Pancasila sebagai Masalah
tulisan di bawah ini berdasarkan buku karangan HS Gazalba, dalam buku Pantjasila dalam Persoalan, diterbitkan Tintamas Djakarta, 1957
Tulisan ini mungkin dirasa aneh karena kurasa tidak banyak orang yang merasa Pancasila bermasalah. Bagi sebagian besar orang, yang menjadi akar masalah dari krisis yang dihadapi bangsa ini adalah belum diterapkannya Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kenyataan seperti ini terjadi karena dua hal: bangsa kita a-historis alias tidak memperhatikan sejarah, dan yang kedua suksesnya cuci otak Orde Baru dengan asas tunggalnya yang membuat semua generasi yang lahir pasca Orba melihat Pancasila sebagai sebuah kenyataan mutlak, seperti kitab suci yang tidak bisa diganggu gugat.
Apakah dari sononya bangsa
ini sepakat dengan Pancasila? Tidak. Masalah Pancasila-lah yang paling
hangat didebatkan dalam sidang Konstituante. Di waktu itu bangsa
Indonesia masih berada pada fase ideologis sehingga memperdebatkan
ideologi adalah hal yang lumrah. Era itu adalah sebuah era kebebasan
berpendapat, sebelum akhirnya dibelenggu oleh Dekrit Presiden yang
mengawali era Demokrasi Terpimpin.
Untuk bisa melihat Pancasila sebagai
lebih jernih kita perlu melihat sejarah awalnya Pancasila. Pancasila
adalah sebuah istilah yang diciptakan Bung Karno dalam pidatonya di
siang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, sehingga dikenal sebagai hari lahirnya
Pancasila. Sedikit dari kita yang masih mengingat bahwa Pancasila versi
Bung Karno di BPUPKI berbeda dengan Pancasila yang kita kenal sekarang.
Pancasila yang kita kenal sekarang adalah Pancasila versi Piagam
Jakarta, dengan revisi sila pertama. Pancasila versi Bung Karno adalah
seperti ini:
1. Kebangsaan
2. Internasionalisme atau kemanusiaan
3. Mufakat atau demokrasi
4. Kesejahteraan sosial
5. Ke-Tuhanan yang Maha Esa
Bung Karno melihat bahwa yang paling
penting sebagai fondasi berbangsa adalah kita harus menjadi sebuah
bangsa yang satu. Setelah itu baru menyusul kemanusiaan, kerakyatan,
keadilan, dan ke-Tuhanan. Dulu sewaktu masih sekolah aku sempat
mempertanyakan kenapa Bung Karno menempatkan ke-Tuhanan sebagai sila
terakhir. Apakah Bung Karno menganggap Tuhan tidak penting? Bung Karno
melihat sila ke-Tuhanan sebagai sebuah penutup untuk melengkapi. Beliau
menyadari bahwa agama-agama yang berbeda di Indonesia juga bisa membawa
benih perpecahan. Sebagai penutup, sila ke-Tuhanan versi Bung Karno
berarti toleransi beragama, janganlah keempat sila sebelumnya
tercerai-berai hanya karena pertikaian agama. Itulah versi Bung Karno.
Lain lagi dengan versi Mohammad Yamin. Beliau menempatkannya seperti ini:
1. Peri Kebangsaan
2. Peri Kemanusiaan
3. Peri Ke-Tuhanan
4. Peri Kerakyatan
5. Keadilan Sosial
Kemudian Yamin merevisinya menjadi:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Rasa persatuan Indonesia
3. Rasa kemanusiaan yang adil dan beradab
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Mohammad Yamin menempatkan Tuhan di
sila pertama. Yamin memaknai sila ke-Tuhanan berbeda dengan Bung Karno.
Baginya ke-Tuhanan bukan menjadi dasar negera melainkan pengakuan akan
ke-Tuhanan yang Maha Esa. Yamin juga melihat potensi sila ini sebagai
pemecah bangsa. Tiap-tiap agama monoteis memiliki konsepsi Tuhan yang
berbeda-beda. Belum lagi yang animis, politeis apalagi ateis. Oleh
karena itu di dalam pidatonya ia mengatakan bahwa ke-Tuhanan hanya
mengikat bagi bangsa Indonesia, tidak mengikat bagi masing-masing
pribadi. Namun tawaran ini juga memberikan masalah baru, karena kalau
sila pertama tidak mengikat, begitu pula sila berikutnya, dengan
demikian peri kemanusiaan juga tidak mengikat, begitu pula kebangsaan,
kerakyatan dan keadilan. Ini menjadi masalah besar.
Sementara itu golongan Islam umumnya
mempunyai tafsir yang lain. Kelompok ini dapat diwakili oleh pemikiran
Hatta, Natsir dan Hamka. Mereka semua berpendapat bahwa sila pertama
adalah fondasi bagi sila-sila lain. Karena jika seorang mengakui Tuhan
yang Maha Esa, ia juga otomatis menjadi seorang yang berperikemanusiaan,
kebangsaan kerakyatan, dan tentunya juga berkeadilan sosial. Sila
pertama adalah inti dari Pancasila. Golongan agama, khususnya monoteis,
setelah digantinya versi Piagam Jakarta yang berbunyi Ke-Tuhanan, dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi penganutnya, dapat menerima
versi ini.
Akhirnya adalah Pancasila dari Piagam Jakarta-lah yang kita pakai sampai saat ini, minus sila pertama:
Kebangsaan Indonesia
itu dalam suatu Hukum Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam
suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan
berdasar kepada: ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at
Islam bagi pemeluk-pemeluknya; menurut dasar kemanusiaan yang adil dan
beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta mewujudkan suatu
keadilan sosial bagi selurah rakyat Indonesia.
Penyusun Piagam Jakarta ini adalah
panitia kecil yang terdiri dari Soekarno, Hatta, Maramis, Abikusno
Tjokrosujoso, Abdulkahar Muzakkir, Agus Salim, Achmad Subardjo, Wachid
Hasjim dan Mohammmad Yamin. Kelompok ini memang didominasi oleh golongan
Islam, sehingga tidak aneh hasilnya seperti demikian. Dan bisa dipahami
bahwa Ke-Tuhanan yang Maha Esa versi Piagam Jakarta mengacu pada
ke-Tuhanan versi Islam, atau paling tidak versi agama monoteis. Agama
politeis seperti Hindu dan agama ateis seperti Buddha tidak mendapat
tempat. Begitu pula penganut animisme, dinamisme, dan banyak kepercayaan
menurut adat lainnya. Penganut paham materialis seperti komunisme juga
tidak mendapat tempat. Jumlah mereka yang diabaikan memang jauh lebih
kecil dibandingkan dengan penganut monoteisme tetapi tidak bisa
dipungkiri bahwa mereka juga berdiam di tanah Indonesia.
Di sinilah akar permasalahan
Pancasila, di sila pertama. Sila-sila yang lain relatif tidak bermasalah
dan dapat diterima semua pihak. Persoalan ini kemudian dibawa ke
Konstituante yang bertugas merumuskan sebuah undang-undang dasar yang
tetap, mengingat semua undang-undang dasar sebelumnya (UUD 45, UUD RIS,
UUD Sementara) adalah bersifat sementara. Masalah perumusan dasar negara
adalah penting sebelum penyusunan konstitusi karena diperlukan pijakan
filosofis bagi konstitusi: apakah ia berdasar agama, atau yang lain
misalnya. Pancasila yang tercantum di UUD 1945 adalah sebuah kesepakatan
sementara yang diterima dalam keadaan darurat, dimana
perbedaan-perbedaan diabaikan demi kegentingan situasi. Adalah tugas
Konstituante untuk menyelesaikan masalah ini, begitu besar masalah yang
diemban oleh Konstituante. Di lain pihak Konstituante adalah badan
paling demokratis yang pernah ada di bumi Indonesia. Ia dibentuk oleh
pemilu yang paling demokratis dalam sejarah Indonesia. Semua orang
menaruh harapan besar pada Konstituante.
Di dalam Konstituante terdapat
pertentangan yang kuat tentang tafsir Pancasila ini. Penafsiran kelima
sila lima tersebut tidak mencapai kesepakatan mengenai sila apa yang
paling mendasar. Golongan agama melihat sila yang pertama, Ke-Tuhanan
yang Maha Esa sebagai yang paling utama dan mendasari sila yang lain.
Golongan komunis, yang cukup besar waktu itu sebagai pemenang ke-4
Pemilu tentu tidak bisa menerima ini. Mereka mau mengubah sila pertama
menjadi “Kebebasan Beragama”. Secara implisit sebenarnya mereka mau
memasukkan tafsir bahwa bebas beragama juga berarti bebas tidak
beragama, yang menjadi landasan berpikir bagi paham mereka.
Ini tentu saja tidak bisa diterima oleh golongan agama, karena melihat
ini sebagai pintu masuk bagi komunis untuk mengambil alih negara ini.
Pihak nasionalis yang diwakili PNI juga memiliki pemikiran yang lain.
Mereka mengikuti pemikiran Bung Karno yang menempatkan kebangsaan
sebagai sila yang utama. Bung Karno jika dipaksa menyarikan Pancasila
menjadi satu sila, ia menamakannya Ekasila, yaitu “Gotong Royong”.
Golongan agama tentu tidak bisa menerima ini juga, karena sila utamanya
menjadi bukan sila ke-Tuhanan. Perdebatan tiga golongan ini cukup untuk
membuat sidang Konstituante panas. Sayangnya masalah ini tidak pernah
selesai. Pada saat Konstituante sedang masa reses, mereka ditelikung
dari belakang lewat persekutuan di belakang antara Soekarno lewat PNI,
tentara melalui IPKI (Ikatan Partai Pendukung Kemerdekaan Indonesia) dan
PKI memboikot Konstituante. Akhir ceritanya sudah kita ketahui semua,
Dekrit Presiden yang mengakhiri era paling demokratis dalam sejarah
Indonesia.[1]
Sebuah kesempatan emas untuk
menyelesaikan masalah bangsa yang paling besar, masalah dasar negara,
seperti yang diamanatkan UUD 1945, telah lewat, digantikan dengan masa
diktatorial Soekarno. Sejak itu pintu perdebatan dasar negara ditutup,
digantikan oleh ideologi Nasakom yang diajukan Soekarno. Hal yang sama
pun dilakukan oleh Soeharto dengan ideologi Pancasila (versi Orde Baru)
dengan P4 dan 36 butir pengamalan Pancasila. Pancasila yang belum
selesai ini pun menjadi alat penguasa, bukan lagi menjadi dasar negara.
Pancasila yang belum selesai ini
menyimpan masalah yang sewaktu-waktu bisa terbuka kembali. Seperti kata
Sutan Takdir Alisyahbana dalam pertemuan Perhimpunan Pendidikan
Indonesia di Bandung tanggal 27 Desember 1950, Pancasila hanyalah
kumpulan faham-faham yang berbeda-beda untuk menenteramkan semua
golongan pada rapat. Dengan demikian golongan agama dalam ditenteramkan
dengan sila pertama. Mereka yang humanis dapat dipuaskan dengan sila
kedua. Yang nasionalis dengan sila ketiga, yang demokrat dengan sila
keempat dan sosialis dengan sila kelima. Mengenai apakah semuanya bisa
berkesinambungan menjadi satu ideologi negara adalah persoalan lain,
karena masing-masing golongan mempunyai tafsirnya masing-masing terhadap
Pancasila.
Pater Djajaatmadja dalam ceramahnya
“Mencari Bidang Pertemuan sebagai Budaya Indonesia” di Balai Budaya
Jakarta November 1956 juga berpendapat kurang lebih sama. Menurutnya,
suatu sifat yang baik dari bangsa Indonesia adalah pandai mengelakkan
kesulitan, bahkan terlalu pandai. Bangsa Indonesia pandai mencari jalan
tengah. Salah satu bukti keahliannya adalah Pancasila. Pancasila adalah
sebuah jalan tengah, untuk mengelakkan pertikaian. Karena itu menurut
Pater Djajaatmadja baik kiranya jika Pancasila dipertimbangkan sebagai
bidang pertemuan Kebudayaan Nasional.
Kita memang tidak bisa memutar
kembali jarum sejarah. Masa demokrasi terpimpin apalagi masa Orde Baru
dengan sukses membuat tidak saja bangsa ini a-historis tapi juga
a-ideologis. Lihat saja partai-partai yang berlaga di era reformasi ini,
tidak ada yang mengusung ideologi partai yang jelas, apalagi kalau
melihat sepak terjang mereka di parlemen. Persekutuan mereka bukanlah
persekutuan kebangsaan dan persekutuan ideologis melainkan persekutuan
kepentingan, itu pun kepentingan jangka pendek. Hanya segelintir partai
saja yang menunjukkan garis politik yang jelas, entah itu agamis, kanan
atau kiri. Sisanya cuma melihat angin politik, mana yang bertiup lebih
kencang.
Bangsa ini dengan ideologi yang tidak
jelas juga terlihat banci. Ideologi kita tidak jelas, kiri atau kanan.
Di dalam teks book Pancasila, atau PMP atau PPKn, disebutkan bahwa
ideologi kita tidak komunis dan juga tidak liberal. Hal ini sulit
diterima oleh akal khususnya bagi mereka yang terdidik, karena tidak
kiri atau tidak kanan sama saja dengan tidak berideologi, alias
berfondasi di atas pasir longgar. Dan ini di era Orde Baru malah membuat
bangsa ini mengambil semua keburukan liberal barat (swastanisasi dan
liberalisasi perdagangan) dan semua keburukan komunisme (represi dan
sensor informasi). Kebancian ideologi seperti inilah yang membuat bangsa
ini bisa terombang-ambing, tergantung pihak mana yang memainkannya.
Mempersoalkan kembali Pancasila
memang ibarat membuka kotak pandora. Kita tidak akan pernah tahu apa
yang akan terjadi. Di lain pihak sulit untuk melihat bangsa ini maju ke
depan tanpa menyelesaikan masalah ideologi bangsa. Nampaknya bangsa ini
memang terjepit seperti memakan buah simalakama. Hal seperti ini memang
sering terjadi di dalam sejarah. Bangsa Amerika saja harus mengalami
perang sipil yang memakan korban sangat banyak untuk menyelesaikan
masalah ideologinya. Mudah-mudahan bangsa ini bisa belajar dari sejarah
bangsa lain sehingga kita bisa menyelesaikan masalah ideologi bangsa ini
dengan gontok-gontokan di alam pemikiran saja, tidak di level fisik.
Meskipun kalau melihat perkembangan belakangan ini sulit diharapkan
bangsa ini bisa menyelesaikan masalah sepeka ini tanpa gontok-gontokan
fisik. Mungkin memang tepat para bapak bangsa kita dulu sebelum merdeka
yang lebih menitikberatkan pada bidang pendidikan, untuk membuat
anak-anak bangsa ini melek. Tanpa itu kita hanya menjadi bulan-bulanan
sejarah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar