Melihat Baru Percaya
Untuk
keperluan sehari-hari kita menerima begitu saja realitas objektif di
dunia ini sebagaimana yang kita lihat di sekitar kita. “Melihat baru
percaya,” kata kita, atau “Aku melihat dengan mata kepala sendiri,” dan
hampir tidak pernah muncul pada kita pertanyaan tentang keakuratan
gambar yang terlihat di mata kita. Meskipun begitu, ada beberapa hal
yang kita lihat namun tidak kita percayai, seperti kelinci yang muncul
begitu saja di ujung tongkat tukang sulap, dan tipuan-tipuan mata yang
lain, dikenali maupun tidak dikenali. Di pihak lain ada hal yang kita
percayai meskipun tak dapat dilihat, khususnya bila kita berpola pikir
ilmiah—atom dan elektron contohnya.
Organ
indra kita, khususnya penglihatan dan pendengaran, sangatlah kompleks,
halus dan sensitif. Mereka melayani kita dengan sungguh baik, meskipun
ada banyak cara mereka mengecewakan kita. Banyak diantara kita buta
warna dengan berbagai variasi, dan bahkan lebih banyak lagi yang
mengalami beberapa kerusakan pada sistem optis mata, yang sebagian
dapat dikoreksi dengan kaca mata. Tetapi bahkan penglihatan normal yang
sempurna merespon hanya sekitar seperdelapan dari lebar spektrum
elektromagnetik, dan sensitivitasnya jauh dari seragam bahkan dalam
kisaran yang kecil. Beberapa
serangga dapat melihat cahaya yang panjang sinarnya mendekati ultra
violet yang tidak sensitif di mata kita. Dunia mereka pasti kelihatan
berbeda dari dunia kita, meskipun sesungguhnya hanya ada satu dunia.
Emulsi fotografik sensitif pada panjang gelombang ini dan kita dapat
memperoleh gambar hitam putih dari apa yang dilihat serangga. Tetapi
kalau kita memakai film berwarna, gambarnya menjadi dipenuhi warna biru
pada pemandangan yang banyak sinar ultra violet, seperti pada
pemandangan pegunungan, dan tidak memberikan gambaran sebenarnya dari
“warna ultra violet”. Kita tidak bisa membayangkan bagaimana
warna-warna akan berubah kalau mata kita menjadi sensitif terhadap
ultra violet. Bagaimana pun ini hanyalah sedikit perluasan dari
spektrum visual. Dunia di sekitar kita “dipancari” oleh radiasi
elektromagnetik meliputi beberapa oktaf yang sama sekali tidak sensitif
bagi kita. Jadi bagaimana kita dapat memastikan bahwa kita melihatnya
sebagaimana adanya? Apa yang kita ketahui adalah apa yang nampak bagi kita.
Sebuah
analisis yang serupa dapat dibuat pada pendengaran, meskipun telinga
kita dapat merespon lebih dari beberapa oktaf. Namun lagi-lagi,
sensitifitasnya bervariasi pada beberapa kisaran, dan berbeda dari satu
individu dengan yang lain, terutama bagi yang tuli sebagian. Anak kecil
dan beberapa binatang dapat mendengar suara yang lebih tinggi dari
kisaran normal kita. Namun di sini, kita dapat mengira-ngira dalam
imajinasi dan menyadari bahwa nada seperti itu akan terdengar seperti
siulan yang sangat melengking. Kita bahkan dapat memperoleh beberapa
kesan dari seluruh efek yang dapat dikenali indra pada suara musik
dengan mengubah kontrol suara pada hi-fi: yang bagi sebagian besar kita
tidak menambah kenikmatan. Bagaimana pun, suara dengan nada tinggi
dibuat secara insidental, oleh makhluk hidup di sekitar kita misalnya,
tetapi seluruhnya tertutup bagi apresiasi kita terhadap dunia ini.
Indra-indra
lain, seperti pengecapan dan penciuman, lebih sulit dianalisis namun
ceritanya tetaplah sama: kisaran apresiasi kita terbatas. Pada beberapa
binatang indra penciumannya lebih tajam dari pada kita, sementara
beberapa serangga tertarik atau menolak benda yang hampir tak berbau
bagi kita. Beberapa burung dan hewan bermigrasi lainnya mungkin
bergantung pada indra yang sama sekali tidak kita punya.
Perhatian dan Interpretasi
Batasan-batasan kuantitatif masih bukan kekurangan yang paling serius pada indra kita. Apa yang kita lihat adalah sebanyak apa yang kita perhatikan
seperti yang sering dikatakan adalah benar. Dengan kata lain organ
pengindra kita jauh berbeda dari instrumen perekam yang pasif. Dua
faktor penting saling melengkapi pada kesan indrawi yang belum diolah;
mereka adalah perhatian dan interpretasi.
Faktor
perhatian diilustrasikan dengan baik dengan pengalaman yang dialami
oleh sebagian besar dari kita di pesta koktil yang ramai atau pada
acara serupa. Kita masuk ke dalam sebuah suara percakapan tak jelas,
saat semua orang berbicara sekaligus. Lalu kita menemukan seorang teman
di antara kerumunan dan kita mengadakan percakapan yang lengkap
dengannya. Suaranya mungkin tidak sekeras suara orang asing yang
berteriak di sebelah kita, namun dengan sedikit kesukaran kita
mendapatkan apa yang kita ingin dengar dan mengabaikan seluruh
kegaduhan yang lain. Apa yang memungkinkan selektivitas yang
mengagumkan ini? Kita biasanya memutar kepala ke posisi terbaik,
kiranya kedua telinga dilibatkan, melalui mekanisme yang belum dipahami
seutuhnya. Namun di samping kompetensi teknik dari organ penerima,
dibutuhkan tindakan positif dari perhatian kita. Kita harus memilih
untuk mendengar dan hanya dengan itu kita dengan usaha sadar
menggunakan kemampuan memilih dari alat pendengar kita. Jadi, kita
memilih untuk menyimak, dan usaha ini dapat cukup melelahkan bila
berlangsung cukup lama.
Sifat Dualitas dari Persepsi
Pengalaman yang sama ini membawa kita pada sifat dualitas dari seluruh persepsi indrawi. Ada yang masuk, suara dan cahaya misalnya, dan keluar,
sebuah pengadaan kesadaran secara sengaja: kecuali bila keduanya
terjadi tidak ada kesan indrawi yang terekam dalam kesadaran. Untuk
keperluan analisis, kita lebih baik melihat indra penglihatan karena
mekanisme penglihatan telah banyak dipahami. Namun bagaimana pun
dekatnya kita mengikuti rangkaian reaksi kejadian, selalu ada celah; di
mana ada sebuah celah ketidaktahuan yang penting antara kejutan listrik
di dalam sel-sel otak dan sebuah sensasi hijau, misalnya, di dalam
kesadaran kita.
Kejadian terakhir pada rangkaian dari retina ke otak adalah sebuah pengalaman jiwa. Transisi dari eksitasi di cortex
sampai pada pengalaman subjektif sangatlah sulit dijelaskan. Pengalaman
jiwa ini adalah sebuah fenomena pribadi dan pada dirinya tidaklah dapat
diuji.[1]
Urutan
ini sudah diketahui; sinar putih dengan seluruh panjang gelombangnya
dipantulkan oleh rumput di halaman kita; beberapa diserap, sementara
sinar dengan panjang gelombang tertentu secara selektif dipantulkan ke
mata kita; sinar itu difokuskan oleh lensa kedua mata ke retina; di
sana perubahan fotokimia yang cepat terjadi pada, contohnya untuk
tampak ungu, sebuah pigment retinal yang secara
kimia sudah diketahui dengan baik sekarang; reaksi-reaksi kimia
membangkitkan secara bergantian kejutan-kejutan listrik yang bergegas
melalui syaraf optik ke otak. Sekarang, telah diketahui (lihat buku
saya Inner Adventures, Bab 4[2]) bahwa otak menampakkan gambar di visual cortex,
tetapi dengan cara yang berbeda. Jika mata fisik mampu melihatnya pada
tahap ini, ia tidak dapat melakukan apa-apa terhadap gambar tersebut;
namun mata mental dapat membacanya seketika. Gambar tersebut berada di visual cortex
sesaat sebelum hilang dari pikiran sadar dan digantikan dengan gambar
yang baru, kecuali bila kita memilih untuk memperhatikan dan memindai
gambar mental itu. Namun bagaimana sifat dari pemindaian tersebut oleh
kesadaran? Apa yang membuat sebuah kejutan listrik atau perubahan
kimiawi tampak hijau? Ini tetap menjadi misteri tak terpecahkan dari
penglihatan. Jadi hak apa yang diberikan oleh semua ini kepada kita
untuk mengatakan bahwa rumput itu adalah
hijau seperti yang kita lihat? Benar, mekanisme penglihatan dapat
menyelidiki sedikit dari sudut lain. Aktivitas listrik dari otak dapat
diikuti melalui electroencephalograph yang merekam
serangkaian ritme-ritme. Kita dengan mudah dapat mendemonstrasikan
bahwa ritmenya berubah dengan cepat bila subjek memperhatikan baik pada
stimulus visual maupun pada masalah mental; tetapi pengetahuan tambahan
ini bagaimana pun tidak mampu menjembatani celah antara
kejadian-kejadian kimiawi dengan psikologis, antara perubahan-perubahan
kimiawi di sel-sel otak dan kesadaran kita akan halaman yang hijau.
Mata
mental masih mampu melihat gambar ketika mata ditutup. Penglihatan ini
dapat dibangkitkan dengan berbagai cara: dengan mengingat kembali
ingatan akan kejadian-kejadian nyata; dengan sengaja membayangkan
kejadian-kejadian “tak nyata”; atau dengan membiarkan pikiran bebas
seperti ketika ia menciptakan fantasi-fantasi visual tanpa sadar. Lalu
bagaimana kita membedakan apa yang kita biasa sebut “realitas objektif”
dari apa yang biasa kita gambarkan sebagai “subjektif semata”? Kita
yakin kita dapat mengatakan perbedaannya, bahwa kesan yang datang
melalui organ pengindra mempunyai kualitas yang lebih jelas, dan hanya
orang yang sedang terganggu pikirannya yang tidak bisa membedakan. Namun
sebuah mimpi yang sangat jelas dapat membodohi siapa pun dari kita saat
terbangun; perbedaannya tidaklah sebeda yang kita kira. Pada analisis
akhir semua pengalaman adalah subjektif; hanya
yang subjektif dapat kita benar-benar rasakan sebagai pengalaman. Semua
yang kita ketahui, atau kita pikir kita tahu, disimpulkan dari
pengalaman-pengalaman tadi.
Ini membawa kita pada faktor kedua yang melengkapi data kesan sebelum diolah, interpretasi.
Kita tidak menerima data kesan belum diolah begitu saja mereka sampai
di otak; pikiran mengolahnya terlebih dahulu, sebagian besar secara
otomatis. Pesan-pesan dari organ-organ pengindra yang berbeda
digabungkan, diolah, dan dievaluasi, semua dalam waktu yang singkat,
sehingga bahan itu biasanya diolah terlebih dahulu sebelum dibawa ke
kesadaran. Ini berlangsung begitu biasa dan otomatis, sehingga dianggap
biasa, sehingga membuat situasi ini sulit untuk dianalisis. Hanya
kekeliruan sesekali yang membuat kita sadar akan proses ini; hanya
pengamatan yang benar-benar baru dan tidak disangka, yang tidak ada di
ingatan, tiada bahan perbandingan, yang disajikan tanpa dianalisis,
dengan sebuah kesan terkejut dan waspada, yang membutuhkan segera
pertimbangan kesadaran. Kita terkesan dengan
kecepatan dan kemampuan komputer-komputer elektronik dan tidak pada
diri kita sendiri: pengalaman kebingungan sejenak setelah gegar otak
dibutuhkan untuk menyadarkan kita kembali tentang betapa luar biasanya
otak kita biasanya.
Riset dari Dr. C.M.H. Pedlar pada Institute for Opthalmology di London[3]
menunjukkan bahwa sebagian proses berlangsung di mata sendiri, bahkan
sebelum gambar-gambar visual mencapai otak. Seperti terlihat di
mikroskop biasa, sambungan-sambungan syaraf retina bergerak dari depan
ke belakang, dengan beberapa sambungan lateral dan tangensial seperti
yang dibutuhkan pada fungsi komputer. Mikroskop elektron sekarang
mengungkapkan situasi yang sama sekali berbeda, dengan sambungan
tangensial yang halus sekitar 100.000 per milimeter persegi. Ini
membuat retina terlihat seperti sebuah otak mini dan membenarkannya
sebagai sebuah perluasan dari otak pada ujung syaraf optik. Sekarang
diyakini, secara sepakat, bahwa tidak hanya berfungsi sebagai penguat
tetapi juga memproses informasi yang diterimanya sebelum meneruskannya
ke otak. Sekarang kita bisa melihat bahwa sekitar tujuhpuluh lima
struktur berhubungan dengan serat syaraf pada tiap-tiap sel. Fungsi
retina sebagai komputer ini menerangkan relatif jeleknya kapasitas
sambungan pada sisi luar otak, antara lain kecilnya jumlah serat pada
syaraf optik. Keekonomisan terjadi karena informasi yang tidak
dibutuhkan otak ditahan oleh retina sehingga tidak memenuhi kapasitas
transmisi.
Mata yang Jujur
Jika
retina berfungsi sebagai sebuah komputer, bagaimana ia diprogram?
Perintah-perintah tidak dapat permanen karena sifat diskriminasi yang
dibutuhkan akan bervariasi dari satu kejadian ke yang lain. Karena kita
tidak secara sadar memberikan perintah, kita harus mengasumsikan bahwa
fungsi ini adalah pikiran bawah sadar. Pengetahuan baru ini melecehkan
istilah “mata yang jujur”, mata seniman yang seharusnya mengamati
sebuah gambar seperti sebuah kamera tanpa melakukan kebiasaan
koreksi-koreksi layaknya kita. Gambar yang dibuat lensa pada retina
tidak hanya menggambarkan yang sebenarnya, namun juga menjadi subjek
dari segala pengaturan dan distorsi sebelum dibawakan ke otak untuk
dikaji. Seorang seniman mungkin malah melakukan semacan pengaturan yang
berbeda dari yang bukan seniman, namun hampir pasti beberapa koreksi
akan dilakukan. Keadaan sadar untuk menghentikan fungsi-fungsi otomatis
otak adalah wilayah mistikus ketimbang artis.
Siapa
dari kita yang tidak mengagumi panorama yang didominasi bukit-bukit
megah dan ingin menangkap kenangan itu dengan kamera, hanya untuk
menemukan bahwa pada foto bukit-bukit tersebut terlihat biasa-biasa
saja. Orang primitif hanya sedikit berkesan pada sebuah foto, karena ia
begitu berbeda dari apa yang dilihat mata, atau mengira dilihatnya.
Orang beradab, sebaliknya telah secara tidak sadar melatih mata mereka
untuk melihat foto-foto secara salah juga, sehingga mereka menyerupai
pemandangan yang diamati langsung lebih mirip dari mereka sesungguhnya,
yaitu dengan pembesaran fitur-fitur penting, dan menekankan juga pada
kontras yang lebih baik.
Informasi
tambahan ini tidak mengubah fakta bahwa pada titik ini kesadaran masih
harus memindai gambar pada otak, dan akan melakukannya secara selektif
dalam ingatan. Tetapi gambar yang dimilikinya telah melalui sebuah
tahap pengolahan awal, tanpa sepengetahuan pikiran sadar kita.
Untuk
sebagian besar keperluan, kemampuan interpretasi langsung ini sangatlah
berharga, namun kita mendapatkannya dengan pengorbanan. Sebagian besar
dari kita telah praktis kehilangan kemampuan “diam dan menatap”, untuk melihat misalnya keindahan alam sebagaimana adanya,
tanpa penilaian sama sekali, sebagai sebuah pengalaman estetika murni,
untuk melihat dengan “mata yang jujur” seperti yang diujarkan Sir
Herbert Read. Para seniman, musisi dan orang-orang semacamnya
mempertahankan kemampuan ini, namun bagi sebagian besar dari kita,
paling tidak di dunia barat, hampir menjadi sebuah keahlian yang telah
hilang.
Komponen-Komponen Pengetahuan
Jadi,
adalah penting, untuk kita sadari, dan menerima dengan sepenuhnya ide,
bahwa “mengetahui” lebih rumit dari yang biasanya kita bayangkan. Usaha
untuk menganalisis kejadian-kejadian sehari-hari mungkin kelihatan
tidak penting dan tidak berguna. Sebaliknya, bagaimana pun, adalah
sangat mendasar jika kita ingin menilai kebenaran dari apa yang kita
“ketahui”, atau yang kita yakin kita tahu. Hanya saja meneliti
masalah-masalah yang kita terima begitu saja ini dapat membawa kita
kepada sebuah pengertian baru. “Mengetahui” terdiri dari dua komponen,
yang berbeda sepenuhnya dalam kualitas namun secara erat terintegrasi.
Bagaimana pun adalah penting untuk membuat pembagian ini, dan terlebih
lagi untuk menempatkannya di tempat yang benar, kalau tidak hasilnya
akan lebih memusingkan.
Dalam
contoh sebelumnya, gelombang-gelombang cahaya yang merambat dari
matahari melalui halaman ke retina mata kita, tempat mereka diubah ke
dalam energi elektrokimia dan lalu dibawa ke otak. Namun langkah
berikutnya adalah sebuah misteri; ada perubahan tiba-tiba dari sesuatu
yang kita tahu tentang ke dalam sesuatu yang kita tahu
mutlak, sebuah pengalaman dalam kesadaran. Di sinilah layaknya kita
memberikan garis pemisah; ini adalah yang membedakan dua komponen
pengetahuan. Pertama adalah pengalaman mental, masing-masing orang unik
dan dalam dirinya dapat dikomunikasikan. Yang lain adalah deskripsi
dan penjelasan kita tentang pengalaman, kepada diri kita sendiri atau
kadang-kadang kepada orang lain: itu adalah semua yang kita ketahui tentang
objek yang terlihat, dari pengalaman lampau, perkataan orang lain, dan
ilmu pengetahuan. Ini secara signifikan bukan hanya dua cara
menjelaskan hal yang sama. Komponen pertama adalah penglihatan itu sendiri, murni dan tidak tercemar oleh rasio. Bukannya penglihatan tidak dapat
dijelaskan, melainkan bahwa begitu kita mulai memikirkannya, kita telah
berpindah ke komponen kedua. Tidak ada orang lain yang dapat melihat
melalui mata saya. Saya bisa mengajak seseorang untuk melihat objek
yang sama. Jika objek itu tidak ada lagi aku bisa menggambarkannya
begitu lengkap sehingga ia bisa membayangkannya dalam imajinasi, dalam
mata mental. Dengan membandingkan catatan, kita bisa memastikan bahwa
penglihatan kita sama; namun adalah tidak mungkin keduanya persis sama,
dan lagi pula mereka tidak bisa dibandingkan secara langsung.
Kita
akan mudah untuk memilih kata-kata untuk dua komponen pengetahuan ini,
dan pilihan istilah adalah penting, sebab kata-kata yang biasa mungkin
saja harus dipakai cara yang tidak biasa. Jika seluruh kata-kata baru
diciptakan mereka masih harus didefinisikan dengan kata-kata yang
diketahui, yang pada gilirannya bisa saja disalahartikan. Jadi yang
pertama akan kita sebut komponen pengalaman dari pengetahuan dan yang kedua komponen rasional.
Dua komponen ini tidak dapat dibandingkan, karena mereka berada di
dunia pengalaman yang berbeda. Tetapi mereka, tentu saja, berhubungan
erat, dan hubungannya adalah saling membangkitkan. Pengalaman pribadi
(komponen pengalaman) mengingatkan kembali rasionalisasi; pada saat
lain penjelasan rasional membangkitkan pengalaman dalam imajinasi. Dua
komponen ini sedikit mirip seperti musik dan partitur: siapa saja yang
bisa membaca not bisa menyanyikan lagunya; setelah mendengar lagu
seorang musisi bisa menuliskan nadanya. Lagu dan representasinya adalah
sungguh berbeda, namun mereka adalah komponen dari satu keutuhan.
Tetapi analogi ini bisa membingungkan jika dipaksakan terlalu jauh.
(Lihat juga Northrop.[4])
Karena
input indra diproses oleh otak (atau bahkan oleh retina dalam
perjalanannya ke otak) sebelum dipresentasikan kepada kesadaran, adalah
tidak mungkin untuk menarik garis pemisah dalam analisis ini setajam
yang kita harapkan. Memang tidak diragukan ada semacam daerah demarkasi
yang kabur, tetapi nampaknya layak untuk memasukkan dalam komponen
pengalaman catatan dari sebuah kejadian oleh kesadaran, dan bila tepat,
mengenalinya. Penamaan, bagaimana pun, adalah bagian dari komponen
rasional. Ini tampak logis karena jelas ingatan terlibat dalam
penamaan, sebagaimana kita menyadari bila kadang-kadang ingatan kita
gagal dan kita mengakui “namanya luput dari ingatan”. Halaman tercatat
sebagai daerah dengan warna agak tidak rata, yang kita teruskan dengan
merasionalisasikannya sebagai halaman berumput hijau.
Hal
itu begitu otomatisnya sehingga menjadi pengalaman visual luar,
sehingga diperlukan usaha yang serius untuk menyadari bahwa kesadaran
dari kejadian itu sesungguhnya terjadi di pikiran. Kita menjadi lebih
mudah untuk mempertimbangkan pengalaman yang berbeda bila penglihatan
tidak diikutsertakan, sebutlah pendengaran. Jika kita mendengarkan
musik, khususnya jika dari radio, piringan hitam atau kaset, tidak ada
keharusan untuk mengacunya pada sebuah orkestra bayangan atau alat yang
menghasilkannya. Kita dapat menutup mata kita bila kita mau dan
mengenali tanpa kesulitan bahwa pengalaman akan musik adalah di dalam
pikiran.
Kembali
ke penglihatan, indra kita yang paling berkembang, kita jauh lebih
sulit untuk meneriman fakta sederhana bahwa tahap akhir dan krusial
penglihatan juga berada dalam pikiran. Dari latihan panjang, kita
secara otomatis dan langsung menganalisis sebuah pemandangan
sebagaimana ia disajikan. Kita memanfaatkan seluruh sistem pemfokusan
kita dan penglihatan dua mata untuk memberikan informasi tentang jarak
dan ukuran benda-benda, menganggap bahwa itulah terjadi saat kita
melihat. Tetapi semuanya ini sesungguhnya adalah penglihatan plus;
sekarang kita hampir tidak mungkin untuk mengapresiasi bagi diri kita
sifat dari penglihatan semata tanpa analisis dan kita harus melihat
pengalaman-pengalaman orang buta untuk menolong kita mengalaminya
kembali. Von Senden telah mengamati beberapa catatan kasus orang yang
buta sejak lahir yang dapat melihat melalui operasi pada saat dewasa,
dan mengalami kesukaran yang hampir sulit dipercaya untuk belajar
memahami apa yang mereka lihat; beberapa malah merasa lega setelah
mereka buta kembali. Reaksi pertama dari seorang gadis adalah
kebingungan total dan kekecewaan. Di sini muncul sensasi-sensasi baru
dan membingungkan akan cahaya dan warna, mutlak tanpa pembedaan dan
arti pada mulanya. Ia harus dengan perlahan-lahan mengajar dirinya
sendiri untuk memakai unsur mentalnya, komponen rasional yang telah
menjadi biasa bagi menglihatan normal, untuk belajar membedakan satu
bentuk warna dari yang lain, mengkoordinasikan penglihatan dengan
pengrabaan, dan membangun dengan percobaan terus-menerus kesan dari
jarak relatif yang biasanya kita peroleh sejak kita bayi.
Kita
juga belajar dari orang buta bahwa sensasi perspektif dari sebuah
gambar datar sungguh adalah sebuah konstruksi mental dan bukan sebuah
persepsi langsung. Orang yang buta sejak lahir rupanya dapat, dengan
pengarahan yang sabar dan percobaan, diajarkan untuk menggambar
pemandangan dalam perspektif yang benar. Pada tahap tertentu dari
latihan ini satu per satu di kelas memperoleh intuisi perspektif dari
pemandangan yang telah digambar dan menjadi dapat “melihat”-nya dengan
mata mental, dan memvisualisasikannya dalam perspektif penuh, meskipun
matanya tidak pernah berfungsi sebelumnya. Tetapi banyak seni Asia dan
Afrika tidak memakai perspektif, dan banyak dari orang-orang bangsa ini
(dan juga orang-orang buta huruf di bangsa lain) kurang mampu melihat
perspektif dalam lukisan-lukisan barat dan dalam foto.[5]
Pengetahuan Langsung dan Tidak Langsung
Sebuah
contoh terakhir dapat menjelaskan tepatnya apa yang dimaksud dengan
istilah-istilah “komponen pengalaman” dan “komponen rasional”. Kita
pergi ke taman dan sekuntum mawar yang luar biasa; kita mengamati dan
menyenangi rupa dan warnanya yang sangat luar biasa: kita menyentuhnya,
memperhatikan dengan gembira permukaan kelopak yang lembut; kita
menunduk untuk menghirup aromanya yang kaya. Ada perasaan terangkat di
hati, sebuah perluasan perasaan, naiknya sebuah kesan menyatu dengan
Alam. Seluruh pengalaman estetik yang jernih ini, sejauh ini tanpa
dengan ujaran kata-kata, tidak sebuah pikiran pun terbentuk, membentuk
“komponen pengalaman”.
Penggambaran
dari pengalaman, seperti yang kita sampaikan kepada seorang teman
sesudahnya, adalah bagian dari “komponen rasional”. Tetapi bahkan
selama pikiran-pikiran tentang pengalaman ini mengalir, kata “mawar”,
nama dari sebuah varitas, mengingat kembali mawar-mawar sebelumnya pada
rumpun itu—apakah mereka cukup besar, atau sedikit terlindungi? Seorang
bisa menulis sebuah buku kecil tentangnya, menyangkut botani,
pembenihan, penanaman, pemetikan, dan selanjutnya. Semuanya
ini dapat dimasukkan dalam komponen rasional dari kejadian; tetapi ia
masih datang jika kita tidak melakukan lebih dari sekedar
mengobjektivikasikan pengalaman yang disebabkan oleh sekuntum mawar
yang indah. Atau kita akan menganalisis pengiriman kesan melalui tempat
pengalaman terintegrasi itu datang. Tetapi semuanya ini juga datang
bersama komponen rasional karena ia adalah sesuatu yang kita ketahui tentang dari bacaan ilmiah, atau dari refleksi pada kejadian-kejadian yang lalu; ia bukan merupakan pengalaman jiwa langsung.
Komponen
pengalaman tidak meliputi apa-apa di luar kesadaran langsung jiwa kita.
Kita mungkin mempertanyakan tentang bagaimana “benarnya” komponen ini.
Tetapi ini sungguh sebuah persoalan tanpa arti: dari dirinya sendiri
komponen pengalaman dari sebuah kejadian tidak dapat dikatakan benar
atau pun salah. Ia hanyalah ada pada saat itu; ia adalah hidup kita pada saat itu; jika kita berdebat setelah itu, itu hanyalah semata-mata ingatan kita tentangnya.
Untuk
itu kita dapat sampai pada kesimpulan berikut ini: dua komponen
tersebut tidak disamakan satu sama lain; terlebih lagi, tidak satu pun
dari keduanya, tidak bahkan dua-duanya sekaligus, dapat disamakan
dengan objek itu sendiri. Setiap cara mengetahui adalah sebuah
representasi dari objek perhatian yang tidak lengkap, dan ini, jika
kita berhenti memikirkannya, adalah sebuah hal pengalaman biasa. Karena
kita dapat meluaskan pengetahuan kita tentang sesuatu dengan pengamatan
yang lebih dekat, dan yang lain dengan membaca atau dengan percobaan
ilmiah. Tetapi seperti yang telah dikatakan, saluran persepsi kita
tidak mampu, bahkan bila digabungkan, untuk menampilkan objek dalam
keutuhannya ke dalam mata mental.
Gambar
itu terlebih lagi unik terhadap masing-masing pengamat, karena
tergantung pada fisiologi sistem optis seseorang dan saluran indra
lainnya, dan kondisi kesadaran seseorang. Ilmu pengetahuan juga meluas
sehingga kita tidak pernah mungkin dapat mengetahui segala sesuatu
tentangnya.
Ini
seharusnya membuat kita rendah hati, tetapi kita tidak cukup sering
berefleksi tentangnya. Apakah kita laIu dikutuk selama-lamanya untuk
diam di dalam semacam dunia yang remang-remang? Nantinya akan diajukan
bahwa beberapa cara dapat dikembangkan untuk membangun hubungan yang
lebih dekat.
Rangkuman
Dengan
berintrospeksi disingkapkan bahwa kita menggunakan istilah “subjektif”
dan “objektif” dengan terlalu gampang. Dalam analisis terakhir, seluruh
pengetahuan di dunia ini adalah subjektif, namun selalu berkarakter
ganda. Mata dan organ pengindra lainnya mengirimkan kesan-kesan mereka
ke otak untuk diamati oleh kesadaran. Ini adalah pengalaman langsung
sesaat yang pribadi bagi masing-masing orang dan pada dirinya tidak
dapat dikomunikasikan, komponen pengalaman dari pengetahuan. Lalu
pikiran menginterpretasikan gambar-gambar ini dengan secepat kilat,
membandingkan mereka dengan pengalaman-pengalaman lampau, menamai
objek-objek yang dilihat dan mengingat kembali semua yang diketahui
tentang mereka; ini adalah pengalaman tidak langsung yang disimpulkan
yang biasanya dibagikan dengan orang lain, komponen rasional dari
pengetahuan. Kedua komponen itu tidak dapat dibandingkan: keduanya
dibutuhkan untuk memberikan informasi yang paling utuh yang tersedia
bagi kita dari dunia sekitar.
[1] K.N. Ogle, Science, 1962, 135, 733.
[2] E. Lester Smith, Inner Advantures: Thought, Intuition and Beyond, Theosophical Publishing House (Quest Book), 1988.
[3] C.M.H. Pedlar, dimuat di New Scientist, 3 Oktober 1966.
[4] F.S.C. Northrop, The Meeting of East and West, Macmillan, 1946.
[5] Science Journal, Desember 1969, 5A, 48.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar