Powered By Blogger

Selasa, 03 April 2012

Kritik atas Wahabisme

Kritik atas Wahabisme

Oleh Abdul Moqsith Ghazali
.... di lingkungan keluarga Wahabi, perempuan sejak dulu diposisikan sebagai obyek (munfa’il atau maf’ul) dan tak pernah dianggap sebagai subyek (fa’il). Ketika laki-laki tak bisa mengendalikan hawa nafsu, maka tubuh perempuanlah yang mesti ditutup rapat. Batas-batas aurat perempuan dibuat sangat kaku dan seakan sengaja diciptakan untuk menyengsarakan perempuan. Ruang gerak perempuan terus dibatasi. Perempuan tak boleh memegang jabatan publik, sebagai hakim apalagi kepala negara. Sampai sekarang taraf pendidikan kaum perempuan masih jauh di bawah laki-laki. Tak ada ulama perempuan yang lahir dari lingkungan Wahabi. Padahal, jelas istri-istri Nabi adalah perempuan-perempuan yang tangguh dan mandiri. Jika Khadijah tangguh secara ekonomi, maka Aisyah mumpuni secara intelektual bahkan cakap memimpin pasukan di medan pertempuran.
Wahabisme makin gencar mengkampanyekan doktrin dan ajarannya ke masyarakat Islam. Tak hanya di kawasan Timur Tengah, Wahabisme coba merambah negeri-negeri lain. Dengan topangan dana kampanye yang cukup, Wahabisme mulai tumbuh di negara-negara kawasan Asia Tenggara termasuk di Indonesia. Ada yang setuju, tapi tak sedikit umat Islam yang mengajukan keberatan terhadap doktrin dan fatwa para ulama Wahabi. Bahkan, penolakan tak hanya pada doktrin Wahabisme, melainkan juga pada cara orang Wahabi menyebarkan ideologinnya.
Sejumlah orang mengkritik Wahabisme, karena beberapa hal. Pertama, dalam mendakwahkan doktrinnya, orang-orang Wahabi terlalu banyak menyerang ke dalam, ke sesama umat Islam. Terhadap orang-orang Islam non Wahabi, mereka bersikap asyidda’u ‘ala al-muslimin. Tak puas dengan jenis keislaman yang berkembang di lingkungan umat Islam non-Wahabi, mereka hendak mengislamkan kembali orang-orang Islam. Bagi mereka, orang Islam non-Wahabi telah terjatuh ke dalam kemusyrikan sehingga perlu segera diselamatkan.
Dengan merujuk pada al-Qur’an, sebagaimana umat Islam pada umumnya, orang-orang Wahabi memandang dosa syirik sebagai dosa tak terampuni.  Allah berfirman, inna Allah la yaghfiru an yusyraka bihi wa yaghfiru ma duna dzalika liman yasya’u [sesungguhnya Allah tak akan mengampuni dosa orang yang menyekutukan-Nya dan hanya mengampuni dosa selain syirik]. Jika kebanyakan umat Islam menjadikan ayat ini sebagai dasar untuk memusyrikkan orang-orang yang menyembah patung-berhala, maka orang Wahabi justru menjadikan ayat ini sebagai argumen untuk memusyrikkan umat Islam yang bertawassul dan ziarah kubur. Dan karena orang Islam non-Wahabi telah musyrik, maka orang Wahabi merasa berkewajiban untuk mengembalikan mereka ke dalam doktrin ajaran Islam seperti yang mereka pahami.
Jika umat Islam non-Wahabi tak segera bertobat atau enggan diajak kembali kepada “ajaran Islam yang benar” (al-ruju’ ila al-haq), maka orang-orang Wahabi tak ragu untuk melenyapkan nyawa mereka. Itu sebabnya orang Wahabi kerap terlibat dalam tindak kekerasan dengan menyerang orang Islam lain. Sejarah telah menunjukkan sejumlah keonaran orang-orang Wahabi, dari awal kelahirannya hingga sekarang. Mereka tak hanya mengobrak-abrik orang-orang Syiah, melainkan juga para pengikut Sunni yang telah dianggap menyimpang dari ajaran Islam atau yang dipandang telah terperangkap dalam kemusyrikan.
Teologi pemusyrikan orang Islam lain tampaknya telah lama menggelayuti pikiran orang Wahabi. Pemusyrikan seperti ini terus terang akan mengguncang hubungan sesama umat Islam. Yang satu mencaci maki yang lain. Akhirnya konflik dan ketegangan di internal umat Islam menjadi tak terhindarkan. Ini jelas tak produktif buat kepentingan (umat) Islam secara keseluruhan. Energi umat Islam akan terkuras habis karena problem-problem domestik umat Islam.   
Kedua, ijtihad orang-orang Wahabi hanya berputar di perkara-perkara receh yang partikular. Mereka berijtihad dalam soal-soal kecil seperti tentang hukum perempuan menyetir mobil, hukum memelihara jenggot, hukum ziarah kubur, hukum bertawassul, hukum menggunakan tasbih dalam berdzikir. Ulama Wahabi mungkin menyangka bahwa ziarah kubur, bercelana di atas tumit, dan bertawassul adalah masalah pokok. Padahal jelas soal-soal seperti ini masuk ke dalam kategori masa’il khilafiyah yang tak akan pernah berhasil disepakati oleh seluruh umat Islam.
Sekarang adalah saat yang tepat bagi orang-orang Wahabi untuk berfikir atau berijtihad tentang soal-soal kemasyarakatan yang lebih penting. Untuk kepentingan berijtihad ini, orang-orang Wahabi mesti memiliki cadangan ulama yang kridibel dan memenuhi standar-kualifikasi sebagai mujtahid. Orang-orang Wahabi tak boleh terus-menerus bertaqlid pada para pendahulunya, seperti Muhammad ibn Abdil Wahab. Atau hanya sekedar mengutip pendapat-pendapat fikih Ahmad ibn Hanbal, Ibnu Taymiyah, dan Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah.
Bahkan, sekiranya orang Wahabi ingin konsisten mengikuti metodologi Imam Ahmad ibn Hanbal pun, buku-buku ushul fikih Hanabilah yang lebih belakangan boleh dipertimbangkan sebagai rujukan untuk mendinamisasi hukum Islam di lingkungan kelompok Wahabi. Najmuddin Sulaiman ibn Abdul Qawi al-Thufi al-Hanbali misalnya menulis buku Syarh Mukhtashar al-Rawdlah. Ibn Qudamah menulis buku Rawdhah al-Nazhir wa Jannah al-Munazhir. Ibnu al-Qayyim al-Jawziyah pun tak boleh hanya dibaca melalui kitab-kitab fikih yang berhasil ditulisnya, melainkan juga melalui kitab-kitab ushul fikihnya seperti I’lam al-Muwaqqi’in. 
Inilah saya kira salah satu cara untuk mendinamisasi aktivitas ijtihad di lingkungan kelompok Wahabi setelah sekian lama terkurung dalam ijtihad tentang perkara-perkara remeh temeh dalam Islam. Dengan perkataan lain, itu merupakan jalan yang mesti ditempuh kelompok Wahabi agar terhindar dari kecenderungan taqlid buta terhadap argumen-argumen lama. Sebab, sungguh aneh, kelompok Wahabi menolak tradisi bermadzhab atau bertaqlid, sementara pada saat yang bersamaan mereka melakukan hal yang sama; dengan bertaqlid kepada Muhammad ibn Abdil Wahab. Kita memerlukan ulama Wahabi yang pemikiran-pemikirannya bisa melampaui pemikiran Muhammad ibn Abdil Wahab.
Ketiga, kelompok Wahabi cenderung tak memanusiakan kaum perempuan. Perempuan selalu saja dianggap sebagai manusia tak sempurna; separuhnya adalah manusia dan separuhnya yang lain adalah setan yang mengganggu keimanan laki-laki. Cara pandang demikian menyebabkan orang-orang Wahabi punya kecenderungan untuk memarginalisasikan perempuan. Dehumanisasi terhadap perempuan berlangsung di berbagai sisi kehidupan.
Betapa perempuan tak boleh dilibatkan dalam pengambilan keputusan, tak hanya di ruang publik melainkan juga di ruang domestik seperti keluarga. Perempuan atau istri tak boleh mencari nafkah walau untuk menanggulangi beban perekonomian keluarga yang tak mungkin lagi bisa diatasi oleh para suami. Dalam konteks Indonesia misalnya, beratnya beban ekonomi keluarga menyebabkan seluruh anggota keluarga tak terkecuali istri tumpah ruah bergerak ke luar rumah untuk mengais rezeki. Saya kira karena itu, di antaranya, tafsir-tafsir Wahabi mengenai domestikasi perempuan tak cukup diminati umat Islam Indonesia.
Sementara di lingkungan keluarga Wahabi, perempuan sejak dulu diposisikan sebagai obyek (munfa’il atau maf’ul) dan tak pernah dianggap sebagai subyek (fa’il). Ketika laki-laki tak bisa mengendalikan hawa nafsu, maka tubuh perempuanlah yang mesti ditutup rapat. Batas-batas aurat perempuan dibuat sangat kaku dan seakan sengaja diciptakan untuk menyengsarakan perempuan. Ruang gerak perempuan terus dibatasi. Perempuan tak boleh memegang jabatan publik, sebagai hakim apalagi kepala negara. Sampai sekarang taraf pendidikan kaum perempuan masih jauh di bawah laki-laki. Tak ada ulama perempuan yang lahir dari lingkungan Wahabi. Padahal, jelas istri-istri Nabi adalah perempuan-perempuan yang tangguh dan mandiri. Jika Khadijah tangguh secara ekonomi, maka Aisyah mumpuni secara intelektual bahkan cakap memimpin pasukan di medan pertempuran.
Dalam kaitan itu, di lingkungan Wahabi kiranya perlu digerakkan semangat untuk memartabatkan dan memanusiakan perempuan. Tak zamannya lagi, perempuan hanya disembunyikan di ruang-ruang tertutup. Sebagaimana telah diteladankan puteri-puteri dan isteri-isteri Nabi Muhammad, perempuan mesti tampil sebagai penggerak ekonomi-sosial dan moral-intelektual di tengah masyarakat. Dengan cara itu, kehadiran Wahabi niscaya tak dirasakan sebagai ancaman bagi perempuan dan umat Islam lain, melainkan justru sebagai rahmat lil alamin. Wallahu A’lam bis Shawab. 
Jakarta, 16 Juni 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar