Powered By Blogger

Sabtu, 31 Maret 2012

Tokoh = Ali Syari’ati, Sang Arsitek Revolusi Iran

Ali Syari’ati, Sang Arsitek Revolusi Iran

Salah satu pernyataan Syari’ati adalah ”Manusia menjadi ideal dengan mencari serta memperjuangkan umat manusia, dan dengan demikian, ia menemukan Tuhan”. Sedangkan ciri pemikiran Syari’ati menurut Shahrough Akhlavi adalah ”Agama harus ditransformasikan dari ajaran etika pribadi ke program revolusioner untuk mengubah dunia”(h.119)
Manusia sebagai khalifah digambarkan oleh Syari’ati sebagai manusia individu yang dimintai pertanggungjawaban oleh Tuhan sebegai individu. Karenanya, manusia adalah individu yang otonom, mempunyai kesadaran, mempunyai daya kreatifitas, dan mempunyai kebebasan kehendak. Pemikiran Syari’ati ini dipengaruhi oleh Eksistensialisme yang menekankan kebebasan dan otonomi individual.
Meski menekankan tindakan etis perorangan, Syari’ati menyatakan bahwa setiap individu mempunyai tanggungjawab untuk perubahan masyarakatnya. Sayri’ati percaya bahwa revolusi digerakkan pertama-tama dengan menggerakkan masing-masing individu. Gerakan individual itu akan mengarah pada gerakan massa. Hal ini terlihat secara konkrit dalam ibadah haji. Syari’ati memberikan tafsiran haji pada penekanan pentingnya kualitas individual, tapi pada akhirnya harus melebur dengan gerakan massa. Sayri’ati memandang revolusi dapat digerakkan saat individu mampu menjalankan kewajibannya masing-masing, yang kemudian melebur dengan gerakan mass itu.
Syari’ati dan Eksistensialisme
Ciri-ciri umum eksistensialisme barat sangat terasa dalam beberapa pandangan Syari’ati. Pandangan Syari’ati secara khas membicarakan persoalan eksistensi yang berpusat perhatian kepada manusia. Bereksistensi adalah dinamis, menciptakan dirinya secara aktif, berbuat, menjadi, merencanakan dan selalu berubah kurang atau lebih dari keadaan sebelumnya. Manusia dipandang terbuka, realitas yang belum selesai (h. 50). Jika Sartree membatasi manusia pada becoming sebagai proses untuk membentuk esensinya, Syari’ati lebih jauh lagi, yaitu potensi manusia menjadi lebih tinggi (h. 40). Inti pemikirannya bermula pada pandangan dunia Tauhid, dengan Tuhan sebagai sentralnya. Sebagaimana pemikiran eksistensialis lainnya, baginya manusia dapat dilihat sebagai being dan becoming. Untuk itu ia menafsirkan kosa kata bahasa arab bashar sebagai being dan insan untuk becoming (h.7).
Untuk berakhlak dengan akhlak Tuhan, manusia harus senantiasa melakukan proses evolusi (becoming) menuju Tuhan itu. Karena hanya dalam modus berada dalam bentuk Insan sajalah manusia memperoleh kebebasan dan mendapat amanat menjadi khalifah (wakil) Tuhan. Syari’ati menyatakan bahwa Insan mengandung nilai-nilai etis, sementara basyar mengandung nilai-nilai hewani. Hanya dengan menjadi insan sajalah manusia bisa memaksimalkan atribut ketuhanannya, yaitu kesadaran-diri, kehendak bebas dan kreatifitas. Hanya manusia saja yang bisa bertindak seperti Tuhan, tetapi manusia tidak bisa menjadi Tuhan (h. 110)
Syari’ati menyatakan bahwa manusia harus menjadi manusia yang sebenarnya. Manusia harus menjadi insan, tidak sekedar basyar (mahluk fisiologis). Basyar adalah mahluk yang sekedar ‘berada’ (being), sedangkan insan adalah mahluk yang ‘menjadi’ (becoming). Dalam konteks ini Syari’ati menafsirkan ayat “Inna lillahi wainnailaihi rojiun” (dan sesungguhnya kami akan kembali kepada-Nya) menyatakan bahwa perjalanan kembali kepada-Nya bukanlah berarti di dalam-Nya atau pada-Nya. Artinya, Tuhan bukanlah titik beku atau suatu arah yang pasti, yang segala sesuatu menuju kepadanya.
Manusia yang ‘menjadi’ ini memiliki tiga sifat yang saling berkaitan dan dapat menyesuaikian diri dengan sifat-sifat ketuhanan. Ketiga sifat itu adalah kesadaran-diri (selft-awareness), kehendak bebas (free-will), dan kreativitas (creativiness). (h.36).
Syari’ati dan Marxisme
Ada hubungan cinta-benci antara Syari’ati dan Marxisme (h. 46). Ia menerima analisa Marx tentang kesadaran pertentangan kelas antara kaum penindas dan tertindas, misalnya antara kaum Habil dan kaum Qabil, tetapi terutama bukan antara buruh melawan Kapitalis, tetapi antara dunia ketiga melawan Imperialisme Barat. Sayri’ati juga banyak menggunakan paradigma, kerangka dan analisis Marxis untuk menjelaskan perkembangan masyarakat. Ia berpendapat bahwa Marx hanyalah seorang matrerialis tulen yang memandang manusia sebagai makhluk yang tertarik kepada hal-hal yang bersifat materi belaka. Namun Syari’ati menyanjung Marx yang jauh lebih tidak “materialistik” ketimbang mereka yang mengklaim “idealis” atau “beriman dan religius”. Prespektif lain, Syari’ati mengecam Marxisme yang mengejawantah dalam partai Sosial dan Komunis.
Syari’ati berusaha menyelesaikan kontradiksi pandangannya itu dengan membagi kehidupan Marx dalam tiga fase. Pertama Marx muda sebagai filosof ateistik yang mengembangkan materialisme dealektis. Kedua, Marx dewasa, seorang ilmuwan sosial yang mengungkapkan bagaimana penguasa mengeksploitasi mereka yang dikuasai. Ketiga Marx tua yang merupakan politisi. Dari tiga fase itu, Syari’ati menerima banyak gagasan dari Marx fase kedua, dan menolak fase pertama dan ketiga.
Syari’ati juga secara terang-terangan mengkritik ulama konvensional yang disebutnya sebagai “Borjuasi kecil” dan “Depotisme Spiritual”. Di satu pihak, penguasa telah menindas keimanan atas nama Islam Syi’ah, tetapi dipihak lain para ulama tradisional juga harus dikritik karena apatis terhadap kezaliman. Sebagian dari mereka bersikap oportunistik, sebagian lagi bersifat pasif karena mengharapkan Imam yang tersembunyi, Imam Mahdi (h. 22).
Biografi
Ali Syari’ati lahir 23 Nopember 1933 di desa Mazinan, pinggiran kota Masyhad dan Sabzavar, propinsi Khorasan Iran dengan nama kecil Muhammad Ali Mazinani. Ayahnya, Muhammad Taqi Syari’ati adalah seorang ulama yang mempunyai silsilah panjang keluarga ulama dari Masyhad, kota tempat pemakaman Ali Al-Ridha. Kehidupan Syari’ati atau Ali Mazinani berakar di pedesaan dan di sanalah pandangannya pertama kali dibentuk. Guru pertama kalinya adalah ayahnya sendiri yang memutuskan mengajar di kota Masyhad. Pada awal 1940-an, ayah Ali Mazinani mendirikan usaha penerbitan bernama “Pusat Penyebaran Kebenaran Islam” (The Center for Propagation of Islamic Truth) yang bertujuan untuk kebangkitan Islam sebagai agama yang sarat dengan kewajiban dan komitmen sosial. Pada dekade ini, ayah Syari’ati membentuk cabang organisasi Nehzat-I Khodaparastan-I Sosiyalist (The Movement of God-worshiping Socialist, Gerakan Penyembah Tuhan Sosialis. Ia membahas gagasan pemikir modern, khususnya para pemikir Sosialisme Arab dan sejarahwan Khazrawi, tokoh yang dibenci para Mullah Iran. Karenanya ia dicap sebagai “sunni”, “wahabi”, bahkan “baabisme” oleh beberapa ulama (h. 13). Dari ayahnya inilah semangat non-konvensional – dan oposisi – Ali Mazinani terbentuk.
Sementara dari pihak ibu, kakeknya, Akhun Hakim adalah sosok ulama yang kisah hidupnya turut menginspirasi Ali Mazinani. Pamannya adalah murid dari ulama terkemuka Adib Nishapuri, yang setelah belajar filsafat, fiqh, dan sastra, – mengikuti jejak leluhurnya – memilih kembali ke Mazinan.
Pada periode 1950-1951, Ali Mazinani seperti ayahnya, bergabung dalam Gerakan Penyembah Tuhan Sosialis dan mengikuti gerakan nasionalisme yang dipimpin oleh Perdana Menteri Muhammad Mushadiq. Ketika gerakan itu pecah menjadi Liga Kemedekaan Rakyat Iran tahun 1953, ia juga ikut bergabung. Setelah Mushadiq gagal melancarkan kudeta tahun 1953, ia ikut dalam Gerakan Perlawanan Nasionalis (National Resistance Movement). Karena gerakan itulah ia bersama ayahnya dipenjara di rumah tahanan Qazil Qala’ah, Teheran selama 8 bulan sebagai akibat gerakan oposisinya melawan Rezim Syah Reza Pahlevi.
Tahun 1956, Ali Mazinani melanjutkan studi di Fakultas Sastra universitas Masyhad. Tahun 1960 ia mendapat beasiswa dari pemerintah Iran dan melanjutkan pendidikan di Universitas Sorbonne, Perancis. Di Sorbonne inilah ia menjalin hubungan secara pribadi dengan intelek.
Diringkas dari buku ”Ali Syari’ati, Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern” Ekky Malaky, 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar