Imamah, Kepemimpinan menurut Al-Qur’an (Bagian2)
Kepemimpinan Ulil-Amri dan Ketaatan padanya
يَأَيهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَ أَطِيعُوا الرَّسولَ وَ أُولى الأَمْرِ مِنكمْ فَإِن تَنَزَعْتُمْ فى شىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلى اللَّهِ وَ الرَّسولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَ الْيَوْمِ الاَخِر
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri kalian. Jika kamu berselisih
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.”
(An-Nisa’: 59)
Setelah Allah swt menyerukan hamba-Nya
untuk beribadah kepada Yang Maha Esa yang sekutu bagi-Nya, menyebarkan
ihsan kepada seluruh kaum mukminin, dan menghinakan orang-orang yang
menghina kebenaran dan menyimpang darinya, Dia memerintahkan kepada
orang-orang yang beriman untuk berpegang teguh pada dasar keimanan yang
memiliki cabang-cabang hukum, yang di atasnya masyarakat Islam harus
meletakkan fondasi hukum. Yakni Allah merintahkan kaum mukminin agar
menjalin dan mencintai persatuan di antara mereka, meninggalkan segala
perselisihan dan perpecahan di antara mereka dengan cara kembali kepada
Allah dan Rasul-Nya.
Allah swt menegaskan bahwa kaum mukminin
tidak boleh meragukan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ini harus
menjadi dasar pijakan ketika terjadi perselisihan di antara mereka,
yaitu harus kembali kepada Allah dan Rasul-Nya, karena azas ini
merupakan dasar dari seluruh syariat dan hukum Islam. Inilah yang
dimaksudkan oleh firman Allah swt: “Jika kamu berselisih pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Mari kita perhatikan pernyataan-pernyataan Allah swt berikut ini:
أَ لَمْ تَرَ إِلى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ ءَامَنُوا بِمَا أُنزِلَ إِلَيْك وَ مَا أُنزِلَ مِن قَبْلِك يُرِيدُونَ أَن يَتَحَاكَمُوا إِلى الطغُوتِ وَ قَدْ أُمِرُوا أَن يَكْفُرُوا بِهِ وَ يُرِيدُ الشيْطنُ أَن يُضِلَّهُمْ ضلَلا بَعِيداً
“Apakah kamu tidak memperhatikan
orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang
diturunkan kepadamu dan pada apa yang diturunkan sebelum kamu.” Mereka
hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah
mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka
(dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (An-Nisa’: 60)
وَ مَا أَرْسلْنَا مِن رَّسولٍ إِلا لِيُطاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ
“Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. ” (An-Nisa’: 64)
فَلا وَ رَبِّك لا يُؤْمِنُونَ حَتى يُحَكِّمُوك فِيمَا شجَرَ بَيْنَهُمْ
“Demi Tuhanmu, mereka sebenarnya tidak
beriman kecuali mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang
mereka perselisihkan.” (An-Nisa’: 65)
Berdasarkan pernyataan Allah swt tersebut
tidak diragukan lagi bahwa yang dimaksud mentaati Allah adalah mematuhi
semua ilmu dan syariat-Nya yang diwahyukan melalui Rasulullah saw.
Adapun mentaati Rasulullah saw memiliki dua sisi:
Pertama: Syariat yang termaktub di dalam
hadis dan sunnahnya, yaitu semua penjelasan Rasulullah saw tentang makna
Al-Qur’an yang ijmali (global). Ini dinyatakan oleh Allah swt di dalam
firman-Nya:
وَ أَنزَلْنَا إِلَيْك الذِّكرَ لِتُبَينَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيهِمْ
“Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar
kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada
mereka.” (An-Nahl: 44)
Kedua: Ketetapan Rasulullah saw yang berkaitan dengan pemerintahan dan peradilan. Ini dinyatakan oleh Allah swt:
إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْك الْكِتَب بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَينَ النَّاسِ بمَا أَرَاك اللَّهُ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab
kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia
dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu.”
(An-Nisa’: 105)
(An-Nisa’: 105)
Inilah ketetapan yang menjadi dasar hukum
undang-undang peradilan di antara manusia. Rasulullah saw menjadikan
ketetapan ini sebagai dasar hukum semua perkara yang dikehendaki. Dalam
hal ini Allah memerintahkan bermusyawarah dalam mengambil keputusan:
وَ شاوِرْهُمْ فى الأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْت فَتَوَكَّلْ عَلى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يحِب الْمُتَوَكلِينَ
“Bermusyawaratlah dengan mereka dalam
urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang
yang bertawakkal kepada-Nya.” (Ali-Imran: 159)
Dengan uraian tersebut jelaslah bahwa
ketataan kepada Rasulullah saw miliki makna tertentu, dan mentaati Allah
swt juga memiliki makna tertentu. Yang pada hakikatnya ketaatan kepada
Rasulullah saw adalah ketaatan kepada Allah itu sendiri. Inilah makna
ketaatan kepada Rasulullah saw sebagaimana hal ini ditegaskan oleh Allah
swt dalam firman sebelumnya, yaitu: “Kami tidak mengutus seseorang
rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. ” (An-Nisa’: 64)
Allah swt yang paling mengetahui maksud pengulangan perintah “ketaatan” dalam ayat ini, yaitu:
أَطِيعُوا اللَّهَ وَ أَطِيعُوا الرَّسولَ
Kebanyakan mufassir tidak menjelaskan
bahwa pengulangan tersebut sebagai “taukid” (penguat) dalam istilah ilmu
bahasa arab. Sekiranya tanpa pengulangan, misalnya:
أَطِيعُوا اللَّهَ وَ الرَّسولَ
maksud ayat ini dapat dicapai, karena
memang pada hakikatnya ketaatan kepada Rasulullah saw adalah ketaatan
kepada Allah swt, yakni dua ketaatan ini pada hakikatnya satu; maka
sia-sialah pengulangan yang menunjukkan taukid itu.
Tentu, sebenarnya dalam pengulangan itu
ada maksud dan tujuannya. Perlu diketahui bahwa “Ulil-Amri” itu tidak
menerima wahyu. Mereka hanya mempunyai ketetapan dan pendapat, mereka
wajib ditaati jika mereka sesuai dengan ketetapan dan sunnah Rasulullah
saw. Karena itu, ketika Allah menyebutkan keharusan mengembalikan
keputusan, Dia hanya menyebutkan Allah dan Rasul-Nya:
“Jika kamu berselisih pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (An-Nisa’: 59)
Kepada siapa ditujukan perintah
“mengembalikan keputusan kepada Allah dan Rasul-Nya”? Hanya orang-orang
mukmin? Atau keduanya yaitu orang-orang mukmin dan ulil-amri?
Jawabannya: hanya orang-orang mukmin. Ini ditegaskan khithab firman Allah swt:
Jawabannya: hanya orang-orang mukmin. Ini ditegaskan khithab firman Allah swt:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya…”
Karena yang dimaksud dengan “Jika terjadi
perselisahan pendapat” adalah perselisihan pendapat yang terjadi di
antara orang-orang mukmin, bukan perselisihan orang-orang mukmin dengan
ulil-amri. Karena sebenarnya orang-orang mukmin tidak boleh terjadi
perselisihan dengan ulil-amri. Mengapa? Karena ulil-amri wajib ditaati.
Penjelasan ini dikuatkan oleh “Qarinah”
(kaitan) ayat-ayat berikutnya, yang mencela orang-orang yang kembali
pada hukum thaghut, tidak kembali pada hukum Allah dan Rasul-Nya.
Padahal hukum Allah dan Rasul-Nya tempat mengembalikan semua persoalan
yang diperselisihkan. Yakni hukum yang telah ditetapkan di dalam
Al-Qur’an dan sunnah. Al-Qur’an dan sunnah adalah dua hujjah yang qath’i
bagi orang-orang yang memahaminya secara mendalam. Sementara dalam hal
ini, semestinya yang paling memahaminya secara mendalam adalah ulil-ami
sebagai penerus Rasulullah saw. Selain itu, perintah Allah swt dalam
ayat ini tentang ketaatan kepada ulil-amri tanpa syarat dan batas.
Karena ketaatan kepada ulil-amri, sebagai penerus Rasulullah saw, adalah
ketaatan kepada Rasulullah saw, dan ketaatan kepada Rasulullah saw
adalah ketaatan kepada Allah swt.
Dari uraian ini jelaslah bahwa ulil-amri
bukanlah mereka yang membuat hukum baru, dan menghapus hukum yang telah
ditetaptkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, tidak boleh
terjadi perselisihan dengan ulil-amri, karena ketetapan ulil-amri
sebenarnya adalah ketetapan Rasulullah saw. Makna inilah yang terkandung
dalam firman Allah swt:
وَ مَا كانَ لِمُؤْمِنٍ وَ لا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضى اللَّهُ وَ رَسولُهُ أَمْراً أَن يَكُونَ لهَمُ الخْيرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَ مَن يَعْصِ اللَّهَ وَ رَسولَهُ فَقَدْ ضلَّ ضلَلاً مُّبِيناً
“Tidaklah patut bagi orang-orang mukmin
dan mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu
ketetapan, ada pilihan lain bagi mereka tentang urusan mereka. Dan
barangsiapa yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah
dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (Al-Ahzab: 36)
Siapakah Ulil-amri?
Ulil-Amri harus ma’shum
Ulil-Amri harus ma’shum
Dari penjelasan-penjelasan sebelumnya
jelaslah bahwa ketetapan Rasulullah saw adalah ketetapan Allah swt dalam
persoalan ini dan persoalan yang lebih umum. Karena itu untuk
kelangsungan persoalan ini kita harus memfokuskan pandangan pada
persoalan wilayah, kepemimpinan Islam; menggali rahasia hukum Allah dan
Rasul-Nya tentang persoalan ini dan persoalan yang lain.
Bagi kita tidak ada pilihan yang lan
tentang ulil-amri dan ketetapannya kecuali apa yang ada di dalam
Al-Qur’an dan sunnah. Allah tidak menyebutkan ulil-amri ketika menyuruh
mengembalikan keputusan saat terjadi perselisihan:
فَإِن تَنَزَعْتُمْ فى شىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلى اللَّهِ وَ الرَّسولِ
“Jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya.” (An-Nisa’: 59)
Ini menunjukkan adanya satu ketaatan
kepada Allah, dan satu ketaatan kepada Rasulullah dan ulil-amri. Karena
Allah swt berfirman:
أَطِيعُوا اللَّهَ وَ أَطِيعُوا الرَّسولَ وَ أُولى الأَمْرِ مِنكمْ
“Taatlah kepada Allah, dan taatlah kepada Rasul-Nya dan ulil-amri kalian.”
Ini menunjukkan adanya ketaatan mutlak
kepada Rasulullah saw, dan beliau tidak mungkin memerintahkan atau
melarang sesuatu yang bertentangan dengan Allah swt. Dan ini tidak
mungkin dapat dilakukan oleh Rasulullah saw tanpa adanya kema’shuman
beliau, penjagaan dari Allah swt.
Demikian juga kema’shuman itu harus
dimiliki oleh ulil-amri. Orang yang tidak mendalam pandangannya tentang
makna Al-Qur’an, ia mengatakan bahwa ayat ini tidak menunjukkan adanya
konsep kema’shuman. Karena itu mereka mengatakan bahwa ulil-amri tidak
harus ma’shum, terjaga dari salah dan dosa.
Mereka mengatakan, ayat ini hanya
menjelaskan hukum tentang kemaslahatan umat Islam dan masyarakatnya agar
terpelihara dari perselisihan dan peperangan sesama umat Islam.
Karenanya ulil-amri harus ditetapkan dan dipilih oleh umat dan
masyarakat. Mereka memilih salah seorang dari mereka untuk menjadi
ulil-amri guna dapat melangsungkan Islam dan ia wajib ditaati. Mereka
sebenarnya sadar bahwa ulil-amri mereka punya peluang besar untuk
melakukan kemaksiatan dan kesalahan dalam menetapkan hukum. Jika
ulil-amri melakukan kesalahan atau kemaksiatan, maka ia tidak boleh
diaati dan harus dinasehati. Jika tidak jelas kesalahan dalam menetapkan
hukum, maka keputusan hukumnya boleh dilaksanakan. Jika jelas
kesalahannya, maka tidak perlu diperhatikan kesalahannya demi
kemaslahatan dan persatuan masyarakat Islam, dan agar pemerintahan Islam
terpelihara dari perpecahan. Mereka menganggap hal seperti ini sebagai
kemaslahatan walaupun harus menanggung banyak keraguan dan kesalahan.
Inilah pendapat kebanyakan mufassir.
Pendapat seperti inilah yang menyatakan:
inilah kondisi ulil-amri yang dimaksudkan oleh ayat ini, dan yang wajib
ditaati. Sebagian mereka mengatakan bahwa orang-orang mukmin wajib
mentaati ulil-amri; jika ia menyalahi Al-Qur’an dan sunnah, maka ia
tidak boleh diaati dan tidak boleh dilaksanakan keputusannya, karena
Rasulullah saw bersabda:
لاطاعة لمخلوق في معصية الخالق
“Tidak ada ketaatan terhadap makhluk dalam kemaksiatan kepada Allah swt.”
Hadis ini nampak membatasi kemutlakan
makna ayat ini. Jika kesalahan dan pelanggaran ulil-amri diketahui harus
dikembalikan pada kebenaran hukum Al-Qur’an dan sunnah. Jika kesalahan
itu tidak diketahui secara jelas, maka hukumnya tetap dilangsungkan
seperti tidak ada kesalahan, demi kemaslahatan, persatuan, dan kejayaan
umat Islam. Pandangan seperti ini merujuk secara lahiriyah pada kaidah
Ushul Fiqih. Yakni, demi kokohnya kondisi hukum dalam realita, jika
terjadi perbedaan yang mengarah pada kerusakan yang lazim, maka dapat
diperbaiki dengan kemaslahatan. (Bersambung)
(Disarikan dari tafsir Al-Mizan, Allamah Thabathaba’i, tentang surat An-Nisa’: 59)
Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kelompok ini perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu
BalasHapus