Powered By Blogger

Jumat, 30 Maret 2012

Jamur Korupsi di Zamrud Khatulistiwa

“Wani piro?” (berani berapa?)
Ungkapan kecil dalam iklan salah satu produk rokok ini tidak khayal telah membuat orang banyak tertawa ketika menyaksikannya di layar televisi dan ditirukan oleh sebagian orang di masyarakat. Tetapi tidak sedikit pula rasanya iklan tersebut membuat pejabat-pejabat pemerintah senyum-senyum karena mereka pasti dengan cepat mengerti maksudnya.
Kira-kira seperti itulah kondisi pemerintahan negeri ini. “Kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah?” adalah sebuah sitiran dari sebagian orang yang sering kali dan “telah terbiasa” mendapatkan perlakuan tidak semestinya dari birokrasi pemerintahan.
Jargon-jargon seperti “Jalan tol ini bebas Pungli”, “Hindari menggunakan jasa calo dalam mengurus SIM/STNK”, “Kantor imigrasi bebas calo”, dlsb. mengisyaratkan bahwa praktek-praktek ilegal di dalam birokrasi negara telah begitu masif dalam masyarakat. Tetapi pertanyaannya, adakah peran pemerintah yang dengan serius memberantas atau menindak tegas para aparat atau “calo legal” yang ada di dalam tubuh birokrasi itu sendiri dan memberikan pelayanan serta perlindungan yang baik kepada masyarakat yang hendak menggunakan jasa layanan masyarakat? Atau malah melanggengkan dengan melegalkan praktek birokrasi yang korup karena sekarang calonya dan pelaku “pungli” justru telah berseragam dinas.
Gambaran ini mungkin adalah sesuai dengan apa yang dicirikan tentang sifat kapitalisme di dunia ketiga, bahwa watak dari kapitalis di dunia ketiga itu bersifat komprador, birokratik dan kroni (oligarki). Karena ketiga sifat kapitalis dunia ketiga ini – termasuk Indonesia – praktek korupsi yang menghisap masyarakat tetap langgeng dan hidup subur seperti jamur di musim penghujan.
Karena watak komprador para birokrat di negara ini, produk-produk import dibiarkan leluasa masuk di Indonesia. Jangankan produk elektronik, handphone dan kendaraan bermotor, produk pertanian mulai dari jeruk, kedelai, beras, kentang, dll juga dimasukkan ke negara agraris Indonesia. Dan lebih parah lagi adalah produk garam yang juga diimport oleh negara yang memiliki garis pantai yang sangat luas ini.
Sifat komprador ini tentu sangatlah menguntungkan segelintir orang saja, baik pemerintah yang memiliki kuasa untuk membuka jalan masuknya barang-barang import, maupun segelintir kapitalis-kapitalis yang “kulakan” untuk dijual lagi di pasar dalam negeri. Bagaimana nasib para petani dan nelayan kecil? Secara sistematis mereka dihilangkan dari bumi zamrud khatulistiwa ini.
Siapa yang menikmati keuntungan dari hasil import itu? Siapa lagi kalau bukan kroni-kroni yang berwatak komprador bersama birokrat-birokrat yang telah “berjasa” membukakan pintu masuknya barang-barang import.
Praktek korupsi di negeri ini telah begitu masif, seperti jamur di musim penghujan. Para koruptor tidak lagi seperti tikus got yang dijauhi atau dikejar-kejar untuk dibunuh. Koruptor sekarang ini telah berevolusi menjadi jamur kuping, jamur merang, jamur kacing yang enak untuk didekati dan dinikmati. Dan mereka tumbuh subur di zamrud khatulistiwa Indonesia.
Untuk membasmi jamur kita tidak bisa tebang pilih dan tidak tuntas sampai ke akar. Karena jamur sangat mudah untuk berkembang, untuk itu diperlukan tangan yang sangat kuat untuk mengangkat bersama-sama jamur ini sampai ke akar dan menghancurkannya. Siapa lagi tangan kuat itu kalau bukan rakyat pekerja.
Jangan biarkan jamur korupsi tumbuh di lingkungan kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar