Powered By Blogger

Sabtu, 31 Maret 2012

Radikalisme Agama dan Akar Kekerasan

Radikalisme Agama dan Akar Kekerasan

diskusi
Judul di atas merupakan tema persentasi yang dibawakan oleh Dr. Yasraf Amir Piliang seorang dosen ITB yang juga merupakan pakar postmodernisme Indonesia. Ia di undang hadir dalam Diskusi Tematik Bulanan Fakultas Ushuluddin Sunan Gunung Djati Bandung hari rabu 7 Maret 2012. Sebagai Pembanding hadir pula narasumber lain yang berasal dari kampus UIN sendiri yaitu Dr Nurrohman  yang penelitian dan tulisan-tulisannya banyak yang membahas radikalisme terutama dalam kacamata Agama.
Diskusi ini dihadiri tidak kurang dari 80 orang peserta yang terdiri dari dosen dan mahasiswa. Ruangan fakultas Ushuluddin yang memakai gedung Cafetaria ternyata tidak mampu menampung peserta, sehingga belasan orang duduk di luar ruangan diskusi. Proses renovasi dan pembangunan kampus membuat proses belajar mengajar menjadi tidak nyaman, namun tidak menyurutkan semangat untuk terus belajar.
Pukul 10 tepat acara diskusi dimulai. Pembicara pertama yaitu Yasraf menjelaskan bahwa saat ini radikalisme agama sudah direduksi pengertiannya menjadi ektremisme. Karena sebenarnya radikalisme bila melihat dari asal katanya yaitu “radix” atau “akar” merupakan sebuah bentuk sikap yang mengutamakan nilai-nilai mendasar dalam hidupnya. Nilai ini bisa bermakna positif juga negative . Namun saat ini orang-orang memakai kata radikalisme lebih pada perbuatan kekerasan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang.
Yasraf tidak banyak menjelaskan radikalisme, ia lebih banyak menjelaskan akar kekerasan itu sendiri. Akar kekerasan dijelaskannya dengan perpektif filsafat. Menurutnya secara substansi ada benang merah yang sama dari bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi saat ini. Apakah fenomena kekerasan yang terjadi terhadap Ahmadiah, kekerasan yang terjadi di Poso, kekerasan yang terjadi di reformasi Mesir. Benang merahnya bisa dilihat dari relasi “The I” dan “The Other” atau relasi aku dengan lian. Relasi pertama adalah relasi Monologisme. Dalam Relasi ini “The I” melihat apapun dengan kacamata dirinya sendiri.
Relasi yang kedua adalah Pluralisme. Dimana dalam relasi ini “Aku” menghargai dang mengakui keberadaan “Lian”. Pengertian Pluralisme di sini berbeda dengan definisi pluralisme yang menyamakan semua agama. Namun lebih kepada sebuah sikap yang mengakui dan menghargai keberagaman lian.
Namun karena ada Desire The Other yang ingin memiliki atau menjadi apa yang dimiliki yang lain maka relasi pluralism ini sukar sekali terjadi. Yasraf mencontohkan tentang penyerangan Amerika terhadap Irak yang sebenarnya didasari oleh hasrat untuk menguasai sumber minyak dunia. Atau hal hal sederhana lain disekitar kita hanya karena uang seribu rupiah seseorang bias memukul orang lain.
Ada objek yang sama yang menjadi tujuan “Aku” dan “Lian” sehingga terjadilah kompetisi, perjuangan, konflik kepentingan, kecemburuan dan kebencian.
Karena hasrat terhadap objek yang sama ini pada ahirnya “Aku” membentuk dirinya ada dalam sebuah posisi tertutup dan memproteksi diri dengan membangun barrier dalam melihat yang “lian”. Kondisi ini disebut dengan Umwelt yaitu selalu menganggap yang lian sebagai ancaman. Bila semua manusia memiliki konsep ini maka yang terjadi adalah hidup dengan penuh kecurigaan dan penafian terhadap yang lain.
Relasi “Aku” dan “Lian”  masing-masing memproteksi diri, pada ahirnya memilihi sikap “Essensialisme” yang menjadikan “Aku” sebagai yang absolute yang paling benar yang paling paham dan paling segala-galanya. Selain itu sikap yang lain yaitu “Demonologi” yang selalu mengatakan bahwa yang “lian” itu selalu salah. Lian itu kafir. Lian itu akan masuk neraka.
Selain itu ada juga dalam melihat kekerasan kita tidak bisa melepaskan diri dari apa yang disebut sebagai Simulation of Violence dimana ada “elit” yang mengakibatkan sebuah kekerasan real terjadi. “Elit” ini biasanya sebagai sebuah konseptor yang memprovokasi terjadinya kekerasan sulit untuk dilacak dan ditangkap. Selama ini dalam berbagai kekerasan yang terjadi di Indonesia selalu pelaku real yang massif yang ditangkap. Padahal para “elit” ini selalu mencari peluang untuk memperburuk. “Elit” ini juga bisa berasal dari Negara yang sengaja melakukan Simulasi Kekerasan untuk meneguhkan kekuasaanya.
Ahirnya solusi yang ditawarkan oleh Yasraf adalah Dialogisme. Yaitu sebuah sikap yang betul betul tertanam untuk selalu melakukan dialog bila terjadi permasalahan. Dialogisme bukan sekedar dialog. Karena kalau sekedar dialog saja bisa terjadi. Namun apakah memiliki keinginan untuk sedikit mengendurkan mur-mur yang kencang agar mendapat sebuah soulsi yang bermanfaat ini juga harus dimiliki.
Diskusi ini berlangsung sampai pukul 12.00 WIB. Setelah diskusi usai Yasraf masih dikelilingi oleh peserta yang masih penasaran dan tidak puas dengan apa yang sudah dibicarakan dalam diskusi. Ahirnya kami bersepakat untuk menmbedah buku baru Yasraf yang berjudul “Bayang-Bayang Tuhan: Agama & Imajinasi” yang diterbitkan Mizan Mei 2011 sebagai lanjutan diskusi ini Semoga acara bedah buku nanti bisa mengurangi kehausan kami akan pemahaman yang lebih rahmah bagi manusia dan alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar