Negara dengan Hukum Rimba
Indonesia
sama dengan cerita Tarzan dalam dongeng klasik yang kepemimpinanya
didasarkan pada kekuatan fisik. Bedanya, Tarzan masih memiliki naluri
kemanusiaan yang tinggi. Ini dibuktikan dengan sikapnya yang menghargai
makhluk sesama penghuni alam semesta, berkawan dengan siapa saja tanpa
memandang harkat dan martabat termasuk takdir. Bandingkan dengan
Indonesia. Jangankan dengan makhluk ciptan tuhan lainnya. Sesama manusia
pun sikap toleransi dan saling menghargai hampir tidak nampak sama
sekali. Bahkan bangsa indonesia saling menjatuhkan satu sama
lain.Undang-undang dibuat hanya sebagai mesin politik guna menindas kaum
minoritas dengan mengatasnamakan negara. Penyelesaian problematika
masalah bangsa tidak melalui kedaulatan hukum, tetapi melalui jalur
negosiasi politik yang cenderung parsial. Konsep negara hukum
(rechstaat) yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dicederai oleh
kepentingan sesaat. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi
dijadikan kambinghitam untuk mendapatkan simpati politik. Hukum ibarat
kain usang yang sering ditambal sulam. Hukum
diciptakan untuk menciptakan ketentraman. Tetapi hukum juga bisa
mengakibatkan pertikaian. Disparitas antara konsep hukum dan kekuasaan
seringkali berujung pada anarkisme sosial yang permanen. Ironisnya,
hukum yang seharusnya bisa menciptakan kestabilan sosial, justeru
mengakibatkan kerusuhan sehingga mengakibatkan instabilitas nasional.
Apa yang menurut penguasa hukum yang baik, menurut rakyat adalah hukum
yang menindas. Hukum bisa berjalan pada koridornya jika tidak
diintervensi oleh kepentingan politik. Tapi di Indonesia, hampir
mustahil mengatakan tidak intervensi politik dalam pembuatan hukum.Hukum
yang dipraktekkan di Indonesia cenderung egois, hanya mendengarkan satu
pihak dan mengabaikan suara dari pihak lain. Ini mengakibatkan hukum di
Indonesia ibarat hukum rimba. Siapa kuat, maka dialah pemenangnya. Yang
memiliki uang atau modal, maka dapat dipastikan, ia akan mampu membeli
kedaulatan negara. Dalam doktrin kapitalisme “welcome to money”. Yang
tidak mampu bersaing, perlahan-lahn akan tersingkir dan jatuh. Yang
miskin akan selamanya melarat dan terinjak-injakBerkaca
pada pengalaman pemberantasan korupsi di Indonesia, hasil pencapaian
kinerja tim pemberantasan korupsi hanya sebatas pada kuantitas jumlah
kerugian negara yang berhasil dikembalikan yang ternyata jumlahnya juga
tidak berbanding lurus antara pembiayaan dan pengembalian kerugian
negara, bahkan terjadi peningkatan kuantitas dan kualitas praktek
korupsi. Lompatan prestasi kinerja menteri sebagai tolak ukur melakukan
reshufle hanya merupakan sebuah relativisme ukuran keberhasilan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar