Powered By Blogger

Selasa, 03 April 2012

Gus Dur dan Media Islam

Gus Dur dan Media Islam

Oleh Alamsyah M. Dja’far
Sebagai orang yang “dibesarkan” media, kebebasan pers bagi mantan aktivis Prodem ini setarikan nafas dengan perjuangannya menegakkan demokrasi. Tak ada demokrasi tanpa kebebasan media, betapapun lemahnya kualitas media yang ada. Dalam tradisi ushul fikih (teori hukum Islam) dikenal kaidah, li al-wasail hukm al-maqashid (hukum perantara mengikuti hukum tujuan). Jika demokrasi sebuah kewajiban, maka penciptaan media yang bebas juga sebuah keharusan.
Di tengah-tengah gelombang “tsunami” berita meninggal dan beragam kisah tentang Gus Dur, saya bertanya-tanya sebegitu homogenkah media massa nasional? Mengapa media lebih menyajikan “berita baik” tentang Gus Dur? Tak seperti pandangan semasa hidupnya sebagai sosok paling kontroversial.
Sangat banyak orang mengatakan, kenyataan itu bukti akan penghormatan masyarakat, dalam dan luar negeri, atas konsistensi perjuangan Gus Dur selama ini. Bisa pula dilihat, jangan-jangan itu cerminan etika ketimuran terhadap orang yang tengah berkabung.
Keberbedaan itu sedikit banyak saya jumpai dalam pemberitaan “media massa Islamis”.  Media jenis ini adalah semua media berbasis pembaca muslim yang menempatkan Islam sebagai ideologi yang tak hanya harus diterapkan dalam wilayah politik, tapi juga pada segala dimensi kehidupan masyarakat modern.
Media massa Islamis menurut saya jauh lebih “berani” menampilkan hal-hal yang dianggapnya sebagai sisi berbeda Gus Dur. Sebuah harian nasional berbasis pembaca muslim misalnya menurunkan cover story bertajuk “Berpulang”. Meski berusaha memposisikan diri ikut mengapresiasi, sebagaimana garis ideologi pemberitaannya sejauh ini, media tersebut justru tampak seperti sedang melancarkan kritik tajamnya terhadap Gus Dur.  “Dia memang kontroversial, tetapi sejujurnya, bahkan mereka yang sukar mencintainya pun selalu bisa menyesap hikmah dari kiprahnya” tulis media itu diplomatis.
Sejumlah lakon kontroversi Gus Dur pun disebut satu-satu. Mulai langkah Gus Dur menggadang LB Moerdani sebagai calon wakil presiden pada 1988 hingga pemecatan ketua umum PKB. Maka Gus Dur pun menurut media ini mirip tokoh utama yang digambarkan dalam Strange Case of Dr Jekyll and Mr Hyde,  novel karya Robert Louis Stevenson yang ditulis di akhir abad ke-19. Dalam teori pembingkaian, cara ini adalah tekhnik “pemampatan simbol” (condensing symbol) dengan analogi metaporis. Novel itu sesungguhnya lebih banyak diketahui kisah tentang tokoh yang memiliki, mohon maaf, “kelainan jiwa” dengan dua karakter yang bersebarangan.
Sebuah media Islam online yang tak mencantumkan alamat redaksinya memuat komentar Abu Bakar Baasyir. “Mr Dur ini murtad karena dia telah mengatakan semua agama sama,” katanya. Pernyataan ABB ini diletakkan dalam konteks menyajikan opini berbeda dari pemberitaan media massa yang menurut media online itu lebih banyak memberitakan perihal pendukung, kewalian, dan kepluralismean Gus Dur.
Sebuah media Islamis lainnya tampak mengarahkan angle-nya pada isu perilaku pengikut Gus Dur yang mengarah kemusyrikan seperti perilaku peziarah yang mengambil tanah dan bunga atau menangis di hadapan kuburan mantan Ketua Umum PBNU tiga periode itu.
Seperti diketahui, ketaksetujuan media massa Islam terhadap sepak terjang Gus Dur tak hanya muncul sekarang. Situasinya berlangsung “laten”. Puncaknya terjadi ketika Gus Dur jadi presiden. Ia dinilai lebih pro non-muslim, ketimbang muslim. Beragam label negatif pun disematkan. Gus Dur jalan terus.
Sebagai orang yang “dibesarkan” media, kebebasan pers bagi mantan aktivis Prodem ini setarikan nafas dengan perjuangannya menegakkan demokrasi. Tak ada demokrasi tanpa kebebasan media, betapapun lemahnya kualitas media yang ada. Dalam tradisi ushul fikih (teori hukum Islam) dikenal kaidah, li al-wasail hukm al-maqashid (hukum perantara mengikuti hukum tujuan). Jika demokrasi sebuah kewajiban, maka penciptaan media yang bebas juga sebuah keharusan.
Itulah mengapa Gus Dur membela tabloid Monitor dari kemarahan umat Islam lantaran menempatkan Nabi Muhammad diurutan ke- 11 tokoh paling dikagumi. Nomor satu dipegang Soeharto, dua dipegang BJ Habibie. Peristiwanya terjadi tahun 1990. Pembredelan Monitor 23 Oktober 1990 oleh Orde Baru setelah keributan umat dianggap Gus Dur sebagai “fit and proper test” Orde Baru membredel media lain yang akan membahayakan kekuasaan.
Dalam catatan Wahyu Muryadi, mantan Staf Khusus Bagian Protokoler Istana Negara, misalnya, di masa kepresiden yang hanya 21 bulan (1999-2001) Gus Dur membuka akses seluas mungkin untuk para jurnalis yang ngepos di Istana Negara. Jumlahnya melonjak hingga delapan kali lipat dari sebelumnya. Dari 100 menjadi 800 orang.
Keakrabannya dengan media tentu bukan hanya saat itu. Sejak awal karir intelektualnya di era 70-an, Gus Dur sudah sangat akrab dengan media, khususnya cetak. Tulisan obituari yang “intim” dari Arswendo Atmowiloto (Suara Pembaruan, 13 Desember 2009) cukup menggambarkan keakraban ini. Selain sebagai penulis dengan minat yang amat luas (komentar film, pertandingan sepak bola, atau soal politik), Gus Dur adalah sumber penting yang ditunggu-tunggu jawabannya oleh para wartawan saat ia tengah mengetik di gedung Kompas saat itu. Tentang apa saja!
Maka dalam perjalanan hidup Gus Dur selanjutnya, ia bukan hanya menjadi narasumber penting media massa, tapi justru memerankan media massa itu sendiri. Jika UU NO 40 Tahun 1999 tentang pers menyebut fungsi media nasional sebagai pemberi informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial, Gus Dur memerankannya sekaligus: memberi informasi yang tak banyak diketahui atau “tabu” dikatakan orang, mengajak orang berpikir, kritis, sekaligus tokoh yang amat jenaka.
Meski begitu Gus Dur juga orang yang sangat kritis terhadap media. Di ujung kekuasaan kepresidennya, ia pernah mengkritik dan kecewa terhadap media massa yang tak lagi berimbang. Hasil Jajak pendapat yang dilakukan Pantau di Jakarta pada 1-6 April kepada 458 responden menyebut, 56,7 % televisi tak memberitakan sisi positif dan negatif tentang sosok Gus Dur secara proporsional; 45, 2 % juga tak memberitakan secara proporsional Keberhasilan dan kegagalan pemerintahannya. Belakangan diketahui media massa saat itu ikut pula “menjatuhkan” Gus Dur.
Kritik terhadap salah satu media Islam konon juga dilakukan Gus Dur dengan cara emoh diwawancari. Media itu dinilai selalu memelintir pernyataannya.
Gus Dur meyakini kritik maupun respon terhadap media yang dinilai kurang berkualitas tak bisa dijawab dengan menghadirkan intervensi negara, apalagi kekerasan. Biarlah kebebasan pers diurus warga negara dengan public reasoning yang alamiah; keragaman tak perlu diseragamkan. Pada titik inilah kebebasan dan keberbedaan pemberitaan media massa Islamis tentang sosok Gus Dur dipahami. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar