Powered By Blogger

Kamis, 05 April 2012

Melihat Baru Percaya

Melihat Baru Percaya


intel.jpgUntuk keperluan sehari-hari kita menerima begitu saja realitas objektif di dunia ini sebagaimana yang kita lihat di sekitar kita. “Melihat baru percaya,” kata kita, atau “Aku melihat dengan mata kepala sendiri,” dan hampir tidak pernah muncul pada kita pertanyaan tentang keakuratan gambar yang terlihat di mata kita. Meskipun begitu, ada beberapa hal yang kita lihat namun tidak kita percayai, seperti kelinci yang muncul begitu saja di ujung tongkat tukang sulap, dan tipuan-tipuan mata yang lain, dikenali maupun tidak dikenali. Di pihak lain ada hal yang kita percayai meskipun tak dapat dilihat, khususnya bila kita berpola pikir ilmiah—atom dan elektron contohnya.
Organ indra kita, khususnya penglihatan dan pendengaran, sangatlah kompleks, halus dan sensitif. Mereka melayani kita dengan sungguh baik, meskipun ada banyak cara mereka mengecewakan kita. Banyak diantara kita buta warna dengan berbagai variasi, dan bahkan lebih banyak lagi yang mengalami beberapa kerusakan pada sistem optis mata, yang sebagian dapat dikoreksi dengan kaca mata. Tetapi bahkan penglihatan normal yang sempurna merespon hanya sekitar seperdelapan dari lebar spektrum elektromagnetik, dan sensitivitasnya jauh dari seragam bahkan dalam kisaran yang kecil. Beberapa serangga dapat melihat cahaya yang panjang sinarnya mendekati ultra violet yang tidak sensitif di mata kita. Dunia mereka pasti kelihatan berbeda dari dunia kita, meskipun sesungguhnya hanya ada satu dunia. Emulsi fotografik sensitif pada panjang gelombang ini dan kita dapat memperoleh gambar hitam putih dari apa yang dilihat serangga. Tetapi kalau kita memakai film berwarna, gambarnya menjadi dipenuhi warna biru pada pemandangan yang banyak sinar ultra violet, seperti pada pemandangan pegunungan, dan tidak memberikan gambaran sebenarnya dari “warna ultra violet”. Kita tidak bisa membayangkan bagaimana warna-warna akan berubah kalau mata kita menjadi sensitif terhadap ultra violet. Bagaimana pun ini hanyalah sedikit perluasan dari spektrum visual. Dunia di sekitar kita “dipancari” oleh radiasi elektromagnetik meliputi beberapa oktaf yang sama sekali tidak sensitif bagi kita. Jadi bagaimana kita dapat memastikan bahwa kita melihatnya sebagaimana adanya? Apa yang kita ketahui adalah apa yang nampak bagi kita.
Sebuah analisis yang serupa dapat dibuat pada pendengaran, meskipun telinga kita dapat merespon lebih dari beberapa oktaf. Namun lagi-lagi, sensitifitasnya bervariasi pada beberapa kisaran, dan berbeda dari satu individu dengan yang lain, terutama bagi yang tuli sebagian. Anak kecil dan beberapa binatang dapat mendengar suara yang lebih tinggi dari kisaran normal kita. Namun di sini, kita dapat mengira-ngira dalam imajinasi dan menyadari bahwa nada seperti itu akan terdengar seperti siulan yang sangat melengking. Kita bahkan dapat memperoleh beberapa kesan dari seluruh efek yang dapat dikenali indra pada suara musik dengan mengubah kontrol suara pada hi-fi: yang bagi sebagian besar kita tidak menambah kenikmatan. Bagaimana pun, suara dengan nada tinggi dibuat secara insidental, oleh makhluk hidup di sekitar kita misalnya, tetapi seluruhnya tertutup bagi apresiasi kita terhadap dunia ini.
Indra-indra lain, seperti pengecapan dan penciuman, lebih sulit dianalisis namun ceritanya tetaplah sama: kisaran apresiasi kita terbatas. Pada beberapa binatang indra penciumannya lebih tajam dari pada kita, sementara beberapa serangga tertarik atau menolak benda yang hampir tak berbau bagi kita. Beberapa burung dan hewan bermigrasi lainnya mungkin bergantung pada indra yang sama sekali tidak kita punya.
Perhatian dan Interpretasi
Batasan-batasan kuantitatif masih bukan kekurangan yang paling serius pada indra kita. Apa yang kita lihat adalah sebanyak apa yang kita perhatikan seperti yang sering dikatakan adalah benar. Dengan kata lain organ pengindra kita jauh berbeda dari instrumen perekam yang pasif. Dua faktor penting saling melengkapi pada kesan indrawi yang belum diolah; mereka adalah perhatian dan interpretasi.
Faktor perhatian diilustrasikan dengan baik dengan pengalaman yang dialami oleh sebagian besar dari kita di pesta koktil yang ramai atau pada acara serupa. Kita masuk ke dalam sebuah suara percakapan tak jelas, saat semua orang berbicara sekaligus. Lalu kita menemukan seorang teman di antara kerumunan dan kita mengadakan percakapan yang lengkap dengannya. Suaranya mungkin tidak sekeras suara orang asing yang berteriak di sebelah kita, namun dengan sedikit kesukaran kita mendapatkan apa yang kita ingin dengar dan mengabaikan seluruh kegaduhan yang lain. Apa yang memungkinkan selektivitas yang mengagumkan ini? Kita biasanya memutar kepala ke posisi terbaik, kiranya kedua telinga dilibatkan, melalui mekanisme yang belum dipahami seutuhnya. Namun di samping kompetensi teknik dari organ penerima, dibutuhkan tindakan positif dari perhatian kita. Kita harus memilih untuk mendengar dan hanya dengan itu kita dengan usaha sadar menggunakan kemampuan memilih dari alat pendengar kita. Jadi, kita memilih untuk menyimak, dan usaha ini dapat cukup melelahkan bila berlangsung cukup lama.
Sifat Dualitas dari Persepsi
Pengalaman yang sama ini membawa kita pada sifat dualitas dari seluruh persepsi indrawi. Ada yang masuk, suara dan cahaya misalnya, dan keluar, sebuah pengadaan kesadaran secara sengaja: kecuali bila keduanya terjadi tidak ada kesan indrawi yang terekam dalam kesadaran. Untuk keperluan analisis, kita lebih baik melihat indra penglihatan karena mekanisme penglihatan telah banyak dipahami. Namun bagaimana pun dekatnya kita mengikuti rangkaian reaksi kejadian, selalu ada celah; di mana ada sebuah celah ketidaktahuan yang penting antara kejutan listrik di dalam sel-sel otak dan sebuah sensasi hijau, misalnya, di dalam kesadaran kita.
Kejadian terakhir pada rangkaian dari retina ke otak adalah sebuah pengalaman jiwa. Transisi dari eksitasi di cortex sampai pada pengalaman subjektif sangatlah sulit dijelaskan. Pengalaman jiwa ini adalah sebuah fenomena pribadi dan pada dirinya tidaklah dapat diuji.[1]
Urutan ini sudah diketahui; sinar putih dengan seluruh panjang gelombangnya dipantulkan oleh rumput di halaman kita; beberapa diserap, sementara sinar dengan panjang gelombang tertentu secara selektif dipantulkan ke mata kita; sinar itu difokuskan oleh lensa kedua mata ke retina; di sana perubahan fotokimia yang cepat terjadi pada, contohnya untuk tampak ungu, sebuah pigment retinal yang secara kimia sudah diketahui dengan baik sekarang; reaksi-reaksi kimia membangkitkan secara bergantian kejutan-kejutan listrik yang bergegas melalui syaraf optik ke otak. Sekarang, telah diketahui (lihat buku saya Inner Adventures, Bab 4[2]) bahwa otak menampakkan gambar di visual cortex, tetapi dengan cara yang berbeda. Jika mata fisik mampu melihatnya pada tahap ini, ia tidak dapat melakukan apa-apa terhadap gambar tersebut; namun mata mental dapat membacanya seketika. Gambar tersebut berada di visual cortex sesaat sebelum hilang dari pikiran sadar dan digantikan dengan gambar yang baru, kecuali bila kita memilih untuk memperhatikan dan memindai gambar mental itu. Namun bagaimana sifat dari pemindaian tersebut oleh kesadaran? Apa yang membuat sebuah kejutan listrik atau perubahan kimiawi tampak hijau? Ini tetap menjadi misteri tak terpecahkan dari penglihatan. Jadi hak apa yang diberikan oleh semua ini kepada kita untuk mengatakan bahwa rumput itu adalah hijau seperti yang kita lihat? Benar, mekanisme penglihatan dapat menyelidiki sedikit dari sudut lain. Aktivitas listrik dari otak dapat diikuti melalui electroencephalograph yang merekam serangkaian ritme-ritme. Kita dengan mudah dapat mendemonstrasikan bahwa ritmenya berubah dengan cepat bila subjek memperhatikan baik pada stimulus visual maupun pada masalah mental; tetapi pengetahuan tambahan ini bagaimana pun tidak mampu menjembatani celah antara kejadian-kejadian kimiawi dengan psikologis, antara perubahan-perubahan kimiawi di sel-sel otak dan kesadaran kita akan halaman yang hijau.
Mata mental masih mampu melihat gambar ketika mata ditutup. Penglihatan ini dapat dibangkitkan dengan berbagai cara: dengan mengingat kembali ingatan akan kejadian-kejadian nyata; dengan sengaja membayangkan kejadian-kejadian “tak nyata”; atau dengan membiarkan pikiran bebas seperti ketika ia menciptakan fantasi-fantasi visual tanpa sadar. Lalu bagaimana kita membedakan apa yang kita biasa sebut “realitas objektif” dari apa yang biasa kita gambarkan sebagai “subjektif semata”? Kita yakin kita dapat mengatakan perbedaannya, bahwa kesan yang datang melalui organ pengindra mempunyai kualitas yang lebih jelas, dan hanya orang yang sedang terganggu pikirannya yang tidak bisa membedakan. Namun sebuah mimpi yang sangat jelas dapat membodohi siapa pun dari kita saat terbangun; perbedaannya tidaklah sebeda yang kita kira. Pada analisis akhir semua pengalaman adalah subjektif; hanya yang subjektif dapat kita benar-benar rasakan sebagai pengalaman. Semua yang kita ketahui, atau kita pikir kita tahu, disimpulkan dari pengalaman-pengalaman tadi.
Ini membawa kita pada faktor kedua yang melengkapi data kesan sebelum diolah, interpretasi. Kita tidak menerima data kesan belum diolah begitu saja mereka sampai di otak; pikiran mengolahnya terlebih dahulu, sebagian besar secara otomatis. Pesan-pesan dari organ-organ pengindra yang berbeda digabungkan, diolah, dan dievaluasi, semua dalam waktu yang singkat, sehingga bahan itu biasanya diolah terlebih dahulu sebelum dibawa ke kesadaran. Ini berlangsung begitu biasa dan otomatis, sehingga dianggap biasa, sehingga membuat situasi ini sulit untuk dianalisis. Hanya kekeliruan sesekali yang membuat kita sadar akan proses ini; hanya pengamatan yang benar-benar baru dan tidak disangka, yang tidak ada di ingatan, tiada bahan perbandingan, yang disajikan tanpa dianalisis, dengan sebuah kesan terkejut dan waspada, yang membutuhkan segera pertimbangan kesadaran. Kita terkesan dengan kecepatan dan kemampuan komputer-komputer elektronik dan tidak pada diri kita sendiri: pengalaman kebingungan sejenak setelah gegar otak dibutuhkan untuk menyadarkan kita kembali tentang betapa luar biasanya otak kita biasanya.
Riset dari Dr. C.M.H. Pedlar pada ­Institute for Opthalmology di London[3] menunjukkan bahwa sebagian proses berlangsung di mata sendiri, bahkan sebelum gambar-gambar visual mencapai otak. Seperti terlihat di mikroskop biasa, sambungan-sambungan syaraf retina bergerak dari depan ke belakang, dengan beberapa sambungan lateral dan tangensial seperti yang dibutuhkan pada fungsi komputer. Mikroskop elektron sekarang mengungkapkan situasi yang sama sekali berbeda, dengan sambungan tangensial yang halus sekitar 100.000 per milimeter persegi. Ini membuat retina terlihat seperti sebuah otak mini dan membenarkannya sebagai sebuah perluasan dari otak pada ujung syaraf optik. Sekarang diyakini, secara sepakat, bahwa tidak hanya berfungsi sebagai penguat tetapi juga memproses informasi yang diterimanya sebelum meneruskannya ke otak. Sekarang kita bisa melihat bahwa sekitar tujuhpuluh lima struktur berhubungan dengan serat syaraf pada tiap-tiap sel. Fungsi retina sebagai komputer ini menerangkan relatif jeleknya kapasitas sambungan pada sisi luar otak, antara lain kecilnya jumlah serat pada syaraf optik. Keekonomisan terjadi karena informasi yang tidak dibutuhkan otak ditahan oleh retina sehingga tidak memenuhi kapasitas transmisi.
Mata yang Jujur
Jika retina berfungsi sebagai sebuah komputer, bagaimana ia diprogram? Perintah-perintah tidak dapat permanen karena sifat diskriminasi yang dibutuhkan akan bervariasi dari satu kejadian ke yang lain. Karena kita tidak secara sadar memberikan perintah, kita harus mengasumsikan bahwa fungsi ini adalah pikiran bawah sadar. Pengetahuan baru ini melecehkan istilah “mata yang jujur”, mata seniman yang seharusnya mengamati sebuah gambar seperti sebuah kamera tanpa melakukan kebiasaan koreksi-koreksi layaknya kita. Gambar yang dibuat lensa pada retina tidak hanya menggambarkan yang sebenarnya, namun juga menjadi subjek dari segala pengaturan dan distorsi sebelum dibawakan ke otak untuk dikaji. Seorang seniman mungkin malah melakukan semacan pengaturan yang berbeda dari yang bukan seniman, namun hampir pasti beberapa koreksi akan dilakukan. Keadaan sadar untuk menghentikan fungsi-fungsi otomatis otak adalah wilayah mistikus ketimbang artis.
Siapa dari kita yang tidak mengagumi panorama yang didominasi bukit-bukit megah dan ingin menangkap kenangan itu dengan kamera, hanya untuk menemukan bahwa pada foto bukit-bukit tersebut terlihat biasa-biasa saja. Orang primitif hanya sedikit berkesan pada sebuah foto, karena ia begitu berbeda dari apa yang dilihat mata, atau mengira dilihatnya. Orang beradab, sebaliknya telah secara tidak sadar melatih mata mereka untuk melihat foto-foto secara salah juga, sehingga mereka menyerupai pemandangan yang diamati langsung lebih mirip dari mereka sesungguhnya, yaitu dengan pembesaran fitur-fitur penting, dan menekankan juga pada kontras yang lebih baik.
Informasi tambahan ini tidak mengubah fakta bahwa pada titik ini kesadaran masih harus memindai gambar pada otak, dan akan melakukannya secara selektif dalam ingatan. Tetapi gambar yang dimilikinya telah melalui sebuah tahap pengolahan awal, tanpa sepengetahuan pikiran sadar kita.
Untuk sebagian besar keperluan, kemampuan interpretasi langsung ini sangatlah berharga, namun kita mendapatkannya dengan pengorbanan. Sebagian besar dari kita telah praktis kehilangan kemampuan “diam dan menatap”, untuk melihat misalnya keindahan alam sebagaimana adanya, tanpa penilaian sama sekali, sebagai sebuah pengalaman estetika murni, untuk melihat dengan “mata yang jujur” seperti yang diujarkan Sir Herbert Read. Para seniman, musisi dan orang-orang semacamnya mempertahankan kemampuan ini, namun bagi sebagian besar dari kita, paling tidak di dunia barat, hampir menjadi sebuah keahlian yang telah hilang.
Komponen-Komponen Pengetahuan
Jadi, adalah penting, untuk kita sadari, dan menerima dengan sepenuhnya ide, bahwa “mengetahui” lebih rumit dari yang biasanya kita bayangkan. Usaha untuk menganalisis kejadian-kejadian sehari-hari mungkin kelihatan tidak penting dan tidak berguna. Sebaliknya, bagaimana pun, adalah sangat mendasar jika kita ingin menilai kebenaran dari apa yang kita “ketahui”, atau yang kita yakin kita tahu. Hanya saja meneliti masalah-masalah yang kita terima begitu saja ini dapat membawa kita kepada sebuah pengertian baru. “Mengetahui” terdiri dari dua komponen, yang berbeda sepenuhnya dalam kualitas namun secara erat terintegrasi. Bagaimana pun adalah penting untuk membuat pembagian ini, dan terlebih lagi untuk menempatkannya di tempat yang benar, kalau tidak hasilnya akan lebih memusingkan.
Dalam contoh sebelumnya, gelombang-gelombang cahaya yang merambat dari matahari melalui halaman ke retina mata kita, tempat mereka diubah ke dalam energi elektrokimia dan lalu dibawa ke otak. Namun langkah berikutnya adalah sebuah misteri; ada perubahan tiba-tiba dari sesuatu yang kita tahu tentang ke dalam sesuatu yang kita tahu mutlak, sebuah pengalaman dalam kesadaran. Di sinilah layaknya kita memberikan garis pemisah; ini adalah yang membedakan dua komponen pengetahuan. Pertama adalah pengalaman mental, masing-masing orang unik dan dalam dirinya dapat dikomunikasikan. Yang lain adalah deskripsi dan penjelasan kita tentang pengalaman, kepada diri kita sendiri atau kadang-kadang kepada orang lain: itu adalah semua yang kita ketahui tentang objek yang terlihat, dari pengalaman lampau, perkataan orang lain, dan ilmu pengetahuan. Ini secara signifikan bukan hanya dua cara menjelaskan hal yang sama. Komponen pertama adalah penglihatan itu sendiri, murni dan tidak tercemar oleh rasio. Bukannya penglihatan tidak dapat dijelaskan, melainkan bahwa begitu kita mulai memikirkannya, kita telah berpindah ke komponen kedua. Tidak ada orang lain yang dapat melihat melalui mata saya. Saya bisa mengajak seseorang untuk melihat objek yang sama. Jika objek itu tidak ada lagi aku bisa menggambarkannya begitu lengkap sehingga ia bisa membayangkannya dalam imajinasi, dalam mata mental. Dengan membandingkan catatan, kita bisa memastikan bahwa penglihatan kita sama; namun adalah tidak mungkin keduanya persis sama, dan lagi pula mereka tidak bisa dibandingkan secara langsung.
Kita akan mudah untuk memilih kata-kata untuk dua komponen pengetahuan ini, dan pilihan istilah adalah penting, sebab kata-kata yang biasa mungkin saja harus dipakai cara yang tidak biasa. Jika seluruh kata-kata baru diciptakan mereka masih harus didefinisikan dengan kata-kata yang diketahui, yang pada gilirannya bisa saja disalahartikan. Jadi yang pertama akan kita sebut komponen pengalaman dari pengetahuan dan yang kedua komponen rasional. Dua komponen ini tidak dapat dibandingkan, karena mereka berada di dunia pengalaman yang berbeda. Tetapi mereka, tentu saja, berhubungan erat, dan hubungannya adalah saling membangkitkan. Pengalaman pribadi (komponen pengalaman) mengingatkan kembali rasionalisasi; pada saat lain penjelasan rasional membangkitkan pengalaman dalam imajinasi. Dua komponen ini sedikit mirip seperti musik dan partitur: siapa saja yang bisa membaca not bisa menyanyikan lagunya; setelah mendengar lagu seorang musisi bisa menuliskan nadanya. Lagu dan representasinya adalah sungguh berbeda, namun mereka adalah komponen dari satu keutuhan. Tetapi analogi ini bisa membingungkan jika dipaksakan terlalu jauh. (Lihat juga Northrop.[4])
Karena input indra diproses oleh otak (atau bahkan oleh retina dalam perjalanannya ke otak) sebelum dipresentasikan kepada kesadaran, adalah tidak mungkin untuk menarik garis pemisah dalam analisis ini setajam yang kita harapkan. Memang tidak diragukan ada semacam daerah demarkasi yang kabur, tetapi nampaknya layak untuk memasukkan dalam komponen pengalaman catatan dari sebuah kejadian oleh kesadaran, dan bila tepat, mengenalinya. Penamaan, bagaimana pun, adalah bagian dari komponen rasional. Ini tampak logis karena jelas ingatan terlibat dalam penamaan, sebagaimana kita menyadari bila kadang-kadang ingatan kita gagal dan kita mengakui “namanya luput dari ingatan”. Halaman tercatat sebagai daerah dengan warna agak tidak rata, yang kita teruskan dengan merasionalisasikannya sebagai halaman berumput hijau.
Hal itu begitu otomatisnya sehingga menjadi pengalaman visual luar, sehingga diperlukan usaha yang serius untuk menyadari bahwa kesadaran dari kejadian itu sesungguhnya terjadi di pikiran. Kita menjadi lebih mudah untuk mempertimbangkan pengalaman yang berbeda bila penglihatan tidak diikutsertakan, sebutlah pendengaran. Jika kita mendengarkan musik, khususnya jika dari radio, piringan hitam atau kaset, tidak ada keharusan untuk mengacunya pada sebuah orkestra bayangan atau alat yang menghasilkannya. Kita dapat menutup mata kita bila kita mau dan mengenali tanpa kesulitan bahwa pengalaman akan musik adalah di dalam pikiran.
Kembali ke penglihatan, indra kita yang paling berkembang, kita jauh lebih sulit untuk meneriman fakta sederhana bahwa tahap akhir dan krusial penglihatan juga berada dalam pikiran. Dari latihan panjang, kita secara otomatis dan langsung menganalisis sebuah pemandangan sebagaimana ia disajikan. Kita memanfaatkan seluruh sistem pemfokusan kita dan penglihatan dua mata untuk memberikan informasi tentang jarak dan ukuran benda-benda, menganggap bahwa itulah terjadi saat kita melihat. Tetapi semuanya ini sesungguhnya adalah penglihatan plus; sekarang kita hampir tidak mungkin untuk mengapresiasi bagi diri kita sifat dari penglihatan semata tanpa analisis dan kita harus melihat pengalaman-pengalaman orang buta untuk menolong kita mengalaminya kembali. Von Senden telah mengamati beberapa catatan kasus orang yang buta sejak lahir yang dapat melihat melalui operasi pada saat dewasa, dan mengalami kesukaran yang hampir sulit dipercaya untuk belajar memahami apa yang mereka lihat; beberapa malah merasa lega setelah mereka buta kembali. Reaksi pertama dari seorang gadis adalah kebingungan total dan kekecewaan. Di sini muncul sensasi-sensasi baru dan membingungkan akan cahaya dan warna, mutlak tanpa pembedaan dan arti pada mulanya. Ia harus dengan perlahan-lahan mengajar dirinya sendiri untuk memakai unsur mentalnya, komponen rasional yang telah menjadi biasa bagi menglihatan normal, untuk belajar membedakan satu bentuk warna dari yang lain, mengkoordinasikan penglihatan dengan pengrabaan, dan membangun dengan percobaan terus-menerus kesan dari jarak relatif yang biasanya kita peroleh sejak kita bayi.
Kita juga belajar dari orang buta bahwa sensasi perspektif dari sebuah gambar datar sungguh adalah sebuah konstruksi mental dan bukan sebuah persepsi langsung. Orang yang buta sejak lahir rupanya dapat, dengan pengarahan yang sabar dan percobaan, diajarkan untuk menggambar pemandangan dalam perspektif yang benar. Pada tahap tertentu dari latihan ini satu per satu di kelas memperoleh intuisi perspektif dari pemandangan yang telah digambar dan menjadi dapat “melihat”-nya dengan mata mental, dan memvisualisasikannya dalam perspektif penuh, meskipun matanya tidak pernah berfungsi sebelumnya. Tetapi banyak seni Asia dan Afrika tidak memakai perspektif, dan banyak dari orang-orang bangsa ini (dan juga orang-orang buta huruf di bangsa lain) kurang mampu melihat perspektif dalam lukisan-lukisan barat dan dalam foto.[5]
Pengetahuan Langsung dan Tidak Langsung
Sebuah contoh terakhir dapat menjelaskan tepatnya apa yang dimaksud dengan istilah-istilah “komponen pengalaman” dan “komponen rasional”. Kita pergi ke taman dan sekuntum mawar yang luar biasa; kita mengamati dan menyenangi rupa dan warnanya yang sangat luar biasa: kita menyentuhnya, memperhatikan dengan gembira permukaan kelopak yang lembut; kita menunduk untuk menghirup aromanya yang kaya. Ada perasaan terangkat di hati, sebuah perluasan perasaan, naiknya sebuah kesan menyatu dengan Alam. Seluruh pengalaman estetik yang jernih ini, sejauh ini tanpa dengan ujaran kata-kata, tidak sebuah pikiran pun terbentuk, membentuk “komponen pengalaman”.
Penggambaran dari pengalaman, seperti yang kita sampaikan kepada seorang teman sesudahnya, adalah bagian dari “komponen rasional”. Tetapi bahkan selama pikiran-pikiran tentang pengalaman ini mengalir, kata “mawar”, nama dari sebuah varitas, mengingat kembali mawar-mawar sebelumnya pada rumpun itu—apakah mereka cukup besar, atau sedikit terlindungi? Seorang bisa menulis sebuah buku kecil tentangnya, menyangkut botani, pembenihan, penanaman, pemetikan, dan selanjutnya. Semuanya ini dapat dimasukkan dalam komponen rasional dari kejadian; tetapi ia masih datang jika kita tidak melakukan lebih dari sekedar mengobjektivikasikan pengalaman yang disebabkan oleh sekuntum mawar yang indah. Atau kita akan menganalisis pengiriman kesan melalui tempat pengalaman terintegrasi itu datang. Tetapi semuanya ini juga datang bersama komponen rasional karena ia adalah sesuatu yang kita ketahui tentang dari bacaan ilmiah, atau dari refleksi pada kejadian-kejadian yang lalu; ia bukan merupakan pengalaman jiwa langsung.
Komponen pengalaman tidak meliputi apa-apa di luar kesadaran langsung jiwa kita. Kita mungkin mempertanyakan tentang bagaimana “benarnya” komponen ini. Tetapi ini sungguh sebuah persoalan tanpa arti: dari dirinya sendiri komponen pengalaman dari sebuah kejadian tidak dapat dikatakan benar atau pun salah. Ia hanyalah ada pada saat itu; ia adalah hidup kita pada saat itu; jika kita berdebat setelah itu, itu hanyalah semata-mata ingatan kita tentangnya.
Untuk itu kita dapat sampai pada kesimpulan berikut ini: dua komponen tersebut tidak disamakan satu sama lain; terlebih lagi, tidak satu pun dari keduanya, tidak bahkan dua-duanya sekaligus, dapat disamakan dengan objek itu sendiri. Setiap cara mengetahui adalah sebuah representasi dari objek perhatian yang tidak lengkap, dan ini, jika kita berhenti memikirkannya, adalah sebuah hal pengalaman biasa. Karena kita dapat meluaskan pengetahuan kita tentang sesuatu dengan pengamatan yang lebih dekat, dan yang lain dengan membaca atau dengan percobaan ilmiah. Tetapi seperti yang telah dikatakan, saluran persepsi kita tidak mampu, bahkan bila digabungkan, untuk menampilkan objek dalam keutuhannya ke dalam mata mental.
Gambar itu terlebih lagi unik terhadap masing-masing pengamat, karena tergantung pada fisiologi sistem optis seseorang dan saluran indra lainnya, dan kondisi kesadaran seseorang. Ilmu pengetahuan juga meluas sehingga kita tidak pernah mungkin dapat mengetahui segala sesuatu tentangnya.
Ini seharusnya membuat kita rendah hati, tetapi kita tidak cukup sering berefleksi tentangnya. Apakah kita laIu dikutuk selama-lamanya untuk diam di dalam semacam dunia yang remang-remang? Nantinya akan diajukan bahwa beberapa cara dapat dikembangkan untuk membangun hubungan yang lebih dekat.
Rangkuman
Dengan berintrospeksi disingkapkan bahwa kita menggunakan istilah “subjektif” dan “objektif” dengan terlalu gampang. Dalam analisis terakhir, seluruh pengetahuan di dunia ini adalah subjektif, namun selalu berkarakter ganda. Mata dan organ pengindra lainnya mengirimkan kesan-kesan mereka ke otak untuk diamati oleh kesadaran. Ini adalah pengalaman langsung sesaat yang pribadi bagi masing-masing orang dan pada dirinya tidak dapat dikomunikasikan, komponen pengalaman dari pengetahuan. Lalu pikiran menginterpretasikan gambar-gambar ini dengan secepat kilat, membandingkan mereka dengan pengalaman-pengalaman lampau, menamai objek-objek yang dilihat dan mengingat kembali semua yang diketahui tentang mereka; ini adalah pengalaman tidak langsung yang disimpulkan yang biasanya dibagikan dengan orang lain, komponen rasional dari pengetahuan. Kedua komponen itu tidak dapat dibandingkan: keduanya dibutuhkan untuk memberikan informasi yang paling utuh yang tersedia bagi kita dari dunia sekitar.


[1] K.N. Ogle, Science, 1962, 135, 733.
[2] E. Lester Smith, Inner Advantures: Thought, Intuition and Beyond, Theosophical Publishing House (Quest Book), 1988.
[3] C.M.H. Pedlar, dimuat di New Scientist, 3 Oktober 1966.
[4] F.S.C. Northrop, The Meeting of East and West, Macmillan, 1946.
[5] Science Journal, Desember 1969, 5A, 48.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar