Ali Syari’ati, Sang Arsitek Revolusi Iran
Salah
satu pernyataan Syari’ati adalah ”Manusia menjadi ideal dengan mencari
serta memperjuangkan umat manusia, dan dengan demikian, ia menemukan
Tuhan”. Sedangkan ciri pemikiran Syari’ati menurut Shahrough Akhlavi
adalah ”Agama harus ditransformasikan dari ajaran etika pribadi ke
program revolusioner untuk mengubah dunia”(h.119)
Manusia sebagai khalifah digambarkan
oleh Syari’ati sebagai manusia individu yang dimintai pertanggungjawaban
oleh Tuhan sebegai individu. Karenanya, manusia adalah individu yang
otonom, mempunyai kesadaran, mempunyai daya kreatifitas, dan mempunyai
kebebasan kehendak. Pemikiran Syari’ati ini dipengaruhi oleh
Eksistensialisme yang menekankan kebebasan dan otonomi individual.
Meski menekankan tindakan etis
perorangan, Syari’ati menyatakan bahwa setiap individu mempunyai
tanggungjawab untuk perubahan masyarakatnya. Sayri’ati percaya bahwa
revolusi digerakkan pertama-tama dengan menggerakkan masing-masing
individu. Gerakan individual itu akan mengarah pada gerakan massa. Hal
ini terlihat secara konkrit dalam ibadah haji. Syari’ati memberikan
tafsiran haji pada penekanan pentingnya kualitas individual, tapi pada
akhirnya harus melebur dengan gerakan massa. Sayri’ati memandang
revolusi dapat digerakkan saat individu mampu menjalankan kewajibannya
masing-masing, yang kemudian melebur dengan gerakan mass itu.
Syari’ati dan Eksistensialisme
Ciri-ciri umum eksistensialisme barat
sangat terasa dalam beberapa pandangan Syari’ati. Pandangan Syari’ati
secara khas membicarakan persoalan eksistensi yang berpusat perhatian
kepada manusia. Bereksistensi adalah dinamis, menciptakan dirinya secara
aktif, berbuat, menjadi, merencanakan dan selalu berubah kurang atau
lebih dari keadaan sebelumnya. Manusia dipandang terbuka, realitas yang
belum selesai (h. 50). Jika Sartree membatasi manusia pada becoming
sebagai proses untuk membentuk esensinya, Syari’ati lebih jauh lagi,
yaitu potensi manusia menjadi lebih tinggi (h. 40). Inti pemikirannya
bermula pada pandangan dunia Tauhid, dengan Tuhan sebagai sentralnya.
Sebagaimana pemikiran eksistensialis lainnya, baginya manusia dapat
dilihat sebagai being dan becoming. Untuk itu ia menafsirkan kosa kata
bahasa arab bashar sebagai being dan insan untuk becoming (h.7).
Untuk berakhlak dengan akhlak Tuhan,
manusia harus senantiasa melakukan proses evolusi (becoming) menuju
Tuhan itu. Karena hanya dalam modus berada dalam bentuk Insan sajalah
manusia memperoleh kebebasan dan mendapat amanat menjadi khalifah
(wakil) Tuhan. Syari’ati menyatakan bahwa Insan mengandung nilai-nilai
etis, sementara basyar mengandung nilai-nilai hewani. Hanya dengan
menjadi insan sajalah manusia bisa memaksimalkan atribut ketuhanannya,
yaitu kesadaran-diri, kehendak bebas dan kreatifitas. Hanya manusia saja
yang bisa bertindak seperti Tuhan, tetapi manusia tidak bisa menjadi
Tuhan (h. 110)
Syari’ati menyatakan bahwa manusia harus
menjadi manusia yang sebenarnya. Manusia harus menjadi insan, tidak
sekedar basyar (mahluk fisiologis). Basyar adalah mahluk yang sekedar
‘berada’ (being), sedangkan insan adalah mahluk yang ‘menjadi’
(becoming). Dalam konteks ini Syari’ati menafsirkan ayat “Inna lillahi
wainnailaihi rojiun” (dan sesungguhnya kami akan kembali kepada-Nya)
menyatakan bahwa perjalanan kembali kepada-Nya bukanlah berarti di
dalam-Nya atau pada-Nya. Artinya, Tuhan bukanlah titik beku atau suatu
arah yang pasti, yang segala sesuatu menuju kepadanya.
Manusia yang ‘menjadi’ ini memiliki tiga
sifat yang saling berkaitan dan dapat menyesuaikian diri dengan
sifat-sifat ketuhanan. Ketiga sifat itu adalah kesadaran-diri
(selft-awareness), kehendak bebas (free-will), dan kreativitas
(creativiness). (h.36).
Syari’ati dan Marxisme
Ada hubungan cinta-benci antara
Syari’ati dan Marxisme (h. 46). Ia menerima analisa Marx tentang
kesadaran pertentangan kelas antara kaum penindas dan tertindas,
misalnya antara kaum Habil dan kaum Qabil, tetapi terutama bukan antara
buruh melawan Kapitalis, tetapi antara dunia ketiga melawan Imperialisme
Barat. Sayri’ati juga banyak menggunakan paradigma, kerangka dan
analisis Marxis untuk menjelaskan perkembangan masyarakat. Ia
berpendapat bahwa Marx hanyalah seorang matrerialis tulen yang memandang
manusia sebagai makhluk yang tertarik kepada hal-hal yang bersifat
materi belaka. Namun Syari’ati menyanjung Marx yang jauh lebih tidak
“materialistik” ketimbang mereka yang mengklaim “idealis” atau “beriman
dan religius”. Prespektif lain, Syari’ati mengecam Marxisme yang
mengejawantah dalam partai Sosial dan Komunis.
Syari’ati berusaha menyelesaikan
kontradiksi pandangannya itu dengan membagi kehidupan Marx dalam tiga
fase. Pertama Marx muda sebagai filosof ateistik yang mengembangkan
materialisme dealektis. Kedua, Marx dewasa, seorang ilmuwan sosial yang
mengungkapkan bagaimana penguasa mengeksploitasi mereka yang dikuasai.
Ketiga Marx tua yang merupakan politisi. Dari tiga fase itu, Syari’ati
menerima banyak gagasan dari Marx fase kedua, dan menolak fase pertama
dan ketiga.
Syari’ati juga secara terang-terangan
mengkritik ulama konvensional yang disebutnya sebagai “Borjuasi kecil”
dan “Depotisme Spiritual”. Di satu pihak, penguasa telah menindas
keimanan atas nama Islam Syi’ah, tetapi dipihak lain para ulama
tradisional juga harus dikritik karena apatis terhadap kezaliman.
Sebagian dari mereka bersikap oportunistik, sebagian lagi bersifat pasif
karena mengharapkan Imam yang tersembunyi, Imam Mahdi (h. 22).
Biografi
Ali Syari’ati lahir 23 Nopember 1933 di
desa Mazinan, pinggiran kota Masyhad dan Sabzavar, propinsi Khorasan
Iran dengan nama kecil Muhammad Ali Mazinani. Ayahnya, Muhammad Taqi
Syari’ati adalah seorang ulama yang mempunyai silsilah panjang keluarga
ulama dari Masyhad, kota tempat pemakaman Ali Al-Ridha. Kehidupan
Syari’ati atau Ali Mazinani berakar di pedesaan dan di sanalah
pandangannya pertama kali dibentuk. Guru pertama kalinya adalah ayahnya
sendiri yang memutuskan mengajar di kota Masyhad. Pada awal 1940-an,
ayah Ali Mazinani mendirikan usaha penerbitan bernama “Pusat Penyebaran
Kebenaran Islam” (The Center for Propagation of Islamic Truth) yang
bertujuan untuk kebangkitan Islam sebagai agama yang sarat dengan
kewajiban dan komitmen sosial. Pada dekade ini, ayah Syari’ati membentuk
cabang organisasi Nehzat-I Khodaparastan-I Sosiyalist (The Movement of
God-worshiping Socialist, Gerakan Penyembah Tuhan Sosialis. Ia membahas
gagasan pemikir modern, khususnya para pemikir Sosialisme Arab dan
sejarahwan Khazrawi, tokoh yang dibenci para Mullah Iran. Karenanya ia
dicap sebagai “sunni”, “wahabi”, bahkan “baabisme” oleh beberapa ulama
(h. 13). Dari ayahnya inilah semangat non-konvensional – dan oposisi –
Ali Mazinani terbentuk.
Sementara dari pihak ibu, kakeknya,
Akhun Hakim adalah sosok ulama yang kisah hidupnya turut menginspirasi
Ali Mazinani. Pamannya adalah murid dari ulama terkemuka Adib Nishapuri,
yang setelah belajar filsafat, fiqh, dan sastra, – mengikuti jejak
leluhurnya – memilih kembali ke Mazinan.
Pada periode 1950-1951, Ali Mazinani
seperti ayahnya, bergabung dalam Gerakan Penyembah Tuhan Sosialis dan
mengikuti gerakan nasionalisme yang dipimpin oleh Perdana Menteri
Muhammad Mushadiq. Ketika gerakan itu pecah menjadi Liga Kemedekaan
Rakyat Iran tahun 1953, ia juga ikut bergabung. Setelah Mushadiq gagal
melancarkan kudeta tahun 1953, ia ikut dalam Gerakan Perlawanan
Nasionalis (National Resistance Movement). Karena gerakan itulah ia
bersama ayahnya dipenjara di rumah tahanan Qazil Qala’ah, Teheran selama
8 bulan sebagai akibat gerakan oposisinya melawan Rezim Syah Reza
Pahlevi.
Tahun 1956, Ali Mazinani melanjutkan
studi di Fakultas Sastra universitas Masyhad. Tahun 1960 ia mendapat
beasiswa dari pemerintah Iran dan melanjutkan pendidikan di Universitas
Sorbonne, Perancis. Di Sorbonne inilah ia menjalin hubungan secara
pribadi dengan intelek.
Diringkas dari buku ”Ali Syari’ati, Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern” Ekky Malaky, 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar