Ungkapan kecil dalam iklan salah satu produk rokok ini
tidak khayal telah membuat orang banyak tertawa ketika menyaksikannya di
layar televisi dan ditirukan oleh sebagian orang di masyarakat. Tetapi
tidak sedikit pula rasanya iklan tersebut membuat pejabat-pejabat
pemerintah senyum-senyum karena mereka pasti dengan cepat mengerti
maksudnya.
Kira-kira seperti itulah kondisi pemerintahan negeri
ini. “Kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah?” adalah sebuah sitiran
dari sebagian orang yang sering kali dan “telah terbiasa” mendapatkan
perlakuan tidak semestinya dari birokrasi pemerintahan.
Jargon-jargon
seperti “Jalan tol ini bebas Pungli”, “Hindari menggunakan jasa calo
dalam mengurus SIM/STNK”, “Kantor imigrasi bebas calo”, dlsb.
mengisyaratkan bahwa praktek-praktek ilegal di dalam birokrasi negara
telah begitu masif dalam masyarakat. Tetapi pertanyaannya, adakah peran
pemerintah yang dengan serius memberantas atau menindak tegas para
aparat atau “calo legal” yang ada di dalam tubuh birokrasi itu sendiri
dan memberikan pelayanan serta perlindungan yang baik kepada masyarakat
yang hendak menggunakan jasa layanan masyarakat? Atau malah
melanggengkan dengan melegalkan praktek birokrasi yang korup karena
sekarang calonya dan pelaku “pungli” justru telah berseragam dinas.
Gambaran ini mungkin adalah sesuai dengan apa yang
dicirikan tentang sifat kapitalisme di dunia ketiga, bahwa watak dari
kapitalis di dunia ketiga itu bersifat komprador, birokratik dan kroni
(oligarki). Karena ketiga sifat kapitalis dunia ketiga ini – termasuk
Indonesia – praktek korupsi yang menghisap masyarakat tetap langgeng dan
hidup subur seperti jamur di musim penghujan.
Karena watak komprador para birokrat di negara ini,
produk-produk import dibiarkan leluasa masuk di Indonesia. Jangankan
produk elektronik, handphone dan kendaraan bermotor, produk pertanian
mulai dari jeruk, kedelai, beras, kentang, dll juga dimasukkan ke negara
agraris Indonesia. Dan lebih parah lagi adalah produk garam yang juga
diimport oleh negara yang memiliki garis pantai yang sangat luas ini.
Sifat komprador ini tentu sangatlah menguntungkan
segelintir orang saja, baik pemerintah yang memiliki kuasa untuk membuka
jalan masuknya barang-barang import, maupun segelintir
kapitalis-kapitalis yang “kulakan” untuk dijual lagi di pasar dalam
negeri. Bagaimana nasib para petani dan nelayan kecil? Secara sistematis
mereka dihilangkan dari bumi zamrud khatulistiwa ini.
Siapa yang menikmati keuntungan dari hasil import itu?
Siapa lagi kalau bukan kroni-kroni yang berwatak komprador bersama
birokrat-birokrat yang telah “berjasa” membukakan pintu masuknya
barang-barang import.
Praktek korupsi di negeri ini telah begitu masif,
seperti jamur di musim penghujan. Para koruptor tidak lagi seperti tikus
got yang dijauhi atau dikejar-kejar untuk dibunuh. Koruptor sekarang
ini telah berevolusi menjadi jamur kuping, jamur merang, jamur kacing
yang enak untuk didekati dan dinikmati. Dan mereka tumbuh subur di
zamrud khatulistiwa Indonesia.
Untuk membasmi jamur kita tidak bisa tebang pilih dan
tidak tuntas sampai ke akar. Karena jamur sangat mudah untuk berkembang,
untuk itu diperlukan tangan yang sangat kuat untuk mengangkat
bersama-sama jamur ini sampai ke akar dan menghancurkannya. Siapa lagi
tangan kuat itu kalau bukan rakyat pekerja.
Jangan biarkan jamur korupsi tumbuh di lingkungan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar