Powered By Blogger

Jumat, 30 Maret 2012

Imamah, Kepemimpinan menurut Al-Qur’an (Bagian2)

Imamah, Kepemimpinan menurut Al-Qur’an (Bagian2)

Kepemimpinan Ulil-Amri dan Ketaatan padanya

يَأَيهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَ أَطِيعُوا الرَّسولَ وَ أُولى الأَمْرِ مِنكمْ فَإِن تَنَزَعْتُمْ فى شىْ‏ءٍ فَرُدُّوهُ إِلى اللَّهِ وَ الرَّسولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَ الْيَوْمِ الاَخِر

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri kalian. Jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (An-Nisa’: 59)
Setelah Allah swt menyerukan hamba-Nya untuk beribadah kepada Yang Maha Esa yang sekutu bagi-Nya, menyebarkan ihsan kepada seluruh kaum mukminin, dan menghinakan orang-orang yang menghina kebenaran dan menyimpang darinya, Dia memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk berpegang teguh pada dasar keimanan yang memiliki cabang-cabang hukum, yang di atasnya masyarakat Islam harus meletakkan fondasi hukum. Yakni Allah merintahkan kaum mukminin agar menjalin dan mencintai persatuan di antara mereka, meninggalkan segala perselisihan dan perpecahan di antara mereka dengan cara kembali kepada Allah dan Rasul-Nya.
Allah swt menegaskan bahwa kaum mukminin tidak boleh meragukan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ini harus menjadi dasar pijakan ketika terjadi perselisihan di antara mereka, yaitu harus kembali kepada Allah dan Rasul-Nya, karena azas ini merupakan dasar dari seluruh syariat dan hukum Islam. Inilah yang dimaksudkan oleh firman Allah swt: “Jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Mari kita perhatikan pernyataan-pernyataan Allah swt berikut ini:

أَ لَمْ تَرَ إِلى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ ءَامَنُوا بِمَا أُنزِلَ إِلَيْك وَ مَا أُنزِلَ مِن قَبْلِك يُرِيدُونَ أَن يَتَحَاكَمُوا إِلى الطغُوتِ وَ قَدْ أُمِرُوا أَن يَكْفُرُوا بِهِ وَ يُرِيدُ الشيْطنُ أَن يُضِلَّهُمْ ضلَلا بَعِيداً

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan pada apa yang diturunkan sebelum kamu.” Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (An-Nisa’: 60)

وَ مَا أَرْسلْنَا مِن رَّسولٍ إِلا لِيُطاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ

“Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. ” (An-Nisa’: 64)

فَلا وَ رَبِّك لا يُؤْمِنُونَ حَتى يُحَكِّمُوك فِيمَا شجَرَ بَيْنَهُمْ

“Demi Tuhanmu, mereka sebenarnya tidak beriman kecuali mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan.” (An-Nisa’: 65)
Berdasarkan pernyataan Allah swt tersebut tidak diragukan lagi bahwa yang dimaksud mentaati Allah adalah mematuhi semua ilmu dan syariat-Nya yang diwahyukan melalui Rasulullah saw. Adapun mentaati Rasulullah saw memiliki dua sisi:
Pertama: Syariat yang termaktub di dalam hadis dan sunnahnya, yaitu semua penjelasan Rasulullah saw tentang makna Al-Qur’an yang ijmali (global). Ini dinyatakan oleh Allah swt di dalam firman-Nya:

وَ أَنزَلْنَا إِلَيْك الذِّكرَ لِتُبَينَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيهِمْ

“Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.” (An-Nahl: 44)
Kedua: Ketetapan Rasulullah saw yang berkaitan dengan pemerintahan dan peradilan. Ini dinyatakan oleh Allah swt:

إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْك الْكِتَب بِالْحَقّ‏ِ لِتَحْكُمَ بَينَ النَّاسِ بمَا أَرَاك اللَّهُ

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu.”
(An-Nisa’: 105)
Inilah ketetapan yang menjadi dasar hukum undang-undang peradilan di antara manusia. Rasulullah saw menjadikan ketetapan ini sebagai dasar hukum semua perkara yang dikehendaki. Dalam hal ini Allah memerintahkan bermusyawarah dalam mengambil keputusan:

وَ شاوِرْهُمْ فى الأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْت فَتَوَكَّلْ عَلى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يحِب الْمُتَوَكلِينَ

“Bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (Ali-Imran: 159)
Dengan uraian tersebut jelaslah bahwa ketataan kepada Rasulullah saw miliki makna tertentu, dan mentaati Allah swt juga memiliki makna tertentu. Yang pada hakikatnya ketaatan kepada Rasulullah saw adalah ketaatan kepada Allah itu sendiri. Inilah makna ketaatan kepada Rasulullah saw sebagaimana hal ini ditegaskan oleh Allah swt dalam firman sebelumnya, yaitu: “Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. ” (An-Nisa’: 64)
Allah swt yang paling mengetahui maksud pengulangan perintah “ketaatan” dalam ayat ini, yaitu:

أَطِيعُوا اللَّهَ وَ أَطِيعُوا الرَّسولَ

Kebanyakan mufassir tidak menjelaskan bahwa pengulangan tersebut sebagai “taukid” (penguat) dalam istilah ilmu bahasa arab. Sekiranya tanpa pengulangan, misalnya:

أَطِيعُوا اللَّهَ وَ الرَّسولَ

maksud ayat ini dapat dicapai, karena memang pada hakikatnya ketaatan kepada Rasulullah saw adalah ketaatan kepada Allah swt, yakni dua ketaatan ini pada hakikatnya satu; maka sia-sialah pengulangan yang menunjukkan taukid itu.
Tentu, sebenarnya dalam pengulangan itu ada maksud dan tujuannya. Perlu diketahui bahwa “Ulil-Amri” itu tidak menerima wahyu. Mereka hanya mempunyai ketetapan dan pendapat, mereka wajib ditaati jika mereka sesuai dengan ketetapan dan sunnah Rasulullah saw. Karena itu, ketika Allah menyebutkan keharusan mengembalikan keputusan, Dia hanya menyebutkan Allah dan Rasul-Nya:
“Jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (An-Nisa’: 59)
Kepada siapa ditujukan perintah “mengembalikan keputusan kepada Allah dan Rasul-Nya”? Hanya orang-orang mukmin? Atau keduanya yaitu orang-orang mukmin dan ulil-amri?
Jawabannya: hanya orang-orang mukmin. Ini ditegaskan khithab firman Allah swt:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya…”
Karena yang dimaksud dengan “Jika terjadi perselisahan pendapat” adalah perselisihan pendapat yang terjadi di antara orang-orang mukmin, bukan perselisihan orang-orang mukmin dengan ulil-amri. Karena sebenarnya orang-orang mukmin tidak boleh terjadi perselisihan dengan ulil-amri. Mengapa? Karena ulil-amri wajib ditaati.
Penjelasan ini dikuatkan oleh “Qarinah” (kaitan) ayat-ayat berikutnya, yang mencela orang-orang yang kembali pada hukum thaghut, tidak kembali pada hukum Allah dan Rasul-Nya. Padahal hukum Allah dan Rasul-Nya tempat mengembalikan semua persoalan yang diperselisihkan. Yakni hukum yang telah ditetapkan di dalam Al-Qur’an dan sunnah. Al-Qur’an dan sunnah adalah dua hujjah yang qath’i bagi orang-orang yang memahaminya secara mendalam. Sementara dalam hal ini, semestinya yang paling memahaminya secara mendalam adalah ulil-ami sebagai penerus Rasulullah saw. Selain itu, perintah Allah swt dalam ayat ini tentang ketaatan kepada ulil-amri tanpa syarat dan batas. Karena ketaatan kepada ulil-amri, sebagai penerus Rasulullah saw, adalah ketaatan kepada Rasulullah saw, dan ketaatan kepada Rasulullah saw adalah ketaatan kepada Allah swt.
Dari uraian ini jelaslah bahwa ulil-amri bukanlah mereka yang membuat hukum baru, dan menghapus hukum yang telah ditetaptkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, tidak boleh terjadi perselisihan dengan ulil-amri, karena ketetapan ulil-amri sebenarnya adalah ketetapan Rasulullah saw. Makna inilah yang terkandung dalam firman Allah swt:

وَ مَا كانَ لِمُؤْمِنٍ وَ لا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضى اللَّهُ وَ رَسولُهُ أَمْراً أَن يَكُونَ لهَمُ الخْيرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَ مَن يَعْصِ اللَّهَ وَ رَسولَهُ فَقَدْ ضلَّ ضلَلاً مُّبِيناً

“Tidaklah patut bagi orang-orang mukmin dan mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, ada pilihan lain bagi mereka tentang urusan mereka. Dan barangsiapa yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (Al-Ahzab: 36)
Siapakah Ulil-amri?
Ulil-Amri harus ma’shum
Dari penjelasan-penjelasan sebelumnya jelaslah bahwa ketetapan Rasulullah saw adalah ketetapan Allah swt dalam persoalan ini dan persoalan yang lebih umum. Karena itu untuk kelangsungan persoalan ini kita harus memfokuskan pandangan pada persoalan wilayah, kepemimpinan Islam; menggali rahasia hukum Allah dan Rasul-Nya tentang persoalan ini dan persoalan yang lain.
Bagi kita tidak ada pilihan yang lan tentang ulil-amri dan ketetapannya kecuali apa yang ada di dalam Al-Qur’an dan sunnah. Allah tidak menyebutkan ulil-amri ketika menyuruh mengembalikan keputusan saat terjadi perselisihan:

فَإِن تَنَزَعْتُمْ فى شىْ‏ءٍ فَرُدُّوهُ إِلى اللَّهِ وَ الرَّسولِ

“Jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya.” (An-Nisa’: 59)
Ini menunjukkan adanya satu ketaatan kepada Allah, dan satu ketaatan kepada Rasulullah dan ulil-amri. Karena Allah swt berfirman:

أَطِيعُوا اللَّهَ وَ أَطِيعُوا الرَّسولَ وَ أُولى الأَمْرِ مِنكمْ

“Taatlah kepada Allah, dan taatlah kepada Rasul-Nya dan ulil-amri kalian.”
Ini menunjukkan adanya ketaatan mutlak kepada Rasulullah saw, dan beliau tidak mungkin memerintahkan atau melarang sesuatu yang bertentangan dengan Allah swt. Dan ini tidak mungkin dapat dilakukan oleh Rasulullah saw tanpa adanya kema’shuman beliau, penjagaan dari Allah swt.
Demikian juga kema’shuman itu harus dimiliki oleh ulil-amri. Orang yang tidak mendalam pandangannya tentang makna Al-Qur’an, ia mengatakan bahwa ayat ini tidak menunjukkan adanya konsep kema’shuman. Karena itu mereka mengatakan bahwa ulil-amri tidak harus ma’shum, terjaga dari salah dan dosa.
Mereka mengatakan, ayat ini hanya menjelaskan hukum tentang kemaslahatan umat Islam dan masyarakatnya agar terpelihara dari perselisihan dan peperangan sesama umat Islam. Karenanya ulil-amri harus ditetapkan dan dipilih oleh umat dan masyarakat. Mereka memilih salah seorang dari mereka untuk menjadi ulil-amri guna dapat melangsungkan Islam dan ia wajib ditaati. Mereka sebenarnya sadar bahwa ulil-amri mereka punya peluang besar untuk melakukan kemaksiatan dan kesalahan dalam menetapkan hukum. Jika ulil-amri melakukan kesalahan atau kemaksiatan, maka ia tidak boleh diaati dan harus dinasehati. Jika tidak jelas kesalahan dalam menetapkan hukum, maka keputusan hukumnya boleh dilaksanakan. Jika jelas kesalahannya, maka tidak perlu diperhatikan kesalahannya demi kemaslahatan dan persatuan masyarakat Islam, dan agar pemerintahan Islam terpelihara dari perpecahan. Mereka menganggap hal seperti ini sebagai kemaslahatan walaupun harus menanggung banyak keraguan dan kesalahan. Inilah pendapat kebanyakan mufassir.
Pendapat seperti inilah yang menyatakan: inilah kondisi ulil-amri yang dimaksudkan oleh ayat ini, dan yang wajib ditaati. Sebagian mereka mengatakan bahwa orang-orang mukmin wajib mentaati ulil-amri; jika ia menyalahi Al-Qur’an dan sunnah, maka ia tidak boleh diaati dan tidak boleh dilaksanakan keputusannya, karena Rasulullah saw bersabda:

لاطاعة لمخلوق في معصية الخالق

“Tidak ada ketaatan terhadap makhluk dalam kemaksiatan kepada Allah swt.”
Hadis ini nampak membatasi kemutlakan makna ayat ini. Jika kesalahan dan pelanggaran ulil-amri diketahui harus dikembalikan pada kebenaran hukum Al-Qur’an dan sunnah. Jika kesalahan itu tidak diketahui secara jelas, maka hukumnya tetap dilangsungkan seperti tidak ada kesalahan, demi kemaslahatan, persatuan, dan kejayaan umat Islam. Pandangan seperti ini merujuk secara lahiriyah pada kaidah Ushul Fiqih. Yakni, demi kokohnya kondisi hukum dalam realita, jika terjadi perbedaan yang mengarah pada kerusakan yang lazim, maka dapat diperbaiki dengan kemaslahatan. (Bersambung)
(Disarikan dari tafsir Al-Mizan, Allamah Thabathaba’i, tentang surat An-Nisa’: 59)

1 komentar:

  1. Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kelompok ini perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu

    BalasHapus