Powered By Blogger

Selasa, 03 April 2012

Apostasy dan Radikalisme Agama

Apostasy dan Radikalisme Agama

Oleh Sumanto Al Qurtuby
Ilustrasi di atas memberi pelajaran berharga buat umat Islam, khususnya kelompok Muslim militan-konservatif yang selama ini getol “berdakwah” dengan cara-cara kekerasan. Perilaku brutal dan aksi-aksi kekerasan yang mereka lakukan tidak hanya menyebabkan simpati publik terhadap kaum Muslim merosot, atau melorotnya tingkat kepercayaan publik terhadap Islam sebagai agama damai, toleran-pluralis, dan “rahmatan lil alamin”, tetapi lebih dari itu tindakan konyol kaum radikal agama ini telah menyebabkan pemurtadan sebagian umat Islam itu sendiri.
Masalah apostasy atau pemurtadan selalu menjadi isu penting dalam wacana keislaman. Bagi kelompok Islam militan-konservatif, pemurtadan adalah haram dan kaum murtad harus dibunuh. Mereka tidak menyadari bahwa banyak kaum Muslim yang memilih menjadi “murtad” karena trauma dengan perilaku brutal kelompok radikal Islam itu sendiri. Lihat misalnya penuturan sejumlah mantan Muslim dalam buku Leaving Islam: Apostates Speak Out  yang diedit oleh Ibnu Warraq (nama samaran), seorang “pensiunan Islam” kelahiran Rajkot, India. Dalam buku yang sangat provokatif ini sejumlah eks-Muslim bersuara keras memberi kesaksian tentang kebobrokan perilaku kelompok Muslim radikal di berbagai negara berbasis Islam seperti Pakistan, Bangladesh, Iran, Afganistan, Arab Saudi dan lain-lain.
Para penulis buku ini sebelumnya merupakan para sarjana-aktivis Muslim yang taat-saleh sampai akhirnya mereka menyaksikan momen-momen mengerikan dalam hidup mereka hingga akhirnya mereka menyatakan “good bye” pada Islam. Kini mereka memilih menjadi Kristen, agnostik, ateis, humanis, sekularis, free thinker dan lain-lain. Setelah mendeklarasikan diri “emoh” pada Islam, mereka kemudian—pada umumnya—memilih tinggal di Barat (khususnya Amerika Serikat, Kanada, Eropa Barat, dan Australia) sebagai suaka baru mereka dengan pertimbangan (1) masalah ketidakamanan jika mereka tetap tinggal di negara asal mereka sebab seorang yang pindah agama dihukumi murtad dan karena itu bisa dibunuh, dan (2) lantaran di Barat ada jaminan soal kebebasan beragama. 
Buku yang ditulis oleh kaum “murtad” ini (terpaksa saya menggunakan tanda kutip karena kata murtad sebetulnya lebih tepat mengacu pada pengertian “pembangkangan politik” ketimbang “pemberontakan teologis”) penting untuk disimak sebagai kritik tajam atas tindakan radikalisme agama yang dilakukan oleh, meminjam istilah Muhammad Said Ashmawi, kelompok “Islam ekstrim” yang sering menebarkan kekerasan dalam menyampaikan pesan-pesan keagamaan. Tanpa disadari bahwa perilaku sadis mereka telah menyebabkan sebagian umat Islam frustasi dan kehilangan kepercayaan terhadap agama mereka kemudian memilih hengkang dari Islam. Ini menunjukkan bahwa masalah pemurtadan atau proses konversi tidak semata-mata masalah teologis-keagamaan tetapi juga sosial-politik (dan ekonomi).
Itulah yang dialami Ibu Warraq, Ali Sina, Anwar Shaikh, Faisal Muhammad, Sheraz Malik, Samia Labidi, Abul Kasem, dan masih banyak lagi. Semula mereka adalah para pemeluk Islam saleh yang kemudian memilih keluar dari agama ini setelah mereka mengalami dan menyaksikan peristiwa tragis dalam sejarah hidup mereka. Simak misalnya penuturan Ali Sina. Dalam “Why I Left Islam: My Passage from Faith to Enlightenment”, Ali Sina yang masih keturunan Ayatollah Iran ini menuturkan pengalaman getir hidupnya menyaksikan serangkaian horor di negaranya, Iran. Dia mengatakan, sejak Ayatollah Khomeini berhasil menggulingkan diktator Shah Reza Pahlevi tahun 1979 segera ia mengganti ideologi sekuler negara dengan “ideologi Islami” yang tunduk sepenuhnya pada otoritas Khomeini.
Alih-alih ingin menegakkan “kedaulatan Tuhan” dalam prakteknya yang terjadi adalah penegakan “kedaulatan Khomeini” dimana melalui agen rahasianya yang bernama Sazamane Etelaat Va Amniate Kechrar (SEVAK) dia dan para pendukungnya menghancurkan siapapun yang tidak mau tunduk pada otoritas politik-keagamaannya, termasuk bekas sekutunya. Maka pada saat Imam Khomeini berkuasa, nyawa pun menjadi sangat murah: ribuan orang-orang Iraq dibunuh sebagai efek Perang Teluk antara Iran-Iraq, ribuan pengikut Bahai Faith disiksa dengan tuduhan murtad, dan ribuan penduduk Iran yang menolak otoritas politik dan agama sang Imam dipenjara. Nasib kaum perempuan lebih tragis lagi. Sebelum dibunuh mereka diperkosa oleh “tentara syari’at” dengan alasan: sebagai “imbalan” pembangkangan kepada sang Ayatollah sekaligus tiket menuju surga! Peristiwa tragis semasa rezim Khomeini ini membuat Ali Sina trauma dan kehilangan kepercayaan terhadap Islam sehingga ia memilih murtad. Sekarang dia mendirikan Faith Freedom Foundation untuk mengadvokasi orang-orang yang ingin meninggalkan Islam.
Selain Ali Sina, pengalaman getir juga dialami oleh Abul Kasem (Bangladesh), Sheraz Malik (Pakistan), Anwar Shaikh (Pakistan-Britain), Nadia (Marocco), Samia Labidi (Tunisia), Azad (India) dan masih banyak lagi. Setelah mengalami dan menyaksikan sejumlah peristiwa tragis “kekerasan agama” yang dilakukan kaum Muslim radikal di negara mereka, mereka kemudian hijrah ke “iman” yang baru. Memang tidak bisa dipungkiri di negara-negara “berbasis Islam” itu telah terjadi sejumlah peristiwa sadis yang dilakukan sekelompok rezim Muslim militan dan kaum radikal agama demi ambisi politik-kekuasaan mereka. Atas nama agama dan penegakkan “syari’at Islam”, mereka melakukan serangkaian teror dan kekerasan terhadap kelompok minoritas dan lawan-lawan politik-agamanya. 
Penulis perempuan Mesir, Bat Ye’or telah menunjukkan dengan baik sebagian dari sejarah gelap radikalisme kelompok militan-konservatif terhadap kaum minoritas ini dalam buku The Decline of Eastern Christianity under Islam from Jihad to Dhimmitude 7th–20th . Dalam buku ini, ia berpendapat bahwa konsep dhimmi—khususnya Kristen dan Yahudi—yang secara literal mengacu pada definisi “protected people” (“orang-orang yang dilindingi”) dalam realitasnya justru menjadi “exploited / oppressed people” atau “kelompok yang diperas/dieksploitasi” karena di samping dipaksa membayar pajak pada pemerintah, mereka tidak pernah menikmati hak-hak sipil sebagai warga negara. Di negara-negara berbasis Syari’at Islam, mereka memang menjadi warga negara kelas dua (kalau bukan malah “tidak berkelas” lagi).
Tidak hanya non-Muslim saja, kaum Muslim yang kebetulan berseberangan dengan ideologi dan aliran keagamaan rezim penguasa juga mendapatkan perlakuan kejam dan diskriminatif seperti yang terjadi pada kelompok Sunni di Iran atau kaum Syi’ah di Arab Saudi. Sebagian dari kaum Muslim yang “dizalimi” oleh rezim Islam ektrim ini masih bertahan memeluk Islam. Tetapi sebagian lain lebih memilih “kabur” ke negara lain dan emoh memeluk Islam lagi.
Ilustrasi di atas memberi pelajaran berharga buat umat Islam, khususnya kelompok Muslim militan-konservatif yang selama ini getol “berdakwah” dengan cara-cara kekerasan. Perilaku brutal dan aksi-aksi kekerasan yang mereka lakukan tidak hanya menyebabkan simpati publik terhadap kaum Muslim merosot, atau melorotnya tingkat kepercayaan publik terhadap Islam sebagai agama damai, toleran-pluralis, dan “rahmatan lil alamin”, tetapi lebih dari itu tindakan konyol kaum radikal agama ini telah menyebabkan pemurtadan sebagian umat Islam itu sendiri. Ke depan, kaum Muslim harus menebarkan Islam dengan cara-cara santun dan “civil” bukan dengan tindakan kasar dan “uncivil” yang justru merugikan Islam itu sendiri.[]
*Sekjen Komunitas NU Amerika dan Kanada; Kandidat Doktor di Bidang Antropologi Politik dan Agama, Boston University, Amerika Serikat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar