Powered By Blogger

Selasa, 03 April 2012

Epistemologi Islam Jawa

Epistemologi Islam Jawa

Oleh Irwan Masduqi
Dalam rangka menangkal pengkafiran itu, Sunan Panggung menjelaskan bahwa sufisme yang ia anut tidak menentang syarengat tetapi justru memperdalam penghayatan dalam beragama. Sunan Panggung berkata, “Kang wus tumeka ing rasa jati, sembahyangipun tan mawas nalika, luwir banyu mili jatine…pujine lumintu, rahina wengi tan pegat. Puji iku rahina wengi sireki. Akeh dadi berholo”. Artinya, “Orang yang sudah sampai rasa jati (haqiqat), sembahyangnya tak melihat waktu, sejatinya seperti air mengalir; berdoa selalu siang malam tanpa henti. Memuji itu siang malam. Banyak yang jadi berhala”. Bagi Sunan Panggung, shalat yang merupakan representasi syarengat merupakan ritual yang penting namun seharusnya tak terbatasi oleh lima waktu saja. Allah harus senantiasa diingat di dalam hati setiap saat dan di mana pun.
Catatan ini merupakan proyek kebangkitan kembali kebudayaan Jawa yang akhir-akhir ini semakin ditinggalkan seiring datangnya kebudayaan-kebudayaan modern. Para pemikir muslim Indonesia kontemporer banyak mengapresiasi pemikiran Barat dan Timur Tengah, tetapi masih minim perhatian terhadap pemikiran Islam Jawa. Untuk itu, perlu kiranya menghadirkan kembali warisan Islam Jawa kuno dalam bingkai pembacaan kritis agar ia menemukan relevansinya bagi konteks kekinian dan keindonesiaan.
Untuk mendefinisikan nalar Islam Jawa, penulis meminjam teori Lalande yang pernah diaplikasikan oleh Abed al-Jabiri guna menganalisis nalar Arab. Lalande membedakan antara la raison constituante (al-‘aql al-mukawwin) dengan la raison constituée (al-‘aql al-mukawwan). La raison constituante adalah potensi intelektual yang dimiliki setiap manusia guna menciptakan teori-teori dan prinsip-prinsip universal, sedangkan la raison constituée adalah teori atau prinsip ilmu pengetahuan yang dibentuk oleh la raison constituante. Berdasarkan teori ini maka nalar Islam Jawa tak lain adalah la raison constituée, yakni kumpulan kaidah yang diciptakan oleh ulama Jawa di tengah kebudayaan Jawa sebagai alat produksi pengetahuan khas Jawa.
Agar pemetaan terhadap nalar Islam Jawa lebih sistematis, penelitian ini meminjam klasifikasi epistemologi bayani, ‘irfani, dan burhani yang pada era klasik pernah digunakan oleh para sufi dan pada era kontemporer ini digunakan oleh Abed al-Jabiri. Pertama, bayani adalah sistem eksplikasi yang terdapat dalam bidang filologi, fikih, ushul fiqh, kalam, dan balaghah. Sistem ini muncul untuk menafsirkan wacana (interpreting of discourse) teks-teks primer keagamaan. Karakteristik episteme eksplikasi secara umum menggunakan metode analogi. Kedua, ‘irfani adalah episteme gnostik yang mengakomodir sufisme, pemikiran Syi’ah, filsafat Isma’iliyyah, interpretasi esoterik terhadap teks-teks keagamaan, dan filsafat illuminasi. Episteme ini didasarkan pada metode “penyingkapan intuitif” (al-kasyf) yang terpengaruhi oleh filsafat Hermetisme. Ketiga, burhani adalah episteme demonstratif yang didasarkan pada metode observasi empiris dan pendekatan rasional.
Untuk menganalisis nalar Islam Jawa secara objektif dibutuhkan pula upaya pembacaan terhadap teks-teks primer Islam Jawa kuno karena bahasa Jawa merupakan perangkat budaya yang berperan membentuk world-view atau weltanschauung ala Islam Jawa. Hal ini sesuai dengan gagasan Herder, filosof Jerman modern, yang menawarkan teori etnologi. Teori ini menegaskan bahwa setiap komunitas berbicara dengan cara berpikirnya serta berpikir dengan cara bicaranya. Adam Schaff menjelaskan bahwa Herder melihat bahasa tidak sekadar alat komunikasi, tetapi, lebih dari itu, bahasa merupakan instrumen penting yang mempengaruhi cara pandang manusia terhadap alam dan cara berpikirnya. Nah, oleh sebab itu, penulis merasa perlu merujuk pada teks-teks Islam berbahasa Jawa kuno untuk melihat cara berpikir para leluhur Islam Jawa.
Sejarah Formulasi Nalar Islam Jawa
Sebelum nalar Islam Jawa dirumuskan, kebudayaan Jawa awalnya lekat dengan kepercayaan animisme dan dinamisme. Kebudayaan tersebut kemudian mengalami perubahan pasca masuknya agama Hindu-Budha dari India. Pengaruh kebudayaan India melalui medium bahasa Sansakerta ke dalam kebudayaan Jawa meliputi pelbagai aspek kehidupan; dari aspek sistem kepercayaan, kesusastraan, kesenian, mitologi, astronomi, dan disiplin pengetahuan lainnya. Asimilasi dan akulturasi ini berlangsung selama berabad-abad.
Kejayaan kebudayaan Hindu-Budha ini mengalami pasang-surut seiring dengan menguat dan melemahnya kerajaan Majapahit. Hegemoni kebudayaan Hindu-Budha melemah pada abad ke-14 seiring runtuhnya Majapahit yang mengakibatkan daerah Tuban, Gresik, Demak, Pati, Jepara, Kudus, dan lain-lain menyatakan diri lepas dari kekuasaan Majapahit.
Kesultanan Islam Demak kemudian muncul di bawah kepemimpinan Raden Patah, putra Prabu Brawijaya, raja terakhir Majapahit. Kekuasaan Islam Demak ini menjadikan Islamisasi sebagai proyek resmi negara setelah sebelumnya Islamisasi hanya melalui jalur perdagangan dan dengan cara yang tidak terorganisir. Proyek Islamisasi ini didukung oleh para wali yang terdiri dari Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ngampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Giri, Sunan Kalijaga, Sunan Muria, dan Sunan Gunung Jati. Para leluhur Islam Jawa yang dikenal dengan sebutan Wali Songo ini telah merancang proyek kebudayaan Islam lokal dalam rangka menyebarkan nilai-nilai religius yang senafas dengan tradisi Jawa (pengadatan Jowo) melalui proses asimilasi dan akulturasi yang panjang.
Proyek Islamisasi yang dicanangkan oleh Wali Songo dan penguasa Demak ini direalisasikan melalui pendekatan kesenian tembang Lir-Ilir yang diciptakan oleh Sunan Kali Jaga menurut satu versi, sementara menurut versi lain diciptakan oleh Sunan Giri. Kandungan tembang ini membawa misi pembasisan nalar Bayani melalui penyebaran Syarengat (Syariat) di tanah Jawa.
Tembang yang penuh dengan metafora ini diawali dengan lirik “Lir ilir lir ilir tandure wus sumilir” yang artinya “Sayup-sayup tanaman mulai bersemi”, seperti berseminya Islam di tanah Jawa. Tak Ijo royo-royo. Tak sengguh tamanten anyar; warna tanaman itu hijau seperti hijaunya simbol Islam. Sedemikian hijaunya tanaman itu seperti pengantin baru. Pemeluk Islam di Jawa masih sangat hijau dan awam ibarat pengantin baru yang memulai mahligai bahtera rumah tangga. Cah angon cah angon penekna blimbing kuwi; anak-anak penggembala, panjatlah pohon blimbing itu. Seorang pemimpin kesultanan Demak adalah para penggembala (al-imam ra’in), sehingga para Wali Songo meminta bantuan mereka untuk memanjat buah blimbing yang diibaratkan dengan tugas penyebaran syariat Islam. Blimbing adalah buah yang memiliki lima sisi sehingga secara simbolis sama seperti jumlah rukun Islam yang ada lima; syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji.
Lunyu lunyu penekna kanggo mbasuh dodotira; meskipun licin, teruslah memanjat untuk mencuci pakaianmu. Meskipun banyak rintangan, teruslah menyebarkan syariat untuk mencuci ragamu dengan aturan-aturannya. Dodotira dodotira kumintir bedah ing pinggir. Dondomana jrumatana kanggo seba mengko sore. Mumpung padang rembulane. Mumpung jembar kalangane; jahitlah pakaianmu yang sobek, jahitlah untuk menghadap Tuhan nanti sore (hari Kiamat). Mumpung masih ada kesempatan.
Implementasi rukun Islam di Jawa belumlah maksimal, sehingga perlu dioptimalkan. Shalat yang sejatinya berfungsi mengendalikan kerusakan sosial (tanha ‘an fakhsyai wa al-munkar) belum dijalankan secara baik. Jika pun dilaksanakan, shalat hanya dipahami sebagai ritual simbolis-formalistik belaka tanpa punyai fungsi sosial yang positif, sehingga tak heran jika banyak orang menjalankan shalat tetapi masih melakukan korupsi, menjadi mafia pajak, dan melakukan kekerasan atas nama agama. Zakat juga belum maksimal sehingga belum mampu mengentaskan kemiskinan di Indonesia. Puasa Ramadhan—yang diproyeksikan untuk melatih solidaritas sosial—belum membuahkan hasil yang diharapkan. Bukannya solidaritas sosial yang didapat, justru umat Islam cenderung terjebak dalam tindakan-tindakan anarkisme dan main hakim sendiri. Haji yang awalnya adalah “wisata historis-religius” direduksi hanya menjadi kendaraan untuk memperoleh posisi sosial yang lebih terhormat. Kurang optimalnya peran sosial agama Islam ini disebabkan oleh pemaknaan dan penghayatan agama yang dangkal. Hal ini membuktikan bahwa nalar Islam Jawa masih dalam fase “ijo royo-royo”, yakni fase hijau dan awam yang terjebak pada formalisme belaka.

Sun suraka surak hiyo
; sambutlah ajakan ini dengan seruan “Ayo”. Sayangnya, belakangan ini seruan “Ayo” diganti oleh kalangan Islam radikal dengan pekikan suara keras “Allahu Akbar” penuh emosi, tanpa ketulusan dan kadang justru untuk menakut-nakuti. Teriakan “ayo” seyogyanya dipahami secara filosofis dengan cara mengoptimalkan fungsi sosial syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji. Jika syahadat mampu menciptakan keimanan penuh kebebasan, shalat mampu menjaga stabilitas sosial, zakat mampu mengentaskan kemiskinan, puasa mampu membangun solidaritas sosial, dan haji menjadi ajang musyawarah international kaum muslim dalam rangka perdamaian global, maka ini adalah tanda bahwa fase ijo royo-royo sudah terlewati. Dalam konteks inilah kita perlu mentransformasikan nalar Islam Jawa dari formalisme menuju penghayatan yang lebih substantifistik terhadap “sejatining makno agomo” atau the true meaning of religion.
Tembang Lir-Ilir menunjukkan kecenderungan formalisme agama yang kering. Tembang ini lebih menekankan pada upaya “masuh dodot” (mencuci baju), yakni simbol anjuran membersihkan raga dengan syarengat. Ini merupakan ciri khas pekih (fiqh) yang berkutat dalam dimensi eksoteris atau kulit agama. Sementara para sufi menyatakan bahwa pekih tanpa tasawuf bagaikan jasad tanpa ruh. Sebaliknya, tasawuf tanpa pekih bagaikan ruh yang jasadnya tanpa busana.
Menyadari keringnya pekih ini, ulama Demak berupaya mengharmonisasikan pekih dengan sufisme ortodoks Sunni. Proyek harmonisasi ini tampak dalam ajaran Suluk Wujil karya Sunan Bonang, “Dipun weruh ing urip sejati, lir kurungan raraga sedaya, becik denweruhi manuke. Rusak yes sira tan weruh… yen sira yun weruh becikana kang sarira, awisma ing enggon punang sepi”. Artinya, “hendaknya kalian tahu arti hidup sejati. Ibarat sangkar, hendaknya burung yang ada di dalam sangkar diketahui. Rusak jika tidak tahu. Jika kamu ingin tahu, perbaikilah ragamu, tunggulah di tempat sepi”. Sunan Bonang hendak menegaskan bahwa arti hidup sejati adalah keseimbangan antara perbaikan raga melalui pengamalan syariat dengan penyucian jiwa melalui meditasi dan kontemplasi di tempat yang sepi (‘uzlah).
Nalar Islam Jawa mainstream juga terbangun di atas nalar teologis ortodoks. Hal ini dapat dilihat dari idiom-idiom teologis Islam Jawa seperti “Pangeran iku ana neng endi papan, ana ing siro ugo ono Pangeran, nanging aja siro ngaku Pangeran”. Artinya, “Tuhan itu ada dimana-mana, ada juga dalam dirimu tetapi janganlah engkau mengaku Tuhan”. Dari idiom ini kita dapat memahami bahwa ciri khas teologi ortodoks adalah penolakannya terhadap konsep sufisme filosofis wahdat al-wujud yang disalahpahami sebagai “penuhanan-diri”.
Sufisme ortodoks yang didukung oleh otoritas kesultanan Demak menemukan musuh ideologisnya dalam pemikiran manunggaling kawula-Gusti ala Syekh Siti Jenar. “Ya ingsun iki Allah. Ingsun iki jatining Pangeran Mulya. Syekh Lemah Abang iku wajahing Pangeran Jati” (Ya Aku inilah Allah. Aku ini Hakikat Yang Maha Mulia. Syekh Lemah Abang wajah Tuhan sejati). Pernyataan Syekh Siti Jenar ini yang seakan-akan menampar otoritas keagamaan Demak. Otoritas keagamaan resmi Demak akhirnya menjatuhkan hukuman eksekusi kepada Syekh Siti Jenar.
Ajaran Syekh Siti Jenar kemudian dikembangkan oleh muridnya, Sunan Panggung, dalam Kitab Suluk Malang Sumirang; sebuah karya yang sangat liberal untuk ukuran saat itu. Kontroversi pemikiran Sunan Panggung menyebabkannya dihukum mati oleh kerajaan Demak dengan dibakar hidup-hidup karena dituduh menabrak syarengat. Karya itu menyindir formalisme ahli syarengat dan fiqihisme kesultanan Demak yang disokong oleh doktrin Dewan Wali Songo. Sunan Panggung berkata, “Dosa gung alit tan den singgahi, ujar kupur kapir kang den ambah. Wus liwung pasikapane. Tan andulu dinulu”. Artinya, “dosa besar kecil tak diketahui, bilang kufur kafir. Sudah kacau pandangannya. Tak melihat-lihat”. Statemen Sunan Panggung menunjukkan realitas sejarah di mana Dewan Wali Songo merupakan lembaga yang tak segan-segan mengkafirkan pemikiran liyan. Peran Dewan Wali Songo yang suka mengkafirkan identik dengan MUI yang menyesatkan liberalisme Islam, pluralisme, sekularisme, dan isme-isme lainnya. Namun, Dewan Wali Songo tan andulu dinulu. Artinya, Wali Songo dinilai tidak memahami substansi pemikiran yang mereka kafirkan sehingga dengan mudah mengkafirkan secara serampangan. MUI pun demikian, ketika menyesatkan liberalisme Islam, pluralisme, dan sekularisme, mereka kurang memahami konsep-konsep itu secara tepat sehingga fatwanya problematik.
Dalam rangka menangkal pengkafiran itu, Sunan Panggung menjelaskan bahwa sufisme yang ia anut tidak menentang syarengat tetapi justru memperdalam penghayatan dalam beragama. Sunan Panggung berkata, “Kang wus tumeka ing rasa jati, sembahyangipun tan mawas nalika, luwir banyu mili jatine…pujine lumintu, rahina wengi tan pegat. Puji iku rahina wengi sireki. Akeh dadi berholo”. Artinya, “Orang yang sudah sampai rasa jati (haqiqat), sembahyangnya tak melihat waktu, sejatinya seperti air mengalir; berdoa selalu siang malam tanpa henti. Memuji itu siang malam. Banyak yang jadi berhala”. Bagi Sunan Panggung, shalat yang merupakan representasi syarengat merupakan ritual yang penting namun seharusnya tak terbatasi oleh lima waktu saja. Allah harus senantiasa diingat di dalam hati setiap saat dan dimana pun.
Nalar mistik Islam Jawa terus berkembang secara dinamis. Setelah wafatnya Sultan Trenggana (penguasa ketiga Kesultanan Demak), kekuasaan Demak bergeser ke Pajang dengan rajanya yang bernama Sultan Hadiwijaya (Joko Tingkir) pada tahun 1546-1586 M. Sultan Hadiwijaya memiliki pujangga besar bernama Pangeran Karanggayam, penulis karya filosofis berjudul Serat Nitisruti yang berisi ajaran moral dan mistik kejawen. Salah satu ungkapannya yang merepresentasikan struktur nalar mistik adalah, “Satyakening naya atoh pati, yeka palanjaraning atapa, gunung wasitane. Tan kedhap ing pandulu. Ning dumadi dadining bumi akasa uwang iriya jatining purba wasesa. Tan ana pati kalawan urip. Uripe tansah tunggal”. Artinya, “bersumpahlah dengan atas nama mati, yaitu pelajarannya bertapa menurut ajarannya leluhur. Tak henti melihat segala hal di muka bumi. Langit seisinya semua hamba Tuhan. Tiada mati tiada hidup; hidupnya sudah menunggal dengan Tuhan”.
Teks ini menunjukkan bahwa ajaran manunggaling kawula-Gusti tidak mati pasca eksekusi yang dijatuhkan kepada Syekh Siti Jenar dan Sunan Panggung. Ajaran mereka justru terus berkembang semakin luas di era Joko Tingkir melalui Pangeran Karanggayam. Nah, berkat peran Pangeran Karanggayam-lah ajaran manunggaling kawula-Gusti seakan-akan mendapatkan dukungan resmi negara karena Pangeran Karanggayam merupakan pujangga Kesultanan Pajang.
Penyebaran ajaran memang senantiasa berhubungan erat dengan kekuasaan. Sebagai contoh, madzhab Syafi’iyah tersebar luas berkat dukungan Shalahuddin al-Ayubi di Mesir. Malikiyyah berkembang di Andalusia Spanyol berkat dukungan Dinasti Umawiyah, Muwahiddin, dan Murabithin. Hanafiyah berkembang di Baghdad atas dukungan penguasa Abasiyah. Dan belakangan ini Hanbaliyah disebarkan oleh Wahabiyah atas dukungan otoritas Arab Saudi. Fenomena ini membenarkan teori Michel Foucault bahwa “the relation of power and knowledge is closer”. Mengingat kedekatan hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan maka ia berpendapat bahwa untuk mengkaji manusia maka tujuan kekuasaan dan tujuan pengetahuan tidak dapat dipisahkan (for the study of human beings, the goals of power and the goals of knowledge cannot be separated).
Teologi Islam Jawa pun mengalami harmonisasi dengan sufisme. Hal ini dapat kita lihat dari idiom-idiom Islam Jawa yang antara lain, “Pangeran iku ana neng endi papan, ana ing siro ugo ono Pangeran, nanging aja siro ngaku Pangeran”. Artinya, “Tuhan ada dimana-mana, juga ada dalam dirimu, tetapi jangnlah engkau mengaku menjadi Tuhan”. Statemen ini menunjukkan unsur-unsur teologi Sunni yang bercampur dengan sufisme praksis (tasawuf ‘amali) Sunni. Jika ditelusuri lebih jauh, idiom-idiom ini banyak dipengaruhi oleh sufisme al-Ghazali yang berkolaborasi dengan tasawuf Sunni.
Yang lebih menarik dicermati, nalar teologis Islam Jawa ternyata sangat pluralistik dan inklusif. Idiom-idiom teologi Jawa mengatakan, “Pangeran iku siji, ana ing ngendi papan, langgeng, sing ngandadeake jagad iki sak isine, dadi sesembahane wong sealam kabeh nganggo carane dewe-dewe”. Artinya, “Tuhan itu Satu, ada di mana-mana, abadi, pencipta alam semesta, dan yang disembah oleh seluruh penghuni alam semesta dengan cara yang berbeda-beda”. Umat Islam, Kristiani, dan Yahudi sejatinya menyembah Tuhan yang sama, yaitu Allah, meskipun caranya beragam. Dalam konteks masa kini, spirit pluralistik dan inklusif ini seyogyanya dilestarikan untuk membina kedamaian dan toleransi di Indonesia yang belakangan diwarnai oleh tindakan-tindakan intoleran dari kalangan Islam radikal. Nalar teologi Islam Jawa juga mengajarkan egalitarianisme melalui idiom “Pangeran iku ora mbedak-mbedakke kawulo-Ne” (Tuhan itu tidak membeda-bedakan hamba-Nya). Spirit egalitarianisme ini harus ditegakkan kembali di tengah-tengah maraknya diskriminasi terhadap perempuan dan ketidakadilan hukum yang selalu merugikan orang-orang lemah.
Nalar teologis Islam Jawa sering dituding menganut paradigma predestinasi (Jabariyyah) yang mengajarkan kepasrahan total dan mutlak kepada Tuhan, sehingga bangsa ini mudah dijajah oleh para imperialis Barat. Etos kerja bangsa kita juga rendah karena dicekoki oleh idiom nerimo ing pandum (menerima apa adanya) tanpa mau berusaha memaksimalkan potensi anak bangsa. Akibatnya, bangsa kita mudah terjajah oleh kapitalisme Barat dan menjadi negera dengan budaya konsumerisme yang akut. Teologi predestinasi Islam Jawa ini harus diluruskan dengan teologi yang mendorong etos kerja yang terdapat dalam idiom Jawa “Pasrah marang pangeran iku ora ateges ora gelem nyambutgawe, nanging percoyo yen Pangeran iku Maha Kuoso”. Artinya, “Pasrah kepada Tuhan bukan berarti tidak mau bekerja, tetapi percaya bahwa Tuhan Maha Kuasa menolong hamba-Nya”. Namun bermodalkan etos kerja saja tidak mencukupi, sebab pemerintah kita tidak menyediakan lahan pekerjaan yang luas dan kelayakan gaji, sehingga tak aneh jika banyak anak negeri yang memilih menjadi TKI meskipun beresiko tinggi, seperti penganiayaan yang dialami oleh Sumiati.
Nalar teologis Islam Jawa yang diusung oleh para leluhur memperingatkan kita akan pentingnya mencari rezeki yang halal. Idiom teologi ekonomi Jawa menyatakan, “Bandha kang resik iku kang nyambut gawe, saka pametu kang ora ngrusakake liyan” (harta yang bersih itu diperoleh dari kerja keras dan dari sumber yang tidak merusak orang lain). Dengan demikian, korupsi merupakan kejahatan yang keji yang harus diperangi secara nyata oleh penegak hukum dan tidak cukup hanya melalui retorika belaka dalam politik pecintraan ala SBY. Kasus Century dan mafia pajak yang melibatkan Gayus sebagai aktornya memperlihatkan betapa mahalnya kejujuran dalam mengemban amanat di negeri ini. Kita seharusnya malu dengan leluhur bangsa yang senantiasa menganjurkan mencari “bondho resik”.
Korupsi di Indonesia merupakan masalah kompleks yang muncul akibat faktor-faktor seperti krisis transparansi dalam pengambilan keputusan pemerintah, kampanye-kampanye politik yang mahal dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal, proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar, lemahnya ketertiban hukum, gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil, kurangnya kontrol untuk mencegah penyuapan atau sumbangan kampanye, dan faktor lainnya. Kelemahan di pelbagai sektor ini menyebabkan para pemimpin dan orang-orang seperti Gayus Tambunan berebut harta (rebutan bondho). Dalam situasi seperti ini, ramalan Ranggawarsito (l. 1802) dalam Serat Kalatidha pun menemukan relevansinya. Ia berkata, “Amenangi zaman edan, ewuh aya ing pambudi, milu edan nora tahan, yen tan milu anglakoni boya keduman melik, kaliren wekasanipun. Dilalah karsa Allah, begja-begjane kang lali, luwih begja kang eling lawan waspada”. Artinya, “Mengalami zaman gila serba sulit dalam pikiran. Ikut gila tidak tahan. Kalau tidak ikut gila maka tidak dapat bagian. Akhirnya kelaparan. Untungnya takdir Allah, seuntung-untungnya orang lupa, masih untung yang sadar dan waspada”.
Bersamaan dengan peringatan hari anti-korupsi (9 Desember), mari kita berdoa semoga kita termasuk generasi bangsa yang sadar akan bahaya korupsi dan memiliki kesadaran untuk memberantasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar