Powered By Blogger

Selasa, 03 April 2012

Al-Quran

Al-Quran

Oleh Taufik Damas
Ada daya tarik spiritual yang kuat saat orang mendengarkan ayat-ayat al-Quran dibacakan tanpa harus memikirkan makna-maknanya. Inilah hubungan spiritual paling dekat dan alami dengan Allah yang mereka dapatkan karena mereka mendengarkan al-Quran dalam kondisi tidak terbelenggu oleh beban makna yang terkandung dalam nash-nash al-Quran. Maka, bacalah al-Quran secara perlahan-lahan.
Salah satu titik beda antara Mu’tazilah dan Sunny adalah pendapat soal al-Quran: apakah ia makhluk atau bukan makhluk. Perbedaan pendapat ini pernah menelan korban (inkuisisi) seorang ulama fikih, Ahmad bin Hambal (w. 855 M). Khalifah al-Makmun yang menganut paham Mu’tazilah memaksakan pendapat bahwa al-Quran adalah makhluk, sementara Ahmad bin Hambal bersikukuh menyatakan al-Quran bukan makhluk. Akibatnya, Ahmad bin Hambal harus mendekam di penjara selama tiga masa kekhilafahan: al-Makmun, al-Mu’tashim dan al-Watsiq. Pada masa al-Watsiq yang dikenal bijak, Ahmad bin Hambal dibebaskan dari penjara. Kasus inkuisisi ini sering dijadikan bukti bahwa koalisi paham keagamaan dengan kekuasaan politik adalah berbahaya.   
Kisah inkuisisi Ahmad bin Hambal sangat terkenal dalam sejarah Islam. Kisah ini saya kutip kembali sebagai pembuka untuk masuk dalam pembahasan tentang al-Quran. Tepatnya, bagaimana kita menyikapi (atau memposisikan) al-Quran di zaman sekarang ini. Benarkan al-Quran telah mengatur segala hal dalam hidup ini? Apakah hukum-hukum yang ada dalam al-Quran harus dijalankan apa adanya? Apakah al-Quran hanya menyampaikan hukum-hukum awal (nash ta’sisy)? Apakah al-Quran hanya kitab suci yang membacanya bernilai ibadah? 
Sebagai seorang muslim, saya sering membaca al-Quran dan memikirkannya. Ada kesan indah ketika membacanya tanpa harus memikirkan arti setiap ayat yang terbaca (Dan bacalah al-Quran secara perlahan-lahan [al-Muazmmil: 4]). Namun, karena sudah akrab dengan bahasa al-Quran, dengan sendirinya pemahaman akan arti itu selalu hadir setiap kali membaca ayat-ayatnya. Kehadiran pemahaman arti ayat-ayat itu selalu mengundang otak saya untuk memikirkannya lebih jauh.
Ketika membaca ayat tentang (sumpah) zihar (al-Mujadilah:  3), saya bertanya ayat ini ditujukan kepada siapa? Sumpah menyamakan istri dengan ibu kandung tidak pernah terbayangkan oleh muslim di Indonesia. Jika kasus ini pernah terjadi, pasti tidak pada zaman sekarang dan pasti terikat oleh satu budaya tertentu; budaya masyarakat di mana ayat itu diturunkan pertama kali.
Dalam surah an-Nisâ’ ayat 3 ada kalimat aw mâ malakat aimânukum (atau budak-budak perempuan yang kalian miliki). “Jika kalian takut tidak dapat bersikap adil dalam mengurus anak-anak yatim, maka nikahilah perempuan yang baik buat kalian: dua, tiga atau empat. Jika kalian takut tidak dapat bersikap adil, maka nikahilah satu perempuan atau budak-budak perempuan yang kalian miliki (aw mâ malakat aimânukum) “.
Ketika membaca ayat ini, otak saya berpikir: siapa yang memiliki budak perempuan di zaman sekarang ini? Saya tidak punya budak perempuan, baik di rumah atau di tempat kerja. Apakah kita harus mengadakan budak-budak perempuan demi menjadikan ayat ini relevan?
Suatu malam saya membaca al-Quran lagi dan berhenti pada ayat 216 surah al-Baqarah. “Diwajibkan atas kalian berperang sedang perang itu tidak menyenangkan bagi kalian”.  Siapapun tahu bahwa saat ini bukan lagi zaman perang. Kita hidup tidak dalam suasana perang. Jelas, ayat ini tidak dapat diterapkan saat ini. Saya bekerja dengan otak, keterampilan dan tenaga. Saya hanya perlu menggunakan otot ketika harus mengangkat barang-barang berat. Lantas kepada siapa ayat itu ditujukan? Dan, banyak lagi ayat yang mengundang pertanyaan ketika dibaca dan dihayati makna-maknanya.
Sebagai seorang muslim, saya menyadari bahwa keyakinan terhadap Islam harus seiring-sejalan dengan sejarah. Umat Islam harus mampu melihat perbedaan dan jarak antara ontologi Islam dan nash-nash suci (an-nushûs al-muqaddasah). Islam akan tetap hidup bersama umat dan umat selalu berjalan bersama Islam selama mereka mampu memandang nash-nash suci sebagai peletak hukum-hukum awal (nash ta’sisy), bukan sebagai hukum sekali jadi. Ia hanya berlaku pada masa awal lahirnya umat dan harus dikembangkan sesuai dengan perkembangan sejarah kemanusiaan. Banyak ayat yang menegaskan bahwa jangkauan keberlakuan ayat-ayat itu terbatas. Ada ayat yang hanya berlaku bagi Nabi Muhammad, tidak untuk umatnya. Misalnya ayat yang menyatakan “Jangan engkau terburu-buru soal al-Quran sebelum wahyu itu selesai datang kepadamu. Katakanlah ‘Tuhanku, tambahkanlah aku ilmu’” (Thaha: 114).
Ada pula ayat yang memerintahkan Nabi Muhammad menikah dengan Zainab bint Jahsyin setelah dicerai oleh Zaid ibn Haritsah yang notabene anak angkat Nabi Muhammad (Al-Ahzab: 37). Ayat ini jelas sekali sangat terbatasi oleh ruang dan waktu, serta hanya ditujukan kepada Nabi Muhammad.
Selain itu, ada pula ayat yang hanya berlaku pada para istri Nabi, seperti ayat 32 surah al-Ahzab, “Wahai istri-istri Nabi, kalian tidak sama dengan perempuan-perempuan yang lain jika kalian bertakwa. Maka, jangan kalian memanjakan suara dalam berbicara hingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya. Ucapkanlah kata-kata yang baik.”
Dalam al-Quran juga terdapat ayat yang hanya berlaku bagi kelompok tertentu dan pada masa tertentu, seperti ayat 117 surah at-Taubah, “Sungguh Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin, dan orang-orang Anshar yang mengiktui Nabi pada masa-masa sulit setelah hati sekelompok orang dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka. Sungguh Dia Mahalembut dan Penyayang terhadap mereka.” Tentu masih banyak ayat yang menegaskan keterbatasannya pada ruang dan waktu. Ayat-ayat yang di sebut di atas hanya contoh saja.
Tak dapat dipungkiri bahwa pada zamannya, al-Quran telah memberikan dasar-dasar ontologis baru yang sangat penting dalam sejarah umat manusia. Bahkan, di masa lalu, kekuatan perspektif ontologis al-Quran berpengaruh pada sejarah pencerahan di Eropa. Kenyataan ini diakui dalam dunia filsafat, dan sebagai muslim saya merasa bangga. Meski demikian, al-Quran tetap makhluk, sebagaimana dikatakan oleh kelompok Mu’tazilah, yang memiliki sifat-sifat yang sama dengan makhluk lainnya. Tidak ada makhluk yang abadi karena yang abadi hanya Allah. Makhluk selalu memiliki keterbatasan ruang dan waktu.
Kitab Ibadah
Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad sebagai penegas kenabiannya dalam menghadapi masyarakat Arab yang dikenal sangat pandai bersastra. Tugas ini telah berhasil dan Islam berkembang hingga saat ini. Al-Quran juga menegaskan fungsi lain dalam dirinya, yaitu fungsi ibadah, seperti yang tertera dalam surah al-Muzammil ayat 4, “Dan bacalah al-Quran secara pelan-pelan.” Al-Quran sebagai kitab ibadah pun ditegaskan dalam disiplin ilmu fikih bahwa shalat setiap muslim dinyatakan sah dengan membaca al-Quran walau ia tidak memahami makna satu kata pun. Shalat juga tetap sah walau ayat yang dibaca adalah ayat yang dinyatakan telah di-nasakh (dianulir) oleh ayat yang lain. 
Saya pernah mendengar pengakuan sebagian orang yang begitu tertarik pada al-Quran hanya karena mereka mendengarkan bacaan al-Quran walau mereka sama sekali tidak memahami arti ayat-ayat yang dibacakan. Ada daya tarik spiritual yang kuat saat orang mendengarkan ayat-ayat al-Quran dibacakan tanpa harus memikirkan makna-maknanya. Inilah hubungan spiritual paling dekat dan alami dengan Allah yang mereka dapatkan karena mereka mendengarkan al-Quran dalam kondisi tidak terbelenggu oleh beban makna yang terkandung dalam nash-nash al-Quran. Maka, bacalah al-Quran secara perlahan-lahan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar