Powered By Blogger

Senin, 02 April 2012

Agama di dalam Ruang Publik

Agama di dalam Ruang Publik*


*Berdasarkan tulisan Jürgen Habermas: Religion in the Public Sphere yang dipresentasikan pada Seminar Holberg Prize pada tanggal 29 November 2005
Modernisme yang meramalkan semakin berkurangnya pengaruh agama dalam kehidupan manusia  tidak terbukti. Agama masih segar bugar bahkan telah menunjukkan kebangkitannya terutama sejak abad ke-20. Gerakan fundamentalisme dan bangkitnya pemahaman ortodoks menjadi gejala di mana-mana. Agama pun makin menunjukkan pengaruhnya di dalam ruang politik. Isu-isu agama bisa menentukan presiden atau walikota mana yang terpilih, undang-undang mana yang disahkan, bahkan sampai pada konstitusi negara, dan ini tidak terbatas pada negara yang berwujud teokrasi. Meskipun demikian, kadang sulit untuk melihat apakah agama menjadi semakin berpengaruh secara substantif atau sekedar menjadi alat politik untuk mencapai kekuasaan. Dengan melihat hal di atas, sulit untuk mengabaikan agama di dalam membahas ruang publik.
Bagaimana lalu agama dapat hidup dalam sebuah negara modern yang menganut paham liberal. Agama tidak lagi menjadi pusat dari segala sesuatu termasuk justifikasi politik dan moral seperti halnya pada abad pertengahan Eropa. Agama telah digeser dari panggung pertunjukan utama menuju sudut panggung, meskipun belum lenyap sama sekali bahkan menunjukkan suara yang makin lama makin nyaring. Bagaimana agama dapat hidup dalam premis-premis negara liberal dengan kesetaraan dan rasionalitas. Bagaimana pula agama dapat hidup dalam keputusan-keputusan politis yang diambil dengan pertimbangan logis dan saintifik tanpa menyertakan nilai-nilai agama dalam pengambilan keputusannya.

Persamaan hak dalam kehidupan berdemokrasi

Kehidupan berpolitik yang dijamin dalam demokrasi adalah kesetaraan bagi seluruh anggota masyarakat yang berpartisipasi di dalamnya. Hukum, undang-undang, dan peraturan lainnya dengan demikian harus ditulis dalam bahasa yang bisa dipahami oleh seluruh warga. Posisi ini sebagaimana dalam bahasa Rawls adalah sebagai berikut:
Pertama-tama adalah bahwa doktrin komprehensif yang waras, baik religius maupun non-religius, bisa diperkenalkan di dalam diskusi publik politik, jika kemudian alasan politis yang sesuai—bukan alasan yang berdasarkan doktrin komprehensif—disampaikan sehingga cukup untuk mendukung pernyataan doktrin komprehensif itu.
Pernyataan Rawls di atas mengundang banyak keberatan. Dengan mengabaikan bahasa-bahasa agama tertentu, para penganut agama tersebut merasa tercerabut dari agamanya sewaktu berpartisipasi di dalam kehidupan politik. Agama adalah modus bereksistensi seseorang, dan ia tidak bisa mengabaikan agamanya tanpa mengganggu modus eksistensinya sendiri. Dengan demikian, pengabaian agama dalam ruang publik tidaklah adil bagi para penganut agama, karena mereka menjadi tidak setara dengan warga lain yang sekuler, yang tidak terganggu eksistensinya. Bahkan menurut Wolterstorff:
Banyak para penganut agama yang baik di dalam masyarakat kita yang menggunakan keyakinan agama mereka untuk mendasari keputusan mereka dalam isu-isu fundamental tentang keadilan dengan keyakinan agama. Mereka tidak melihatnya sebagai pilihan baik untuk menerima atau pun menolak.
Dengan kata lain, mereka bukannya tidak mau, melainkan tidak bisa menggunakan alasan sekuler untuk menaati suatu hukum.
Dengan kata lain, sebuah negara liberal dengan demikian telah memberikan beban yang tidak setara kepada para pemeluk agama. Pemisahan secara institusional antara negara dan agama menurut Habermas tidak perlu bertransformasi menjadi pemisahan psikologis dan mental bagi para pemeluk agama. Kita tidak bisa mengharapkan para pemeluk agama untuk berkepribadian ganda, satu dalam ruang privatnya dengan doktrin komprehensifnya, dan satu di ruang publik dengan mengabaikan doktrin komprehensifnya.

Sumbangan agama dalam ruang publik

Tuntutan bagi para penganut agama untuk bisa menggunakan alasan sekuler untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik nampaknya memang berlebihan. Di satu pihak ini memberikan beban berlebihan yang tidak bisa dituntut dari penganut agama. Di pihak lain, agama sering menjadi kekuatan moral yang luar biasa di dalam mengusung keadilan. Dengan kata lain, pengabaian agama dalam mengusung isu-isu politik tertentu justru bisa membawa kerugian.
Agama bisa menjadi sebuah sumber yang bernilai bagi kehidupan berpolitik. Sejarah telah membuktikan bahwa beberapa perjuangan keadilan dimotori oleh doktrin komprehensif agama tertentu, seperti perjuangan pembebasan perbudakan di Inggris oleh William Wilberforce, perjuangan hak-hak sipil di Amerika oleh Martin Luther King, dan perjuangan kemerdekaan India oleh Mahatma Gandhi.
Agama adalah sebuah tradisi yang bernilai. Di dalamnya terdapat banyak kandungan nilai-nilai berharga yang dapat memberikan kontribusi di dalam kehidupan berpolitik. Untuk bisa merealisasikan nilai-nilai tersebut dibutuhkan adalah sebuah usaha untuk menerjemahkan bahasa-bahasa agamis tertentu menjadi bahasa yang universal, yang bisa dipahami oleh penganut doktrin komprehensif lain.

Beban tak setara (asymmetric burden)

Masalah ini nampaknya belum selesai sekedar dengan mengikutsertakan agama dalam ruang publik (public sphere). Ada kewajiban untuk menerjemahkan doktrin komprehensif tertentu, dalam hal ini doktrin agama, ke dalam bahasa universal memberikan beban yang tidak setara kepada pihak agamis dibandingkan dengan pihak sekularis yang tidak dibebani keharusan penerjemahan.
Untuk mengurangi beban tak setara ini, usaha penerjemahan bisa menjadi usaha bersama antara para penganut agama dan warga sekuler untuk saling memahami. Para warga sekuler juga harus membuka diri bahwa ada kemungkinan nilai-nilai agamis yang bisa digali untuk memberikan sumbangan kepada kehidupan berpolitik.

Agama di dalam ruang politik formal

Meskipun Habermas menyetujui keterlibatan agama dalam ruang publik, ia tidak setuju kalau bahasa agama dipakai di dalam ruang politik formal seperti perdebatan di parlemen atau ruang pengadilan, atau dokumen-dokumen resmi pemerintahan. Di dalam parlemen misalnya, ada keputusan yang mengatakan bahwa pernyataan-pernyataan agamis tidak boleh dimasukkan ke dalam risalah persidangan. Kontribusi agama di dalam ruang politik formal haruslah diberikan dalam terjemahannya yang bisa dimengerti oleh semua pihak.
Penggunaan bahasa doktrin komprehensif tertentu di dalam ruang politik bisa menimbulkan bias bagi penganut doktrin komprehensif lain. Kasus yang terjadi pada Arswendo Atmowiloto yang dikenakan pasa penghinaan agama misalnya dapat dipakai sebagai contoh. Arswendo dianggap menghina agama Islam karena membandingkan Muhammad dengan tokoh-tokoh lain di dalam angket majalah Monitor yang dipimpinnya. Arswendo tidak mengetahui bahwa dalam bahasa doktrin komprehensif Islam, membandingkan Nabi Muhammad dengan yang lain adalah sebuah penodaan iman. Dengan demikian, ketidaktahuannya akan doktrin komprehensif tertentu mempunyai implikasi hukum atau politik. Kondisi ini tentunya bisa lebih buruk lagi kalau penganut agama suatu dipaksa untuk mengikuti rambu-rambu agama lain, yang apabila dilanggarnya bisa membawa pada konsekuensi hukum. Hal seperti ini tidak bisa diterima di dalam ruang politik formal.[1]

Menuju etika politik pasca-sekuler

Meskipun agama sebagai sebuah doktrin komprehensif bisa diikutsertakan di dalam ruang publik, etika liberal seperti ini masih membawa sebuah keberatan. Perkembangan sejarah di barat yang telah membawa perubahan politik dari teokrasi menjadi negara sekuler telah memberikan tantangan pada para pemeluk agama, paling tidak dengan munculnya fakta akan pluralisme, sains modern dan hukum positif yang berdasarkan pada moral sekuler. Dengan demikian para pemeluk agama mendapat tuntutan untuk merespon tantangan dari modernisme supaya bisa tetap hidup dalam negara modern dengan mengembangkan posisi epistemik tertentu.
Posisi epistemik ini adalah: (1) mengembangkan suatu sikap epistemik terhadap agama lain atau pandangan dunia, sehingga klaim kebenaran mereka tetap dapat dipertahankan di dalam sebuah masyarakat dengan kepercayaan yang plural, (2) mengembangkan sikap epistemik tertentu terhadap sains modern sehingga iman mereka tetap dapat dipertahankan dengan membuat garis demarkasi antara iman dan sains, (3) mengembangkan sikap epistemik tertentu terhadap hukum positif sehingga mereka bisa menghubungkan ide individualisme egalitarian dan universalisme hukum dan moral modern dengan doktrin komprehensif mereka sendiri. Kesemuanya ini berhasil diformulasikan secara teologis sehingga mereka tetap dapat hidup nyaman dalam sebuah negara modern tanpa merasa menyalahi iman mereka.
Hal-hal seperti di atas tidaklah menjadi beban bagi para warga negara sekuler. Mereka tidak harus beradaptasi untuk hidup dalam sebuah negara modern. Untuk bisa menuju sebuah etika politik pasca-sekuler yang bisa mengikutkan agama dalam ruang publik, para warga sekuler juga harus mengembangkan suatu sikap epistemik tertentu terhadap warga lain yang memegang teguh agamanya.
Para sekularis haruslah mengembangkan suatu sikap epistemik baru yang tidak menganggap agama sebagai sebuah peninggalan purbakala yang sudah ketinggalan jaman. Agama tidak dipandang sebagai layak hidup sama seperti hewan langka yang layak hidup melainkan dipandang sebagai warga yan setara. Keikutsertaan agama dalam ruang publik bukan sekedar memberikan ruang bagi agama untuk bersuara melainkan meyakini sungguh bahwa agama dapat memberikan kontribusi dalam kehidupan berpolitik.
Habermas dengan demikian mengajukan sebuah konsepsi bahwa warga beragama dan sekuler masing-masing harus saling menghargai. Dari kedua belah pihak dibutuhkan sebuah pembaharuan sikap epistemik untuk dapat menerima posisi pihak lain. Perhatian kita juga harus digeser dari argumen normatif menuju argumen epistemik dan menunjukkan proses pembelajaran yang tanpanya sulit diharapkan sebuah tatanan politik liberal yang saling menghargai dan bekerja sama antara doktrin komprehensif yang berbeda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar