Powered By Blogger

Selasa, 03 April 2012

Citra Keliru tentang Bahasa Arab

Citra Keliru tentang Bahasa Arab

Oleh Ulil Abshar-Abdalla
Sebagaimana kita tahu, kekuasaan politik Islam saat itu mencakup wilayah yang dahulunya berada di bawah kekuasaan imperium “kafir” pra-Islam, antara lain Persia dan Romawi. Setelah Islam berhasil menaklukkan wilayah kedua imperium itu, bahasa Arab menjadi bahasa komunikasi utama yang dipakai oleh bangsa-bangsa yang ditaklukkan oleh kekuasaan Islam.
Saat belajar bahasa Arab di pesantren dulu, saya mengira bahwa yang “sah” disebut dengan bahasa Arab adalah bahasa Arab standar yang sering disebut sebagai “bahasa Arab fusha”, atau “literary Arabic”. Bahasa Arab “pasaran” yang sering digunakan dalam komunikasi sehari-hari oleh masyarakat Arab saat ini tidak pernah kami (para santri di pesantren dulu) anggap sebagai bahasa Arab “sungguhan”.
Bahasa Arab pasaran kami anggap sebagai “penyimpangan” karena tidak memakai kaidah bahasa Arab yang standar. Misalnya, bahasa Arab pasaran sama sekali, atau minimal sekali memakai “declensional case” atau “i’rab”. Bahasa Arab pasaran bisa disebut sebagai “I’rab-less Arabic”. Karena i’rab dianggap sebagai inti dari dari bahasa Arab standar, maka pelanggaran atau apalagi penghapusan sama sekali i’rab dianggap sebagai “abomination” , atau sesuatu yang kotor. Oleh karena itu, kami di pesantren dulu tak pernah menganggap bahasa Arab pasaran sebagai sesuatu yang serius. Orang-orang Indonesia yang pernah tinggal di tanah Arab kemudian menguasai bahasa Arab pasaran kami anggap sebagai orang yang tak mampu berbahasa Arab dengan benar.
Kami dulu juga beranggapan bahwa bahasa Arab standar sebagaimana kami temui dalam kitab-kitab klasik berbahasa Arab sebagai bahasa yang dipakai dalam komunikasi sehari-hari di zaman klasik. Bahkan kami juga mengira bahwa bahasa Arab “fusha” ini dipakai oleh Nabi serta para sahabat pada zamannya. Dengan kata lain, kami membayangkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, Nabi serta para sahabatnya memakai bahasa Arab standar, lengkap dengan i’rab-nya. Anggapan semacam ini diperkuat karena adanya koleksi hadis-hadis Nabi yang kesemuanya memakai bahasa Arab fusha yang standar.
Lebih jauh dari itu, kami dulu juga mengira bahwa para ulama klasik Islam yang mengarang buku-buku berbahasa Arab “fusha” itu juga memakai bahasa Arab standar dalam komunikasi sehari-hari mereka. Imam Nawawi, misalnya, salah satu ulama penting dalam mazhab Syafii yang hidup pada abad 13 Masehi, kami anggap berbicara dalam bahasa Arab “fusha” dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan kata lain, bahasa Arab sebagaimana dalam kitab kuning itu kami anggap sebagai satu-satunya bahasa Arab yang hidup, “a living language”. Bahasa Arab kami anggap sebagai bahasa yang statis, tak pernah berubah.
Pertanyaannya, apakah anggapan semacam ini benar? Setelah “bergumul” dengan bahasa Arab selama ini, baik bahasa Arab “arkaik” sebagaimana dalam kitab-kitab klasik, atau bahasa Arab “modern” yang dipakai dalam kehidupan masyarakat Arab saat ini, saya akhirnya berkesimpulan bahwa anggapan-anggapan yang kami punyai di pesantren dulu banyak mengandung kekeliruan.
Apakah bahasa Arab yang dipakai pada zaman generasi Nabi dahulu? Apakah bahasa Arab standar seperti yang kita kenal dalam hadis itu? Atau sebetulnya, pada zaman itu sudah muncul bahasa Arab “pasaran” yang sama sekali tak memakai i’rab?
Penelitian sarjana linguistik modern tidak mencapai kata sepakat mengenai hal ini. Tetapi, apa yang disebut sebagai bahasa Arab standar yang kita kenal selama ini sebetulnya adalah salah satu varian dialek yang ada pada zaman Nabi. Fenomena penghilangan i’rab sebetulnya sudah dikenal sejak masa pra-Islam. Ada banyak sekali dialek yang berkembang di masyarakat Arab pada zaman pra-Islam. Karena Qur’an lebih banyak memakai dialek Hijaz (yakni kawasan sebelah barat jazirah Arab yang meliputi Mekah dan Madinah), maka dialek inilah yang kemudian dijadikan standar sebagai “cara berbahasa yang benar”.
Sebagian sarjana linguistik modern juga berkesimpulan bahwa bahasa Arab standar yang lengkap memakai i’rab itu hanyalah dipakai secara ketat dalam syair. Setelah Islam datang, bahasa Arab “puitik” ini dipakai dan kemudian dilestarikan dalam Qur’an. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Arab sebetulnya memakai jenis bahasa yang sama sekali berbeda, sekurang-kurangnya mereka berbahasa sesuai dengan dialek yang dominan dalam suku-suku bersangkutan.
Setelah kekuasaan Islam mengalami ekspansi yang begitu agresif ke luar jazirah Arab, banyak terjadi perkembangan yang luar biasa dalam bahasa Arab. Sebagaimana kita tahu, kekuasaan politik Islam saat itu mencakup wilayah yang dahulunya berada di bawah kekuasaan imperium “kafir” pra-Islam, antara lain Persia dan Romawi. Setelah Islam berhasil menaklukkan wilayah kedua imperium itu, bahasa Arab menjadi bahasa komunikasi utama yang dipakai oleh bangsa-bangsa yang ditaklukkan oleh kekuasaan Islam.
Perkecualian ada pada bahasa Persia (atau Farsi) yang berhasil mempertahankan diri dari “gempuran” bahasa Arab sehingga tetap bertahan (hingga sekarang) sebagai bahasa resmi. Belakangan, bahasa Turki (melalui kekuasaan Usmani) berhasil memantapkan diri sebagai “lingua franca”, terutama di kawasan Asia Kecil dan Asia Tengah.
Sejak zaman klasik (yakni masa ketika proses pertumbuhan ilmu-ilmu Islam berlangsung [abad 2 hingga 3 Hijriyah]), sekurang-kurangnya sudah kita jumpai dua fenomena berbahasa yang saling berdampingan, yakni bahasa Arab “tinggi” yang dipakai oleh para ulama atau sarjana; dengan kata lain bahasa kaum literati. Di pihak lain, juga ada bahasa Arab “pasaran” atau “semi-pasaran” yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Bayangan saya waktu di pesantren dulu bahwa Imam Shafi’i, misalnya, memakai bahasa Arab standar yang rumit sekali seperti ia pakai dalam kitab-kitab yang ia karang (al-Risalah atau al-Umm, misalnya) dalam percakapan sehari-hari, saya kira sama sekali tak tepat.
Salah satu “atestasi” atau bukti yang menarik mengenai hal ini adalah kisah “Alfu Lailah wa Lailah” atau 1001 malam yang terkenal itu. Dalam edisi asli kisah legendaris ini yang dilakukan oleh Prof. Muhsin Mahdi, kita jumpai corak bahasa Arab “non-fusha” yang menarik. Edisi Muhisn Mahdi mencoba mempertahankan bahasa Arab asli yang dipakai dalam kisah itu, tanpa “intervensi” apapun agar sesuai dengan bahasa Arab standar. Edisi-edisi kisah 1001 malam yang kita jumpai sekarang di toko-toko Arab banyak yang sudah mengalami revisi. Dalam edisi Muhsin Mahdi, saya menjumpai bahasa Arab yang sama sekali lain dengan bahasa Arab yang dipakai dalam puisi atau pun dalam karya-karya kesarjanaan standar. Salah satu aspek yang menarik adalah bahwa atauran-aturan berkenaan dengan i’rab kurang secara konsisten diikuti di sana. Jika kita bisa membuat hipotesa bahwa bahasa Arab yang dipakai dalam 1001 malam adalah bahasa non-kesarjanaan, atau non-standar, maka kita bisa membuat suatu dugaan bahwa bahasa semacam inilah yang lebih luas dipakai dalam kehidupan sehari-hari pada saat itu. Sebagaimana kita tahu, bahasa literer atau standar biasanya hanya dipakai dalam konteks yang resmi, seperti dalam diskursus ilmiah. Dalam konteks percakapan sehari-hari, biasanya masyarakat di manapun cenderung memakai bahasa “pasaran”, atau “al-lughah al-darijah”.
Sebagai informasi, kisah 1001 malam muncul kira-kira pada periode antara abad 9 hingga 10 Masehi, atau abad 2 dan 3 Hijriyah. Dengan kata lain, dalam masa yang masih sangat dini dalam sejarah Islam pun, corak berbahasa yang non-standar sudah muncul.
Salah satu data menarik yang saya jumpai baru-baru ini adalah sebuah naskah karya al-Tufi, salah seorang sarjana fikih dalam lingkungan mazhab Hanbali. Ia hidup pada abad 14 Masehi. Ia mengarang buku berjudul Alam al-Jadzal fi ‘Ilm al-Jadal. Dalam buku itu, saya menemukan suatu kasus yang menarik. Dalam halaman halaman 209 (edisi Wolfhart Heinrichs), saya menjumpai kata-kata berikut ini: “Ish ma’na hadza?” (Maksudnya: Apakah artinya ini?)
Kata “ish” seringkali kita jumpai dalam bahasa Arab pasaran yang dipakai saat ini. Artinya “apakah”, kependekan dari “ayyu shai’in”. Waktu di pesantren dulu, saya mengira bahwa bahasa Arab pasaran adalah praktek yang muncul belakangan sekali pada masa modern. Jika kata pasaran ini sudah dipakai pada zaman al-Thufi yang merupakan murid dari Ibn Taymiyyah itu, maka kita bisa beranggapan bahwa pada zaman itu pun bahasa Arab pasaran sebagaimana kita jumpai saat ini sudah dipakai secara luas. Sebagaimana kita tahu, salah satu ciri bahasa Arab pasaran adalah hilangnya fenomena i’rab yang merupakan inti bahasa Arab standar itu.
Salah satu ciri bahasa Arab pasaran adalah makin dominannya penggunaan “klausa nominal” atau “al-jumlah al-ismiyyah” yang terdiri dari subyek dan predikat atau mubtada’ dan khabar. Sebagaimana kita tahu, dalam bahasa Arab literer-standar, kita mengenai dua jenis klausa, yakni klausa nomina (seperti “Umar berdiri”/“Umar qa’imun”) atau klausa verbal atau “al-jumlah al-fi’liyyah” (seperti “Berdiri Umar”/“Qama Umar”). Dalam bahasa Arab pasaran, bentuk klausa verbal kurang banyak dipakai.
Kalangan sarjana Arab sekarangpun sebetulnya kurang terlalu bersemangat menyambut fenomena dialek Arab pasaran. Meskipun dialek itulah yang mereka pakai dalam kehidupan sehari-hari, tetapi mereka kurang memperhatikan fenomena ini secara sungguh-sungguh. Ini terjadi baik pada masa klasik maupun sekarang. Oleh karena itu, kita jarang sekali menjumpai karya-karya sarjana Muslim berkenaan dengan fenomena bahasa pasaran yang berlaku pada masa mereka. Yang mereka tulis selama ini adalah bahasa Arab standar yang sama sekali tak mencerminkan bahasa yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar