Powered By Blogger

Kamis, 05 April 2012

Kontekstualisasi Pesan Tuhan

Kontekstualisasi Pesan Tuhan


Pengembaraan yang cukup panjang dan melelahkan ini menyisakan sekian persoalan yang harus diselesaikan. Didalamnya banyak pertanyaan yang kadang saya tidak mampu untuk menjawabnya dan semuanya berjalan begitu saja. Pertanyaan-pertanyaan yang lahir itu dan belum usai saya menjawabnya kemudian lahir pertanyaan kembali membuatku hidup dalam kepenatan yang sangat kuat. Saya sadari dengan hati yang lapang memang dunia ini menyimpan banyak pertanyaan dan masalah. Semuanya berkonstelasi dalam ruang yang tanpa batas dan akhir.

Salah satu pesan yang ada dalam Al-Qur’an menyebutkan bahwa dunia ini tidak lain merupakan ilusi dan permainan. Bagaikan sebuah skenario besar Tuhan dengan berbagai lakon, pembawaan karakter serta berbagai setting yang mencoba mengkonstruksikan kekuatan ide ketauhidan untuk mewujudkan kerahmatan bagi seluruh sekalian alam. Demikian pula berbagai permasalahan yang terdapat didalamnya tidak lain merupakan butiran yang bermuara pada perwujudan skenario tuhan.
Konteks ini meniscayakan satu pemahaman yang utuh terhdap skenario dan setting yang dibuat oleh Tuhan. Muatan nilai yang saya pahami dan menjadi tuntunan terdapat dalam Al-Quran dan Al-Hadist, sebagaimana diungkapkan oleh Nabi ‘barang siapa yang berpegang teguh pada keduanya maka dia akan selamat’ . dengan demikian untuk melakonkan skenario yang benar maka menjadi kewajiban untuk mempelajarinya sehingga ketika melakonkan sudah tidak terdapat ambiquitas.

Dalam konstruksi dunia lakon dan laku banyak hal yang kita tidak mengerti dan sesuai dengan rencana awal mula. Dunia lakon dan laku merupakan zona realitas yang belantara sedangkan dunia nilai sebagaimana terdapat dalam ajaran Al-Qur’an dan Al-Hadist merupakan zona ideal. Keberbedaan entitas zona ideal dan realitas memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap konfigurasi keberhasilan tujuan. Jika nilai idealitas keberadaannya menjadi fundamen dari gerak perjalanan realitas maka keberhasilan sudah dapat dipastikan. Sedangkan jika realitas yang berkembang berjalan tanpa landasan esensial nilai maka dapat dipastikan ambiguitas, asosial dan menyimpang dari garis skenario yang sudah digariskan oleh Tuhan.

Persoalan yang timbul dalam dunia realitas sangatlah kompleks. Untuk menjadikan fundamen idealitas sebagaimana terdapat dalam teks firman Tuhan sangatlah multi interpretatif. Dalam konteks inilah bagaimana masyarakat itu mewujud dalam polarisasi madzhabiyah dan kelompok, ada yang tekstualis fundamentalis, substansialis liberalistik, dan ada juga yang abangan.
Kelompok yang tekstual fundamentalis memandang bahwa seluruh persoalan realitas harus merujuk pada teks-teks firman Tuhan sebagaimana yang sudah tertera dan termaktub didalamnya. Kelompok ini menyatakan bahwa teks yang sudah ada itu merupakan norm idealitas yang tidak perlu ditafsir ulang. Keberadaannya merupakan produk yang final dan merupakan kalamullah sehingga tafsir terhadap norm yang sudah ada dianggap sebagai bentuk pengingkaran terhadap perintah Tuhan Yang maha Esa.

Kelompok kedua lebih melihat bahwa teks merupakan produk budaya yang meniscayakan pembongkaran ulang sehingga sesuai dengan konteks dan tuntutan lingkungan yang berkembang. Kelompok ini meyakini bahwa teks merupakan konteks itu sendiri sehingga keberadaannya harus direkonstruksi sesuai kebutuham zaman. Untuk mengupayakan terciptanya teks yang kontekstualis maka metodologi hermeneutik sebagai salah satu pilar mengumpulkan seluruh segmen sebagai penentu dalam norm idealitas dan realitas meliputi keberadaan teks, pembaca dan pengarang menjadi sebuah kewajiban.

Sedangkan kelompok ketiga merupakan kelompok abangan yang memahami idealitas dan realitas sebagai wujud lokal dan kedaerahan. Norma yang terdapat dalam firman Tuhan dipahami kelompok ini sebagai nilai-nilai yang universal dan substansial. Sehingga wujud kelompok ini lebih bercorak identitas lokal dan kedaerahan dan tangkapan secara general kelompok ini tidak berbasis teks dan ke arab-araban.Penggambaran tersebut saya katakan cukup sederhana dan general diluar itu sebenarnya terdapat kompleksitas permasalahan yang yang tidak bisa dijelaskan dengan bahasa sederhana klasifikasi yang disebutkan diatas.

Dunia realitas merupakan problem yang cukup kompleks dan sederhananya tidak bisa diselesaikan dengan sekedar teks-teks normatif. Dibutuhkan kreatifitas yang radikal menggali realitas dan memasukkan norma-norma ideal sehingga mampu memayungi terhadap idealisasi yang akan dibangun. Tanpa proses radikalisasi intelektual dan penyegaran terhadap teks sehingga kontekstual sangat rumit bahkan saya katakan tidak bisa menyelesaikan masalah yang berkembang sangat pesat.

Untuk membumikan keberadaan teks, Kuntowijoyo menawarkan upaya obyektifikasi dari teks terhadap kebutuhan sosialnya (konteks). Perihal obyektifikasi membutuhkan keberanian yang totalitas dimana harus meletakkan teks sebagai sesuatu yang harus dibongkar untuk menjadi fundamen sosialnya yang humanis dan memerdekakan.

Wacana membumikan teks lebih awal dimulai dengan pemikiran Gus Dur tentang pribumisasi Islam. Dimana dalam pemikirannya mengungkapkan bahwa fungsi dari agama adalah sebagai medium liberalistik yang diharapkan mampu mengangkat derajat kearifan-kearifan lokal, keadilan perspektif lokal dan muatan-muatan daerah yang beragam. Salah satu bentuk radikalisasi pemikiran Gus Dur adalah menolak terhadap unsur-unsur yang berbau arabisme. Menurutnya sebuah daerah lokal dan Negara yang bukan arab mempunyai perspektif kebudayaan sendiri-sendiri sehingga bangunan sosialnya semestinya tidak tercerabut dari identitas lokal dan kedaerahan yang sudah ada.

Disinilah pemaknaan Islam yang berkeadilan dan berkemanusiaan. Letak paradigma yang dibangun berangkat dari nilai transdental tauhid yang memanusiakan manusia. Bukan sekedar penjajahan secara simbolik, ritual arabisme bahkan kebudayaan arab yang diambil serta merta menjadi produk religiusitas sosial. Secara tegas semestinya bangunan sistem keislaman yang akan dibangun menitikberatkan pada nilai-nilai budaya masyarakat yang sudah ada serta kearifan-kearifan lokal yang terdapat didaerah.

Pemikiran Kuntowijoya tentang Obyektifikasi dan Gus Dur tentang Pribumisasi Islam merupakan kerangka metodologi hermeneutik yang mencoba membongkar teks sebagai sebuah wahana pembangunan masyarakat yang tamadduni. Menempatkan teks sebagai wacana yang universal, humanis, holistik serta membumi!.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar