Powered By Blogger

Senin, 02 April 2012

Pilihan antara Teokrasi dan Demokrasi, Sebuah Tantangan Islam Kontemporer

Pilihan antara Teokrasi dan Demokrasi, Sebuah Tantangan Islam Kontemporer


Bentuk pemerintahan adalah sebuah perkara politik. Ia harus dihadapi oleh semua orang yang bernegara. Di dunia modern sekarang ini, semua orang telah hidup bermasyarakat dan memilih untuk hidup dalam sebuah negara, sehingga pilihan bentuk negara adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Beberapa bentuk negara telah mengalami kemajuan dan kemunduran. Di awal manusia bermasyarakat, tirani atau despotisme adalah sebuah bentuk yang sering ditemui. Seiring berkembangnya zaman, bentuk ini beralih menjadi monarki, atau kekuasaan raja. Bentuk kerajaan ini masih ada yang bertahan sampai sekarang, walaupun banyak yang sudah tidak sama lami dengan kerajaan di zaman dulu. Seiring dengan berkembangnya pemikiran, beberapa bentuk lain yang lebih rumit pun muncul: oligarki, demokrasi, teokrasi, misalnya. Pemerintahan oleh partai politik tunggal seperti yang dilakukan oleh Partai Komunis sempat menguasai beberapa negara di belahan dunia, dan hampir menguasai sepertiga total penduduk dunia. Komunis pun menjadi lawan sepadan dunia barat yang dijuluki Dunia Pertama. Namun seiring dengan runtuhnya komunisme, barat seolah kehilangan lawan sepadan. Pada situasi seperti inilah, oleh para pendukungnya, Islam dijadikan sebagai alternatif atas hegemoni barat. Demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang dijadikan sebagai patokan oleh dunia barat, dan ini dipertentangkan dengan teokrasi yang diusung oleh dunia Islam.
Demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat. Oleh para pendukung teokrasi, demokrasi dilihat sebagai pemerintahan oleh manusia, dan karena manusia tidak sempurna, maka bentuk pemerintahan ini pun dianggap tidak sempurna. Karena yang sempurna hanya Tuhan, maka satu-satunya bentuk pemerintahan yang dianggap sempurna dan paling benar, dan juga satu-satunya pilihan mutlak adalah teokrasi, pemerintahan oleh Tuhan. Dalam bahasa yang sering dipakai di masyarakat, pemerintahan teokrasi seperti ini kerap diungkapkan dengan penerapan syariat (sharia) Islam.
Logika yang sering dipakai oleh para pendukung syariat Islam cukup sederhana. Pemerintahan demokrasi berasal dari barat, dan barat bukanlah Islam, sehingga barat adalah kafir. Segala sesuatu yang kafir tentunya berdosa, dengan demikian, mengikuti demokrasi bagi seorang Islam sejati adalah berdosa. Terlebih lagi karena Islam telah memberikan tuntunan total melalui Al Qur’an bagi seluruh sendi kehidupan, termasuk kehidupan bernegara. Oleh karena itu, layak dan wajiblah seorang muslim untuk mendukung pemerintahan yang menerapkan syariat Islam sebagai kewajiban agamanya. Pilihannya cukup jelas, yang satu berdosa, dan yang satu wajib sehingga mendatangkan surga.[1]
Di dalam tulisan ini, akan ditunjukkan bahwa pilihannya tidaklah sesederhana itu. Beberapa pemikir Islam kontemporer menunjukkan bahwa demokrasi dan teokrasi tidaklah kontradiktif seratus delapan puluh derajat. Bahkan ada beberapa persinggungan di antara keduanya.

Dualisme agama dan negara

Manakah yang harus didahulukan, kewajiban agama atau kewajiban negara. Jika agama didahulukan maka negara adalah bagian dari agama. Muhammad ‘Abid Al Jabiri adalah seorang pemikir yang memperhatikan masalah ini. Ia menunjukkan bahwa dualisme agama dan negara tidak ada di dalam sejarah Islam. Sejak awal mula negara adalah satu dengan agama. Tidak ada satupun penguasa dalam sejarah Islam yang bisa memperoleh legitimasi kekuasaan tanpa memproklamirkan dirinya sebagai pengabdi dan pendukung agama.[2] Dualisme agama dan negara ini terjadi dalam pengalaman Kristen yang dari awal mulanya memang terpisah dari negara, kemudian, bersatu, dan kemudian berpisah kembali. Oleh karena itu, permasalahan dualisme negara dan agama di dalam Islam adalah persoalan semu. Yang menjadi persoalan di dalam Islam adalah sebuah sebuah praktek kenegaraan islami atau tidak.[3]
Jika masalah ini diteruskan, akibatnya adalah kekeliruan logis dan juga historis. Pilihannya adalah menajiskan negara karena ia tidak sesuai dengan hukum-hukum Islam, atau menjauhkan Islam dari kekuasaan untuk menerapkan hukum-hukumnya di dalam negara.[4] Kedua pilihan di atas sama-sama tidak dapat diterima.
Al Jabiri juga menolak slogan-slogan yang biasa dipakai oleh mereka yang menginginkan praktek bernegara “Islami” dengan mengatakan “Islam adalah solusi.” Slogan ini adalah sesuatu yang tidak aktual dan juga tidak logis, karena bagaimana mungkin seorang menganut agama Islam tanpa melihatnya sebagai sebuah solusi. Ia adalah sebuah pernyataan tautologis yang tidak perlu diperdebatkan.[5]
Yang perlu diwaspadai adalah justru apa isi kandungan dari slogan politik di atas di mata pendukungnya. Apa kriteria sebuah sistem pemerintahan disebut islami? Jika kita sekedar mengatakan bahwa  pemerintahan yang islami itu yang sesuai dengan prinsip musyawarah, keadilan dan persaudaraan, maka semua agama dan aliran politik pun setuju dengan itu karena ia merupakan prinsip-prinsip yang universal yang berlaku sepanjang masa. Yang menjadi masalah adalah bagaimana penerapan dari prinsip-prinsip universal tersebut.[6]
Lebih lanjut Al Jabiri melihat bahwa persoalan dualisme negara dan agama adalah masalah yang diimpor dari sejarah agama Kristen, yang tidak merujuk pada sejarah Islam. Persoalan pemisahan antara agama dan negara di dalam agama Kristen dipicu oleh teologi yang mengacu pada ayat: Berikanlah kepada kaisar apa yang menjadi milik kaisar, dan berikanlah kepada Tuhan apa yang menjadi milik Tuhan. Di dalam sejarah Kristen, memang terjadi pembagian kekuasaan antara agama dan negara. Penguasa agama, yaitu para pendeta, selalu terpisah dari penguasa negara. Agama Kristen awal berkembang pada masa kekuasaan Kekaisaran Romawi, yang dan otororitas agama berada di luar kekuasaan negara. Pada mulanya malah terjadi hubungan antogonis di antara keduanya. Kemudian hubungan antogonis ini bermetamorfose menjadi hubungan agama yang mengatasi negara, setelah diakuinya agama Kristen sebagai agama resmi negara Kekaisaran Romawi oleh Kaisar Konstantinus I. Para pendeta meskipun tidak menduduki posisi resmi pemerintahan memiliki kekuasaan yang lebih dari pada pemerintah itu sendiri. Bahkan kaisar hanya bisa diresmikan atas kekuasaan kepausan Roma. Sejarah kemudian menunjukkan bahwa hubungan ini pun berubah kembali menjadi negara yang mengatasi agama setelah pengalaman perang agama berkepanjangan di Eropa yang dipicu oleh gerakan Reformasi. Kelelahan akibat perang membuat Eropa mencari solusi dengan memisahkan perkara agama dan negara, dengan landasan teologi ayat yang telah disebutkan di atas. Lahirlah sekularisme yang memisahkan perkara agama dengan perkara duniawi, dalam hal ini perkara hubungan publik antarmanusia.[7] Perkembangan Islam menunjukkan karakteristik yang berbeda.

Tinjauan historis agama dan negara dalam Islam

Untuk melihat praktek bernegara dalam pengalaman Islam, Al Jabiri mengambil contoh pada zaman kekhalifahan. Ada beberapa poin penting yang bisa ditunjukkan oleh Al Jabiri.
1. Tidak ada ketentuan mengenai suksesi dan tata cara pemilihan pemimpin. Suksesi diserahkan pada kondisi yang serba darurat di waktu itu. Abu Bakar ditunjuk sebagai khalifah pertama tanpa perencanaan dan dilakukan dengan musyawarah mendadak. Umar bin Khattab ditunjuk sebagai pengganti Abu Bakar oleh Abu Bakar sendiri setelah berkonsultasi dengan para sahabat dan memperoleh persetujuan mereka. Utsman sendiri terpilih oleh sebuah badan formatur yang terdiri dari enam orang untuk saling bermusyawarah untuk memilih di antara mereka. Dengan demikian tidak ada metode khusus untuk memilih khalifah sehingga pintu kemungkinan tetap terbuka.[8]
2. Tidak ada pembatasan masa jabatan khalifah. Masa awal kekhalifahan adalah masa perang, sehingga seorang khalifah bisa disamakan dengan posisi komandan perang. Konteksnya adalah perang melawan kaum murtad dan perang penaklukan. Khalifah berlaku sebagai amir, yang di dalam bahasa Arabnya dahulu memang berarti komandan pasukan dalam peperangan. Tidak ada satu orang pun yang tahu sampai kapan perang akan berlangsung, sehingga pembatasan masa jabatan menjadi sesuatu yang tidak masuk akal.[9]
3. Tidak ada pembatasan wewenang di dalam kekuasaan. Ini seiring dengan poin kedua. Seorang pemimpin dalam masa perang wajar diberi kekuasaan mutlak. [10]
Masalahnya terjadi di masa pemerintahan khalifah ketiga, Utsman bin Affan, karena pemerintahannya berlangsung lama, sehingga memberi tempat pada status quo dalam waktu yang lama. Sistem pemerintahan komandan perang tidak sesuai dengan status quo dan masa damai yang panjang. Sistem diktator mutlak memang tepat untuk situasi darurat di mana keputusan harus diambil cepat. Namun dalam situasi damai dan makmur, musyawarah dapat menghasilkan keputusan yang lebih baik.[11]
Peletakan kekuasaan mutlak pada satu orang, yaitu sang khalifah, menurut Al Jabiri adalah sebuah ketiadaan sistem. Suksesi ditentukan oleh khalifah terakhir di saat kematiannya. Di dalam kondisi darurat ini bisa saja diterima. Namun di dalam situasi yang lebih baik dan juga dalam jangka panjang, sistem ini bisa menimbulkan kritik luas. Akar-akar pemberontakan terhadap Utsman antara pendukungnya dengan pendukung Ali bisa dirunut dari hari-hari permusyarahan penentuan khalifah pengganti Utsman. Ini menurut Al Jabiri tidak perlu terjadi jika ada sebuah kepastian hukum akan suksesi kekuasaan.[12] Keadaan ini kemudian diperbaiki oleh dinasti Muawiyah yang kemudian mengisi ketiadaan sistem ini dengan sistem monarki. Di luar baik buruknya sistem monarki, ia memberikan sebuah kepastian hukum bagi sebuah suksesi.
Sebuah sistem perundangan yang jelas membuat hukum menjadi sesuatu yang impersonal, tidak tergantung pada figur tertentu yang mempunyai kekuasaan mutlak untuk menentukan hukum. Memang sistem perundangan yang jelas tidak menjamin sebuah kemaslahatan, namun ia memberikan sebuah kepastian hukum, sehingga tidak ada perselisihan yang tidak perlu mengenai kepastian hukum. Perselisihan bisa diselesaikan dalam konteks perundangan secara impersonal.

Demokrasi versus Teokrasi

Seperti telah dikemukakan di awal, persoalannya adalah apakah demokrasi bisa diterima oleh Islam. Bukankah demokrasi adalah pemerintahan oleh manusia, dan manusia tidaklah sempurna? Khaled Abou El Fadl menunjukkan bahwa persoalan kekuasaan politik oleh Tuhan (hakimmiyat Allah) sudah dimunculkan pada awal sejarah Islam kelompok Khawarij ketika mereka memberontak terhadap khalifah Ali. Mereka menentang Ali karena Ali setuju dengan proses arbitrase dalam menyelesaikan perselisihan politik dengan kelompok Muawiyah. Menurut mereka Ali telah menentang Al Qur’an dengan menyerahkan pembuatan keputusan di tangan manusia. Dalam sebuah anekdot dikatakan bahwa Ali setelah mendengar tuduhan kelompok Khawarij memanggil orang-orang supaya berkumpul di sekelilingnya dan mengambil sebuah mushaf Al Qur’an. Ali menyentuh mushaf tersebut dan menyuruhnya berbicara untuk menyuarakan hukum Tuhan. Tentu saja semua orang terkejut melihat apa yang dilakukan Ali. Lalu Ali menjelaskan maksudnya, bahwa Al Quran adalah kertas dan tinta. Hanya manusia yang terbatas pengetahuannya yang bisa menyuarakan apa yang tertulis di dalamnya.[13] Tentu saja manusia, dalam hal ini khalifah tidak memiliki kesempurnaan seperti yang dimiliki oleh Tuhan. Pengambilan keputusan dengan melalui pertimbangan manusia, dalam hal ini demokrasi, tentu saja tidak sempurna dan tidak bisa menjamin seratus persen terjadinya keadilan.  Tapi demokrasi bisa dijalankan dengan sungguh-sungguh untuk membentuk sebuah landasan guna menegakkan keadilan.[14]
Argumentasi akan pemerintahan mutlak oleh Tuhan, menurut Abou El Fadl adalah argumen yang berbahaya. Argumen ini mengandaikan ada beberapa orang manusia yang memiliki akses sempurna terhadap kehendak Tuhan, dan manusia dapat menjadi pelaksana sempurna dari kehendak Tuhan tanpa sedikit pun menyertakan keputusan dan kecenderungan mereka dalam proses pengambilan keputusan tersebut.[15] Dengan kata lain, memutlakkan kekuasaan Tuhan di muka bumi dalam kekuasaan politik sama saja dengan memutlakkan keputusan beberapa orang manusia yang mengaku dirinya sebagai agen Tuhan.
Dalam diskursus Al Qur’an, Tuhan memerintahkan semua ciptaan-Nya untuk menghormati manusia karena memiliki akal yang merupakan cerminan dari keagungan Ilahi. Ini adalah tanda bahwa Tuhan menghargai akal manusia dan akal memadai untuk dipakai sebagai bahan pertimbangan untuk menjalani kehidupan, termasuk di dalamnya membuat keputusan politik. Ketika manusia mencoba mendekati keadilan Tuhan dengan akalnya, ia tidak dapat dilihat sebagai melawan kedaulatan Tuhan, ia justru sedang mengagungkannya. Jika kita mengatakan bahwa teks kitab suci adalah satu-satunya sumber yang sah dan akal serta pengalaman manusia adalah tidak sempurna untuk mengetahui kehendak Allah, maka konsep tentang kedaulatan Tuhan hanya akan menjadi alat bagi otoritarianisme, yang justru merendahkan kedaulatan Tuhan.[16]
Legitimasi kekuasaan, dalam bentuk apa pun, selalu bisa dibuat argumennya, baik yang membela teokrasi maupun demokrasi. Al Jabiri memberikan argumen bahwa legitimasi kekuasaan selalu disesuaikan pada kekuasaan yang berlaku saat itu. Pada zaman khalifah misalnya, musyawarah para sahabat memberikan legitimasi kekuasaan. Di saat Dinasti Muawiyah memperkenalkan sistem monarki, ia bisa memperoleh legitimasi melalui konsep qada dan qadar. Begitu pula setelah Muawiyah dilanjutkan dengan Dinasti Abbassiyah. Dinasti yang baru ini juga memperkenalkan konsep iradat sebagai legitimasi kekuasaannya.[17]
Al Jabiri dengan ini ingin menunjukkan bahwa legitimasi adalah sebuah kondisi posterior. Ia dapat dicari belakangan setelah kekuasaan direbut. Dengan kata lain, prinsipnya ialah ”Siapa yang kuat harus dipatuhi,” atau ”Allah mendukung orang yang telah jadi.”[18] Al Jabiri sendiri menolak praktek politik seperti ini. Ia ingin menunjukkan bahwa ini bukan satu-satunya sumber yang bisa dipakai untuk menjelaskan posisi negara dan agama di dalam Islam.

Solusi Islam

Lalu apa solusi yang ditawarkan Islam sebagai bentuk pemerintahan? Khaled Abou El Fadl menunjukkan bahwa Al Qu’ran tidak secara spesifik menjelaskan bentuk pemerintahan yang Islami. Ia hanya memaparkan seperangkat nilai yang penting bagi pemerintahan. Ada tiga nilai yang memiliki signifikansi khusus: mencapai keadilan melalui kerja sama sosial dan prinsip saling membantu (Q.S. 49:13; 11:119); membangun sebuah sistem pemerintahan konsultatif yang tidak otokratis, dan melembagakan kasih sayang dalam interaksi sosial (Q.S. 6:12, 54; 21:77; 22:77; 45:20).[19]
Masykuri Abdillah juga melihat bahwa di dalam Al Qur’an tidak dapat ditemukan konsep negara, karena konsep negara adalah buah pemikiran yang muncul belakangan. Bahkan kata “dawlah Islamiyah” sendiri adalah kata baru yang muncul di abad ke-20. Istilah “dawlah” sendiri baru dipakai sejak masa Dinasti Mu’awiyah dan Abbasiyah, yang dipakai dalam arti dinasti. Meskipun demikian ia juga melihat bahwa ada prinsip-prinsip hidup berkemasyarakatan yang tertulis di dalam Al Qur’an, di antaranya: kejujuran dan tanggung jawab (al-amanah), keadilan (al-adalah), persaudaraan (al-ukhuwah), menghargai kemajemukan dan pluralisme (al-ta’adduddiyah), persamaan (al-musawah), permusyawaratan (al-syura), mendahulukan perdamaian (al-silm), dan kontrol (amr bi al-maruf nahy an al-munkar).[20]
Al Jabiri juga menunjukkan beberapa prinsip di dalam Al Qur’an, yang ia sebut sebagai etika politik: [21]
1. Musyawarah.
Al Jabiri menunjukkan bahwa ada beberapa ayat yang meskipun tidak langsung merujuk pada praktek berpolitik, Allah digambarkan suka pada orang yang bermusyawarah dalam menyelesaikan masalahnya (lihat As-Syura 36-39 dan Ali Imran 159).
2. Tanggung jawab (stewardship) dan pembagian tanggung jawab (desentralisasi).
Konsep kekuasaan di dalam Islam adalah konsep tanggung jawab pemeliharaan. Oleh karena itu seorang penguasa bukan dilihat sebagai sebuah keistimewaan pribadi melainkan sebuah amanah untuk memelihara.
3. Pemisahan urusan duniawi dan akhirat.
Ini digambarkan kisah Nabi Muhammad SAW yang melihat orang yang sedang menyerbukkan kurma. Ia bertanya kepada mereka mengapa mereka melakukan itu dan mereka pun menjawabnya. Dan nabi berkomentar dengan berkata, ”Kamu lebih mengetahui urusan duniamu.” Karena nabi tidak meninggalkan wasiat tentang siapa penggantinya setelah ia wafat, urusan ini pun, sejauh tidak ada pedomannya di dalam Qur’an dan Hadits, termasuk ke dalam perkara ”kamu yang lebih tahu urusan duniamu.”
Nurcholis Majib mengungkapkan hal yang serupa dengan bahasa yang berbeda. Menurutnya umat Islam dalam perjalanan sejarahnya telah gagal membedakan nilai-nilai yang disangkanya Islami, gagal membedakan mana yang transendental (yang abadi dan selalu benar) dan yang temporal (yang relatif terhadap konteks). Sering kali umat Islam mentransendentalkan urusan-urusan duniawi, termasuk di antaranya perkara politik.[22]
Ia bahkan lebih lanjut mengatakan bahwa kecenderungan meng-ukhrawi-kan urusan-urusan duniawi membuat manusia kehilangan kreativitas menyelesaikan urusan duniawinya. Pemutlakan transendensi semata-mata pada Tuhan, seharusnya membawa kepada konsekuensi desakralisasi pada hal-hal di luarnya, sebab sakralisasi pada hal selain Tuhan adalah syirik.[23]
Al Jabiri melihat bahwa ketiga prinsip etika di atas bisa dipakai sebagai pedoman hidup bernegara. Ia tidak memakai hukum, karena hukum hanya akan membatasi praktek pada konteks tertentu, sedangkan prinsip-prinsip di atas berlaku universal. Jabiri kemudian melihat lebih jauh bahwa upaya membangun politik Islam bukan dilakukan dengan menengok tulisan al-Mawardy misalnya yang mencoba mencari dalil-dalil untuk melegitimasi kekuasaan, melainkan membuat ketiga prinsip di atas sesuai dengan tantangan zaman.[24]
Praktek-praktek demokrasi modern dengan sistem parlemen baik dalam kerajaan maupun republik, pembatasan wewenang dan masa jabatan kepala negara kesemuanya tidak bertentangan dengan prinsip di atas, dan paling tidak praktek ini dapat menjawab tantangan di zaman ini. Oleh karena itu tidak ada alasan untuk menolak praktek-praktek tersebut sebagai tidak sesuai dengan Islam.[25]
Justifikasi kekuasaan yang dilakukan secara akad dalam bai’at dan dengan demikian memberikan kekuasaan mutlak kepada penguasa, menurut Al Jabiri, sama saja dengan pemikiran al-Mawardy yang merumuskan pemikirannya sebagai legitimasi kekuasaan yang telah ada. Pemikiran tersebut dikeluarkan untuk membenarkan pemikiran mereka sendiri yang bertolak belakang dengan teks maupun akal sehat.[26]
Dalam pengalaman politik Islam, menurut Al Jabiri, ada praktek politik yang ia namakan etika Islam (al-khuluqiyyah al-islamiyah) dalam pemerintahan, yaitu etika yang selalu mengilhami perbaikan dan perubahan. Kata etika ini sengaja dipakai untuk membedakannya dengan teks hukum, atau yang sekurang-kurangnya dianggap demikian.[27] Praktek seperti ini adalah praktek yang cair dan konstekstual. Al Qur’an tetap dipakai sebagai dasar, yang memberi penerangan. Tetapi bagaimana pun akal manusia dan permusyawaratanlah yang menentukan keputusan politik apa yang harus diambil untuk menyelesaikan masalah duniawi.


Daftar Pustaka


Abou El Fadl, Khaled. Islam dan Tantangan Demokrasi. Jakarta: Ufuk Press, 2004
Jabiri, Muhammad Abid Al-. Agama, Negara dan Penerapan Syariah. Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2001.
Hidayat, Komaruddin. Gaus AF, Ahmad. (ed) Islam, Negara dan Civil Society. Jakarta: Paramadina, 2005
Madjid, Nurcholis. Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan, 2007

[1] Bdk. Esposito, Teori dan Praktik, dalam Islam dan Tantangan Demokrasi, 2004, hal.57 [2] Al Jabiri, Agama, Negara, dan Penerapan Syariah, 2001, hal.61
[3] Ibid, hal.60
[4] Ibid, hal.61-62
[5] Ibid, hal.71
[6] Ibid, hal.72
[7] Ibid, hal.92-93
[8] Ibid, hal.70-71
[9] Ibid, hal.75
[10] Hal yang sama bisa dijumpai bahkan pada Republik Roma. Di saat perang ada di depan mata, di saat musuh ada di depan pintu gerbang Roma, maka para penduduk Roma akan memilih seorang diktator yang memang kekuasaan mutlak.
[11] Ibid, hal.76
[12] Ibid, hal.74
[13] Abou El Fadl, Islam dan Tantangan Demokrasi, 2004, hal.14-16
[14] Ibid. hal.13
[15] Ibid. hal.16-17
[16] Ibid., hal.17-18
[17] Al Jabiri, hal.82
[18] Ibid, hal.84-85
[19] Abou El Fadl, hal.12
[20] Abdillah, Negara Ideal menurut Islam dan Implementasinya pada Masa Kini, dalam Islam, Negara dan Civil Society, 2005, hal.73-75
[21] Al Jabiri, hal.85-88
[22] Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, 1987, hal.207
[23] Ibid., hal.208
[24] Al Jabiri, hal.88
[25] Ibid., hal.89
[26] Ibid., hal.89-90
[27] Ibid., hal.86,88

Tidak ada komentar:

Posting Komentar