Powered By Blogger

Selasa, 03 April 2012

Filsafat dan Terorisme

Filsafat dan Terorisme

Oleh Sulaiman Djaya*
Munculnya terorisme bisa dibaca sebagai ledakan yang merupakan episode kelanjutan dari perang dingin karena para pelaku teroris itu adalah orang-orang yang dilatih Amerika seperti, Osama Bin Laden. Derrida menyebut peristiwa 11/9 sebagai simtom krisis otoimunitas di dalam sistem yang seharusnya melindungi dirinya dari serangan eksternal, semacam bunuh diri spontan. Argumentasi ini bertolak dari kenyataan politik bahwa di era perang dingin Amerika melatih orang-orang yang dulunya ditugaskan untuk menghantam Soviet guna melindungi teritorinya. Tetapi sekarang malah berbalik menyerang Amerika. Inilah sindrom politik keris empu gandring dalam diskursus kosmologi orang Jawa
Di tahun 2001, Giovanna Borradori mengintroduksi agar filsafat tak abai terhadap sejarah. Filsafat menginterupsi pemikiran yang mengatasi sejarah, atau menghindari sejarah, dan melupakan cakrawala ke-mengada-an manusia. Seberapapun sulitnya untuk melakukan prediksi atas masa depan, usaha untuk mengenali sejarah harus diusahakan agar filsafat tak menjadi Minerva yang terbang di saat senjakala menyongsong dan hanya mampu memahami peristiwa setelah keruntuhan terjadi seperti tercermin dalam peristiwa September kelabu 2001.
Menurut Borradori, sejak Aristoteles sampai pertengahan abad kedelapan belas ketidakacuhan filsafat terhadap sejarah mendominasi tradisi Barat. Sikap abai terhadap sejarah ini telah banyak melahirkan tragedi kemanusiaan dalam wajah fasisme dan totalitarianisme di panggung abad 20 seperti yang disinyalir Arendt.
Di abad kesembilan belas, Hegel mengakhiri kesenjangan antara filsafat dan sejarah, ketika ia menegaskan bahwa rasio adalah rangkaian determinasi-diri di dalam sejarah. Rasionalitas berakar dalam struktur formasi sosial di mana individu itu mengada, bukan semata rangkaian absraksi yang memperlengkapi individu dan afirmasi otonominya. Rasionalitas adalah hasil negasi-diri subjek dengan sejarah yang tak pernah tuntas dan final.
Borradori hendak mengafirmasi bahwa peristiwa 11 September 2001 dan terorisme global mendesak kita melakukan penilaian ulang secara kritis terhadap cita-cita Pencerahan. Tak dapat dimungkiri sistem peradilan dan politik yang menstrukturisasi hukum internasional dan institusi-institusi multilateral yang ada saat ini merupakan warisan dan tumbuh dari ide-ide filosofis dunia Barat yang didasarkan pada Pencerahan sebagaimana ditegaskan Derrida.
Sejalan dengan semangat dekonstruksi,  Derrida menampik definisi final tentang apa yang selama ini dikonsepsikan sebagai “peristiwa” atau pun istilah terorisme itu sendiri yang menurutnya telah dikonsepsikan secara terburu-buru. Sejalan dengan dekonstruksi,  menyoal ulang pengertian “apa itu peristiwa” dan “konsep terorisme” merupakan satu-satunya langkah politis yang lebih bisa dipertanggungjawabkan. Menerima terorisme sebagai jelas pada dirinya, seperti yang dilakukan pihak Amerika dan sekutunya malah membantu dan sesuai dengan apa yang diinginkan para teroris itu sendiri. Pengkonsepsian justru memberikan arti, agenda dan muatan politis yang mantap pada para teroris. Dengan menerima sebutan “peristiwa” kita tidak lebih telah melakukan tindakan pengutipan tanpa terlebih dahulu mencermati dan membongkar struktur-struktur apa yang menamakan “peristiwa”. Usulan Derrida adalah menunda “pemahaman” kita atas peristiwa sambil membongkar kembali kategori-kategori yang telah dimapankan.
Menurut Derrida, kita tidak menggunakan bahasa di dalam fungsinya yang jelas untuk menunjuk ketika kita mengucapkan 11 September. Padahal tak lebih sebuah pendesakkan konsep atau definisi pada sesuatu yang tidak bisa dinamai karena terjadi di luar bahasa: teror dan trauma. Seturut dengan Heidegger,  konsep “peristiwa” menunjukkan sesuatu yang menawarkan diri untuk dialami, tetapi menolak untuk sepenuhnya dipahami atau pun diapropriasi. Sebuah peristiwa pun menjadi istimewa dan tidak diproduksi lagi sebagaimana puisi dan kematian. 
Melalui pendekatan ini, Derrida hendak membongkar dikotomi oposisi-biner dalam pemikiran filsafat Barat, heirarki oposisi biner tidak lebih dari sejarah “eksklusi” atas “the other”.  Prinsip-prinsip yang diklaim filsafat Barat memiliki validitas universal sesungguhnya tidak pernah berhasil menangkap apa yang dikumandangkannya. Malah prinsip-prinsip tersebut mendesakkan segugus standar dan kategori-kategori yang menguntungkan satu pihak tetapi merugikan pihak lain. Sikap kritis dan dekonstruktif atas prinsip-prinsip universalitas yang mengeksklusi “the other” tersebut dalam ranah etika dan politik oleh Derrida disebut sebagai tanggungjawab di depan alteritas (pihak yang sepenuhnya lain), dan pada perbedaan yang melampaui batas-batas teritori, deskripsi, yang terpencil dan yang sunyi.
Sikap Derrida tersebut bisa dimafhumi karena baginya identitas merupakan segugus batas-batas yang tidak pernah stabil. Sebagaimana riwayat “mengada”, Derrida sendiri dihadapkan pada setumpuk persoalan identitas dan teritori: Judaisme-Kristianitas, Judaisme-Islam, atau perbenturan ketiganya, Perancis dan koloni-koloninya. Konflik dan perbenturannya satu sama lain merupakan sebuah tantangan yang dihadirkan secara nyata kepada filsafat. Derrida menganjurkan untuk memeriksa konsep tentang manusia yang dalam kenyataannya sedang dipertaruhkan. Konsep tentang kesatuan manusia sesungguhnya tidak pernah mencukupi, sebab universalitas atau totalitas mereduksikan juga sekaligus mengekslusikan “alteritas” itu sendiri. Dalam setiap upaya “penyatuan” diam-diam tersembunyi penyingkiran.  “Manusia” dalam sejarah filsafat modern seolah-olah tanpa batas kultural, historis, atau linguistik. Akhirnya, keserbaragaman narasi historis yang melatari asal-usul manusia ini terhindar dari perangkap oposisi biner yang berbahaya, menindas keragaman dan partikularitas karena segala carut marut kenyataan dileburkan dalam identitas.
Cita-cita Pencerahan abai dengan keragaman ini, lalu melakukan kesalahan sebab diresapi oleh ikhtiar menemukan esensi dan totalitas kenyataan. Sebagai konsekuensinya secara tidak adil memandang kultur dan asal-usul historis yang menentang modernitas dan sekularisasi, seperti fundamentalisme. Berbeda dengan Habermas yang menuduh terorisme bersumber dari sikap defensif dari gaya-gaya hidup tradisional, Derrida malah menyatakan bahwa reaksi defensif justru datang dari modernitas itu sendiri. Terorisme adalah gejala kekacauan otoimun yang mengancam kehidupan demokrasi partisipatoris, sistem hukum yang menanggungnya, dan kemungkinan pemisahan secara tajam antara dimensi-dimensi keagamaan dan sekuler. Kondisi-kondisi otoimun mengimplikasikan bunuh diri spontan mekanisme defensif yang dituntut untuk melindungi organisme dari agressi eksternal. Dan jenis terorisme global di balik serangan 11/9 bukanlah simtom pertama krisis otoimun, melainkan hanya kekinian manifestasinya.
Munculnya terorisme bisa dibaca sebagai ledakan yang merupakan episode kelanjutan dari perang dingin karena para pelaku teroris itu adalah orang-orang yang dilatih Amerika seperti, Osama Bin Laden. Derrida menyebut peristiwa 11/9 sebagai simtom krisis otoimunitas di dalam sistem yang seharusnya melindungi dirinya dari serangan eksternal, semacam bunuh diri spontan. Argumentasi ini bertolak dari kenyataan politik bahwa di era perang dingin Amerika melatih orang-orang yang dulunya ditugaskan untuk menghantam Soviet guna melindungi teritorinya. Tetapi sekarang malah berbalik menyerang Amerika. Inilah sindrom politik keris empu gandring dalam diskursus kosmologi orang Jawa.
Di satu sisi, globalisasi yang menjadi latar dunia saat ini dalam pandangan Derrida tidak lebih sebuah kelicikan retoris untuk menyembunyikan ketidakadilan. Globalisasi dipercayai sedang terjadi, namun dalam kenyataannya tidak. Globalisasi tidak bisa menyembunyikan patologinya: ketimpangan ekonomi atau kelaparan di berbagai belahan bumi, seperti Afrika dan Asia. Di sisi lain, globalisasi menyediakan kekuatan tekno-sains yang dapat dimanfaatakn oleh para teroris, sekaligus mengaburkan batas-batas teritori itu sendiri. Kini para teroris bersembunyi di Madrid, Hamburg, Berlin, London, atau New York. Tak pelak lagi, terorisme merupakan suatu gejala elemen traumatis yang intrinsik terhadap pengalaman modern. Mungkinkah elemen traumatis ini akan berakhir, ketika London, Madrid, dan New York menjadi ladang subur persemaian bom bunuh diri?

*Esais dan Penyair

Tidak ada komentar:

Posting Komentar