Powered By Blogger

Jumat, 30 Maret 2012

Apakah Makna Doa yang Sebenarnya?

Apakah Makna Doa yang Sebenarnya?

Allah swt berfirman:

وَ إِذَا سأَلَك عِبَادِى عَنى فَإِنى قَرِيبٌ أُجِيب دَعْوَةَ الدَّاع إِذَا دَعَانِ فَلْيَستَجِيبُوا لى وَلْيُؤْمِنُوا بى لَعَلَّهُمْ يَرْشدُونَ

“Dan jika hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) sesungguhnya Aku adalah dekat. Aku mengijabah doa orang yang bedoa bila ia berdoa kepada-Ku. Maka hendaknya mereka memenuhi (seruan)Ku dan hendaknya mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam bimbingan.” (Al-Baqarah: 186)
Kandungan makna ayat ini diungkapkan dengan ungkapan yang paling indah, struktur bahasanya paling indah dan lembut. Allah swt menggunakan “Aku” tidak menggunakan kata “Dia” dan lainnya. Ini menunjukkan betapa besar perhatian Allah swt terhadap hamba-Nya dalam hal berdoa.
Penggunaan kata “hamba-hamba-Ku” jugamenunjukkan juga betapa besarnya perhatian Allah swt dalam hal doa. Dalam ayat ini tidak menggunakan kata penghubung dalam jawaban, yakni “Jika hamba-hamba-Ku bertanya tentang-Ku…sesungguhnya Aku adalah dekat”, ditambah menggunakan kata penguat “Sesungguhnya” dan menggunakan isim “qarib” ini menunjukkan bahwa ketika seorang hamba berdoa kepada Allah, Ia sangat dekat, tetap dekat dan selalu dekat dengannya.
Penggunaan fiil mudhari’ (kata kerja untuk waktu sekarang akan datang) dalam hal ijabah, menunjukan bahwa Allah sedang dan akan mengijabah doa hamba-Nya ketika ia berdoa kepada-Nya. Adapun maksud membatasi ijabah-Nya yakni “Aku mengijabah doa orang yang berdoa kepada-Ku” adalah menunjukkan pada hakikat doa, doa yang sebenarnya. Yakni Allah mengijabah doa hamba-Nya jika ia benar-benar berdoa kepada-Nya dengan doa yang sebenarnya. Makna inilah yang juga dimaksudkan oleh firman-Nya:

ادْعُونى أَستَجِب لَكمْ

“Berdoalah kepada-Ku, pasti Aku ijabah doamu.” (Al-Mukmin: 60)
Dalam ayat terdapat hal yang sangat penting dan mendalam, yang menginformasikan kepada betapa pentingnya ijabah doa dan betapa besar perhatian Allah tentang doa. Hal ini ditunjukkan oleh penggunakan pengulangan tujuh kali kata “Aku”, dan ini hanya terjadi dalam ayat ini, tidak dalam ayat-ayat yang lain.
Doa artinya memanggil, memusatkan pandangan yang dipanggil kepada yang memanggil. Adapun makna “As-Sual”, bertanya atau memohon, adalah ditujukan untuk mendatangkan sesuatu yang bermanfaat atau menghindarkan sesuatu yang berbahaya. Dengan permohonan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan pemohon setelah ia memusatkan pandangan, dan permohonannya sebagai puncak doa.
Sebagaiman telah kami jelaskan pembahasan yang lain bahwa ubudiyah berarti mamlukiyah yaitu pemilikan. Sehingga berarti setiap pemilikan menunjukkan pada penghambaan manusia kepada Allah swt. Pemilikan Allah berbeda dengan pemilikan selain-Nya, yakni pemilikan Allah adalah pemilikan yang sebenarnya, sedangkan pemilikan selain-Nya adalah pemilikan yang tidak sebenarnya. Karena hanya Allah yang berhak menyandang secara mutlak pemilikan hamba dan yang dimilikinya. Yakni apa saja yang dimiliki hamba-Nya: isteri, anak, harta, kedudukan, dan lainnya. Juga dirinya, dan segala organ lahir dan batinnya.
Semua ini menunjukkan bahwa tidak ada pemilikan selain Allah kecuali dengan izin-Nya, bahkan keberadaan hamba-Nya adalah milik-Nya. Sekiranya Dia tidak mengizinkan niscaya kita semua tidak akan ada. Hanya Dialah yang menjadikan kita memiliki pendengaran, penglihatan, dan perasaan. Dialah yang menciptakan segala sesuatu dan menentukan kadarnya.
Dari penjelasan ini akan menjadi jelas bahwa Allah swt mendinding antara sesuatu dan dirinya, antara manusia dan setiap yang menemaninya: isteri, anak, teman, harta, kedudukan, kebenaran, dan lainnya. Sehingga ini menunjukkan bahwa Dia lebih dekat kepada kita daripada setiap orang dan sesuatu yang dekat dengan kita. Hanya Dialah Yang Maha Dekat, dan kedekatan maha mutlak. Inilah yang dimaksudkan oleh firman-Nya:

وَ نحْنُ أَقْرَب إِلَيْهِ مِنكُمْ وَ لَكِن لا تُبْصِرُونَ

“Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu, tetapi kamu tidak melihat.” (Al-Waqi’ah: 85)

وَ نحْنُ أَقْرَب إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ

“kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (Qaaf: 16)

وَ اعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يحُولُ بَينَ الْمَرْءِ وَ قَلْبِهِ وَ أَنَّهُ إِلَيْهِ تحْشرُونَ

“Ketahuilah sesungguhnya Allah mendinding antara manusia dan hatinya.” Al-Anfal: 24)
Pemilikan Allah terhadap hamba-Nya adalah pemilikan yang sebenarnya. Pemilikan inilah yang mengharuskan setiap perbuatannya harus sesuai dengan kehendak-Nya tanpa hijab. Ini yang menunjukkan pada ketetapan bahwa hanya Allah yang mengijabah doa orang yang berdoa kepada-Nya, menghilangkan kesulitannya, memenuhi kebutuhannya, dan lainnya. Karena kemutlakan pemilikan-Nya, ilmu dan kekuasaan-Nya meliputi semua takdir tanpa dibatasi takdir yang lain, tidak seperti yang dikatakan oleh orang-orang yahudi:
“Sesungguhnya Allah menciptakan sesuatu dan menentukan takdir-Nya, maka sempurnalah perkara-Nya, dan terlepaslah ikatan kendali pengaturan yang baru dari tangan-Nya dengan ketetapan yang Dia tetapkan atasnya, sehingga tidak ada penghapusan, bada’ dan pengkabulan doa karena perkaranya telah selesai.”
Juga tidak seperti yang dikatakan oleh sebagian ummat Islam: “Sesungguhnya Allah terlepas sama sekali dari setiap perbuatan hamba-Nya.” Ini adalah pernyataan orang-orangt Qadariyah yang oleh Rasulullah saw dinamakan Majusinya ummat ini. Yakni dalam hadis: “Qadariyah adalah majusinya ummat ini.”
Jadi, setiap sesuatu tidak akan pernah terlepas dari pemilian Allah, izin dan kehendak-Nya. Karena itu, tidak akan terjadi suatu kejadian tanpa izin dan kehendak-Nya walaupun juga harus berusaha dan berikhtiar. Inilah yang dimaksudkan oleh firman Allah swt:

يَأَيهَا النَّاس أَنتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلى اللَّهِ وَ اللَّهُ هُوَ الْغَنىُّ الْحَمِيدُ

“Hai manusia, kamu yang butuh kepada Allah, dan Allah Dialah Yang Maha Kaya dan Maha Terpuji.” (Fathir: 15)
Uraian penjelasan tersebut menunjukkan bahwa setiap sesuatu diliputi hukum, termasuk juga ijabahnya doa ditentukan oleh sebab-sebab yang menyebabkan suatu doa diijabah. Seorang hamba yang berdoa kepada Allah dengan tawadhu’ dan kerendahan hati, akan menyebabkan ia dekat dengan-Nya dan kedekatan dengan-Nya menyebabkan doanya diijabah oleh-Nya. Inilah yang dimaksudkan oleh firman-Nya: “Aku mengijabah doa orang yang berdoa kepada-Ku.”
Maksud pembatasan tidak lain kecuali menunjukkan pada syarat-syarat diijabahnya suatu doa. Yakni berdoa kepada Allah dengan hakikat doa, doa yang sebenarnya. Allah swt hanya mengijabah hakikat doa. Yakni keinginan yang sesuai dengan pengetahuan yang fitri, keinginan yang diungkap melalui jalinan yang serasi antara lisan dan hati. Karena hakikat doa sebenarnya terkandung di dalam hati lalu diungkapkan dengan lisan yang fitri, bukan dengan ungkapan lisan yang mengandung benar dan dusta.
Permohonan yang fitri datangnya dari Allah swt dan itu pasti diijabah. Adapun doa yang tidak diijabah adalah doa yang kehilangan hakikatnya. Yakni orang yang berdoa tidak mengenal hakikat permasalahannya. Misalnya memohon untuk menyembuhkan orang yang sedang sakit, bukan untuk menghidupkan orang yang sudah mati. Tapi sekiranya ia mengetahui hakikat permasalahannya pasti doanya diijabah seperti doa para Nabi untuk menghidupkan orang mati.
Adapun maksud firman Allah swt: “Maka hendaknya mereka memohon ijabah kepada-Ku dan beriman kepada-Mu, agar mereka selalu berada bimbingan.” Kalimat ini merupakan jawaban dari kalimat sebelumnya. Yakni, sesungguhnya dekat kepada hamba-hamba-Nya, tidak ada sesuatu pun mendindingi antara Dia dan doa mereka, Dialah yang memiliki pertolongan pada mereka dan apa yang mohon pada-Nya. Karena itulah, Allah menyeru mereka agar berdoa kepada-Nya, maka penuhi seruan-Nya, menghadaplah kepada-Nya, percayalah kepada-Nya, dan yakinlah bahwa Dia sangat dekat dan mengabulkan doa hamba-hamba-Nya, agar mereka selalu berada bimbingan-Nya dalam berdoa kepada-Nya.
(Disarikan dari Tafsir Al-Mizan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar