Powered By Blogger

Sabtu, 31 Maret 2012

Kyai, NU DAN POLITIK Kyai

Kyai, NU DAN POLITIK Kyai
OLeh : Bayu Pramutoko, SE

Jagad kyai adalah sebuah fenomena, yang mana dalam penterjemahan fenomena itu, perlu pemahaman lebih dalam tentang ruang lingkup dan cakupan, Kegusaran masyarakat melihat tingkah polah figur kyai, mendorong interprestasi yang bermacam-macam. Ada kalanya buruk ada kalanya baik, menurut cara pandang kajian atau basic intelektual mereka. Selain itu keterpengaruhan status sosial, hubungan keluarga, waktu dan tempat ketika mereka menyaksikan realitas sosial dalam segmen ke-kyaian tidak sama satu sama lain. Sebuah istilah “ Kyai “ yang arti luasnya adalah seorang Ulama, pemimpin umat Islam dan seoranag ahli agama Islam, diharapkan mampu menjawab persoalan agama Islam dengan benar sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad SAW. Karena istilah tersebut yang sudah begitu kental dikalangan Warga Nahdliyin, menjadikan latah pendapat tiap individu hanya dengan memandang simbolitas Visual dan performance khusus yang digunakan oleh seorang kyai, dengan pakaian panjang, bersarung, berkopiah, mengenakan serban dan memutar tasbih. Simbolitas visual itulah yang memunculkan banyak fenomena Kyai dalam interaksinya dengan masyarakat.
Banyak kalangan memandang bahwa persoalan sepele itu tidak perlu mendapat perhatian serius, karena tidak ada yang mengatur atau melarang orang mengenakan simbolitas visual yang menjadi tahapan tingkat penokohan seorang figur Kyai. Menjadi menarik lagi ketika interaksi mereka berbenturan dengan sturuktur sosial cultural masyarakat yang saat ini terkontaminasi dengan kepentingan yang semakin meminggirkan khasanah nurani yang menjadi pijakan ketika seseorang menjalani ritual agama Islam dengan benar. Kecenderungan Islam Menjadi sebuah simbol belaka menjadi kenyataan sampai hari ini. Fungsi legitimasi seorang pemimpin umat atau ulama adalah eforia yang dipandang sebelah mata. Ulama atau Kyai sudah bukan lagi dipandang sebagai ahli agama secara utuh, namun sudah membias menjadi pemimpin social yang membingkai agama sebagai suatu komoditas egonya.
Keberlangsungan rutinitas yang lestari dari sebuah kultur pondok pesantren NU, adalah sebuah keniscayaan yang harus diakui, fungsi utama seorang kyai adalah mengajarkan bait demi bait kitab kuning yang memuat berbagai persoalan agama Islam, sakralitas proses transfer keilmuan di Pondok Pesantren memicu pengultusan seorang kyai dari para santrinya, ajaran yang diberikan merupakan doktrin suci yang harus dipatuhi. Proses dari internalisasi pondok pesantren memberikan inspirasi bagi masyarakat dengan menyerap kedalaman ilmu agama seorang kyai. Proses penyerapan tersebut menghasilkan persepsi yang stereotyping, dimana seseorang menganggap bahwa  dari keturunan seorang Kyai akan melahirkan keturunan yang sama pula. Walaupun pendapat itu tidak sepenuhnya benar, karena benih yang dilahirkan tidak sepenuhnya menghasilkan bentuk dan sifat yang sama, namun akan berbeda sesuai dengan pengaruh lingkungan di sekitarnya.
Kekhusyukan, kesalihan seorang Kyai, menjadi kekuatan tersendiri yang memikat dalam setiap pergaulan di luar komunitas pondok pesantren, heterogenitas masyarakat memunculkan persepsi beragam keberadaan seorang kyai. Sementara itu Nahdlatul Ulama sebagai sebuah organisasi keagamaan terbesar di negeri ini, pada proses perkembangannya,  klaim bahwa NU sebagai basis masa pondok pesantren tidak sepenuhnya benar, karena dikalangan warga Nahdliyin sendiri yang mengenyam pendidikan pondok pesantren tidak merata di setiap structural organisasi, bisa dikatakan bahwa ketika NU berkembang menjadi organisasi yang berlabel kumpulan para kyai menarik simpati sebagian masyarakat yang ingin lebih dekat mengenal tokoh-tokoh tersebut, karismatik yang dipancarkan dari para ulama senior (sepuh) memikat banyak orang untuk ngangsu kaweruh agomo lebih dalam. Jejak  perjalanan hidup, perjuangan dan sepak terjang beliau-beliau yang di kisahkan oleh para santrinya secara turun temurun sampai sekarang tertanam dalam ingatan mereka diluar kepala, yang mengkonsumsi bukan lagi dari kalangan santri pondok pesantren ansich saja, namun hampir semua masyarakat juga merasakan sugesti yang kuat keberadaan seorang kyai. Penghormatan yang bertubi-tubi dari para pemujanya hingga kultus individu tidak bisa dipungkiri lagi, anak seorang kyai dengan serta merta akan menikmati kebesaran orang tua mereka dulu, dengan berbekal sebutan “ Gus & Ning “ (kyai Muda/putra-putri kyai) akan menghipnotis kalangan masyarakat yang sangat awam dengan dunia kultur pondok pesantren.
Kebesaran dan kemampuan supranatural yang dimiliki para kyai juga menjadi obsesi sebagian masyarakat. Situasi  sejak lahir hingga menginjak dewasa  dalam lingkungan pondok pesantren, telah mempola karakter, tingkah laku serta adat kebiasaan para putra-putri kyai yang pada akhirnya terkondisi untuk menjadi manusia yang harus dianut secara keturunan dan mengkasta mereka sendiri atau memposisikan mereka menjadi suri tauladan masyarakat tanpa reserve. Hal ini menjadi beban terberat bagi mereka dengan perkembangan pengaruh lingkungan disekitarnya, karena eksistensi mereka sebagai manusia normal masih disandang. Simbolitas kyai dan darah biru kyai NU yang menghiasi perjalanan panjang negeri ini, dan hadir dalam setiap episode peristiwa social masyarakat , telah berkembang menjadi atribut karir kehidupan para kyai, maka kalau sudah menjadi istilah karier muaranya adalah bagaimana mereka bisa mempertahankan karir ke kyai-an mereka dalam masyarakat, ada mitos Jawa yang mengatakan “ Wong Milik Nunggang Lali  “ ( orang yang menginginkan sesuatu akan lupa keberadaan dirinya atau lepas kendali ). Padahal pada posisi mereka para kyai tingkah polahnya diperhatikan secara detil oleh masyarakat dan penganutnya. Fenomena kehidupan para kyai menjadi persepsi yang tidak bisa dijelaskan secara real dan konkrit pada umatnya . Kemudian  menimbulkan berjuta-juta pertanyaan tanpa ada jawaban, karena yang mengetahuinyapun tidak berani mengatakan. Ketidak beranian mereka cukup mendasar karena doktrin awal dari kelas social yang terkondisikan tersebut mengecilkan eksistensi seseorang yang sudah mempunyai sebutan santri, yang secara tegas dengan doktrin yang tidak tertulis bahwa seluruh keturunan dan kerabatnya harus dihormati dan dijunjung tinggi derajat dan martabatnya. Tetapi perubahan mengawal mereka dalam tiap langkah kehiduapan beliau-beliau, walaupun kata perubahan itu sendiri tidak berubah.
Keberadaan NU sebagai organisasi agama berbasis masa terbesar berkembang menjadi organisasi milik semua orang, klaim milik pondok pesantren telah bergeser menjadi milik umat, sehingga posisi pondok pesantren menjadi diatas NU secara mandiri, system yang berubah telah membuka wahana pemikiran para pengurus dan anggota Lajnah NU beserta Banomnya, hal ini dibuktikan bahwa kekuatan NU tidak merata di seluruh Nusantara, kekuatan dominasi di propinsi Jawa Timur dan lemah di wilayah lain telah dibuktikan dengan proses politik dari pemilu legislative, hingga Pilihan Presiden.
Jujur bisa dikatakan bahwa sebenarnya yang terjadi dalam Tubuh Nahdlatul Ulama adalah perasan dilematis yang tidak ada ujungnya. Melihat perkembangan dalam semua sector yang ada dalam Tubuh Organisasi Islam terbesar di Indonesia ini, adalah karena tidak dimilikinya sebuah kerangka yang jelas dalam bertindak, atau apa yang diprioritaskan. Pernyataan saya ini mungkin akan di tolak oleh beberapa komponen NU, namun membaca situasi sekarang, kondisi dilematis merupakan factor yang menyebabkan terombang-ambingnya sikap warga NU yang belakangan merupakan sasaran setiap gerakan yang menuju kearah kekuasaan dimanapun wilayahnya.
Semenjak Pelaksanaan pemilu menggunakan pilihan Langsung One man One Vote (satu orang satu suara ) saat Pemilu legislative  hingga  Pilihan Presiden 2 tahun yang lalu, posisi NU menjadi nilai tawar yang mahal bagi para Politisi, karena diharapkan akan mampu mendongkrak suara terbesar, namun kenyataannya tidak demikian, justru Politisi yang diberangkatkan dari NU, malah tidak bisa memanfaatkan secara maksimal. Akibatnya yang menang malah justru bukan dari kalangan NU sendiri.
Perpecahan kader-kader elit NU yang akhir-akhir ini menjadi perhatian banyak kalangan, semakin merusak citra basis kekuatan NU di akar rumput, kondisi ini memicu berbagai persepsi yang tidak menguntungkan. Ditambah PKB yang merupakan Corong aspirasi Politik warga NU sekarang menjadi papan nama belaka. Walaupun Menang dalam pengadilan namun efek yang ditimbulkan justru komponen terpenting PKB yaitu kalangan Kyai menjadi terbelah  dua, yang pro Gus Dur dan Pro Koirul Anam.
Maka sebenarnya yang memiliki dampak kerugian terbesar adalah ketidak percayaan para pemilih loyal yang posisinya berada dilapisan bawah dengan kekuatan kyai NU yang dianutnya. Kondisi ini juga menciptakan spekulasi diantara warga NU sendiri yang enggan secara terang-terangan menyatakan sikapnya. Apalagi data  pemilih yang sebenarnya tidak sesuai dengan Klaim para Pengurus NU yang katanya memiliki basis sampai kebawah, kenyataannya suara yang diperoleh tidak sebesar harapan. Ini artinya terjadi pergeseran keloyalitasan warga NU terhadap figure yang ditampilkan.  Selain itu keengganan warga NU yang diharapkan sebagai modal dasar perolehan  suara besar ternyata juga tidak terbukti.
Konflik yang terjadi di Kultural NU, Internal PKB dan Internal NU yang tidak terkendali, menyebabkan dampak psikologis besar pada warga NU yang sudah sekian lama mengharapkan keharmonisan di antara para Elit NU maupun PKB. Lahirnya PKNU sebagai partai alternative Kalangan Kyai berpengaruh, menambah porak porandanya basis kekuatan Jamiyah NU. Walaupun anggapan beberapa kalangan di Kyai Pondok Pesantren NU bahwa langkah yang diambil merupakan penyegaran, namun hal itu merupakan preseden buruk bagi perkembangan NU dimasa yang akan datang.
Sejak munculnya indikasi ketidak akuran antara Elit NU dan PKB beberapa tahun yang lalu serta sentiment politik yang berkembang hingga memicu pertikaian antar Kader PKB di Jawa Timur. Banyak kader-kader muda NU yang nota bene adalah anak-anak warga potensi dari NU yang beralih haluan dalam berpolitik, banyak yang sudah menjadi pengurus PKS, PDI,PD ataupun lainya. Arah  pemikiran mereka yang tidak terakomodir oleh Elit NU maupun pengurus, menyebabkan mereka dari kelompok ini lebih memilih bermain diluar basis wilayah NU, potret-potret prilaku politik warga NU di struktural maupun kultural telah meyakinkan mereka, bahwa akan sulit untuk membuka ritme baru dan masuk dalam konstalasi politik internal yang marak dengan gesekan antar kader, yang kadang diluar etika. Potensi-potensi yang diharapkan mampu memperkuat sumberdaya manusia warga NU, pada akhirnya harus berpindah ke wilayah lain yang berada diluar basis NU, tetapi secara ideologi mereka tetaplah keturunan NU, namun mereka lebih eksis diluar basis NU. Sehingga mereka lebih  mendapatkan pengakuan diri mereka dari luar wilayah politik warga NU, jumlah mereka tidak sedikit, dan ini berada pada kalangan warga NU yang lebih melek pendidikan, para orang tua membiarkan dengan bebas aspirasi politik anak-anak mereka dengan tidak menekankan harus masuk ke wilayah NU ansihc dan meninggalkan keyakinan orang tuanya beralih kearah netralitas wilayah berpikir mereka. Namun seringkali kondisi real seperti ini hanya disikapi pasif oleh para Elit structural dan kultural NU. Kelengahan yang berlarut-larut itu menjadi akibat kelemahan internal saat ini. Kebesaran klaim yang selama ini dipakai akan berakibat fatal  sepuluh dua puluh tahun kedepan atau malah prediksi saya akan cepat.terbukti dengan program Kartu anggota NU yang tidak sukses dengan jumlah pendaftar yang jauh lebih sedikit dari perkiraan. Secara amaliah mereka melaksanakan ajaran-ajaran NU seperti Tahlil,sholawatan,rutinan  lain yang kental dengan kebiasaan warga NU.Namun ketika mereka dilegitimasi sebagai anggota NU mereka dengan halus menolak. Kejadian ini bukan persoalan kesadaran berorganisasi, tetapi karena mereka sangat sadar dengan cara inilah mereka mengambil sikap demikian. Namun tetap saja hal ini tidak menjadikan surut para elit NU dalam mengklain bahwa warga NU tetap pada posisi pendukung setia.
Kekuatan basis kyai yang seharusnya mampu membetengi dan mengawal keberadaan  organisasi,lembaga dan Banom di semua tingkatan ternyata tidak sepenuhnya terlaksana, banyak putra-putri kyai dari kalangan pondok pesantren maupun Elit NU structural dan Kultural yang tidak pernah menjadi pengurus NU, Lembaga, maupun Banom. Namun ketika mereka mempunyai kepentingan, mereka memanfaatkan basis-basis organisasi ini sebagai kendaraan. Logikanya adalah proses kaderisasi yang seharusnya diawali dari bawah justru tidak dipergunakan dengan baik. Mereka para putra-putri keturunan kyai tersebut begitu muncul langsung terposisi sebagai Pembina atau ketua yang seharusnya dimiliki melalui proses kaderisasi yang teratur, sesuai dengan masa karier dan perjuangannya. Gaya  ini menyebabkan banyak kader yang sudah bertahun-tahun berjuang dan mengabdi merasa dibohongi dan dilecehkan. Pemahaman kuno yang sekarang masih dipakai tidak lagi laku dikalangan kader muda NU yang banyak dari kalangan di luar basis pondok pesantren. Dominasi kekuatan pondok pesantren dibeberapa daerah hanya sebatas pemanfaatan kepentingan politik sementara orang, sehingga ketidak siapan kader-kader NU yang seharusnya memiliki pengaruh kuat, malah justru tidak berdaya dengan memposisikan diri sebagai pengikut atau orang kedua, ini terjadi hampir didaerah yang memiliki basis warga NU terbesar, seperti di Jawa Timur. Kecenderungan dalam persaingan di kalangan internal NU sendiri menjadi tidak terelakan. Elit struktural dan kultural NU tidak menyatu dalam satu barisan, namun berhadapan satu sama lain dengan komunitas mereka sendiri. Dinamika ini malah semakin hari semakin marak dikalangan warga NU, Potret jamiyah yang selama ini identik dengan ketawadukan terhadap kyai menjadi komoditas politik yang sarat dengan kepentingan.
Fenomena ini terjadi kembali pada prakondisi Pilihan Gubernur di Jawa Timur, yang mengusung para kandidat Gubernur dan Wakil Gubernur  dari kalangan Nahdliyin. PKB yang melekat dengan NU mengusung Ahmadi sebagai calon Gubernur sendiri yang wakilnya sampai saat ini belum jelas, sementara itu KH Ali Maschan Musa Ketua PWNU yang baru terpilih lagi di KONFERWIL NU di Probolinggo, menjadi Calon Wakil Gubernur bersama Soenaryo Calon Gubernur dari Golkar. Calon Gubernur Sorkarwo yang akrab dipanggil Pak de Karwo yang digadang-gadang akan bergandengan dengan KH Ali Maschan Musa ternyata  malah menggandeng Saifuloh Yusuf ( Gus Ipul ) yang juga adalah ketua Umum PP GP ANSOR dan mantan Menteri Percepatan Pengembangan daerah Tertinggal sebagai calon Wakil Gubernur. Yang hebohnya lagi Gus Ipul panggilan akrabnya di usung oleh Partai Amanat Nasional yang menjadi partai komunitas warga Muhamadiyah. Bisa dibilang situasi jamiyah dari kalangan sruktural dan kultural NU dibuat pusing tujuh keliling. Kader-kader NU sampai jajaran ke Banom dan Lembaga terjadi dilema kebermihakan. Hal ini terjadi karena hampir semua kader di semua jajaran baik NU,Banom dan Lembaga, terposisi menjabat dibeberapa lembaga dan Banom, artinya satu orang kader bisa menjadi pengurus di beberapa lembaga juga di PKB. Kondisi semacam ini lumrah di NU yang merupakan organisasi Nirlaba.
NU yang memiliki basis besar dari akar rumput dan didukung oleh keberadaan para kyai, menjadi primadona dan sasaran utama para politisi yang ingin berkuasa, tokoh-tokoh NU yang memiliki reputasi bagus, menjadi perhatian utama untuk bisa meraup suara dalam proses pemilihan langsung one man one vote, sikap warga nahdliyin yang terkonstruksi sebagai santri dimana sikapnya harus tunduk pada dawuh kyai merupakan modal besar kalangan elit sturuktural maupun kultural NU memainkan ritme dalam moment proses pemilihan umum kepala daerah. Posisi sentral NU di tangan Kyai menjadi bias manakala organisasi ini harus bersikap tegas dalam aturan organisasi. NU yang didirikan oleh para Kyai dan berbasis pondok pesantren semakin kuat cengkeramanya terhadap organisasi NU yang memiliki anggota yang tidak semua dari kalangan santri. Situasi sulit terjadi manakala sikap independent NU itu memiliki dua pilihan yang sulit, sehingga terkotak-kotak menjadi kelompok kyai sungguhan dan sesungguhnya, (karena mereka sebenarnya adalah seorang kyai dalam terminologi NU,) namun karena terkontaminasi oleh kepentingan politik maka existensi mereka sebagai seorang kyai menjadi saling berhadapan antara kyai pendukung si A dan Kyai pendukung si B. Fatal, karena dengan posisi elit NU seperti ini,keutuhan jamiyah terporak poranda dengan aksi dukung mendukung.
Apakah ini akan tuntas dengan hanya kata ” islah ”. Menurut saya kok akan sulit, karena aksi dukung mendukung itu mahal taruhannya, islah dalam konteks pergaulan mungkin saja bisa, namun akan sulit kalau akan diajak duduk bersama satu meja. Contoh, ketika K.H. Hasyim Muzadi mencalonkan diri menjadi Cawapres bersama Megawati, Gus Dur sangat keberatan, hingga pada saat K.H. Hasyim Muzadi mencalonkan kembali menjadi ketua PB NU Gus Dur juga berkeinginan kembali lagi ke jajaran struktural NU sebagai Syuriah. Ada indikasi akan menghadang pencalonan K.H. Hasyim Muzadi. Dan ini terus berlanjut sampai pada resufle Saifulloh Yusuf dari kabinet Susilo Bambang Yudoyono sebagai buntut perpecahan di tubuh PKB. Dan kongres luar biasa di semarang. Rentetan perpecahan itu sampai hari ini ternyata juga belum tuntas. Dilema warga NU untuk berpihak pada siapa juga tidak menemukan jawaban, sehingga hari ini yang berbicara bukan lagi pada tataran spirit lagi namun pada subtansi kompensasi, apa yang mereka bisa berikan itulah yang menjadi jawaban dilema tiada ujung tersebut. Mereka tidak salah karena itu realitas yang terjadi. Walohualam bissowab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar