Powered By Blogger

Kamis, 29 Maret 2012

Mengawal Reformasi atau Revolusi?


Mengawal Reformasi atau Revolusi?

MENGAWAL REFORMASI ATAU REVOLUSI?
Subject diatas sengaja saya bentuk menjadi pertanyaan yang mungkin sedikit provokatif sebagai tanda kegusaran atas segala hal yang berlangsung di negeri ini pasca reformasi 1998 yang digerakkan oleh mahasiswa yang mengaku intelektual dan merasa dirinya sebagai agent of change and social control. Ditengah irrasionalitas dan ketidakpastian reformasi, “gerakan mahasiswa” harus tetap imun dari virus-virus “Vasted Interest”. Gerakan mahasiswa tidak boleh gelagapan, gerakan mahasiswa harus tetap rasional, jangan terjebak ke loyalitas pada orang. Bagi gerakan mahasiswa, apapun namanya, entah dikampus atau diluar kampus, loyalitas harus diletakkan pada cita-cita idealismenya.
Mahasiswa adalah anak semua jaman dan gerakan mahasiswa itu penentu sejarah jaman. Walaupun gerakan mahasiswa saat ini sudah terpolarisasi karena kehilangan “musuh bersama”. Tapi, yakinlah polarisasi itu hanya sesaat karena idealisme tetap menjadi pengikat. Gerakan mahasiswa itu indah karena ia beragam; ada GMNI, ada HMI, ada PMII, ada LMND, ada GEMA PEMBEBASAN atau organ-organ intra kampus seperti BEM atau SENMA, dll. Tapi semuanya digerakkan satu jiwa: idealisme pada bangsa, tanah air, pada rakyat, sudah tentu dengan dinaungi oleh keyakinan imanen/religiusitas pada kekuasaan Sang Khalik.
Kita teringat pada 1998 ketika mahasiswa seluruh Indonesia bergerak menyuarakan Reformasi Total dengan tujuan utama adalah menjatuhkan Soeharto dari tampuk kekuasaan negara. Mahasiswa dari seluruh Indonesia berkonsentrasi di Jakarta dan kala itu mahasiswa yang jumlahnya ribuan lebih menduduki gedung parlemen (MPR/DPR-RI). Akan tetapi ketika Soeharto telah jatuh, seolah-olah gerakan juga selesai. Padahal masih banyak agenda reformasi yang harus disuarakan. Tapi itu adalah sejarah masa lalu dan kita patut mengambil pelajaran dari itu semua. Pelajaran yang telah diberikan oleh pendahulu-pendahulu kita. Dan yang perlu dicamkan dalam benak kita semua bahwa masa lalu memiliki peluang yang sama dengan masa depan dan sejarah bisa saja akan berulang. Ingat kata Bung Karno “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”.
Reformasi kini tak ubahnya sebagai slogan para pejabat dan juga politikus partai negeri ini demi melanggengkan diri menuju kekuasaan dan ketika tampuk kekuasaan telah diraih maka reformasi digunakan sebagai lips service kepada rakyat agar kursi empuk kekuasaan tidak berpindah tangan. Dulu musuh bersama kita adalah Soeharto. Kini didepan kita ada banyak musuh bersama: disintegrasi, politisasi hukum, ketidakadilan sosial, eksploitasi daerah, militerisme, separitisme, serta neo-kolonialisme dan neo-imperialisme (NEKOLIM).
Coba kita renungkan bersama bahwa tatkala reformasi gagal, tanpa kita sadari “hukum-hukum revolusi” sedang berjalan dengan sendirinya secara alami. Revolusi itu adalah tindakan jebol bangun atas tatanan lama dan usang. Tidak seperti reformasi yang pada prinsipnya adalah tindakan tambal sulam. Jadi jangan terdistorsi oleh definisi revolusi orde baru yang penuh dengan lukisan berdarah, bunuh-bunuhan, atau bakar-bakaran. Revolusi bisa datang damai bila kita cerdas. Revolusi itu bersifat alamiah, hanya diberikan rangsangan dan tidak dapat direncanakan tetapi juga tidak dapat ditangkal. Nah, kalau reformasi gagal, maka gerakan mahasiswa pun rasanya sulit menolak untuk dapat berkata: “Selamat tinggal reformasi, Selamat datang revolusi”, atau “Adios Reformasi, Bensa Dedeo Revolusi”. Tinggal menjadi pilihan, apakah kita akan tetap mengawal reformasi atau mempersiapkan diri untuk menyambut datangnya revolusi?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar