Powered By Blogger

Sabtu, 31 Maret 2012

Agama, Orientalisme, dan Poskolonialisme

Agama, Orientalisme, dan Poskolonialisme

Agama, Orientalisme, dan Poskolonialisme
Sebuah kajian tentang pertelingkahan antara Rasionalitas dan Mistik

Pengarang : RICHARD KING

(dirangkum oleh : Bayu Pramutoko,SE)
Telaah agama, orientalisme dan poskolonialisme, dimana menterjemahkan kandungan sebuah realitas agama yang didalamnya terdapat nilai sakral dan tidak dapat dijelaskan dengan mudah melalui visualitas dan rasionalitas sosial. Sehingga ketersembunyian dari agama tersebut menimbulkan interprestasi yang bermacam-macam dari mereka yang menganut dan terobsesi dengan apa yang telah mereka baca di kitab suci agama, dan mereka dengar dari ahli kitab atau pendeta atau juga ulama.
Wacana orientalisme memanifestasikan dirinya sebagai sebuah sistem ide yang berpengaruh atau sebagai jaringan pelbagai kepentingan dan makna yang bersifat intertektual yang diimplikasikan dalam pelbagai konteks, sosial, politik, dan konstitusional dari hegemoni kolonial. Orientalisme yang selama ini di cap sebagai bentuk perlawanan para intelektual barat (sekuler) yang memandang kekuatan agama sebagai hegemoni kelompok garis keras (ortodok) yang menentang hegemoni kelompok imperialisme . Sementara itu wacana Poskolonial berupaya menganalisis bagaimana kenyataan historis tentang kolonialisme Eropa terus membentuk hubungan antara barat dan non-Barat setelah negara-negara bekas koloni memperoleh kemerdekaannya. Poskolonialisme menggambarkan proses resistensi dan rekontruksi yang terus berlanjut yang dilakukan oleh non-Barat. Oleh karenanya , teori poskolonialisme mengekplorasi pelbagai pengalaman tentang penindasan, resistensi, ras, gender, representasi, perbedaan , pengusiran, dan migrasi dalam hubungannya dengan wacana dominan Barat tentang sejarah, Filsafat, Sains, dan Linguistik.
Dalam hal ini pendekatan lebih diarahkan ke agama kristen yang merupakan paradigma awal pemikiran dalam agama . Sebagai studi perbandingan dan tinjauan kritis terhadap agama lain seperti Hindu, Budha dan Islam. Dan pendekatan lain yang membahas lebih detail tentang kaitannya dengan agama-agama yang ada di belahan dunia timur.
Pemahaman tentang mistik yang berkaitan dengan agama serta pendapat-pendapat filsuf barat yang mencoba merasionalitaskan esensi mistik yang dikandung dalam agama yang dianut masyarakat. Studi tentang mistik secara akademis diawali semenjak akhir abad ke 19. Munculnya istilah mistisisme (mysticism), Michel de Certeau, mengatakan pertama kali di awal abad 17 di Perancis berasal dari kata La Mystique. Yang diperkenalkan pertama kali oleh intelektual-intelektual barat untuk menyebut fenomena atau aspek dalam tradisi Kristen.
Munculnya mistik dalam agama, memarjinalkan peran agama yang sesungguhnya, sarjana-sarjana agama dan para filsufpun tidak mampu menjelaskan secara pasti apa definisi sebenarnya “ Mistik “ itu, sehingga selama berabad-abad diskusi tentang mistik hanya berkutat pada masalah-masalah ritualitas yang berbeda dan pemunculan visual berikutnya dari ritual tersebut dan secara kebetulan sempat ditangkap oleh indera para sarjana-sarjana tersebut dari para penganut agama – agama itu. Selain itu perkembangan pemikiran dan ilmu pengetahuan juga banyaknya penelitian tentang filsafat dan agama.
Seiring dengan bergulirnya waktu ikut pula mengkontruksi polaritas esensial agama menjadi konstruksi modern. Maka penjelasan tentang agamapun menjadi lebih di prioritaskan kepada fungsi dan manfaat agama tersebut bagi pemeluknya. Anggapan tentang agama sebagai simbolitas sosial pemeluknya menjadi kejelasan keterpengaruhan aspek sosio kultural ketika agama itu dianut dan diyakini kebenarannya.
Selanjutnya adalah ketidak perfeknya pelaksanaan ritualitas religi itu, menginterprestasikan perbedaan yang cukup retorik guna memperjelas eksistensi diri maupun agama yang sedang dijalaninya. Para filsup Baratpun akhirnya memberikan pemisahan antara, agama dan sekulerisme. Bukti pemisahan ini terjadi di Amerika serikat yang secara ekplisit memisahkan Gereja dengan Negara, dan memberikan kebebasan kepada individu untuk menjalankan agama yang dipilihnnya.Pandangan didunia akademis modern yang sekuler, memandang gerakan-gerakan dan ideologi-ideologi politik seperti Marxisme, Nasionalisme dan lain sebagainya sebagai agama modern. Inilah sisi akademis dari upaya perebutan kekuasaan, yaitu justifikasi otonomi agama dan studi agama sebagai disiplin ilmu yang bersemangat dan penting di universitas modern yang sekuler.

Wacana Orientalis dalam perkembangannya banyak menuai kecurigaan dan kecaman dari para filsuf timur, paradigma yang dimunculkan selalu saja menyeret persengketaan pemahaman kultural yang sudah mapan dan tertata dari abad ke abad. Pandangan yang paling transparan oleh para Orientalis barat adalah kecenderungan mensekulerkan setiap pemahaman-pemahaman ortodok yang sebenarnya tidak semuanya pandangan ortodok itu salah diterapkan dalam sosial masyarakat. Hanya saja ketika para peneliti barat memasuki area spiritulisme timur, mereka kebingungan meletakkan dasar pijakan mana yang harus diselami dari aspek kultural masyarakat timur, sehingga benturan pemahaman dalam diri para filsuf barat terjadi. Kebersinggungan yang tak sepadan dari pemahaman tersebut melahirkan paradigma kontemporer yang sulit dijelaskan. Maka banyak sekali mereka yang berasal dari barat sering mengatakan bahwa dunia timur merupakan masyarakat yang konvesional dan ortodok.

Seperti yang dilakukan oleh Edward Said pada tahun 1978, yang menulis bukunya yang pertamakali dan menggoncangkan dunia, dengan judul, Orientalisme : Western Conceptions of the Orient. Dalam bukunya ini Said banyak menggulirkan kritik yang pedas dan kecaman terhadap cara-cara bagaimana “ wacana orientalis “ telah melegitimasi imperialisme Barat dan Eropa , hingga tercipta masyarakat yang lamban dalam mengadopsi setiap perkembangan dunia Global. Argumentasi itupun berawal dari wacana Barat yang sekuler. Setelah banyak terjadi penjajahan yang dilakukan oleh Eropa dan Barat, dengan segala cara menekan dan menindas habis sumberdaya yang ada di tanah jajahan, dan menggiring masyarakatnya menjadi terbelakang bertahun-tahun lamanya, sementara kemakmuran beralih ke Eropa dan Barat, ketertinggalan yang disengaja oleh mereka menjadi Poskolonialisme, yang tertanam hingga sekarang. Kaum Orientalis sekuler menilai bahwa ketertinggalan itu harus diatasi dengan Modernisasi. Dengan menitik beratkan pada sasaran menyerang kultur masyarakat dan mengganti dengan kultur barat yang sekuler serta menjual ide kepada mereka, disebutnya sebagai masa Pencerahan sebuah analog yang pernah digunakan dalam gerakan Renaisance di Paris oleh Martin Luther yang menentang Otorisasi Gereja, hingga Protes keras masyarakat Kristen terhadap hegemoni Gereja yang dilakukan oleh para Pendeta dan memecah agama Kristen menjadi dua, yang Katolik Ortodok dan Protestan. Sebuah rekayasa intelektual barat dalam rangka hegemoni global dan Perencanaan yang matang untuk masa depan barat kemudian .selain itu memudahkan mengatur masyarakat belahan dunia timur setelah kultur Barat dapat memasuki alam bawah sadarnya.

Modernitas yang selama ini menjadi jaminan para sarjana-sarjana barat, lebih dekat bila dikatakan Westernisasi yang dipaksa masuk untuk merubah paradigma lama para sarjana-sarjana timur untuk lebih mudah disepahamkan menjadi wilayah rasionalitas ide yang selama ini barat merasa sulit untuk menterjemahkan paradigma lama yang telah lama dipahami dan dijalani oleh penduduk. Maka Modernisasi dan Westernisasi sebenarnya tidak jauh berbeda. Hanya keseimbangan, antara pemikiran lama yang rasionalitas dan dari barat yang banyak menyerang pemahaman Timur, seakan lebih dan harus dirubah sesuai dengan pola pemikiran Barat yang belum tentu sesuai bila diterapkan di Timur. Karena banyak contoh yang tidak diberikan secara rinci tentang aktivitas kultural maupun religi yang bisa diterjemahkan secara rasionalitas atmosfir orientalis sekuler, karena tidak semuanya yang berpijak pada tataran ortodok selamanya harus irasional, hanya saja kurangnya pendekatan pada falsafah timur secara universal hanya Hindu di India. Dogma Hindu telah menyebar hampir di seluruh dunia, Di Indonesia seakan membumi dan sulit dihilangkan, sehingga tercipta hegemoni kultural Jawa dan berkembang wacana sinkrinitas , perpaduan dua budaya Hindu dan Islam.
Rasionalitas para intelektual barat ini outputnya adalah sikap superior , menanggapi paradigma lama yang banyak berkembang di belahan dunia timur. Mengkritisi agama-agama yang selama ini dianut oleh masyarakat timur dan mengkomparasikan dengan ajaran Kristen dan keterpengaruhannya dengan filsuf barat seperti Plato, Thomas Aquinas, Socrates dan lainnya juga ajaran Bibel. Karena sebelumnya pula Kristen mendapat resensi yang cukup kritis dari para filsuf tersebut, dan banyak karya rasionalitas barat yang mengacu pada pendekatan Bibel yang pada waktu itu menjadi jawaban akhir setiap pertanyaan yang timbul dari masyarakat abad pertengahan. Superioritas Religi Kultural yang teradaptasi dari serangkaian proses pencarian tersebut terakumulasi sebagai paradigma barat yang menerapkan paradigma Kristen dan Yahudi untuk membandingkan, esensialitas agama-agama yang ada di dunia. Sikap mendua dari sebagian sarjana-sarjana barat itu menjadi bahan diskusi menarik,satu sisi mereka berpihak pada pembenaran ajaran Bible dilain pihak mencoba menggali lebih jauh esensi didalamnya. Kegusaran inilah yang menjadi embrio kelompok Orientalis dalam mencari jawaban atas apa yang mereka yakini dan secara rasionalitas mampu terjemahkan.
Tetapi pada akhirnya mereka merasa bahwa apa yang telah mereka pelajari dari pendahulunya merupakan jawaban terhadap apa yang mereka pelajari dari kondisi Relegi Sosio Kultural masyarakat Timur. Sehingga feedback rasionalitas intelektual atas kesulitan pemahaman ini menghegemoni dan memarjinalkan kesepahaman intelektual masyarakat timur, terlebih dengan imperialisme yang dilakukan oleh Eropa dan Barat yang begitu kuat, ketergantungan dari aspek ekonomi politik menjadi tidak relevan dengan orisinilitas keintelektualan yang rasional dan ilmiah.
Penentangan terhadap wacana Orientalisme yang berkembang mendapat tanggapan radikal yang memberikan bukti, pemakaian ide orientalisme juga digunakan oleh tokoh-tokoh pembaharu seperti di India misalnya. Gandi. Dengan nasionalisme sekulernya mencairkan kebekuan masyarakatnya menjadi lebih rasional dalam memandang dunia ini. Gandi melihat bahwa pemikiran orientalis dalam mencairkan kebekuan kultural Hinduisme di India harus dilakukan dengan perombakan ide sarjana-sarjana India, itu diterima dan diterjemahkan oleh Gandi dengan menyesuaikan kultural masyarakat India. Di negara India agama Hindu selain sebagai agama juga merupakan bentuk sosial kultural dan interaksi yang terintegrasi begitu kuat di masyarakatnya. Keberhasilan kaum Orientalis memasuki intelektual sarjana-sarjana India selain karena imperialisme Inggeris juga penjajahan Kultural yang dilakukan, maka ada Tubuh, kulit dan rambut India, tetapi Otak dan gaya hidupnya Inggeris.
Mitos Modern tentang Agama Hindu. Ketika kebudayaan Eropa semakin terpesona misteri kultural dam sumber daya Ekonomi di wilayah-wilayah asing di abad Kolonial, ada suatu kepastian bahwa kesadaran yang terus berkembang akan diversitas kebudayaan dan agama menuntut karakteristik terhadap perspektif-perspektif alternatif dengan cara membandingkan perspektif mereka dengan perspektif Eropa (kristen) yang Normatif. Disini lebih pada penggambaran Agama Hindu di India dengan muatan mistisisme yang kental dan upaya membongkar tradisi ritual serta pengaruh pemahana filsafat Hindu terhadap masyarakat India.
Intelektual barat sekuler menyimpulkan, telah terjadi konstruksi sosial baru dengan ajaran yang diterapkan oleh Hindu, dan Hindu sendiri dipandang sebagai sebuah hasil proses kultural yang berkembang dan dimulai dari adat istiadat penduduk dalam pencarian atas jawaban persoalan hidup. Jadi bukan merupakan agama seperti Kristen dan Islam. Studi-studi kebudayaan-kebudayaan Asia di Barat pada umumnya berciri esensialisme yang mempostulasikan eksistensi properti, kualitas atau watak yang berlainan yang membedakan kebudayaan India dari kebudayaan Barat. Seperti telah ditunjukan oleh Inden, sarjana-sarjana barat cenderung berpendirian bahwa analisis semacam itu merupakan representasi yang akurat dan tidak problematik atas apa yang akan dijelaskan, dan bahwa sarjana-sarjana Barat lebih baik dari pada orang-orang India Sendiri dalam memahami, mengklasifikasi dan mendeskripsikan kebudayaan India.
Sederhananya, kita dapat menyebut dua jenis wacana Orientalis, pertama, umumnya melihat superioritas Eropa sebagai antagonistik dan Pasti, ke dua, umumnya melihat superioritas India sebagai Afirmatif, antusias dan sugestif dalam bidang-bidang tertentu yang pokok. Kedua bentuk Orientalisme merupakan karakteristik wacana hegemoni barat terhadap dunia timur, namun demikian, membuat penilaian esensialis yang mendukung konsepsi Kebudayaan India yang sangat simplistik dan homogen.
Namun demikian wacana-wacana Orientalis tidaklah Univokal, juga tidak dapat dinafikan dari perannya sebagai alat ideologi Imperialis Eropa. Maka , intelegensia India yang baru , yang terdidik di sekolah-sekolah yang dibangun oleh penjajah dan menurut standart kultural Eropa, mengambil muatan-muatan romantis dalam dialog-dialog Orientalis dan menyebarkan gagasan tradisi religius kuno yang secara spiritual maju yang disebut Hinduisme, sebagai agama bangsa India. Dengan cara ini , dari wacana-wacana nasionalis dan orientalis yang terinspirasikan oleh barat merembeslah kesadaran diri yang indegenous dan diterapkan kedalam wacana-wacana antikolonial oleh sarjana-sarjana India sendiri. Akan tetapi, wacana-wacana indegenous semacam ini tetap saja berhutang pada perkiraan-perkiraan Orientalisme yang umumnya gagal mengkritisi stereotip esensialis yang terkandung didalam narasi tersebut. Penolakan terhadap hegemoni politik Inggeris, tetapi dari sudut pandang yang masih menerima banyak perkiraan Inggeris tentang kebudayaan India, oleh Ashis Nandy disebut dengan koloni kedua terhadap India.
Agama Hindu di India selain sebagai sebuah ideologi juga menjadi Kultur yang mengakar kuat, orientalis barat melihat Agama Hindu memiliki nilai mistik yang tinggi, sesuai apa yang mereka temukan dalam Vedanta sebagai teologi Pokok dalam agama Hindu.
Karya-karya sastrawan Hindu yang populer dan menjadi rujukan atau perbandingan cerminan diri adalah kisah Mahabarata, yang merupakan teks dari Epos Hindu yang panjang. Juga Bhagawad Gita yang merupakan kisah perbincangan Sri Kresna dengan Arjuna dalam perang Bharatayuda di dalam teks Mahabarata. Sebuah kajian sufi agama Hindu dalam membedah makna hidup dan kehidupan serta tataran etika moral keijiwaan yang tinggi serta olah batin vertikal dan horisontal. Pembaca naskah ini seakan terbawa dalam lingkaran kebingungan Arjuna dalam berperang dan membunuh saudara-saudaranya kurawa, sebuah pertempuran batin dalam diri Arjuna. Namun terjawab dengan pendapat Sri Kresna tentang berbagai hal yang wajib dilakukan dan tidak dilakukan, aspek hak kewajiban manusia hidup di dunia fana.
Kajian Hindu dalam tataran sekulerisme dan mistik yang dikemas dalam literatur kuno semacam Bhagawad Gita yang mempesona kaum Otientalis Barat untuk mempelajari . Pendekatan Normatif dari agama Kristen terhadap masyarakat India yang coba diterjemahkan dalam kesamaan pandang , daripada alur cerita maupun kultur yang dikembangkan dalam teks-teks kuno itu nampaknya tidak menjadikan kesulitan bagi penganut Hindu di India. Terlebih memang secara historis keberangkatan Hindu dan Kristen berbeda, juga kepentingan integritas kultural itu jelas merupakan rencana kaum Orientalis untuk membuka mata dan menyalahkan ajaran Hindu yang dianut.
Ketertarikan kaum Intelektual Barat dan Hindu pada teks-teks ini juga memberi kontribusi pada tumbuhnya citra heroik dan asketik-mulia sebagai nilai-nilai pokok agama Hindu. Di bab ini banyak disajikan teks-teks Hindu yang menjadi rujukan barat dalam menganalisa nilai-nilai dikultural Hindu.
Historial lahirnya agama Budha yang merupakan salah satu rangkaian proses perjalanan panjang Ikatan Kultural Hindu yang cukup Romantik didalam Masyarakat India, karena sejarah mencatat kedua agama tersebut kelahirannya di negara yang sama yaitu India. Sebuah fenomena menarik manakala dalam kondisi struktur Histori Kultural yang sama terlahir Dua Agama besar yang sampai saat ini menjadi kajian menarik para ilmuan barat. Juga dengan makin mengkristalnya pemikiran-pemikiran hindu mempola pemikiran kearah tranparansi aktual mistik yang dikandungnya.
Mengklasifikasikan Budhisme sebagai sebuah agama dunia tidak seproblematis Hinduisme karena setidaknya kita bisa menunjuk adanya sejarah Budhisme dalam berbagai miliu kultural (Asia Tenggara, Tibet, China, Jepang dan sebagainya). Dalam agama Budha di buku ini menjelaskan adanya kerangka instutional yang mapan yaitu komunitas religius Khusus yakni bhiksu dan bhiksuni seorang pendeta laki-laki dan perempuan. Juga mempunyai akar sejarah yang menjadi figur pendiri agama tersebut yaitu Siddarta Gautama. Dia anak seorang raja yang meninggalkan segala kemewahannya didunia keluar dari Istanannya dan berkelana mencari kesempurnaan hidup sebagai seorang pengembala, hingga pada suatu ketika mendapatkan kemulian dari sang pencipta. Dari situlah kemudian ajaran Budha ( Dharma) diberikan bagi mereka yang menganutnya.
Hal ini menjadi semacam kesatuan religius di antara pemeluk Budha yang tidak dijumpai pada orang-orang Hindu prakolonial.maka sebagaimana kata Donald Lopes Jr. “ akan terlihat bahwa Budhisme, seperti yang dikonstruksi dan dipahami Eropa pasti mengacu ke Asia, bahwa Budhisme pasti memiliki status ontologis yang lebih stabil daripada Hindu.
Ketika berbicara mengenai agama Hindu dan Budha, seakan tidak mempunyai batasan yang tepat untuk memahami eksistensi filsafati kedua agama ini. Selain struktur kultural dari akar yang sama yaitu India. Beberapa kaidah ajarannyapun sekilas nampak sama. Misal mitos tentang dewa-dewa juga penyembahan tentang dewa-dewa, memiliki karakteristik proses ritual yang hampir sama, hanya berbeda pada nama-nama dan simbol-simbol keyakinannya.
Kaum Orientalis barat cenderung melihat bahwa aspek lahirnya agama Budha, adalah merupakan gerakan baru mendobrak struktur kultural Hindu yang tidak mempunyai ontologis yang pasti. Pendekatan melalui agama kristen yang pernah bergolak ketika Martin Luter dengan Renaisancenya membelah agama Nasrani ini menjadi dua yaitu mereka yang berhaluan ortodok yaitu Katolik dan haluan pembaharu yaitu Kristen Protestan. Intelektual barat mengibaratkan Siddarta Gautama sebagai Martin Luthernya India. Yang berani mendobrak polarisasi Hindu dengan ajaran Budha yang kultural sentris itu.
Beberapa kaidah menarik tentang pengalaman – pengalaman mistis yng pernah dialami oleh penganut-penganut agama, dan menjadi studi perbandingan mistisisme antara agama-agama di dunia. Beberapa aktivitas ritual keagamaan di kristen dan praktik-praktik liturgisnya seperti Eucharis juga dideskripsikan sebagai mistik, yang mengubah aktivitas duniawi seprti makan, dan minum, makan roti dalam sakramen religius dalam siknifikasi kosmis dan abadi.
Penafsiran mistik dalam kitab suci beberapa agama ini menjadi jelas rujukan ketika beberapa pendapat seperti Origen yang menempatkan sisi kitab suci sebagai penggambaran awal ritual mistik beberapa agama. Studi perbandingan mistisisme juga cenderung pada agama-agama dunia tektualis sebagai representasi pengalaman religius manusia. Setelah mengamati konstruksi Hinduisme dan Budhaisme dalam kebudayaan barat dan pengasosiasian India sebagai simbol kultural Timur yang mistik, pentinglah kiranya mengekplorasi cara-cara bagaimana agama-agama India ,sebagai representasi fenomena mistisisme Asia, telah ditafsirkan dan ditempatkan dalam kerangka pendekatan ekperiental modern untuk studi mistisisme. Oleh karenannya, kita harus mengkaji legasi kiasan-kiasan orientalis yang abadi tentang sifat mistik agama India dalam kesarjanaan kontemporer.
Tulisan-tulisan modern tentang mistisisme adalah pandangan teologis yang dikenal dengan Perenialisme. Menurut doktrin ini terdapat sebuah kesamaan esensial (esensial community) diantara tradisi-tradisi Filosofis dan religius yang berasal dari berbagai kebudayaan yang terpisah. Pandangan esensialis ini banyak terdapat dalam karya-karya Swami Vivekananda dan Sarvepalli Rhadakrishnan. Dalam karya ini mengalir konsep Philosofia perennis yang mengalir dalam tradisi-tradisi filosofis.
Masyarakat dunia yang banyak dipengaruhi oleh proses globalisasi dan homogenitas kultural, kepercayaan bahwa tradisi-tradisi religius yang berbeda memiliki pesan fundamental atau common core yang seringkali diekpresikan bagi mereka yang tertarik kepada agama tetapi tidak mengikuti afiliasi religius tertentu. Yang menarik dari klaim esensialis dan perenialis adalah perspektip kita ini , bahwa kesamaan tersebut seringkali dideskripsikan oleh para pendukungnya sebagai muatan mistik.
Perdebatan dan argumentasipun bermunculan dari para intelektual barat tentang pendekatan Philosofia perennis, karena teks-teks yang sudah diterjemahkan dalam bahasa inggeris, selanjutnya memiliki dimensi perubahan makna subtantif yang ada dalam kata atau kalimat terjemahan tersebut. Jadi menurut Huxley tetap tidak tersubtansikan dan problematis. Bagi Huxley, filsafat perennial ini ada di dalam semua kebudayaan manusia sepanjang sejarah dan tetap menjadi poin inti atau esensi ungkapan religius dunia. Ditahun 1954 Huxley menerbitkan bukunya dengan judul The door of perception, sebuah karya yang ditulis setelah dia mengkonsumsi obat mescaline. Dan hasilnya adalah sebuah pengalaman mistik yang huxley menjadi bukan dirinya sendiri.
Zaehner penyangkal bahwa apa yang telah dialami Huxley dalam bukunya, yang secara mistik tersebut sama seperti apa yang berlaku dalam orientasi mistik yang ada didalam agama. Memperjelas konsepsi mistik yang termanifestasi dalam aktivitas ritual keagamaan , dan perbedaannya dengan aktivitas mistik yang sengaja dilakukan untuk mengetahui esensial yang tersembunyikan dari konsep struktualitas agama di dunia.
Maka kajian ilmiah yang dikonstruksikan oleh kaum orientalis terhadap dunia mistik. Ternyata mengalami pergeseran paradigma subtansial yang tidak terstruktur secara rinci seperti ritualitas agama yang ada. Mereka menganggap bahwa setiap dimensi mistik didunia ini selalu sama dan memiliki wilayah sama pula dengan dimensi kultural religius. Alasannya adalah setiap aktivitas mistik tanpa terproses dari nilai keabsahan pemahan diri yang kuat dari ritualitas itu akan menghasilkan visualitas ganda penampakan esensi mistik. Sementara dalam kaidah agama dimanapun tempatnya proses tersebut terstruktur dan terkonsep dengan matang, dan output yang jelas dari pemahaman historis sebelumnya.
Benturan pemikiran yang terjadi saat ini oleh para orientalis, terjadi karena banyaknya kepentingan yang melatarbelakangi aspek orisinalitas intelektual barat terhadap karya yang disajikan. Banyak rekonstruksi awal yang dijadikan perencanaan proses kebermihakan kalangan politik untuk memberikan wacana baru sebelum wacana lama dileburkan. Pemahaman ideologi agama yang dalam bab satu lebih mengedepankan aspek sosio kultural religius dirubah menjadi paradigma kontemporer yang sulit terasionalisasi secara gamblang. Reason aktual tentang keterlibatan orientalis yang tidak lagi mampu melakukan proyeksi keinteletualan karena sudah teradopsinya kepentingan dan pertelingkahan kultural yang ambisius dan rakus.
Komparasi agama di era Poskolonial hanya dijadikan tameng dan legitimasi kolonial barat dalam merekonstruksi lagi sebuah pemahaman baru yang dipengaruhi oleh ide-ide pembusukan pemikiran dari superior barat. Pendiskripsian wacana-wacana baru dari belahan timur difahami sebagai sebuah analog ketertinggalan yang hanya sebatas pengantar atas pikiran yang telah dihasilkan oleh kaum orioentalis.
Semenjak zaman kolonial penggalian terhadap historis kultural dunia timur melalui metode-metode penelitian yang terfokus pada ide-ide dasar sebuah konstruksi kultural Timur seperti agama Hinduisme dan Budhisme di India, Islam di Arab. Setelah memasuki era poskolonialisme digunakan kembali sebagai senjata pemerdayaan dunia timur melalui pemahaman modernitas yang westernisasi.
Agama-agama modern seperti marxisme dan nasionalisme yang merupakan kolaborasi pemikiran intelektual barat, untuk menyelesaikan masalah penduduk dalam dikotomi politik. Kata akhirnya adalah bahwa kesepahaman ideologi hanya bisa dicapai melalui histioris kultural yang menjangkau dialogis masyarakat . sedangkan agama-agama modern tersebut hanyalah kesepahaman yang terisolasi dari kontek universalitas kultural karena hanyak berpijak pada satu dialektika sejarah dari penentangan faham ideologi tertentu, atau sebuah jawaban praktis dan memiliki kepentingan ganda dan masa depan yang lemah.
Yang utama dengan gaya komparativisme yang baru muncul ini adalah pengetahuan kesaling melengkapi antara berbagai poros dominasi dan juga kepedulian pada mutualitas kebersamaan, interaksi dan pengaruh lintas kultural, yang dengan cara demikian membuka ruang untuk dialog komparatif dan mencegah daya tarik isolasionis . dalam pengertian ini , pandangan universalis dan etno-spesifik terhadap sejarah tidaklah cukup. Pendekatan semacam itu juga melibatkan perubahan penekanan yang jauh dari kepedulian epistimologi dengan mempertanyakan , bagaimana penerjemahan dan perjanjian lintas kultural dimungkinkan ?. menuju kajian terhadap realitas material yang melatari politik perbedaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar