Powered By Blogger

Sabtu, 31 Maret 2012

Semangat Cinta yang Abadi; Spiritualistis!

Semangat Cinta yang Abadi; Spiritualistis!

lop
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir “ (Q.S. Ar-Rum, 30: 21).
Sunan Gunung Djati-Cinta, kata sebagian filosof dibagi menjadi dua. Ada yang masuk ke golongan eros, ada juga yang masuk ke dalam agape. Nah, kalau kedua bentuk cinta ini Anda praktikkan dalam kehidupan sehari-hari, akan mempengaruhi etos atau kebiasaan Anda. Eros, artinya adalah cinta yang hanya berdasarkan pada kecantikan dan kesempurnaan tubuh. Maka, ketika ada seorang penyanyi dangdut bergoyang hingga membangkitkan gairah seks lelaki hidung belang, kita menyebutnya erotis.
Ketika cinta terlepas dari lingkaran nilai-nilai spiritualitas, tentunya ia hanya melemparkan rasa cinta kepada orang lain karena faktor cangkang luar. Sederhananya makna spiritualitas saya artikan sebagai kekuatan ruh, semangat kemanusiaan, dan  wujud dari kedamaian ajaran Islam. Cinta berbalut spiritualitas adalah aktualisasi dari cinta yang selamanya dapat dikenang karena wujud dari Mahakasih dan Mahapenyayang-Nya Allah SWT atas kehidupan umat manusia. Cinta karena faktor cangkang luar, sederhananya, tidak melihat inner beauty, kecantikan yang diidam-idamkan oleh para penganut cinta platonik.
Cinta platonik,  istilah yang dipakai untuk menyebut sebuah relasi manusia, di mana unsur-unsur rasa ketertarikan secara seksual tidak terdapat, namun ketertarikan yang lebih idealis. Istilah ini diambil dari salah satu filsuf Yunani kuna, Plato, terutama dari karyanya Symposium,  di mana tertulis bahwa cinta akan ide dan kebaikan adalah dasar dari semua kebajikan dan kebenaran. Istilah amor platonicus, sudah dipakai sejak awal abad ke-15 oleh Marsilio Ficino, sebagai sinonim dari kata “amor socraticus” yang merujuk pada rasa berhubungan antara Sokrates dan murid-muridnya. Maka, tak salah jika orang semacam ini ketika berhubungan dengan lawan jenis hanya bisa mengeksploitasi tubuh-kasarnya, sehingga ketika ikatan cinta kandas, ia menjadi melupakannya.
Eros secara istilah adalah suatu dorongan untuk mencintai seseorang hanya berdasarkan pamrih. Ketika seseorang menjalin persahabatan, umpamanya, itu didasari dengan prinsip untung-rugi. Ketika memberi sesuatu pun, ia mengharap kembalian yang lebih. Bahkan sedekah kepada orang yang membutuhkan juga dilandasi pemikiran matematis logis. Kalau akan mendapatkan keuntungan, mereka pun akan sedia melakukannya. Model cinta seperti ini saya kategorikan dengan “cinta berpamrih”. Posisinya sama dengan orang yang memahami luapan cinta bisa dibuktikan dengan chipika-chipiki (antar lawan jenis lho). Sebab, bentuk cinta ini mengharapkan sesuatu yang bersifat material, terlihat, kasat mata, dan terasa oleh badan.
Padahal, ada yang lebih tinggi dari hal-hal yang material. Ya, apa yang disebut dengan kekuatan ruhaniyah. Ketika orang yang mengagungkan cinta sebagai wujud kebaikan Tuhan yang mencintai Hamba-Nya tanpa pamrih, ia akan mempraktikkan cinta yang disamakan oleh para filosof dengan agape. Nah, kalau arti dari agape berbeda dengan eros. Makna agape, cinta itu mewujud dalam bentuk yang tulus, ikhlas dan suci, bahkan spiritualistis. Sangat memotivasi, bahkan mampu merevolusi tutur-kata, sikap dan tindak seorang anak manusia.
Saya mendapatkan kisah yang menggugah dari seorang suami yang tabah, dari internet dan disarikan sebagai berikut:
Pak Suyatno, sorang pria berusia 58 tahun adalah sang pecinta sejati. Aktivitas kesehariannya hanya diisi untuk merawat istrinya yang sakit dan sudah tua. Mereka sudah 32 tahun lebih membina hubungan sebagai suami-istri. Cinta pak Suyatno sedang dicoba. Cobaan itu datang saat sang istri melahirkan anak keempat. Tiba-tiba kaki istrinya lumpuh dan tidak bisa digerakkan. Itu berlangsung sampai 2 tahun. Menginjak tahun keitga, giliran seluruh tubuhnya lemah dan lidahnya pun kelu tak bisa digunakan untuk berbicara.
Selama beberapa tahun ini, pak Suyatno lah yang mengurus segala kebutuhan sang istri. Ia hampir setiap hari memandikan, membersihkan kotoran, menyuapi, dan mengangkat istrinya ke atas tempat tidur. Kalaupun ia (pak Suyatno) berangkat kerja, sebelum meninggalkan istrinya, pak Suyatno mendudukkan sang istri di depan TV, agar tidak merasa jenuh dan bosan.
Kendati istrinya tak bisa berbicara, dengan sabar Pak Suyatno mengajaknya berbincang-bincang. Sang istrinya pun acapkali terlihat tersenyum ketika pak Suyatno sesekali bercanda. Untunglah tempat usaha pak Suyatno tidak begitu jauh dari rumahnya sehingga bisa pulang untuk menyuapi istrinya ketika makan siang. Sore harinya, ia pulang untuk memandikan istrinya, mengganti pakaian dan selepas maghrib dia temani istrinya nonton televisi sambil menceritakan apa saja.Rutinitas itu dilakukan pak Suyatno sekitar 25 tahun lebih. Dengan sabar dia merawat istrinya bahkan sambil membesarkan ke empat buah hati mereka.
Suatu hari ke empat anak Pak Suyatno berkumpul di rumah untuk menjenguk ibunya. Mereka setelah menikah tinggal dengan keluarga masing-masing. Maka, Pak Suyatno memutuskan merawat istrinya, dan dia ingin semua anaknya berhasil. Dengan berhati-hati anak sulungnya berkata: “Pak kami ingin sekali merawat ibu, karena semenjak kecil melihat bapak merawat ibu. Kami tidak melihat sedikitpun keluhan keluar dari bibir bapak. Bahkan bapak tidak mengijinkan kalau kami menjaga ibu” .
Kemudian anak itu melanjutkannya, “Sudah yang keempat kalinya kami mengijinkan bapak menikah lagi. Kami rasa ibupun akan mengijinkannya. Kalau begitu, kapan bapak menikmati masa tua dengan berkorban seperti ini. Kami sudah tidak tega melihat bapak, kami janji akan merawat ibu sebaik-baik secara bergantian”. Pak suyatno menjawab hal yang sama sekali tidak diduga anak-anaknya.
“Anak-anakku, jika saja perkawinan dan hidup di dunia ini hanya untuk nafsu, mungkin bapak akan menikah. Tapi ketahuilah dengan adanya ibu kalian disampingku itu sudah lebih dari cukup. Dia telah melahirkan kalian. Kalian yang selalu kurindukan hadir di dunia ini dengan penuh cinta yang tidak dapat dihargai dengan apapun. Coba kalian tanya ibumu apakah dia menginginkan keadaanya seperti Ini. Kalian menginginkan bapak bahagia, apakah bathin bapak bisa bahagia meninggalkan ibumu dengan keadaanya sekarang. Kalian menginginkan bapak yang masih diberi Tuhan kesehatan dirawat oleh orang lain, bagaimana dengan ibumu yang masih sakit.”
“Saya memilih ibumu sebagai pendamping hidup, dan sewaktu dia sehat dengan sabar merawat, serta mencintai ayah dengan hati dan bathinnya. Bukan dengan mata. Ibumu memberi empat orang anak yang membahagiakan. Sekarang dia sakit karena berkorban untuk cinta kita bersama. Itu merupakan ujian bagiku, apakah dapat memegang komitmen untuk mencintainya apa adanya. Sehatpun belum tentu ayahmu mencari penggantinya apalagi kalau dia sakit.”
Kisah di atas adalah kisah percintaan yang didasari rasa tulus dan ikhlas. Cinta pak Suyatno itulah yang layak dikategorikan sebagai agape, cinta yang didasari ketulus-ikhlasan. Model cinta seperti ini muncul dari kesadaran sebagai puncak evolusi manusia. Cinta Pak Suyatno merupakan kunci untuk mengarahkan diri melakukan evolusi ke arah “makin mantapnya kepribadian yang dimiliki” dan keteguhan diri. Pak Suyatno, “terlempar keluar dari cinta diri dan mulai mengeluarkannya untuk orang lain” lewat pengabdian kepada sang istri sebagai bentuk kasih-sayangnya.
Pak Suyatno telah berhasil memoles cinta dengan hal yang bersifat spiritualistis. Artinya, dia mampu mengalihkan tujuan pengungkapan cintanya ke dalam bentuk yang lebih kekal atau abadi. Dia juga mampu menghargai sesuatu yang layak dicintainya sepenuh hati. Tidak ada motif lain yang bersifat material-seksual. Pokoknya, tulus dan ikhlas adalah landasan dalam mengokohkan rasa cintanya hingga mampu menciptakan saling bakti.  Karena itu, dengan menganut keikhlasan dan ketulusan cinta, seolah menjadi semacam kewajiban sejarah buat manusia, agar hidupnya memiliki makna dan arti bagi orang disekitarnya.
Ketika, misalnya, niatan manusia membina hubungan percintaan dengan seseorang atas dasar ketulusan, ia akan menjadikan percintaannya itu sebagai wahana menggapai cinta Allah. Inilah yang saya istilahkan dengan cinta berbalut spiritualitas. Cinta yang menjadikan setiap manusia dapat mensyukuri kehidupan dan tidak mencercanya. Sebab, banyak kasus timbulnya pencercaan manusia atas hidup diakibatkan tidak tersebarnya cinta tulus-ikhlas di dalam diri.
Pak Suyatno menjadikan “energi cinta” sebagai kekuatan yang membangun harmonitas hidup. Dia memperkuat landasan cintanya dengan sesuatu yang spiritual atau ruhaniyah, yakni Tuhan sebagai tujuan mengaktualkan cinta. Sehingga, decak kagum membahana ketika dirinya diundang salah satu stasiun TV Swasta untuk memaparkan pengorbanan cintanya kepada sang istri. Ketika badai menerpa kehidupan rumah tangganya, rasa kasih-sayang Pak Suyatno tidak pernah padam, sehingga dari sinilah muncul ketenangan dan ketentraman.
Pernahkah Anda mengidamkan cinta seperti itu tumbuh dalam kehidupan rumah tangga Anda? Percayalah bahwa dengan mencintai sesama manusia tanpa melihat kasta, tahta, dan harta akan mengantarkan Anda mampu mencintai Allah dengan ketulusan dan keikhlasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar