Powered By Blogger

Selasa, 03 April 2012

Islam Radikal dan Peran Sentral Kelompok Moderat-Progresif


Islam Radikal dan Peran Sentral Kelompok Moderat-Progresif

Oleh Jamal Ma’mur Asmani*
Demi masa depan Islam yang gemilang, potensi radikalisme dan terorisme Islam harus dihilangkan. Sistem kaderisasi kelompok ini harus diputus agar tidak menjalar ke tempat yang lain. kader-kader muda Islam harus diselamatkan dari virus mematikan ini. Mereka justru harus dididik sebagai kader yang dinamis, progresif, dan produktif dalam mengembangkan Islam sebagai agama cinta damai, cinta kemajuan, dan cinta kasih sayang. Ada beberapa langkah yang harus dilaksanakan.
Islam sebagai rahmatan lil-alamin dinodai oleh praktek-praktek kotor yang mengatasnamakan Islam. Bom bunuh diri atas nama jihad terjadi dimana-mana tanpa henti. Kasus Ciputat, Bandung, Jakarta, dan lain-lain menjadi catatan hitam maraknya aksi terorisme dan radikalisme di negeri ini yang harus disikapi secara aktif dan solutif. Rekrutmen kelompok radikal teroris ini terus berlangsung tanpa henti. Kader-kader muda potensial menjadi sasaran empuk kaderisasi ini. Berbagai strategi efektif mereka lancarkan untuk menaklukkan para calon pemimpin masa depan bangsa. Mayoritas yang direkrut adalah mereka yang pemahaman agamanya dangkal, pas-pasan, dan semangat keagamaannya tinggi.
Menurut Prof. Dr. Achmad Gunaryo (2011), al-Qur’an dan hadis adalah dua senjata ampuh yang mereka gunakan untuk mencuci otak kader-kader muda potensial. Mereka menyiapkan berbagai ayat dan teks hadis untuk melakukan indoktrinasi dan konstruksi paradigma dalam memandang makna hidup. Dengan metodologi yang teruji, mereka mampu mengubah pandangan hidup, keyakinan, dan pemikiran kader-kader muda sesuai dengan target yang ditetapkan. Kepatuhan terhadap pemimpin adalah absolut tanpa reserve. Apa yang diperintahkan pemimpin harus dilaksanakan demi tegaknya Islam dan hancurnya kemaksiatan dan kebatilan di muka bumi. Mereka kemudian memengaruhi teman-temannya yang lain dengan cara jitu dan mematikan. Mungkin kader-kader muda yang belum tertangkap jumlahnya lebih besar dari pada yang sudah tertangkap dan mereka akan terus mengembangkan sistem kaderisasi yang semakin canggih dan sulit terdeteksi. Hebohnya NII (Negara Islam Indonesia) dengan jaringan yang luas adalah bukti suksesnya kaderisasi kaum radikalis dan besarnya bahaya yang ditimbulkannya bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dalam konteks sejarah, kaum radikalis muslim ini lahir dari kontestasi politik antara konservatisme kelompok Ali bin Abi Thalib dan pragmatisme kelompok Mu’awiyah yang melahirkan kaum Khawarij. Menurut Harun Nasution (2009), khawarij memahami ajaran dalam al-Qur’an dan hadis secara tekstual dan harus dilaksanakan sepenuhnya. Iman dan paham mereka sederhana, fanatik dan sempit akalnya. Salah satu ajarannya adalah pemimpin yang menyimpang dari ajaran-ajaran Islam wajib dijatuhkan atau dibunuh. Mereka tidak mentolerir penyimpangan, walau dalam bentuk kecil. Namun kelompok ini juga mempunyai pandangan progresif dan demokratis, yaitu pemimpin harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat Islam. Dr. A. Malik Madani (2011), mengutip pendapatnya Ahmad Amin mengatakan bahwa salah satu ciri kelompok khawarij adalah ekstrim, eksklusif, dan radikal. Bahkan mereka membandingkan ibadah mereka dengan Rasulullah SAW. Mereka merasa lebih baik karena intensitasnya beribadah kepada Allah lebih banyak. Sedangkan ibadah tidak hanya vertikal, tapi juga horisontal. Inilah yang tidak mereka pahami dengan baik dan seimbang.
Ajaran Khawarij ini dikembangkan lagi oleh Wahabi yang sampai sekarang masih kuat pengaruhnya di dunia Islam, khususnya di Saudi Arabia. Wahabi adalah golongan yang didirikan oleh Muhammad ibn Abdul Wahab (1115-1201 H./1703-1787 M). Beberapa ajarannya adalah : penyembahan kepada selain Allah adalah salah yang harus dibunuh; orang yang mencari ampunan Allah dengan mengunjungi orang saleh (wali) termasuk golongan musyrik (menyekutukan Allah); memberikan pengantar kata dalam shalat terhadap nama Nabi atau wali atau Malaikat adalah syirik (seperti Sayyidina Muhammad); termasuk kategori kufur adalah memberikan ilmu yang tidak didasarkan pada al-Qur’an dan hadis, atau ilmu yang bersumber kepada akal-pikiran semata-mata; termasuk kufur dan menyimpang adalah mengingkari qadar (kepastian Allah) dalam semua perbuatan dan penafsiran al-Qur’an dengan jalan ta’wil; dilarang memakai buah tasbih dalam mengucapkan nama Allah dan doa-doa (wirid) cukup dengan menghitung ke rata jari; sumber syariat Islam adalah al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Pendapat ulama mutakallimin dan fuqaha’ (ahli hukum) tentang halal dan haram tidak menjadi pegangan, selama tidak didasarkan kedua sumber di atas; dan pintu ijtihad tetap terbuka dan siapa pun boleh melakukan ijtihad asal sudah memenuhi syarat-syaratnya (Sahilun A. Nasir:2010:292-293).
Wahabi tidak merasa cukup dengan berdakwah, tapi harus mempergunakan senjata untuk memerangi para penentang dengan anggapan bahwa mereka memerangi bid’ah. Ketika setiap kali menduduki suatu desa atau kota, mereka menghancurkan dan memusnahkan kuburan. Mereka juga menghancurkan semua kuburan yang tampak, bahkan kuburan para sahabat juga mereka hancurkan dan orang yang berziarah hanya diperbolehkan membaca salam saja. Wahabi juga melarang dan memperhatikan hal-hal kecil yang mengandung keberhalaan maupun sesuatu yang membawa kepada keberhalaan, seperti fotografi. Secara garis besar, mereka bersifat eksklusif dan egois. Mereka menganggap pendapat mereka yang paling benar dan pendapat orang adalah salah dan tidak perlu diperhatikan lagi (Risalah, Edisi 1/Th 1/Jumadil Awal 1428 H / Mei 2007, h. 71).
Perilaku Khawarij dan Wahabi memang ekstrim, radikal dan fundamental. Hal ini bertentangan dengan Islam. Menurut Dr. Yusuf al-Qaradlawi (1989), Islam selalu menyeru kepada i’tidal (sikap tengah, moderasi), dan melarang sikap berlebih-lebihan, yang biasa diistilahkan dengan ghuluw (kelewat batas), tanatthu’ (sok pintar, sok konsekuen, dan sebagainya), dan tasydid (mempersulit). Islam sangat tidak menyukai sikap keterlaluan dan memperingatkan kita untuk tidak menganutnya. Tanda-tanda perilaku ekstrim adalah fanatik terhadap pendapat dan tidak mengakui pendapat lain; mewajibkan orang lain yang tidak diwajibkan Allah; memperberat yang tidak pada tempatnya; sikap kasar dan keras; buruk sangka kepada orang lain; dan terjerumus dalam jurang pengafiran, seperti yang dilakukan kelompok Khawarij di masa lalu.
Menurut Agus Maftuh Abugibriel (2011), radikalisme lahir dari pemahaman tekstual, parsial, dan tidak holistik yang menghilangkan dimensi historis, sosial, budaya, dan ekonomi yang mengitari lahirnya teks. Mereka mudah menuduh orang lain berbuat bid’ah dan churafat yang membawanya pada klaim kafir dan musyrik kepada sesama umat Islam. Toleransi pemahaman hilang dari diri mereka. Kebenaran yang mereka yakini adalah kebenaran tunggal, sedangkan pemahaman orang lain yang berbeda dikatakan sesat dan masuk neraka. Mereka tidak bisa membedakan antara agama dan pemikiran agama. Agama seperti dikatakan Amin Abdullah (2009) dipahami secara doktrinal, bahkan dogmatik yang menghilangkan nalar kritis dan progresif sehingga terjebak pada ortodoksi dan konservatisme yang melahirkan radikalisme agama.
Apa sebenarnya radikalisme ? menurut Kamus Bahasa Indonesia, radikalisme adalah paham atau aliran yang radikal dalam politik; paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; sikap ekstrem di suatu aliran politik. Sedangkan radikal artinya amat keras (Daryanto, S.S., Kamus Bahasa Indonesia Lengkap, t.t.). Salah satu indikatornya adalah tidak adanya toleransi dan main hakim sendiri. Menurut Zuhairi Misrawi (2011), sepanjang tahun 2010 setidaknya telah terjadi 81 kasus intoleransi. Dari semua kasus yang sempat didata, setiap kasus memiliki karakteristik sendiri. Karakteristik kasus intoleransi setidaknya bisa dilihat dari empat hal. Pertama, pada kasus itu sendiri. Meski kasusnya sama, misalnya masalah perusakan tempat ibadah yang sudah berulangkali terjadi, masing-masing kasus berbeda antara satu dengan yang lain. Perbedaan ini terutama menyangkut pemicu, tingkat eskalasi dan pengaruh sosial yang diakibatkannya. Kedua, tempat dan dan waktu kejadian. Konteks tempat dan waktu seringkali menjadi kekhasan sendiri yang membedakan suatu kasus intoleransi dengan kasus yang lain. Karena itu, kejadian di suatu tempat tidak selalu bisa ditangani dengan cara yang sama seperti kasus di tempat yang lain. Ketiga, pihak-pihak yang terlibat terlibat di dalamnya jelas memberikan nuansa yang berbeda. Pelaku intoleransi secara sederhana bisa dibedakan dalam tiga kategori, yakni negara/pemerintah, ormas dan badan usaha atau institusi tertentu. Perbedaan tiga hal ini hanya sekadar menunjukkan bahwa setiap kasus intoleransi tidak bisa didekati dengan cara yang sama. Bahkan, dalam kenyataan di lapangan, ketiga kelompok tersebut kadang tidak berdiri sendiri tetapi juga berkolaborasi dengan kelompok dalam. Keempat, korban intoleransi itu sendiri. Setiap kasus intoleransi pasti melahirkan korban. Disadari atau tidak, korban adalah pihak yang mesti mendapat perhatian paling awal dalam menangani kasus intoleransi. Dan, karena itu, suara korban mestinya lebih banyak didengar ketimbang suara dari pihak-pihak lain.

Peran Sentral Kelompok Moderat-Progresif
Dalam menghadapi kaum radikal-fundamental, umat Islam harus menjadi kelompok moderat progresif. Moderat, artinya berada di tengah, antara kajian tekstual (normatif) dan kontekstual (rasional-empiris), qadariyah-jabariyah, dan ritual-sosial. Umat Islam tidak boleh ekstrim kanan (tekstualis-normatif) dan ekstrim kiri (rasionalis-liberal). Kesalehan ritual dan sosial menjadi trade mark utama. Progresif, artinya aktif melakukan pengembangan dalam bidang pemikiran dan aksi sosial sehingga membawa kemaslahatan publik secara massif. Umat Islam tidak boleh pasif, malas berjuang, dan menyalahkan orang lain. Mereka harus menjadi solusi problem umat, seperti kebodohan, kemiskinan, kemunduran, dan keterbelakangan. Dua ciri utama tersebut terinspirasi dari dua ayat dalam al-Qur’an.
Ayat pertama (QS. al-Baqarah 2:143) : Dan demikian Kami telah jadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Menurut Imam Muhammad Nawâwi al-Jâwi, wastha artinya terpilih, adil, dan terpuji karena ilmu dan amalnya (Muhammad Nawâwi al-Jâwi, al-Tafsîr al-Munîr li Ma’âlim al-Tanzîl, Surabaya : Al-Hidâyah, t.t., Juz 1:37 ).
Menurut Wahbah al-Zuhaili, wasatha adalah pertengahan sesuatu atau pusatnya wilayah (muntashif al-syaii au markaz al-dâirah), kemudian digunakan untuk sesuatu yang terpuji, karena setiap sifat yang terpuji adalah pertengahan diantara dua sisi, seperti sifat pemberani (syajâ’ah) adalah pertengahan antara melampaui batas dan pemborosan, dan utamanya adalah ditengah (Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr fi al-Aqîdah wa al-Syarîah wa al-Manhaj, Beirut : Dâr al-Fikri, 1430 H./2009 M., Jilid 1, cet. 10:367). Menurut Abu Thâhir Muhammad ibn Ya’qûb al-Fairûzâbâdi, wasatha artinya adil (Abu Thâhir Muhammad ibn Ya’qûb al-Fairûzâbâdi, Tanwîr al-Qulûb min Tafsîr Ibn Abbas, Surabaya : Al-Hidâyah, t.t.:16). Adil menurut Nabi Muhammad SAW. adalah memberikan kepada setiap orang atau subjek haknya (i’thâu kulli dzi haqqin haqqahu) (Masdar Farid Mas’udi, Pajak itu Zakat, Bandung : Mizan, 2010, cet. 1:152-153). Pendapat para ulama ini menunjukkan status dan peran besar yang harus dilakukan umat Islam.
Ayat kedua (QS. Ali Imran 3:110) : Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan   mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.
Menurut Imam Muhammad ibn Shumâdih al-Tujaibi, pengertian khaira ummah ada dua pendapat. Pertama, adalah para sahabat Nabi Muhammad SAW. Kedua, adalah umat Nabi Muhammad SAW. sebagai umat terbaik (Imam Muhammad ibn Shumâdih al-Tujaibi, Mukhtashar Tafsîr al-Thabari, Beirut ; Dâr Ibn Katsîr, 2004, hlm. 64). Menurut Wahbah al-Zuhaili, predikat umat terbaik selama konsisten memerintahkan kebaikan, mencegah kemungkaran, dan beriman kepada Allah secara benar, jujur, dan sempurna (Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 2, cet. 10:363). Pendapat ulama ini menjadi tantangan serius umat Islam untuk membuktikannya dalam realitas.
Kaum moderat seyogianya mengambil peran sentral untuk meluruskan paradigma dan ideologi ekstrim yang diusung oleh kelompok radikal ini dengan program-program yang mencerahkan, visioner, dan sistematis untuk mengembalikan Islam sebagai agama ramah yang membawa rahmat bagi seluruh alam.
Islam adalah agama yang senantiasa membawa pesan kemanusiaan, persaudaraan, kasih sayang, dan perdamaian. Oleh karena itu, Islam jauh dari ekstrimisme, radikalisme, fundamentalisme, dan terorisme yang menyengsarakan dan membahayakan masa depan umat manusia. Nabi Muhammad adalah sosok yang diakui keluhuran budi dan perjuangannya dalam memberantas diskriminasi, penindasan, ketidakadilan, dan penyimpangan teologis dan sosial. Banyak orang masuk Islam setelah melihat betapa mulianya akhlak yang ditampilkan baginda Nabi Besar Muhammad SAW. Prof. Dr. Said Aqil Munawar (2010) mengisahkan kesabaran Nabi dalam menerima ‘ludah’ dari seorang perempuan ketika melewati satu tempat. Pada satu saat Nabi tidak menerima ‘ludah’ ketika melewati tempat tersebut, kemudian bertanya, kemana perempuan tersebut, ternyata sakit, kemudian Nabi membelikan makanan kesukaan perempuan tersebut dan mengunjunginya. Ternyata Nabi adalah orang pertama yang mengunjungi dan mendoakan kesembuhannya. Dengan pertolongan Allah, sembuhlah perempuan tersebut. Dari kejadian luar biasa ini, perempuan tersebut masuk Islam dengan tulus dari kesadarannya yang paling dalam. Moralitas agung menjadi ciri utama Nabi Muhammad dan umat Islam yang mengakui sebagai umat Muhammad. Tidak layak menyandang gelar sebagai umat Muhammad kalau perilakunya meneror, menakut-nakuti, dan membahayakan nyawa orang lain.
Dalam konteks Indonesia, jasa KH. Abdurrahman Wahid dalam membumikan Islam ramah, toleran, dan plural layak kita apresiasi. Gus Dur konsisten memperjuangkan idealisme besarnya, yaitu terciptanya masyarakat adil, demokratis, egaliter, toleran, dan berkeadaban. Tidak boleh ada demarkasi dan diskriminasi agama, suku, ras dan antar golongan. Semua manusia sama, tidak boleh ada yang merasa superior dan inferior. Pluralitas menjadi sunnatullah yang mendorong kerjasama, sinergi, dan kolaborasi, bukan konflik, agitasi, dan intrik. Islam bagi Gus Dur harus mampu mewujudkan slogannya sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmah lil alamin). Hal ini didukung oleh Muhammad Said al-Asymawi. Menurutnya (2004), syari’at Nabi Muhammad adalah rahmat, yaitu kerahmatan yang menyatukan antara kebenaran dan kasih sayang, menggabungkan antara hukuman dengan pengampunan, menyerasikan antara perilaku keutamaan dengan kebaikan. Penerapan syari’at Islam berarti bahwa tersebarnya rahmat dalam setiap hukum, terealisasikannya rahmat dalam setiap aturan, penerapan, dan interpretasi, dan hendaknya kerahmatan itu menjadi prinsip dasar dalam teks, lafal, dan ungkapan. Rahmat diartikan sebagai upaya untuk memudahkan manusia, melindungi kepentingan umum, memberikan keseimbangan di antara hak-hak, melakukan tinjauan untuk melihat keadaan-keadaan suatu masa, dan tidak memberatkan kepada orang-orang mukmin.
Mengakui kebinnekaan mengharuskan toleransi tulus dari hati nurani yang paling dalam. Tradisi positif ini akan melahirkan multikulturalisme sosial dimana sekat-sekat primordial runtuh dan diganti dengan entitas universal yang diterima semua pihak. Islam kosmopolit semacam inilah yang dikehendaki Gus Dur, sehingga potensi konflik agama redup dan kesalehan sosial mengemuka. Bukan sebaliknya, agama tampil secara ekstrim, eksklsufif, fanatis, dan sektarian. Agama semacam ini berubah fungsi dari penebar rahmat menjadi penebar azab (siksa), karena merusak interaksi egaliter, keadilan sosial, dan demokrasi partisipatoris. Kelompok Islam radikalis dan fundamentalis seharusnya belajar pada teladan Nabi Muhammad Saw. dalam dakwahnya yang mengedepankan moralitas luhur.

Aksi Progresif
Demi masa depan Islam yang gemilang, potensi radikalisme dan terorisme Islam harus dihilangkan. Sistem kaderisasi kelompok ini harus diputus agar tidak menjalar ke tempat yang lain. kader-kader muda Islam harus diselamatkan dari virus mematikan ini. Mereka justru harus dididik sebagai kader yang dinamis, progresif, dan produktif dalam mengembangkan Islam sebagai agama cinta damai, cinta kemajuan, dan cinta kasih sayang. Ada beberapa langkah yang harus dilaksanakan.
Pertama, optimalisasi lembaga pendidikan, organisasi sosial keagamaan, masjid, musholla, majlis ta’lim, dan media cetak maupun elektronik dalam memberikan pemahaman agama yang moderat, progresif, apresiatif terhadap pluralitas budaya, dan historis kontekstual. Pola pemahaman holistik semacam ini membutuhkan kurikulum integral yang mampu mengurai Islam secara utuh dan benar, sejak masa awal formulasi Islam sampai era kontemporer sekarang ini. Masih banyak pemahaman Islam diajarkan secara doktrinal dan dogmatik, jauh dari kerangka filosofis, historis, dan sosiologis. Disinilah pentingnya pendekatan konfrehensif dalam memahami Islam untuk menghasilkan pemahaman yang moderat, progresif, dan kontekstual.
Kedua, mempraktekkan multikulturalisme dalam bingkai pluralisme dan toleransi. Walau berbeda agama, ras, antar golongan, etnis, dan strata sosial, pergaulan kemanusiaan tetap dijalankan dalam asas kesetaraan dan kebersamaan. Pergaulan lintas batas ini akan menumbuhkan mutual understanding, pemahaman yang saling menghargai, menghormati, dan menjaga hak dan martabat masing-masing. Unity in diversity, bersatu dalam perbedaan adalah bukti nyata multikulturalisme yang harus dirintis, dikembangkan, dan dijadikan model hubungan kemanusiaan yang ideal.
Ketiga, kesigapan aparat penegak hukum dalam mengidentifikasi potensi radikalisme, fundamentalisme, dan terorisme dari segala lini kehidupan. Jangan sampai para radikalis dan teroris leluasa melakukan kaderisasi tanpa ada tindakan cepat untuk memberantasnya. Namun aparat penegak jangan asal menuduh tanpa bukti kuat. Misalnya melakukan generalisasi bahwa pesantren sarang teroris, tentu hal ini memperkeruh suasana, menciptakan polarisasi sosial yang bisa dimanfaatkan kelompok teroris dalam mengembangkan jaringannya.
Keempat, menerbitkan buletin, majalah, teks khutbah, jurnal, buku, dan lain-lain yang mengkampanyekan anti radikalisme, anti fundamentalisme, anti terorisme, dan mengusung Islam damai, Islam moderat, Islam progresif, dan Islam pluralis. Di setiap desa dibangun tempat informasi yang berisi ajaran-ajaran Islam yang dinamis dan anti radikalis. Kader-kader muda digalakkan semangat membaca, menulis, berdiskusi, dan berorganisasi untuk membangun wawasan Islam yang kosmopolit, produktif, dan kompetitif.
Kelima, membangun kerjasama lintas kelompok dalam memerangi kaum radikalis-fundamentalis. Dibutuhkan sinergi dan kolaborasi dalam menangkal bahaya kelompok radikalis ini, tidak cukup ditangani hanya satu kelompok. Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah seyogianya menjadi pioneer kebangkitan intelektual dan pergerakan sosial yang aktif memerangi kaum radikalis-fundamentalis ini, karena kedua organisasi sosial keagamaan ini terbukti dalam sejarahnya mampu membawa pesan Islam yang cinta damai, kemajuan, dan kebersamaan.
Lima langkah ini diharapkan mampu memutus jaringan radikalis-fundamentalis yang membahayakan masa depan Islam dan negeri ini. Mari kita kampanyekan Islam moderat pluralis dan kita tolak Islam radikalis-fundamentalis.

*Mahasiswa S3 IAIN Walisongo Semarang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar