Perubahan Kita, Borjuasi
Awal
perkembangan keilmuan filsafat yang salah satunya diawali dengan
pernyataan Filosof Rasionalis Rene Descartes “Berfikir maka aku ada” (Cogito Ergo Sum),
merupakan sebuah pernyataan yang menegaskan betapa eksistensi manusia
ditaqdirkan untuk berfikir dan melakukan perubahan. Dengan berfikir
manusia akan menemukan hakekat kemanusiaannya, hakekat kehidupannya,
hakekat fungsional sosial serta meyakini kewajiban-kewajiban terhadap
lingkungan sekitarnya. Keberadaan pemikiran sebagai lambang aktifitas,
hidup, dan bergerak senada dengan makna dari kehidupan itu sendiri yang
secara terus menerus berubah bersesuaian dengan semangat zamannya.
Perubahan dalam konteks kehidupan manusia sudah menjadi keniscayaan dan
kepastian. Keberadaannya tidak dapat disangkal sama sekali, tinggal
kemudian dibaca ulang terkait akselerasi perubahan-perubahan yang
terjadi, apakah berjalan lamban, berlangsung sangat cepat ataukah
terpuruk akibat sistem yang dibangun dalam kehidupan masyarakat.
Banyak
kejadian sejarah yang dapat diambil hikmahnya memaknai perubahan itu
sendiri. Misalkan, ketika zaman pra sejarah kita akan melihat betapa
perubahan itu sangatlah berjalan lamban karena masyarakat belum bisa
membaca ataupun menulis- mereka berpetualang dalam belantara rimba dan
mencari makan dengan fungsionalisasi alat-alat seadanya seperti batu,
kayu dan lain sebagainya. Era Yunani Kuno bisa dikatakan awal bagaimana
masyarakat sudah berfikir untuk menata hidup sosialnya dan sudah
mempercayai pentingnya sebuah kepemimpinan yang lebih modern- di
Yunanilah teori demokrasi langsung telah dipraktekkan. Dunia Islam juga
mengalami perubahan dalam tata sistemnya kira-kira abad ke-16 setelah
berlangsungnya era pencerahan eropa dengan munculnya konsepsi nation state, dimana
dunia Islam secara tidak sadar harus berbenah dan menyesuaikan dengan
perubahan semangat zamannya. Termasuk Indonesia, tidak dapat disangkal
dengan masyarakatnya yang komunal dan berkearifan lokal juga harus
berubah menjadi bangsa kapital dan bermadzhab eropean dalam segala aspek utamanya dalam bangunan publik setelah sekian lama dijajah para kolonial sekitar tiga abad.
Perubahan
telah menjadi bagian integral dari kehidupan manusia- apalagi
keberadaan mereka tidak bisa dilepaskan sama sekali dari interaksi
sosial (homo societies). Kerangka sosial inilah yang menjadi
basis filosofis terjadinya perubahan-perubahan itu sendiri, dimana
setiap manusia bisa berdialog, sharing, ataupun minimal ngobrol ngarul kidul-
sadar atau tidak proses itulah yang sangat mempengaruhi dan menyebabkan
perubahan-perubahan kehidupan manusia baik dari cara berfikir, cara
berbicara atau life style-nya ataupun bentuk lainnya yang berkorelasi dengan kedirian manusia.
Prosesi
perubahan dapat dipastikan akan tetap berlangsung. Apalagi di era
modern kekinian yang menjadikan dunia seperti halnya desa dunia yang
tidak lagi ‘dibatasi’ oleh kewilayahan, teritorial, atau yang biasa
kita katakan sebagai ruang dan waktu. Hubungan dunia kini menghilangkan
batas-batas itu, apapun yang terjadi di Venezuela detik ini tidak ada
alasan untuk tidak mengetahuinya karena beragam informasi dunia sudah
tersediakan dengan baik tinggal kemauan manusianya mau mengetahui atau
tidak. Perangkat yang sedemikian canggih melalui koran, televisi,
internet atau banyak media lainnya yang cukup segar menyediakan beragam
berita dan informasi.
Tata
dunia yang sudah menghilangkan jarak, ruang dan waktu memastikan
terjadinya percepatan terjadinya perubahan-perubahan dibelahan dunia.
Contoh kecilnya, betapa revolusi yang dimulai januari 1977 dan
menggulingkan tiran syah pahlevi tahun 1979 secara tidak langsung
memepengaruhi terhadap gemeriak pemikiran gerakan mahasiswa Islam untuk
melawan tiran Seoharto di tahun yang sama. Sehingga penetrasi yang
dilakukan elit orba pada waktu itu dengan cara memenjarakan mahasiswa
untuk terus berkutat di dunia kampus. Skenario elit rezim orde baru
pada waktu dengan mengeluarkan kebijakan NKK/BKK tahun 1978 serta
menjadikan pihak kampus sebagai bagian yang integral dari depertemen
pendidikan pemerintah. Disinilah penetrasi gerakan mahasiswa sangat
sistemik dilakukan pemerintah karena mahasiswa kemudian semakin merosot
secara kwalitatif untuk beraktifitas di jalanan karena dipaksa untuk study oriented.
Dan masih banyak percontohan kasuistik lainnya yang menandaskan satu
relasi yang cukup dekat dan saling mempengaruhi terhadap tata dunia
satu dengan lainnya.
Menanya
ulang problem mendasar dari konstelasi perubahan, sebenarnya sejauhmana
konteks perubahan yang terjadi memberikan satu dampak yang lebih baik
terhadap kehidupan masyarakat baik secara ekonomi, politik, sosial,
keamanan, kemerdekaan serta lainnya yang mempengaruhi langsung ataupun
tidak langsung terhadap masyarakat. Namun pengamatan penulis,
konstelasi perubahan-perubahan kekinian cenderungnya lebih tepat
dimaknai sebagai penjajahan, kolonialisasi dan imprealisasi karena
perubahan yang dibangun tidak mendasarkan semangat pemerdekaan dan
menghormati kearifan-kearifan yang berlangsung dalam satu komunitas
masyarakat. Cenderungnya perubahan sekedar di konstruksikan atas satu
perspektif “obyek” dari “truth claim” para pihak yang melakukan
perubahan. Disinilah kritik besar dari paradigma perubahan itu sendiri
yang seringnya kita katakan sebagai sesuatu yang ironis, picik,
dehumanistik dan terus beroperasi membunuh terhadap kulturasi sosial.
Perubahan Artifisial
Jargon-jargon
perubahan sangatlah sering kita dengarkan baik dari pidato Josh Wolker
Bush, perlawanan Hugo Chaves, petuah Susilo Bambang Yudoyono sampai
pada nyanyian semacam pengemis yang juga mendambakan perubahan nasib.
Perubahan itupun kerapkali terekspresikan lewat lagunya Iwan Fals,
Ebiet G. Ade, Slank ataupun lainnya yang menyuarakan perubahan dari
berbagai media. Bahkan bayi kecil yang baru lahir juga mempunyai impian
untuk berubah dari yang mulanya sekedar kedap-kedip menjadi bayi yang
bebas kemudian bisa berjalan, berbicara dan seterusnya. Perubahan
menjadi detak jantung kemanusiaan untuk lebih baik dan mapan.
Namun
sesungguhnya memaknai perubahan tidak cukup dengan memakai simbolik,
jargon ataupun kata-kata bernarasi puitis melainkan perubahan yang
semestinya dibangun atas satu kekuatan filosofis sehingga perubahan
menjadi lebih membumi, obyektif, memerdekakan dan memanusiakan manusia.
Tradisi perubahan kekinian dibangun atas muara yang sangat artifisial,
dangkal, material dan politik. Perubahan seperti ini memang berkembang
sudah sekian lama khususnya semenjak renaisance eropa yang nota bene
dibangun atas fondasi sistem yang sekular. Maka semenjak bangsa eropa
melakukan pelayaran untuk mendapatkan rempah-rempah yang dikomandoi
oleh Napoleon Bonaparte ke belahan dunia secara tidak langsung
pelayaran mereka mempunyai misi harta, kekuasaan juga tentunya membawa
misi suci agama mereka yang nota bene sudah tervirusi oleh nilai sekularisme.
Apalagi
membincangkan perubahan era globalisasi kekinian. Dimana secara sadar
dibentuk atas akumulasi satu kekuatan keilmuan, sains dan teknologi
eropa yang kapitalistik sekularistik. Sehingga kemudian berdampak
secara langsung terhadap tata nilai sosial masyarakat yang merupakan
obyek dan konsumerator dari perkembangan sains dan teknologi yang
bergerak sangat cepat. Masyarakat secara sadar dibentuk menjadi robot
penikmat, terhalusinasi dan berfikir instan dalam menyelesaikan setiap
problem sosial. Walaupun demikian, penulis tidak mau bernostalgia
dengan romantisme sistem klasik sehingga kemudian melahirkan sikap eksklusifisme.
Perkembangan sains dan tekhnologi sangatlah dirasakan manfaatnnya bagi
kehidupan sosial kultural tapi tidak sedikit juga menimbulkan prilaku
kekerasan, kedzaliman bahkan kejahiliyyahan modern.
Dampak
langsung dari perubahan-perubahan kontemporer semakin menghilangnya
tradisi kearifan, tradisi penghormatan, tergerusnya nilai spiritualitas
yang termaktub dalam pesan-pesan agama, dan cenderungnya hidup dalam
ruang yang pragmatis, borjuis, dan material kekuasaan. Sebagaimana
dapat dipastikan, karena perubahan tidak dibangun atas satu muatan
filosofis dan paradigmatik menyebabkan perubahan-perubahan yang terjadi
menjadi sekedar simbolik, artifisial, dan tidak memberikan dampak yang
lebih baik dari konteks obyek yang dituntut untuk dirubah dan
diperbaiki- kecuali secara terus menerus berkelindan dalam areal
penindasan, saling menyalahkan, penghianatan, kebohongan dan tradisi
cepat lupa. Konteks perubahan kekinian melahirkan dampak apatisme, ketidakpercayaan terhadap jargon perubahan dan melabelkan setiap momentum perubahan menjadi sekedar seremonial dan konspirasi elit borjuasi.
Kondisi
yang ironis ini, menandakan terhadap kematian dan kejumudan sistem yang
menjadi bagian masyarakat dan mendorong terhadap arus perubahan itu
sendiri. Baik itu ideologi, nilai agama, pendidikan, negara dan
lainnya. Inilah titik nadir dari kehancuran peradaban kemanusiaan
dimana semuanya sudah tidak jelas arah pemihakannya pada keadilan
universal. Dan karenanya, penulis terus teringat dengan pernyataan Karl
Marx yang menyatakan bahwa agama adalah candu dan negara tidak lain
merupakan penjelmaan dari kelas elit borjuis. Dimana dalam
operasionalnya keduanya seringnya berkonspirasi dan melakukan
penindasan-penindasan terhadap sosial masyarakat. Contoh dalam konteks
ini cukuplah banyak sekali, mulai dari kasusnya Galilie Galilio yang
dihukum mati karena melawan tiran agama krisitani, sebagian ulama’
klasik yang dipenjara akibat mengembangkan pemikirannnya dan berlawanan
dengan madzhab khilafah sebagaimana era Abbasiyah dahulu, Mohammad
Abduh ketika di Mesir, pengusiran dan pengrusakan terhadap rumah-rumah
penganut Ahmadiyah di Lombok, Perda untuk “wanita malam” di Tangerang,
Perda pelarangan jilbab di Monokwari dan masih banyak lainnya.
Ironisasi
dari perubahan-perubahan kekinian yang terjebak pada arus instan,
paragmatis dan material kekuasaan semakin menambah terhadap apatisme
dan terbunuhnya harapan bangunan peradaban kedepan. Semakin memperkuat
terhadap terjadinya perang saudara, perpecahan, permusuhan, kekerasan
dan kokohnya sistem dehumanistik dalam areal sosial masyarakat.
Termasuk janji perubahan itu sendiri yang kemudian akan hanya terjebak
pada ranah simbolik, parsial, kepentingan dan kolonialistik dengan
gaya yang serupa walaupun tidak persis sama.
Mengharapkan
perubahan yang betul-betul punya identitas substantik sangatlah sulit
rasanya. Karena memaknai dari rekayasa perubahan itu sendiri tidaklah
lepas sama sekali dari sistem sosial yang ada dalam masyarakat. Secara
alamiah manusia sebenarnya sudah dibentuk dan dikonstruksikan
paradigmanya atas satu kuasa kultural dan struktural masyarakat.
Tradisi yang paling sederhana misalkan cara duduk, cara berpakaian,
cara makan, cara berbicara dan lain sebagainya- tidak lain merupakan
contoh konstruksi paradigmatik sosial, tetapi kita melupakan dan tidak
bertanya secara kritis terhadap diri sendiri ataupun kehidupan sosial
apa makna substansial dari cara duduk bersila, cara berpakaian memakai
kancing dan cara makan dengan menggunakan memakai tangan kanan dan lain
sebagainya. Semuanya berlangsung alamiah tanpa ada pertanyaan radikal
dan filosofis.
Secara
struktural, biasanya kalau pejabat itu diniscayakan memakai baju yang
masuk celana, memakai sepatu, dasi, rambut pendek dan lain sebagainya-
tetapi kita tidak bertanya apa fungsinya, berpengaruh tidak terhadap
aktifitas dan komitmen kerja, dan mempertegas tidak untuk tidak
terjadinya korupsi. Kebijakan seperti itu belumlah kita pertanyakan
secara kritis dan epistimologis. Makanya sangat apatis rasanya untuk
mengharapkan perubahan pada tingkatan kemasyarakatan kecuali sekedar
perubahan yang artifisial, dangkal dan tidak memberikan dampak yang
sangat signifikan terhadap kesejahteraan sosial. Perubahan yang paling
kecil saja kita sudah melupakannya apalagi mengobralkan perubahan yang
besar seperti mengganti rezim, masuk sistem dan mengganti elit dengan
jiwa muda yang segar dan berwawasan sosial ataupun jargon-jargon
perubahan lainnya. Tradisi dan struktural kita memang tidak dibentuk
atas satu kuasa perubahan filosofis melainkan sebenarnya direkayasa
untuk menjadi penghamba, pembenar, pelegitimasi, dan menjadi komplotan
elit borjuasi materil yang sama???. Naudzubillah Min Dalik!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar