Powered By Blogger

Minggu, 01 April 2012

Ilusi Kedamaian dari Pengejaran Kekayaan

Ilusi Kedamaian dari Pengejaran Kekayaan


bankerSepanjang sejarah pemikiran umat manusia, persoalan nafsu telah menjadi pokok bahasan. Para pemikir Yunani Kuno sampai gereja menunjukkan bahwa nafsu adalah sesuatu yang harus dikendalikan. Plato menunjukkan bahwa nafsu harus ditundukkan dengan rasio dengan mengatakan di dalam Republic IV ,meminjam lidah Sokrates:
Bukankah tugas untuk mengendalikan (seluruh jiwa) jatuh kepada rasio, yang bijak dan melihat ke depan mengatasi seluruh jiwa yang lain…[1]
Aristoteles menempuh jalan yang sedikit berbeda, yaitu dengan melatih nafsu supaya terbiasa dengan hal-hal yang bajik (virtue) dengan melatih diri melalui kontemplasi akan hal-hal yang baik, sebagaimana yang ia tunjukkan di dalam Nicomachean Ethics X:
Jika kebahagiaan adalah kegiatan yang berhubungan kesempurnaan, … Dan kegiatan ini adalah bersifat kontemplatif.[2]
Pemikir-pemikir Yunani klasik lainnya juga tidak berbeda jauh. Epikurus, yang menganut hedonisme, melihat bahwa meskipun manusia cenderung mencari kenikmatan sebagai pemuasan nafsunya, kenikmatan sejati justru dapat dirasakan bila kita tidak tergantung, nikmat yang hanya tergantung dari diri sendiri, bukan akibat dari luar.[3] Pemikir Kristen seperti Agustinus lebih keras lagi dengan mengatakan bahwa keinginan tubuh adalah jahat.[4] Oleh karena itu yang harus dijalankan adalah keinginan roh untuk bersatu dengan Tuhan.[5]
Namun sejarah berkata lain. Sejarah telah membuktikan segala skema untuk menundukkan nafsu baik dengan rasio menurut Plato, atau kebajikan menurut Aristoteles tidak membuahkan hasil, begitu pula dengan pengendalian hawa nafsu ala iman kristiani. Nafsu masih gagal untuk ditundukkan. Perang masih merajalela dan ketidakadilan ada di mana-mana. Arus sejarah pemikiran terutama di Barat kemudian mencoba pendekatan lain. Ini dimulai dengan Machiavelli yang mengatakan bahwa para filsuf sebelumnya hanyalah melihat manusia sebagai normatif bukan sebagaimana apa adanya.[6] Ia melihat titik terang bahwa nafsu hanya bisa ditundukkan dengan nafsu lain.[7] Bagi Machiavelli, nafsu yang bisa menundukkan nafsu yang lain adalah nafsu akan kemuliaan rajawi. Seorang pangeran yang mencari kemuliaan rajawi akan menundukkan nafsu-nafsu buruknya yang lain, karena tanpa dengan menundukkan nafsu-nafsu rendahnya, ia tidak akan bisa mencapai kemuliaan rajawi. Machiavelli telah memulai sebuah jalan baru, yaitu ketimbang menundukkan nafsu dengan rasio atau kehendak ilahi, satu nafsu diadu dengan nafsu lainnya. Jalan yang mulanya dipakai untuk sebuah solusi politik pun dipakai untuk bidang kehidupan yang lain.
Sejak itu upaya untuk menundukkan nafsu diberikan kepada nafsu yang lain yang kedudukannya dianggap lebih tinggi dari nafsu lain. Solusi ini nampaknya lebih manusiawi dan masuk akal, karena yang dilakukan adalah menundukkan nafsu ketimbang memadamkannya.[8]
Salah satu dari upaya ini adalah dengan menjadikan nafsu akan akumulasi kekayaan sebagai nafsu yang dapat menguasai nafsu lain. Usaha untuk menghasilkan uang pun dianggap sebuah nafsu yang lebih tenang (calm), yang lebih bisa dikendalikan, dan mengendalikan nafsu-nafsu lain yang lebih jahat (avarice). Hutcheson misalnya membedakan antara nafsu untuk kekayaan dengan nafsu lain yang merusak. Ia melihat bahwa nafsu untuk mencari kekayaan dapat membuat seseorang bertindak dengan penuh perhitungan dan rasional, mau melakukan pengorbanan dengan keuntungan yang lebih besar.[9] Hal yang sama dikemukakan oleh Hume juga membedakan nafsu antara yang tenang (calm) dan yang kasar (violent). Ia mengatakan bahwa dengan melakukan usaha perdagangan, nafsu akan akumulasi kekayaan mengalahkan nafsu untuk mengejar kenikmatan.[10] Locke secara tidak langsung di dalam esainya On Property juga menyarankan untuk menumpuk kekayaan karena dengan menumpuk kekayaan karena ia tidak dapat lenyap karena alam dan dapat dipertukarkan untuk apa saja.[11]
Satu hal yang kurang mendapat perhatian dari para pemikir ini adalah tentang sifat uang itu sendiri. Uang bukan hanya sesuatu yang menjadi alat saja melainkan ia juga mengubah cara pandang manusia. Masalah ini dilihat oleh Simmel. Pertam-tama ia membedakan tujuan jangka pendek (immediate goal) dan tujuan jangka panjang atau tujuan akhir (ultimate goal) dari sebuah tindakan. Manusia mengalami kesulitan untuk mengarahkan dirinya pada tujuan akhir karena tujuan akhir hanya bisa dicapai dengan serangkaian tindakan, yang masing-masing menghasilkan tujuan jangka pendek, yang tidak bisa dirasakan secara langsung dan dalam jangka waktu yang pendek.[12]
Kepentingan diri, untuk mencapai kebahagiaan misalnya, adalah sebuah tujuan jangka panjang, sementara memperoleh uang adalah tujuan jangka pendek. Seperti halnya tujuan jangka panjang yang lain, kita sering kali lupa bahwa tindakan kita diarahkan untuknya, melainkan kita hanya memperhatikan tujuan jangka pendeknya saja.
Uang memiliki karakteristik yang menarik sebagai sebuah tujuan antara. Sebelum adanya uang, perdagangan hanya bisa dilakukan bisa ada saling keterbutuhan komoditas yang diperdagangkan antara dua pihak. Dengan adanya uang, saling butuh ini bisa ditiadakan karena ia bisa dimediasi dengan uang, dan selanjutnya uang bisa ditukarkan dengan apa pun yang ia butuhkan. Kemudahan uang untuk dikonversi menjadi tujuan apa pun, membuatnya terangkat menjadi lebih tinggi dari tujuan antara yang lain.[13] Manusia pun lupa bahwa ia hanyalah sebuah tujuan antara. Uang hanyalah alat untuk tujuan lain, kebahagiaan misalnya. Uang bisa menjadi sarana untuk menuju kebahagiaan namun ia tidak identik dengan kebahagiaan dan jelas tidak bisa menggantikan kebahagiaan.
Simmel membedakan antara manusia primitif yang tidak mampu melihat tujuan jangka panjang, dan manusia yang telah berkembang yang mampu melihat tujuan jangka panjang sebagai serangkaian dari tujuan-tujuan tak langsung.[14] Kita dapat melihat bahwa Simmel nampaknya mengikuti etika teleologis Yunani klasik dengan melihat bahwa manusia yang menggunakan rasionya mampu melihat lebih dari sekedar tujuan jangka pendek, melainkan mencari kebahagiaan.
Uang juga bisa diakumulasi dan disimpan. Sifat ini ditambah dengan sifatnya yang pertama yaitu konversi universal membuat ia benar-benar menjadi sebuah tujuan yang tangguh. Kemampuan uang untuk diakumulasi yang memberikan kepuasan tersendiri menjadikan akumulasi kekayaan sebagai tujuannya sendiri, bukan lagi sebuah tujuan antara.[15] Akumulasi dan kemampuan untuk disimpan membuat ia “seolah” bisa mencapai tujuan yang lebih besar, jika ia diakumulasikan. Manusia lupa bahwa akumulasi tidak otomatis membawa ke tujuan yang diinginkan.
Uang di satu pihak memang memenangkan diri dari nafsu-nafsu rendah yang lain seperti perang dan ketamakan. Untuk itulah dikenal istilah le doux commerce atau perdagangan yang damai. Uang seperti memajukan sikap hemat, menahan diri dan saling percaya. Namun yang dilupakan adalah bahwa uang hanya menunda nafsu-nafsu yang seolah kalah darinya. Nafsu-nafsu tersebut memang perlu dikekang untuk memajukan perdagangan dan mengumpulkan uang. Namun setelah uang terkumpul, uang kemudian bisa dipakai untuk melaksanakan nafsu apa pun termasuk perang dan ketamakan.
Uang adalah sebuah penemuan manusia, dan seperti halnya penemuan manusia yang lain, ia tidak bernilai moral pada dirinya sendiri. Pisau tidak otomatis bernilai moral buruk, kecuali jika digunakan untuk membunuh manusia misalnya. Begitu pula dengan uang, ia tidak bernilai buruk pada dirinya sendiri, melainkan pada untuk apa uang itu diberlakukan. Argumen Locke yang menjadikan pengumpulan uang sebagai tujuan gagal di sini, karena ia ibarat memberikan sebuah cek kosong pada semua keinginan manusia, karena uang bisa dikonversi menjadi keinginan apa pun.
Untuk menuduh para pemikir bahwa mereka gagal melihat ini mungkin kurang tepat. Mereka hidup pada zaman di mana politik menjadi panglima, di mana nafsu yang menguasai adalah nafsu akan kekuasaan dan wilayah. Perang merajalela di mana-mana. Mereka mengajukan sebuah kekuatan penyeimbang lain yaitu perdagangan justru untuk membuat sebuah dunia yang lebih baik. Perdagangan ini mereka lihat mampu membawa kedamaian, karena bangsa-bangsa hanya dapat berdamai kalau mereka mau memajukan perdagangan. Mereka tidak menyangka bahwa apa yang mereka lahirkan sebagai sebuah penyeimbang di dalam perkembangannya justru menjadi sebuah panglima yang baru. Jika akumulasi kekayaan menjadi sebuah tujuan akhir, maka perang pun dapat dijadikan sarana untuk mengakumulasi kekayaan.
Mereka juga tidak melihat kolonialisme di belahan dunia lain karena mereka terkungkung hidupnya di dalam benua Eropa.[16] Yang disebut dengan le doux commerce hanya berlaku untuk perdagangan antar negara- negara merdeka. Marx juga melihat bagaimana perdagangan yang damai ini dengan akumulasi modalnya melahirkan pemerasan terhadap kaum buruh.[17]
Uang ternyata hanyalah menunda nafsu-nafsu buruk yang hendak dikekangnya. Dan bukan saja menunda, ia mengakumulasi dan mengamplifikasi nafsu-nafsu buruk itu karena sifat akumulatif dan ketersimpanan uang. Jika kita memiliki maksud jahat terhadap seseorang misalnya, jika kita bertindak langsung kita hanya akan memberikan kerugian kecil. Namun jika kita menunggu dan mengakumulasi uang, dengan itu kita bisa mengakibatkan kerugian yang lebih besar dari pada jika bertindak langsung. Sebuah peperangan antara suku yang tidak mengenal uang hanyalah sekian besarnya, namun pertempuran antara dua kelompok yang dapat mengakumulasi uang dapat memperbesar baik skala maupun jangka waktu pertempuran.
Argumen Simmel juga bisa dilihat secara berbeda. Uang bukan hanya sebagai alat atau tujuan antara melainkan juga dapat menutupi tujuan sesungguhnya. Tujuan sesungguhnya yang secara moral buruk bisa saja ditutupi, karena kegiatan untuk memperoleh uang adalah sesuatu yang netral. Mencari uang yang sekarang telah dianggap sebuah hal yang halal dapat menjadi kedok untuk apa saja, baik itu altruisme atau pun kejahatan yang besar.
Simmel dengan demikian secara tepat menunjukkan lubang dalam argumen bahwa nafsu untuk akumulasi kekayaan dapat meredam nafsu lain, karena di dalam argumen ini, sifat-sifat dari uang, atau lebih tepatnya bagaimana uang mengubah manunia belum dipertimbangkan. Dengan demikian pertanyaan bahwa apakah nafsu dapat ditundukkan oleh nafsu lain tetap menjadi sebuah pertanyaan terbuka.

Daftar Pustaka

_________________. Alkitab Terjemahan Baru. LAI, 1974
Agustinus. On Christian Doctrine. Dalam Rogers, Kelly (ed.) Self Interest. New York: Routledge, 1997
Aristoteles. Nicomachean Ethics. Dalam Rogers, Kelly (ed.) Self Interest. New York: Routledge, 1997
Hirschman, Albert O. The Passions and the Interests. New Jersey: Princeton University Press, 1977
Locke, John. Concerning Civil Government, 1690. Dalam e-text World Library, 1996
Plato. Republic. Dalam Rogers, Kelly (ed.) Self Interest. New York: Routledge, 1997
Simmel, Georg. On the Psychology of Money. Dalam Frisby, David (ed.) Simmel on Culture. London: Sage Publications, 1997
Simmel, Georg. The Philosophy of Money. London: Routledge, 1978

[1] Plato, Republic IV, di dalam Rogers, Self Interest, h.18 [2] Aristoteles, Nicomachean Ethics X, di dalam Rogers, Self Interest, h.24
[3] Epikurus, Letter to Meneoceus, di dalam Rogers, Self Interest, h.34
[4] Pemikiran ini sejalan dengan kitab suci, khususnya dari Surat Paulus kepada Jemaat Roma, 8:5-6,
Sebab mereka yang hidup menurut daging, memikirkan hal-hal yang dari daging; mereka yang hidup menurut Roh, memikirkan hal-hal yang dari Roh. Karena keinginan daging adalah maut, tetapi keinginan Roh adalah hidup dan damai sejahtera.”
[5] Agustinus, On Christian Doctrine, di dalam Rogers, Self Interest, h.55
[6] Hirschman, The Passions and The Self Interests, h.13
[7] Ibid., h.33,41
[8] Ibid., h.16
[9] Ibid., h.65
[10] Ibid. h.66
[11] Locke, On Property, di dalam Civil Government Second Essay, no.49
[12] Simmel, On the Psychology of Money, di dalam Frisby, Simmel on Culture, h.233-234
[13] Ibid., h.213-214
[14] Ibid., h.233-234
[15] Simmel, The Philosophy of Money, h.232
[16] Kondisinya akan berbeda misalnya seperti penulis George Orwell yang setelah ditugaskan di Birma, salah satu koloni Inggris, melihat bagaimana penduduk setempat dijajah dan ditekan.
[17] Hirschman, The Passions and The Self Interests, h.62

Tidak ada komentar:

Posting Komentar