Powered By Blogger

Selasa, 03 April 2012

Monisme Pembaharuan Cak Nur

Monisme Pembaharuan Cak Nur

Oleh Saidiman Ahmad
Cara pandang monistik dalam sejarah pemikiran filsafat sangat berbahaya, karena monismelah yang mendasari apa yang disebut totalitarianisme. Karena dalam monisme, ada klaim kebenaran tunggal dan absolusitas kebenaran. Jika ada satu kebenaran yang sahih, maka secara langsung pendapat atau kebenaran lain menjadi tidak sahih, atau belum sahih. Persoalannya, siapa yang berhak menentukan sebuah kebenaran itu sahih dan tidak?
Januari 40 tahun lalu, Nurcholish Madjid (Cak Nur) mencanangkan gerakan pembaharuan Islam dalam sebuah makalah panjang berjudul Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Ummat. Makalah yang dipresentasikan pada pertemuan PII, GPI, dan HMI itu mengulas masalah yang sedang dihadapi oleh ummat Islam di tengah gairah kebangkitan agama pada masa itu. Menurut Cak Nur, kebangkitan agama yang ditandai dengan semakin diterimanya simbol-simbol Islam dalam kehidupan publik harus disikapi dengan upaya pembaharuan pemikiran Islam. Tetapi, upaya pembaharuan itu menghadapi tantangan disintegrasi ummat.
Perhatian Cak Nur terhadap integrasi ummat sangat sejalan dengan proyek titik temu agama-agama yang dikampanyekannya di kemudian hari. Pertanyaan utama yang ingin dijawab oleh Cak Nur adalah bagaimana mengupayakan pembaharuan tanpa meninggalkan cacat perpecahan ummat. Dengan kata lain, pembaharuan yang mengarah kepada integrasi ummat. Cak Nur rupanya belajar dari kasus Reformasi Kristen yang harus dibayar dengan perpecahan.
Harus diakui bahwa Cak Nur memberikan sumbangan besar dalam mendobrak kekakuan pemikiran Islam yang semakin mengental justru ketika Islam semakin diterima di tengah masyarakat Indonesia. Kekakuan pemikiran itu tidak hanya melanda masyarakat Muslim tradisional, melainkan juga—terutama—masyarakat Muslim modernis, seperti Muhammadiyah dan Persis. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah dobrakan pemikiran berupa psychological striking force (daya tonjok psikologis) agar ummat Islam bangkit, tidak hanya dalam hal kuantitas, melainkan juga kebangkitan substansial berupa kemajuan pemikiran.
Tetapi layaknya sebuah inisiatif atau dobrakan pembaharuan, pemikiran Cak Nur adalah langkah awal yang butuh untuk dilanjutkan. Jika Cak Nur menghadapi tantangan kejumudan, maka saat ini bukan hanya tantangan kejumudan yang harus dihadapi, melainkan juga tantangan bagaimana merumuskan jenis pembaharuan seperti apa yang dibutuhkan. Semangat Cak Nur untuk melakukan pembaharuan harus dilanjutnya dengan mengisi bentuk pembaharuan tersebut.
Apologi Pembaharuan
Persoalan utama pembaharuan Cak Nur adalah tendensinya untuk menjaga integrasi ummat. Tendensi integrasi ini kemudian muncul dalam bentuk upaya Cak Nur untuk menjelaskan relevansi kemajuan dengan doktrin pemikiran Islam. Bagi Cak Nur, Islam tidak memiliki persoalan dengan fenomena zaman yang semakin maju. Ide-ide mengenai demokrasi dan sekularisasi (sekularisme), misalnya, memiliki landasan doktrin dalam Islam. Pemikiran semacam ini tentu penting pada zaman Cak Nur, karena masyarakat Muslim yang ia hadapi adalah masyarakat dengan kelas sosial yang terbelakang.
Tetapi bentuk pembaharuan apologetis semacam itu tidak bisa dipertahankan terlalu lama. Kenyataannya, Islam datang pada abad 7 Masehi, sementara ide-ide mengenai demokrasi dan sekularisme adalah sesuatu yang baru dirumuskan dan muncul untuk menjawab tantangan masyarakat yang berbeda. Keyakinan Cak Nur bahwa masyarakat kota Madinah dan Mekkah yang dipimpin oleh Nabi dan Khulafa al-Rasyidun adalah masyarakat demokratis yang melampaui zamannya memiliki implikasi bahwa hampir seluruh sejarah Islam justru mengingkari doktrin Islam itu sendiri.
Monisme
Pemikiran integralistik Cak Nur menyimpan masalah serius jika kita melacak asumsi yang ada dalam pemikiran tersebut. Pemikiran yang berniat baik untuk menjaga integrasi ummat itu menyatakan bahwa sebenarnya pelbagai gagasan memiliki unsur kebenaran yang sama. Islam dan demokrasi adalah kompatibel. Bahkan agama-agama juga memiliki titik temu, sejatinya tunggal. Sangat terkenal dari Cak Nur analogi roda dan jari-jarinya. Ujung jari-jari luar adalah bentuk agama-agama yang nampak berbeda. Tetapi jika kita telusuri ke pangkalnya, maka jari-jari roda yang kelihatan terpisah dan berbeda itu akan menuju kepada titik temu dan penyatuan. Pemikiran semacam ini biasa disebut sebagai monisme.
Setidaknya ada tiga ciri utama monisme. Pertama, monisme mengandaikan bahwa semua pertanyaan yang benar pastilah memiliki satu jawaban yang benar, dan hanya satu, semua jawaban yang lain pasti salah. Jika jawaban ini tidak kita ketahui, pasti ada orang lain yang mengetahui, generasi selanjutnya mungkin mengetahui, para nabi yang mungkin mengetahui, atau setidaknya Tuhanlah yang mengetahui. Kedua, kebenaran jawaban tersebut pasti bisa diketahui dengan menggunakan metode yang bisa direalisasikan dan diajarkan kepada semua ummat manusia. Ketiga, kebenaran diandaikan saling kompatibel dengan kebenaran yang lain.
Plato percaya bahwa matematikalah jalan menuju kebenaran. Aristoteles meyakini biologi adalah jalan kebenaran. Kaum Yahudi, Kristen, dan Islam meyakini bahwa jalan kebenaran itu ada dalam Kitab Suci. Rousseau percaya bahwa kebenaran itu terungkap oleh jiwa manusia yang bersih, anak yang masih suci, atau mungkin petani biasa, dan lain-lain. Semua pertanyaan tentang moral, sosial dan politik pasti ada jawaban yang benar tentangnya dan entah di mana.
Cara pandang monistik dalam sejarah pemikiran filsafat sangat berbahaya, karena monismelah yang mendasari apa yang disebut totalitarianisme. Karena dalam monisme, ada klaim kebenaran tunggal dan absolusitas kebenaran. Jika ada satu kebenaran yang sahih, maka secara langsung pendapat atau kebenaran lain menjadi tidak sahih, atau belum sahih. Persoalannya, siapa yang berhak menentukan sebuah kebenaran itu sahih dan tidak?
Tradisi rasionalisme yang mendasari proyek pencerahan di Barat pun tak luput dari perangkap monisme ini. Diktum kebenaran sejauh dapat dinalar oleh akal juga menyimpan persoalan. Betul bahwa rasionalisme telah membawa Barat keluar dari kejumudan agama abad pertengahan. Tetapi rasionalisme juga menjadi alasan bagi Nazisme dan Fasisme untuk melakukan penindasan dengan alasan rasionalitas. Atas nama rasionalitas, Amerika Serikat merasa berhak mengubah Irak dan Afganistan dengan cara yang sangat brutal. Karena hanya kami yang benar dan yang lain salah, maka yang benar bisa melakukan apa saja kepada yang salah.
Gerakan pembaharuan Islam Indonesia yang telah dirintis oleh Cak Nur harus dilanjutkan dengan membuang tendensi monistik dalam pemikirannya. Gagasan mengenai kebenaran tunggal tidak relevan di tengah masyarakat yang semakin majemuk. Perkembangan informasi telah menunjukkan kepada kita bahwa kebenaran itu beragam dan banyak. Masing-masing kebenaran memiliki takaran dan ukurannya sendiri-sendiri yang tidak bisa diperbandingkan. Keragaman tidak harus dicari titik temunya, sebab keragaman memang beragam. Yang butuh dilakukan bukanlah mencari titik temu, melainkan membuka ruang yang seluas-luasnya bagi perayaan keragaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar