Pendidikan atau Pelatihan
Pertanyaan
di atas mungkin terdengar sedikit naif, tidak penting atau malah
konyol? Persoalan yang sesederhana itu saja dipertanyakan. Ya jelas
beda, pendidikan itu dilakukan di sekolah, namanya juga mendidik. Kalau
pelatihan itu diberikan di kursus-kursus, lembaga pelatihan, diklat dan
lain-lain. Sekilas jawaban di atas, cukuplah memuaskan. Sekarang saya
akan ajukan pertanyaan lanjutannya: sekolah yang ada saat ini itu
mendidik atau melatih? Wah, itu bahkan sebuah pertanyaan yang lebih
konyol lagi. Ya mendidik dan juga melatih. Mendidik dengan pelajaran-pelajaran
moral dan melatih dengan keahlian-keahlian yang akan dapat dipakai
nantinya di dalam dunia kerja. Itulah kelebihan sekolah dibandingkan
dengan lembaga-lembaga pelatihan atau kursus. OK, jawabannya saya
terima. Pertanyaan berikutnya: apa sih yang diharapkan dari sebuah
pendidikan? Nah kalau ini pertanyaannya lumayan. Jawabannya supaya
terdengar sedikit elit akan saya ambil dari undang-undang. Menciptakan
manusia Indonesia yang beriman, bertakwa dan berilmu. OK, pertanyaan
berikutnya: apakah kita sudah beriman, bertakwa dan berilmu? Wah kalau
itu sih belum sepenuhnya. Pendidikan kita masih morat-marit soalnya.
Jadi bagaimana kita membenahi semua ini? Ya kita mulai dari sekolah,
anggaran pendidikan dinaikkan, kesejahteraan guru dinaikkan, dsb, dsb.
Sekarang
marilah kita kritisi jawaban atas pertanyaan di atas. Pater Drost S.J.
pernah membahas persoalan di atas dalam artikelnya beberapa tahun yang
lalu dengan judul yang mirip: “Sekolah: Mengajar atau Mendidik?”
Menurut beliau jawaban bahwa sekolah melakukan kedua-duanya bukanlah
sebuah jawaban karena melarikan diri dari esensi persoalan
sesungguhnya. Saya sepenuhnya setuju. Dan dalam tulisan ini saya akan
memberikan sebuah tekanan di sisi lain.
Saya akan mulai dengan sebuah tesis bahwa
sekolah sekarang tidak mendidik, hanya melatih. Wah apa Anda tidak
keliru dengan tesis seperti itu? Ya, sekolah sekarang telah menyimpang
dari tujuannya yang mulia yaitu mendidik. Untuk itu lebih baik saya
jabarkan dulu apakah pendidikan dalam pengertian saya. Pendidikan dalam
arti luas adalah budaya, cara manusia untuk mempertahankan
eksistensinya di muka bumi ini. Ia adalah sebuah proses untuk
menurunkan pengetahuan yang diperoleh dari generasi sebelumnya kepada
generasi yang baru. Pengetahuan itu bisa bermacam-macam: teknologi
untuk mempermudah hidup, sejumlah norma untuk menjaga keutuhan ikatan
sosial, etika untuk mencapai kebaikan bersama. Produk budaya inilah
yang membuat manusia mampu bertahan sebagai sebuah spesies yang sukses.
Proses ini membuat sebuah akumulasi pengetahuan yang eksponensial,
setiap generasi tidak perlu lagi memulai sesuatu dari nol melainkan
memperoleh akumulasi dari pengetahuan generasi sebelumnya. Sebuah kata
kunci dalam proses ini adalah perubahan. Akumulasi pengetahuan ini
tidaklah statis, ia haruslah tanggap terhadap perubahan. Kalau tidak,
tidaklah ada gunanya. Kecepatan untuk mengatasi perubahan inilah yang
menjadikannya sebuah alat ketahanan yang luar biasa. Manusia tidak
perlu berubah secara fisiologis, karena akan membutuhkan ribuan
generasi, melainkan hanya perlu mengubah cara hidupnya, sesuatu yang
tidak dapat dilakukan oleh binatang. Dialah garansi supaya kita tidak
punah!
Sekarang
kita melihat dua dilema dalam pendidikan, di satu pihak ia haruslah
menurunkan pengetahuan dari generasi lama, alias mendukung status quo, di pihak lain ia harus peka terhadap perubahan, alias progresif. Dan dari jaman dulu yang namanya status quo dan progresif selalu bertempur, paling tidak gencatan senjata. Di mana posisi pendidikan saat ini. Saat ini status quo
berkuasa. Perubahan yang diusung oleh ilmu-ilmu murni seperti sepeda
kehabisan angin. Di mana-mana jumlah mahasiswa ilmu murni menurun,
kalah pamor dengan ilmu terapan, yang menawarkan segala kemapanan dalam
kehidupan modern. Pendidikan menjadi hanyalah menjadi sebuah pelatihan.
Ia melatih orang menjadi seorang insinyur, seorang dokter, seorang
akuntan, dll. Jargon pendidikan sekarang adalah mendidik tenaga ahli!
Bahayakah
ini? Ya, lebih dari pada yang Anda bayangkan. Kemapanan dan kenyamanan
kehidupan modern di satu pihak membuat hidup lebih mudah, tapi di pihak
lain membuat kita terlena. Saya tidak menafikan bahwa kita tidak butuh
insinyur, dokter dan semua tenaga ahli lainnya. Kita membutuhkan
mereka, sangat butuh malah, apalagi di dunia ketiga seperti Indonesia.
Tapi bukan itu saja yang kita butuhkan. Kita juga butuh pionir, pembuka
jalan peradaban:orang-orang berani berjalan di muka untuk memastikan
bahwa perjalanan umat manusia di masa depan dapat berjalan dengan
mulus. Kita memang tidak butuh banyak orang seperti itu, cukup
segelintir saja, namun niscaya. Dan yang lebih penting lagi dukungan
dari manusia yang lain untuk memberi sangu mereka dalam perjalanan
mereka merambah hutan peradaban baru. Kiranya pantas kita menyangui
mereka karena masa depan di tangan mereka. Merekalah yang membuat
rambu-rambu di depan kita. Mereka akan berseru kalau kita salah jalan
dan harus berbalik arah.
Di
manakah posisi kita saat ini? Kita kekurangan orang-orang seperti itu.
Kita bagaikan sebuah karavan yang maju tanpa arah yang jelas. Meminjam
istilah Anthony Giddens, kita bagaikan sebuah juggernaut
yang blong tanpa rem dan tinggal menunggu waktu saja jatuh lewat jalan
yang curam ke jurang. Pendidikan telah gagal. Ia lebih mengabdi pada status quo,
dengan iming-iming ketentraman dan kenikmatan, karena menjadi pionir
memang tidaklah mudah dan penuh tantangan dan penderitaan.
Lalu
apa yang harus kita lakukan? Haruskan kita bubarkan semua sekolah yang
telah ada? Saya tidak berkata demikian. Yang harus kita lakukan adalah
melakukan sebuah redifinisi atas sekolah. Sekolah harus mengakomidasi
dua kepentingan yang sepertinya berlawanan, status quo dan
progresif, dengan kata lain ideologi kanan dan kiri, konservatif dan
sosialis. Sistem pendidikan saat ini yang lebih condong ke kanan harus
dikembalikan ke tengah. Apa yang harus kita tempuh untuk mencapai hal
di atas? Yang pertama-tama harus dilakukan adalah membenahi regulasi
yang hanya memungkinkan satu sistem pendidikan yang hidup. Pendidikan
haruslah dibiarkan plural. Lho, kalau begitu bagaimana dengan
standardidasi dan kualitas kelulusan? Ingat! Kita harus keluar dari
paradigma bahwa sekolah adalah pencetak tenaga kerja, sehingga murid
dianggap sebagai produk yang harus distempel oleh bagian quality assurance
apakah ia layak pakai atau tidak. Pendidikan yang mengakomodasi banyak
sistem akan memberikan ruang untuk terjadinya dialektika antar beberapa
mahzab pendidikan. Yang menginginkan pendekatan agama silahkanlah
mendirikan madrasah dengan kurikulum yang mereka inginkan. Yang
menganut sistem liberal arts juga silahkan. Yang anarkis
seperti Illich juga silahkan. Biarlah dunia pendidikan ramai oleh
sebuah diskusi besar, dan semuanya diharapkan dapat saling mengisi
kekurangan masing-masing. Saya percaya masing-masing sistem memiliki
kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
Kalau
begitu bagaimana dengan pelatihan tenaga ahli? Pelatihan tenaga ahli
dibedakan dengan pendidikan secara umum. Oleh sebab itu haruslah ada
pembedaan yang jelas atas sekolah umum dan sekolah kujuruan. Saya
mengusulkan bahwa pendidikan umum yang wajib dijalani setiap anak didik
cukup sampai 9 tahun, dan pendidikan kejuruan tidak boleh diadakan pada
level tersebut. Ini bukan berarti meregulasi bahwa orang tidak boleh
belajar keahlian pada usia dini. Mereka tetap bisa belajar di luar
sekolah kejuruan. Sekolah kejuruan yang dimaksud di sini adalah sekolah
yang dikhususkan untuk mencetak tenaga ahli, alias tenaga profesional.
Dengan memberikan pendidikan keahlian terlalu awal akan mengambil hak
anak untuk mendapatkan pendidikan umum yang memberikan makanan bagi
jiwanya.
Di tahap pendidikan harus ada garis batas yang jelas antara mencetak pemikir (scientists) dan tenaga ahli (professionals).
Keduanya adalah jalur yang sungguh berbeda. Setiap bidang keilmuan
sebenarnya selalu memiliki dua sisi ini, ilmu murni dan terapan.
Kiranya kita perlu membedakan kedua sistem ini, contoh untuk ilmu
kedokteran, perlu dibedakan institusi yang mencetak dokter sebagai
profesi dan dokter sebagai seorang ilmuwan. Kedua memakai pendekatan
yang sama sekali berbeda. Yang satunya memakai metode sedangkan yang
satunya juga mencari metode baru. Begitu pula dengan ilmu hukum dan
akuntansi. Dengan menyatukan mereka dalam sebuah institusi yaitu
universitas justru banyak menghilangkan fungsi yang satunya yaitu
fungsi keilmuan sehingga menjadi lebih condong pada fungsi keahlian.
Untuk itulah perlu pembedaan yang jelas antara universitas sebagai
pusat keilmuan, dan politeknik sebagai pusat keahlian.
Lalu
bagaimana dengan sertifikasi. Saya tidak bilang bahwa sertifikasi tidak
perlu, tapi ia bukanlah tanggung jawab pendidikan. Sertifikasi biarlah
diatur oleh lembaga profesi yang bersangkutan. Lembaga profesi sekarang
terlalu banyak terlibat dalam pendidikan sehingga ia membentuk sistem
pendidikan seperti yang mereka inginkan. Outcome (bukan output)
dari pendidikan adalah kesadaran yang tidak bisa diukur dengan angka,
sehingga naif sekali kalau seorang anak dikatakan lulus hanya dengan
berdasarkan angka ujiannya. Setiap guru pasti tahu bahwa anak didiknya
hanya hafal ketika ujian dan sesudah itu seluruhnya akan menguap dari
kepalanya. Sedangkan keahlian atau kompetensi adalah sesuatu yang
terukur sehingga bisa diuji. Setiap orang harus mendapat kesempatan
yang sama untuk belajar suatu keahlian: ilmu yang bisa diperoleh secara
bebas dengan biaya yang terjangkau, buku yang tersedia luas, dan biaya
sertifikasi yang murah, hanya sebagai ongkos administrasi. Sertifikasi
tidak boleh menjadi sebuah pembatas yang sengaja diciptakan untuk
membuat orang tidak bisa memasuki suatu bidang profesi, hanya kaena
biaya sertifikasi yang terlalu mahal.
Yang
kedua adalah kesadaran bahwa kita membutuhkan rasio yang lebih masuk
dari universitas dan politeknik sebuah puncak dari pendidikan dan
pelatihan. Jumlah pemikir pasti jauh lebih sedikit dari tenaga ahli.
Universitas cukup menampung sepuluh persen, dan sisanya politeknik.
Jumlah universitas sekarang terlalu banyak sehingga menimbulkan apa
yang saya istilahkan dengan inflasi keilmuan. Hal ini juga terjadi
karena masyarakat kita terlalu memuja status (yaitu gelar sarjana),
yang membuat permintaan pasar akan gelar sarjana, bukan keilmuan,
meningkat dan didirikanlah universitas di mana-mana. Langkah yang
ditempuh sekarang yaitu akreditasi tidaklah tepat karena pemeringkatan
hanyalah dapat dilakukan jika kita masih memakai paradigma lama. Yang
harus dilakukan adalah melakukan pengurangan drastis jumlah universitas
dan mengkonversinya menjadi politeknik. Satu atau dua universitas di
setiap propinsi sudah lebih dari cukup. Lagi pula kemampuan intelektual
anak yang diharapkan dapat menjadi seorang pemikir memang kurang dari
sepuluh persen. Yang lainnya jangan dipaksakan.
Yang
lebih sulit mungkin mengubah pandangan masyarakat bahwa anak-anak
mereka harus menjadi seorang sarjana. Sarjana bukanlah sebuah status
melainkan sebuah tanggung jawab. Ia lebih menjadi sebuah beban
ketimbang sebuah kebanggaan. Seorang sarjana adalah seorang yang
mengabdikan seluruh hidupnya untuk kemajuan peradaban manusia. Berpikir
ialah tugasnya. Meskipun ia tidak memberikan kontribusi langsung,
masyarakat harus menanggung hidup mereka, karena kelangsungan peradaban
tergantung dari mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar