struktur Histori Kultural yang sama terlahir Dua Agama besar yang sampai saat ini menjadi kajian menarik para ilmuan barat. Juga dengan makin mengkristalnya pemikiran-pemikiran hindu mempola pemikiran kearah tranparansi aktual mistik yang dikandungnya.
Mengklasifikasikan Budhisme sebagai sebuah agama dunia tidak seproblematis Hinduisme karena setidaknya kita bisa menunjuk adanya sejarah Budhisme dalam berbagai miliu kultural (Asia Tenggara, Tibet, China, Jepang dan sebagainya). Dalam agama Budha di buku ini menjelaskan adanya kerangka instutional yang mapan yaitu komunitas religius Khusus yakni bhiksu dan bhiksuni seorang pendeta laki-laki dan perempuan. Juga mempunyai akar sejarah yang menjadi figur pendiri agama tersebut yaitu Siddarta Gautama. Dia anak seorang raja yang meninggalkan segala kemewahannya didunia keluar dari Istanannya dan berkelana mencari kesempurnaan hidup sebagai seorang pengembala, hingga pada suatu ketika mendapatkan kemulian dari sang pencipta. Dari situlah kemudian ajaran Budha ( Dharma) diberikan bagi mereka yang menganutnya.
Hal ini menjadi semacam kesatuan religius di antara pemeluk Budha yang tidak dijumpai pada orang-orang Hindu prakolonial.maka sebagaimana kata Donald Lopes Jr. “ akan terlihat bahwa Budhisme, seperti yang dikonstruksi dan dipahami Eropa pasti mengacu ke Asia, bahwa Budhisme pasti memiliki status ontologis yang lebih stabil daripada Hindu.
Ketika berbicara mengenai agama Hindu dan Budha, seakan tidak mempunyai batasan yang tepat untuk memahami eksistensi filsafati kedua agama ini. Selain struktur kultural dari akar yang sama yaitu India. Beberapa kaidah ajarannyapun sekilas nampak sama. Misal mitos tentang dewa-dewa juga penyembahan tentang dewa-dewa, memiliki karakteristik proses ritual yang hampir sama, hanya berbeda pada nama-nama dan simbol-simbol keyakinannya.
Kaum Orientalis barat cenderung melihat bahwa aspek lahirnya agama Budha, adalah merupakan gerakan baru mendobrak struktur kultural Hindu yang tidak mempunyai ontologis yang pasti. Pendekatan melalui agama kristen yang pernah bergolak ketika Martin Luter dengan Renaisancenya membelah agama Nasrani ini menjadi dua yaitu mereka yang berhaluan ortodok yaitu Katolik dan haluan pembaharu yaitu Kristen Protestan. Intelektual barat mengibaratkan Siddarta Gautama sebagai Martin Luthernya India. Yang berani mendobrak polarisasi Hindu dengan ajaran Budha yang kultural sentris itu.
Beberapa kaidah menarik tentang pengalaman – pengalaman mistis yng pernah dialami oleh penganut-penganut agama, dan menjadi studi perbandingan mistisisme antara agama-agama di dunia. Beberapa aktivitas ritual keagamaan di kristen dan praktik-praktik liturgisnya seperti Eucharis juga dideskripsikan sebagai mistik, yang mengubah aktivitas duniawi seprti makan, dan minum, makan roti dalam sakramen religius dalam siknifikasi kosmis dan abadi.
Penafsiran mistik dalam kitab suci beberapa agama ini menjadi jelas rujukan ketika beberapa pendapat seperti Origen yang menempatkan sisi kitab suci sebagai penggambaran awal ritual mistik beberapa agama. Studi perbandingan mistisisme juga cenderung pada agama-agama dunia tektualis sebagai representasi pengalaman religius manusia. Setelah mengamati konstruksi Hinduisme dan Budhaisme dalam kebudayaan barat dan pengasosiasian India sebagai simbol kultural Timur yang mistik, pentinglah kiranya mengekplorasi cara-cara bagaimana agama-agama India ,sebagai representasi fenomena mistisisme Asia, telah ditafsirkan dan ditempatkan dalam kerangka pendekatan ekperiental modern untuk studi mistisisme. Oleh karenannya, kita harus mengkaji legasi kiasan-kiasan orientalis yang abadi tentang sifat mistik agama India dalam kesarjanaan kontemporer.
Tulisan-tulisan modern tentang mistisisme adalah pandangan teologis yang dikenal dengan Perenialisme. Menurut doktrin ini terdapat sebuah kesamaan esensial (esensial community) diantara tradisi-tradisi Filosofis dan religius yang berasal dari berbagai kebudayaan yang terpisah. Pandangan esensialis ini banyak terdapat dalam karya-karya Swami Vivekananda dan Sarvepalli Rhadakrishnan. Dalam karya ini mengalir konsep Philosofia perennis yang mengalir dalam tradisi-tradisi filosofis.
Masyarakat dunia yang banyak dipengaruhi oleh proses globalisasi dan homogenitas kultural, kepercayaan bahwa tradisi-tradisi religius yang berbeda memiliki pesan fundamental atau common core yang seringkali diekpresikan bagi mereka yang tertarik kepada agama tetapi tidak mengikuti afiliasi religius tertentu. Yang menarik dari klaim esensialis dan perenialis adalah perspektip kita ini , bahwa kesamaan tersebut seringkali dideskripsikan oleh para pendukungnya sebagai muatan mistik.
Perdebatan dan argumentasipun bermunculan dari para intelektual barat tentang pendekatan Philosofia perennis, karena teks-teks yang sudah diterjemahkan dalam bahasa inggeris, selanjutnya memiliki dimensi perubahan makna subtantif yang ada dalam kata atau kalimat terjemahan tersebut. Jadi menurut Huxley tetap tidak tersubtansikan dan problematis. Bagi Huxley, filsafat perennial ini ada di dalam semua kebudayaan manusia sepanjang sejarah dan tetap menjadi poin inti atau esensi ungkapan religius dunia. Ditahun 1954 Huxley menerbitkan bukunya dengan judul The door of perception, sebuah karya yang ditulis setelah dia mengkonsumsi obat mescaline. Dan hasilnya adalah sebuah pengalaman mistik yang huxley menjadi bukan dirinya sendiri.
Zaehner penyangkal bahwa apa yang telah dialami Huxley dalam bukunya, yang secara mistik tersebut sama seperti apa yang berlaku dalam orientasi mistik yang ada didalam agama. Memperjelas konsepsi mistik yang termanifestasi dalam aktivitas ritual keagamaan , dan perbedaannya dengan aktivitas mistik yang sengaja dilakukan untuk mengetahui esensial yang tersembunyikan dari konsep struktualitas agama di dunia.
Maka kajian ilmiah yang dikonstruksikan oleh kaum orientalis terhadap dunia mistik. Ternyata mengalami pergeseran paradigma subtansial yang tidak terstruktur secara rinci seperti ritualitas agama yang ada. Mereka menganggap bahwa setiap dimensi mistik didunia ini selalu sama dan memiliki wilayah sama pula dengan dimensi kultural religius. Alasannya adalah setiap aktivitas mistik tanpa terproses dari nilai keabsahan pemahan diri yang kuat dari ritualitas itu akan menghasilkan visualitas ganda penampakan esensi mistik. Sementara dalam kaidah agama dimanapun tempatnya proses tersebut terstruktur dan terkonsep dengan matang, dan output yang jelas dari pemahaman historis sebelumnya.
Benturan pemikiran yang terjadi saat ini oleh para orientalis, terjadi karena banyaknya kepentingan yang melatarbelakangi aspek orisinalitas intelektual barat terhadap karya yang disajikan. Banyak rekonstruksi awal yang dijadikan perencanaan proses kebermihakan kalangan politik untuk memberikan wacana baru sebelum wacana lama dileburkan. Pemahaman ideologi agama yang dalam bab satu lebih mengedepankan aspek sosio kultural religius dirubah menjadi paradigma kontemporer yang sulit terasionalisasi secara gamblang. Reason aktual tentang keterlibatan orientalis yang tidak lagi mampu melakukan proyeksi keinteletualan karena sudah teradopsinya kepentingan dan pertelingkahan kultural yang ambisius dan rakus.
Komparasi agama di era Poskolonial hanya dijadikan tameng dan legitimasi kolonial barat dalam merekonstruksi lagi sebuah pemahaman baru yang dipengaruhi oleh ide-ide pembusukan pemikiran dari superior barat. Pendiskripsian wacana-wacana baru dari belahan timur difahami sebagai sebuah analog ketertinggalan yang hanya sebatas pengantar atas pikiran yang telah dihasilkan oleh kaum orioentalis.
Semenjak zaman kolonial penggalian terhadap historis kultural dunia timur melalui metode-metode penelitian yang terfokus pada ide-ide dasar sebuah konstruksi kultural Timur seperti agama Hinduisme dan Budhisme di India, Islam di Arab. Setelah memasuki era poskolonialisme digunakan kembali sebagai senjata pemerdayaan dunia timur melalui pemahaman modernitas yang westernisasi.
Agama-agama modern seperti marxisme dan nasionalisme yang merupakan kolaborasi pemikiran intelektual barat, untuk menyelesaikan masalah penduduk dalam dikotomi politik. Kata akhirnya adalah bahwa kesepahaman ideologi hanya bisa dicapai melalui histioris kultural yang menjangkau dialogis masyarakat . sedangkan agama-agama modern tersebut hanyalah kesepahaman yang terisolasi dari kontek universalitas kultural karena hanyak berpijak pada satu dialektika sejarah dari penentangan faham ideologi tertentu, atau sebuah jawaban praktis dan memiliki kepentingan ganda dan masa depan yang lemah.
Yang utama dengan gaya komparativisme yang baru muncul ini adalah pengetahuan kesaling melengkapi antara berbagai poros dominasi dan juga kepedulian pada mutualitas kebersamaan, interaksi dan pengaruh lintas kultural, yang dengan cara demikian membuka ruang untuk dialog komparatif dan mencegah daya tarik isolasionis . dalam pengertian ini , pandangan universalis dan etno-spesifik terhadap sejarah tidaklah cukup. Pendekatan semacam itu juga melibatkan perubahan penekanan yang jauh dari kepedulian epistimologi dengan mempertanyakan , bagaimana penerjemahan dan perjanjian lintas kultural dimungkinkan ?. menuju kajian terhadap realitas material yang melatari politik perbedaan.