Powered By Blogger

Selasa, 03 April 2012

Pendekatan Kritik Sastra Terhadap Alquran

Pendekatan Kritik Sastra Terhadap Alquran

Oleh Muhtar Sadili
Penitikberatan aspek-aspek sosial yang masuk dalam rumpun humaniora tadi, akan membantu secara metodologis agar kita sampai pada makna yang kehendaki teks. Hal ini tidak berarti teks Alquran akan kehilangan sakralitasnya lantaran didekati ilmu-ilmu kemanusiaan. Sebaliknya, ilmu tersebut merupakan alat bantu efektif yang dapat menghidupkan semangat teks keagamaan dalam konstalasi realitas sosial yang menjadi konsideran nilai filosofis wahyu.
Memposisikan Alquran sebagai sebuah kitab sastra telah melahirkan metode tafsir sastrawi atas Alquran. Model tafsir ini dilandaskan pada gaya bertutur yang komunikatif karena banyaknya simbol yang sarat makna pada ayat-ayat Alquran. Semua itu diandaikan dapat mengantarkan penafsir pada makna yang terdalam dari teks Alquran. Inilah respons akademik atas usaha untuk memuliakan teks Alquran, selain untuk menyingkap kedok sebuah produk tafsir sebagai alat seorang penafsir untuk melanggengkan kepentingannya sendiri.

Tonggak Pembaharuan Tafsir
Amin al-Khûlî (1895-1966), adalah intelektual Mesir yang telah merintis perlunya penerapan metode kritik sastra atas teks-teks Alquran. Mulanya ia mengkaji bahasa dan sastra Arab sebagai upaya untuk membongkar kebuntuan persepsi tentang kesakralan Alquran. Kedua bukunya, Fil Adabil Mashrî (1943) dan Fannul Qawl (1947) adalah dua karya penting dalam menapaki pendekatan sastrawi atas Alquran. Al-Khûlî mengawalinya dengan mendekonstruksi wacana sastra Arab. Belakangan, kita mengenal usaha itu dikembangkan lebih lanjut oleh Muhammad Ahmad Khalafallah, Aisyah Abdurrahman atau Bintus Shâti (w. 1998), M. Syukri Ayyad (w. 2000) dan terakhir, Nasr Hamid Abu Zayd.
Dekontruksi itu dilakukan melalui dua cara. Pertama, kritik ekstrinsik (an-naqdul khâriji) yang diarahkan pada ”kritik sumber”. Ini mirip kajian yang holistik tentang faktor-faktor eksternal munculnya sebuah karya, baik aspek sosial-geografis, religio-kultural, maupun politisnya. Juga kajian terhadap sejarah karya dengan berbagai atribut periodisasi, sehingga mampu menemukan hubungan antara karya, latar belakang kemunculannya, dan semangat intelektual yang dikandungnya.
Kedua, kritik intrinsik (an-naqdul dâkhilî), yang diarahkan pada teks sastra itu sendiri. Dengan analisis linguistik yang hati-hati, kita diharapkan mampu menangkap makna yang dikandung sebuah teks. Ini menyerupai aliran egosentrik yang melihat sebuah karya sastra dari karya itu sendiri. Dalam konteks ini, kita menemukan Alquran telah menantang manusia untuk membuat sesuatu yang menyetarainya, sebagai cara Alquran memandang dirinya sendiri (QS. 17 : 88).
Al-Khuli sangat serius menggeluti tafsir Alquran lewat kritik sastra. Usahanya berlanjut dalam studi-studi ilmu Alquran. Ulasannya dalam buku Tafsîr Ma’âlim Hayâtihi: Manhajul Yawma (Darul Ma’rifah, 1962), telah menilik kecendrungan-kecendrungan eksternal yang melatarbelakangi para mufassir Alquran dalam melahirkan karya tafsirnya. Yang diulas misalnya, latar belakang intelektual, sosial, politik, dan idiologi seorang penafsir.
Karena itu, ia sangat antusias mengenalkan tafsir sastrawi terhadap Alquran (at-Tafsîr al-Adabî lil Qurân). Model ini diharapkan dapat menyuguhkan pesan-pesan Alquran secara lebih menyeluruh dan bisa menghindarkan diri dari tarikan-tarikan individual-ideologis yang pragmatis dari seorang penafsir.
Al-Khuli, karena itu, mengkritik tafsir saintifik yang memaksa teks-teks keagamaan agar senantiasa selaras dengan hal-hal yang temporer dan relatif. Tafsir saintifik, baginya tidak memperhatikan ”konteks dan teks” serta ”relasi antar teks” secara serius. Padahal, dua hal ini merupakan konsideran penting bagi seorang mufassir ketika ingin mengetahui makna yang dikehendaki oleh sebuah teks. Jika keduanya diabaikan, seorang penafsir sebetulnya menempatkan Alquran bukan sebagai teks keagamaan yang suci dan absolut.
Selain itu, jebakan tafsir saintifik telah menyebabkan suburnya sikap apologetis dari para mufassir karena selalu berusaha mengampanyekan kesesuaian antara teks keagamaan dengan penemuan-penemuan ilmiah yang niscaya berkembang dan berubah. Mereka tergoda untuk menegaskan bahwa Alquran telah memuat informasi-informasi keilmuan seperti yang dikemukakan ilmuwan mutakhir. Padahal, cara ini mengabaikan pertimbangan-pertimbangan konteks ayat serta relasinya dengan ayat-ayat yang lain. Pada gilirannya, cara ini juga mereduksi pemahaman teks Alquran sebagai Weltanschauung kehidupan Muslim.

Metodologi Tafsir Sastra
Untuk melapangkan tafsir sastrawi atas Alquran, Alquran pertama-tama diandaikan sebagai teks sastra Arab yang paling agung (al-kitâbun al-`arabiyyul akbar). Secara historis, Alquran memang diturunkan dengan kemasan bahasa Arab, sebagai ”kode” yang digunakan Tuhan untuk menyampaikan risalah-risalah-Nya. Di sini, usaha menafsirkan Alquran didefinisikan sebagai proyek kajian sastra kritis dengan metode yang valid dan dapat diterima.
Karena disejajarkan dengan studi sastra umumnya, al-Khuli menyuguhkan dua prinsip metodologis. Pertama, studi terhadap apa yang mengitari teks Alquran (dirâsatu mâ hawlal qur’ân). Kedua, studi teks Alquran itu sendiri (dirâsah fîl qur’ân nafsih). Studi pertama diarahkan untuk melakukan investigasi terhadap latar belakang Alquran, sejak proses pewahyuan, perkembangan dan sirkulasinya dalam masyarakat Arab sebagai obyek wahyu, serta kodifikasi dan variasi cara bacaannya.
Inilah tema kajian yang lebih dikenal dengan Ulûmul Qur’ân. Kajian ini juga difokuskan pada aspek sosial-historis Alquran, termasuk situasi mental, kultural, dan geografis masyarakat Arab abad ke-7, saat Alquran diturunkan. Kajian ini menitikberatkan pentingnya aspek-aspek historis, kultural, dan antropologis wahyu, dan kondisi masyarakat Arab abad ke-7 sebagai objek langsung teks wahyu itu.
Penitikberatan aspek-aspek sosial yang masuk dalam rumpun humaniora tadi, akan membantu secara metodologis agar kita sampai pada makna yang kehendaki teks. Hal ini tidak berarti teks Alquran akan kehilangan sakralitasnya lantaran didekati ilmu-ilmu kemanusiaan. Sebaliknya, ilmu tersebut merupakan alat bantu efektif yang dapat menghidupkan semangat teks keagamaan dalam konstalasi realitas sosial yang menjadi konsideran nilai filosofis wahyu.
Selanjutnya, studi teks Alquran itu sendiri. Caranya dimulai dengan penafsiran makna kata-kata tunggal (mufradât) yang digunakan saat ia diwahyukan, perkembangan, dan cara pemakaiannya di dalam Alquran. Cara ini dilanjutkan dengan pengamatan terhadap kata-kata jamak (murakkab) plus analisis tentang pengetahuan gramatikal Arab (al-balâghah). 
Dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran, al-Khuli juga menggunakan metode tafsir tematik (tafsîr maudhû’i). Ini dikarenakan urutan ayat dan surat-surat pada Alquran tidak disusun berdasarkan kronologinya, dan karena itu, suatu informasi yang dimuatnya bertebaran tidak hanya pada satu surat saja. Dalam studi Alquran kontemporer, al-Khuli telah menyumbangkan tawaran-tawaran metodologi yang lebih sistematis dibanding banyaknya tafsir tematik kontemporer lainnya. Dasar-dasar tafsir Al-Khuli kini telah banyak digunakan untuk menarik ”makna terdalam” dari ayat-ayat Alquran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar