Semangat Cinta yang Abadi; Spiritualistis!
“Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir “
(Q.S. Ar-Rum, 30: 21).
Sunan Gunung Djati-Cinta, kata sebagian
filosof dibagi menjadi dua. Ada yang masuk ke golongan eros, ada juga
yang masuk ke dalam agape. Nah, kalau kedua bentuk cinta ini Anda
praktikkan dalam kehidupan sehari-hari, akan mempengaruhi etos atau
kebiasaan Anda. Eros, artinya adalah cinta yang hanya berdasarkan pada
kecantikan dan kesempurnaan tubuh. Maka, ketika ada seorang penyanyi
dangdut bergoyang hingga membangkitkan gairah seks lelaki hidung belang,
kita menyebutnya erotis.
Ketika cinta terlepas dari lingkaran
nilai-nilai spiritualitas, tentunya ia hanya melemparkan rasa cinta
kepada orang lain karena faktor cangkang luar. Sederhananya makna
spiritualitas saya artikan sebagai kekuatan ruh, semangat kemanusiaan,
dan wujud dari kedamaian ajaran Islam. Cinta berbalut spiritualitas
adalah aktualisasi dari cinta yang selamanya dapat dikenang karena wujud
dari Mahakasih dan Mahapenyayang-Nya Allah SWT atas kehidupan umat
manusia. Cinta karena faktor cangkang luar, sederhananya, tidak melihat
inner beauty, kecantikan yang diidam-idamkan oleh para penganut cinta
platonik.
Cinta platonik, istilah yang dipakai
untuk menyebut sebuah relasi manusia, di mana unsur-unsur rasa
ketertarikan secara seksual tidak terdapat, namun ketertarikan yang
lebih idealis. Istilah ini diambil dari salah satu filsuf Yunani kuna,
Plato, terutama dari karyanya Symposium, di mana tertulis bahwa cinta
akan ide dan kebaikan adalah dasar dari semua kebajikan dan kebenaran.
Istilah amor platonicus, sudah dipakai sejak awal abad ke-15 oleh
Marsilio Ficino, sebagai sinonim dari kata “amor socraticus” yang
merujuk pada rasa berhubungan antara Sokrates dan murid-muridnya. Maka,
tak salah jika orang semacam ini ketika berhubungan dengan lawan jenis
hanya bisa mengeksploitasi tubuh-kasarnya, sehingga ketika ikatan cinta
kandas, ia menjadi melupakannya.
Eros secara istilah adalah suatu
dorongan untuk mencintai seseorang hanya berdasarkan pamrih. Ketika
seseorang menjalin persahabatan, umpamanya, itu didasari dengan prinsip
untung-rugi. Ketika memberi sesuatu pun, ia mengharap kembalian yang
lebih. Bahkan sedekah kepada orang yang membutuhkan juga dilandasi
pemikiran matematis logis. Kalau akan mendapatkan keuntungan, mereka pun
akan sedia melakukannya. Model cinta seperti ini saya kategorikan
dengan “cinta berpamrih”. Posisinya sama dengan orang yang memahami
luapan cinta bisa dibuktikan dengan chipika-chipiki (antar lawan jenis
lho). Sebab, bentuk cinta ini mengharapkan sesuatu yang bersifat
material, terlihat, kasat mata, dan terasa oleh badan.
Padahal, ada yang lebih tinggi dari
hal-hal yang material. Ya, apa yang disebut dengan kekuatan ruhaniyah.
Ketika orang yang mengagungkan cinta sebagai wujud kebaikan Tuhan yang
mencintai Hamba-Nya tanpa pamrih, ia akan mempraktikkan cinta yang
disamakan oleh para filosof dengan agape. Nah, kalau arti dari agape
berbeda dengan eros. Makna agape, cinta itu mewujud dalam bentuk yang
tulus, ikhlas dan suci, bahkan spiritualistis. Sangat memotivasi, bahkan
mampu merevolusi tutur-kata, sikap dan tindak seorang anak manusia.
Saya mendapatkan kisah yang menggugah dari seorang suami yang tabah, dari internet dan disarikan sebagai berikut:
Pak Suyatno, sorang pria berusia 58
tahun adalah sang pecinta sejati. Aktivitas kesehariannya hanya diisi
untuk merawat istrinya yang sakit dan sudah tua. Mereka sudah 32 tahun
lebih membina hubungan sebagai suami-istri. Cinta pak Suyatno sedang
dicoba. Cobaan itu datang saat sang istri melahirkan anak keempat.
Tiba-tiba kaki istrinya lumpuh dan tidak bisa digerakkan. Itu
berlangsung sampai 2 tahun. Menginjak tahun keitga, giliran seluruh
tubuhnya lemah dan lidahnya pun kelu tak bisa digunakan untuk berbicara.
Selama beberapa tahun ini, pak Suyatno lah yang mengurus segala kebutuhan sang istri. Ia hampir setiap hari memandikan, membersihkan kotoran, menyuapi, dan mengangkat istrinya ke atas tempat tidur. Kalaupun ia (pak Suyatno) berangkat kerja, sebelum meninggalkan istrinya, pak Suyatno mendudukkan sang istri di depan TV, agar tidak merasa jenuh dan bosan.
Selama beberapa tahun ini, pak Suyatno lah yang mengurus segala kebutuhan sang istri. Ia hampir setiap hari memandikan, membersihkan kotoran, menyuapi, dan mengangkat istrinya ke atas tempat tidur. Kalaupun ia (pak Suyatno) berangkat kerja, sebelum meninggalkan istrinya, pak Suyatno mendudukkan sang istri di depan TV, agar tidak merasa jenuh dan bosan.
Kendati istrinya tak bisa berbicara,
dengan sabar Pak Suyatno mengajaknya berbincang-bincang. Sang istrinya
pun acapkali terlihat tersenyum ketika pak Suyatno sesekali bercanda.
Untunglah tempat usaha pak Suyatno tidak begitu jauh dari rumahnya
sehingga bisa pulang untuk menyuapi istrinya ketika makan siang. Sore
harinya, ia pulang untuk memandikan istrinya, mengganti pakaian dan
selepas maghrib dia temani istrinya nonton televisi sambil menceritakan
apa saja.Rutinitas itu dilakukan pak Suyatno sekitar 25 tahun lebih.
Dengan sabar dia merawat istrinya bahkan sambil membesarkan ke empat
buah hati mereka.
Suatu hari ke empat anak Pak Suyatno
berkumpul di rumah untuk menjenguk ibunya. Mereka setelah menikah
tinggal dengan keluarga masing-masing. Maka, Pak Suyatno memutuskan
merawat istrinya, dan dia ingin semua anaknya berhasil. Dengan
berhati-hati anak sulungnya berkata: “Pak kami ingin sekali merawat ibu,
karena semenjak kecil melihat bapak merawat ibu. Kami tidak melihat
sedikitpun keluhan keluar dari bibir bapak. Bahkan bapak tidak
mengijinkan kalau kami menjaga ibu” .
Kemudian anak itu melanjutkannya, “Sudah
yang keempat kalinya kami mengijinkan bapak menikah lagi. Kami rasa
ibupun akan mengijinkannya. Kalau begitu, kapan bapak menikmati masa tua
dengan berkorban seperti ini. Kami sudah tidak tega melihat bapak, kami
janji akan merawat ibu sebaik-baik secara bergantian”. Pak suyatno
menjawab hal yang sama sekali tidak diduga anak-anaknya.
“Anak-anakku, jika saja perkawinan dan
hidup di dunia ini hanya untuk nafsu, mungkin bapak akan menikah. Tapi
ketahuilah dengan adanya ibu kalian disampingku itu sudah lebih dari
cukup. Dia telah melahirkan kalian. Kalian yang selalu kurindukan hadir
di dunia ini dengan penuh cinta yang tidak dapat dihargai dengan apapun.
Coba kalian tanya ibumu apakah dia menginginkan keadaanya seperti Ini.
Kalian menginginkan bapak bahagia, apakah bathin bapak bisa bahagia
meninggalkan ibumu dengan keadaanya sekarang. Kalian menginginkan bapak
yang masih diberi Tuhan kesehatan dirawat oleh orang lain, bagaimana
dengan ibumu yang masih sakit.”
“Saya memilih ibumu sebagai pendamping
hidup, dan sewaktu dia sehat dengan sabar merawat, serta mencintai ayah
dengan hati dan bathinnya. Bukan dengan mata. Ibumu memberi empat orang
anak yang membahagiakan. Sekarang dia sakit karena berkorban untuk cinta
kita bersama. Itu merupakan ujian bagiku, apakah dapat memegang
komitmen untuk mencintainya apa adanya. Sehatpun belum tentu ayahmu
mencari penggantinya apalagi kalau dia sakit.”
Kisah di atas adalah kisah percintaan
yang didasari rasa tulus dan ikhlas. Cinta pak Suyatno itulah yang layak
dikategorikan sebagai agape, cinta yang didasari ketulus-ikhlasan.
Model cinta seperti ini muncul dari kesadaran sebagai puncak evolusi
manusia. Cinta Pak Suyatno merupakan kunci untuk mengarahkan diri
melakukan evolusi ke arah “makin mantapnya kepribadian yang dimiliki”
dan keteguhan diri. Pak Suyatno, “terlempar keluar dari cinta diri dan
mulai mengeluarkannya untuk orang lain” lewat pengabdian kepada sang
istri sebagai bentuk kasih-sayangnya.
Pak Suyatno telah berhasil memoles cinta
dengan hal yang bersifat spiritualistis. Artinya, dia mampu mengalihkan
tujuan pengungkapan cintanya ke dalam bentuk yang lebih kekal atau
abadi. Dia juga mampu menghargai sesuatu yang layak dicintainya sepenuh
hati. Tidak ada motif lain yang bersifat material-seksual. Pokoknya,
tulus dan ikhlas adalah landasan dalam mengokohkan rasa cintanya hingga
mampu menciptakan saling bakti. Karena itu, dengan menganut keikhlasan
dan ketulusan cinta, seolah menjadi semacam kewajiban sejarah buat
manusia, agar hidupnya memiliki makna dan arti bagi orang disekitarnya.
Ketika, misalnya, niatan manusia membina
hubungan percintaan dengan seseorang atas dasar ketulusan, ia akan
menjadikan percintaannya itu sebagai wahana menggapai cinta Allah.
Inilah yang saya istilahkan dengan cinta berbalut spiritualitas. Cinta
yang menjadikan setiap manusia dapat mensyukuri kehidupan dan tidak
mencercanya. Sebab, banyak kasus timbulnya pencercaan manusia atas hidup
diakibatkan tidak tersebarnya cinta tulus-ikhlas di dalam diri.
Pak Suyatno menjadikan “energi cinta”
sebagai kekuatan yang membangun harmonitas hidup. Dia memperkuat
landasan cintanya dengan sesuatu yang spiritual atau ruhaniyah, yakni
Tuhan sebagai tujuan mengaktualkan cinta. Sehingga, decak kagum
membahana ketika dirinya diundang salah satu stasiun TV Swasta untuk
memaparkan pengorbanan cintanya kepada sang istri. Ketika badai menerpa
kehidupan rumah tangganya, rasa kasih-sayang Pak Suyatno tidak pernah
padam, sehingga dari sinilah muncul ketenangan dan ketentraman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar