Powered By Blogger

Selasa, 03 April 2012

Politik Islam Berada di Titik Nadir

Politik Islam Berada di Titik Nadir

Oleh Jamal Ma’mur Asmani*
Dengan pergulatan intelektual dan aksi sosial yang panjang dan melelahkan inilah, Islam akan tampil sebagai pioneer perubahan untuk mencapai keagungan Islam dan umatnya, Izzul Islam wal muslim dengan mengedepankan paradigma pemikiran dan gerakan Islam yang moderat, progresif, toleran, inklusif dan pluralis. Mereka aktif mengembangkan pendidikan, ekonomi, peradaban, intelektual, militer, informasi, teknologi dan lainnya untuk mencapai masa kejayaan sebagai sebuah bangsa yang bermartabat. Jika umat Islam negeri ini mampu mewujudkan idealisme ini, maka jargon Islam rahmatan lil alamin, sebagai penebar kasih sayang kepada seluruh penduduk alam, tidak hanya untuk umat Islam saja, bisa menjadi kenyataan, karena dengan kebangkitan Indonesia menjadi negara maju, seluruh elemen bangsa, termasuk mereka yang nonislam bisa merasakan manfaatnya. Dan dari sini Indonesia pelan namun pasti akan muncul sebagai pemimpin baru dunia Islam.
Politik Islam dipanggung internasional mengalami krisis identitas dan sedang berada di titik nadir. Demonstrasi dan pergantian rezim di Timur Tengah, mulai Tunisia, Mesir, Syiria, Libanon, dan lainnya mengindikasikan masalah serius, yaitu mahalnya demokratisasi, egalitarianisme, dan keadilan sosial. Politik Islam dicap tidak kompatibel dengan dunia modern yang meniscayakan keterbukaan, mengedepankan partisipasi publik, dan menghilangkan fanatisme dan praktek kotor korupsi, kolusi, dan nepotisme. Hal ini menjadi tantangan serius umat Islam umat berbenah, merekonstruksi bangunan politik yang egaliter, demokratis, dan akuntabel.
Nabi Muhammad SAW. mengajarkan umat Islam untuk membangun persaudaraan lintas sektoral, tidak dibatasi sekat agama, suku, ras, dan antar golongan. Umat Islam harus bisa berkomunikasi dan bekerjasama dengan umat lain dalam memajukan bangsa dan dunia. Piagam Madinah adalah contoh terbaik dimana Nabi Muhammad mampu duduk dengan para pemuka agama dan politik di Madinah untuk membangun rasa memiliki dalam membangun bangsa, dengan mengesampingkan agama.
Memang, sampai sekarang, relasi Islam dan politik masih menjadi perdebatan panjang. Masih ada yang mengikuti paham integrasi, bahwa Islam adalah agama dan negara; ada yang sekuler, bahwa Islam hanya agama, sedangkan politik adalah wilayah konsensus publik; dan ada yang sinergis, bahwa Islam adalah agama yang tidak menentukan bentuk negara, tapi selalu membawa pesan-pesan esensial bagi semua bidang, tidak terkecuali politik, yaitu pesan keadilan, kesejahteraan, kesetaraan, dan mengedepankan musyawarah.
Dalam kitab-kitab utama yang biasa dikaji umat Islam, banyak yang menekankan bentuk intagrasi, bahwa kepemimpinan politik adalah keniscayaan dalam Islam untuk menegakkan misi Islam yang suci. Abu Hafsin, Ph.D, dan Ulil Abshar Abdalla, MA, mengutip statement Imam Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumiddin Juz 1, h. 37 : Kerajaan dan agama adalah dua entitas, agama adalah pondasi dan raja adalah penjaganya, sesuatu yang tidak ada pondasi akan roboh dan sesuatu yang tidak ada penjaganya akan terbengkalai, dan kerajaan tidak sempurna tanpa ada raja.
Statement Imam Ghazali di atas mengukuhkan peran agama dan negara yang terintegrasi dalam satu sistem. Negara berperan menerjemahkan ajaran-ajaran agama dalam wilayah publik. Ini berbeda dengan pandangan golongan sekuralisme yang memisahkan agama dengan negara atau sinergi yang saling mengisi tapi tidak menyatu dalam satu sistem. Abu Hafsin dan Ulil Abshar tidak mendukung integrasi, keduanya menekankan ilmu dan moral dalam wilayah politik sehingga tujuan politik untuk kemaslahatan rakyat bisa terealisir dengan baik.
Konteks Indonesia
Lepas dari perdebatan tiga relasi negara dan agama di atas, dalam konteks Indonesia yang plural dan heteregon, pilihan terbaik adalah sinergi dan inilah yang diputuskan Nahdlatul Ulama pada Muktamar ke 27 tahun 1982 di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur asuhan KH. As’ad Syamsul Arifin yang menerima Pancasila sebagai asas organisasi dengan konseptornya KH. Ahmad Shiddiq dan KH. Abdurrahman Wahid yang akhirnya terpilih sebagai Rais Am Syuriyah dan Ketua Umum Tanfidziyah PBNU.
Dalam sinergi, yang ditekankan adalah nilai-nilai esensial Islam bisa menjiwai moralitas penyelenggara negara menuju clean and good governance. Nilai-nilai esensial Islam yang dimaksud adalah keadilan, kesejahteraan, kesetaraan, demokrasi, moralitas luhur. Menurut KH. Abdurrahman Wahid, nilai fundamental Islam berkisar pada demokrasi (syura), kesetaraan (musawah), dan keadilan (musawah).  Tiga prinsip inilah yang akan menjadi spirit negara dalam menjalankan roda pemerintahannya.
Dalam sinergi tidak ada upaya formalisasi hukum Islam dan obsesi mendirikan Khilafah Islamiyah. Karena keduanya bisa mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang terdiri dari banyak suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Motto Pancasila Binneka Tunggal Ika, unity in diversity, menjadi harga paten seluruh elemen bangsa Indonesia sejak kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan harus dipertahankan sepanjang masa.  Dalam Munas Lampung 1992 diputuskan salah satunya adalah menjadikan hukum Islam sebagai etika sosial, bukan hukum positif negara. Jadi nilai-nilai Islam terkulturalisasi secara alami tanpa intervensi negara. Walaupun dalam konteks tertentu ada formalisasi yang menjadi kebutuhan utama umat Islam, misalnya dalam konteks pernikahan, perwakafan, dan zakat. Tentu saja dalam hal ini yang dipakai adalah hukum Islam yang berpijak pada realitas sosial aktual, sehingga formulasinya tidak hanya dari mazhab Syafi’i, tapi dari berbagai mazhab yang menuju ke arah realisasi kemaslahatan publik secara luas.
Pemikiran solutif datang dari Muhammad An-Naim, pemikir reformis terkenal dari Sudan yang lebih memilih berdomisili di Amerika Serikat. Menurutnya, justru Islam lebih hidup di negara sekuler, artinya, negara yang memberikan kebebasan kepada warganya untuk mengapresiasi praktek Islam apapun madzhabnya, tanpa mengaturnya dalam satu aliran tertentu. Jadi, dalam negara sekuler, Islam bisa berkembang dengan baik. Menurut KH. Abdurrahman Wahid, pendekatan yang ideal adalah substansi, artinya, maksud dan inti ajaran Islam seperti keadilan, kesetaraan, dan demokrasi bisa direalisir dengan baik, tanpa harus memakai jubah negara Islam yang eksklusif. Dalam pendekatan substansi ini, transformasi bisa dilakukan secara gradual, intensif, dan sistematis dalam wilayah sosio-kultural yang strategis untuk mengangkat perekonomian, pendidikan, dan wawasan kebangsaan umat.
Dalam konteks Indonesia yang pluralistik, sangat tidak bijaksana kalau umat Islam memaksakan berdirinya negara Islam, karena justru akan menjadi sumber perpecahan bangsa. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah bentuk ideal dari kebinnekaan bangsa tercinta ini. Ibarat rumah adalah milik bersama, karena dibangun dengan keringat, darah, dan kerja keras bersama. Jangan sampai salah satu pihak mengklaim rumahnya sendiri, karena menimbulkan permusuhan, perang saudara, dan keonaran masal. NKRI justru menjadi momentum berharga umat Islam untuk memacu potensi, membangkitkan partisipasi, dan menggerakkan kemajuan secara dinamis dan produktif bagi kemajuan di segala bidang. Umat Islam seyogianya menjadi pioneer kebangkitan Indonesia, jangan menjadi kaum pemarah dan suka menteror kelompok lain atas nama agama. Ajaran agama jangan dijadikan media justifikasi perilaku radikal, fundamental, dan teror yang membahayakan nyawa manusia.
Menurut Masdar Farid Mas’udi (2009), hanya Indonesia satu-satunya harapan pemimpin Islam masa depan, karena itu, pluralitas Indonesia dari Sabang sampai Merauke harus dijaga, umat Islam harus bekerja keras untuk menjadi umat terbaik dari segi prestasi di semua bidang, ekonomi, pendidikan, politik, peradaban, militer, teknologi, moral, dan pertahanan keamanan, sehingga umat ini berwibawa dihadapan negara lain.
Negara-negara Barat saja, seperti Amerika Serikat, Perancis, Inggris, dan lain-lain belum bisa memperlakukan pemeluk agama lain, seperti Islam secara setara dan adil, baik dalam konteks peluang berkarir dibidang politik, militer, pendidikan, atau dalam bidang yang lain. Mereka masih diskriminatif dan sering melakukan pressure yang destruktif bagi agama minoritas. Fenomena ini dalam perspektif demokrasi tentu sangat memilukan, karena mereka menasbihkan diri sebagai nenek moyang demokrasi yang seharusnya bersikap egaliter dengan memberikan kesempatan yang sama bagi seluruh rakyat untuk berkiprah dalam bidang apapun sesuai keyakinan agamanya masing-masing. Amerika lebih ironis lagi, bapak demokrasi dunia ini memperlakukan umat Islam secara sadis, diskriminatif dan tidak etis. Umat Islam Amerika dicap sebagai kelompok teroris, radikalis, dan ekstrimis tanpa bukti. Mereka menggeneralisir umat Islam dunia seperti Al-Qaida ala Osama bin Laden yang menggelorakan semangat jihad untuk menumpas Amerika dan sekutunya dengan menggunakan kekerasan, misalnya bom bunuh diri dan lain sebagainya. Mereka kurang mendalami ajaran Islam dan prakteknya di banyak negara, khususnya di Asia Tenggara yang sejuk, damai, toleran, dan penuh keramahan.
Indonesia sangat berbeda. Negara ini sejak dulu bisa hidup berdampingan dengan agama lain dengan sikap saling menghargai, menghormati, dan memberikan hak masing-masing. Agama adalah pilihan masing-masing individu yang tidak bisa dipaksakan. Dakwah dilakukan dengan kearifan (hikmah), wejangan yang baik (mauidhoh hasanah) dan silang argumentasi yang lebih konstruktif (mujadalah billati hiya ahsan), bukan dengan cara kekerasan dan main paksa. Para pemimpin Islam negeri ini begitu arif dan bijaksana, mereka tidak memaksakan negara Islam sebagai agama resmi negara, karena ingin menjaga kebinnekaan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bagi mereka esensi dan substansi agama jauh lebih penting dari pada simbol dan formalisme agama yang bisa mengancam disintegrasi. Agama dijadikan sebagai nilai kehidupan yang menyinari sikap perilaku manusia dalam semua aspek, ekonomi, politik, budaya, pendidikan, peradaban, dan pertahanan keamanan. Pandangan pemimpin Islam Indonesia ini sangat toleran, moderat, dan inklusif, jauh dari kesan fanatis, primordial, dan eksklusif. Pikiran-pikiran keagamaan mereka terbuka, dinamis, dan progresif. Mereka lebih suka membangun jiwa dan raga bangsa ini dengan intensifikasi lembaga pendidikan formal, nonformal seperti pesantren, dan informal. Internalisasi nilai agama memunculkan sikap yang agung, cermin dari moralitas luhur seperti yang diwariskan baginda Nabi Muhammad Saw.
Mereka lebih memilih isi dari pada kulitnya. Demonstrasi dan publisitas kulit tanpa isi membahayakan Islam. Pandangan moderat, toleran, dan progresif ini lahir dari pergulatan panjang dalam memahami Islam. Para pemimpin Islam di negeri ini, khususnya pada masa revolusi kemerdekaan belajar Islam puluhan tahun, sejak dari satu pesantren ke pesantren lain, sampai ke pusat studi Islam di Makkah dan Madinah. Tokoh semacam KH. Moh. Hasyim Asy’ari, KH. Moh. Dahlan, KH. Wahab Hazbullah, KH. Bisyri Syamsuri, KH. A. Wahid Hasyim, dan KH. Abdurrahman Wahid memahami Islam tidak hanya dari Al-Qur’an dan Hadits sebagai dua sumber utama, namun lebih dahulu memahami bahasa arab, gramatika bahasa seperti nahwu, sharaf, balaghah, manthiq, struktur dan mekanisme penggalian hukum seperti ushul fiqh, qawa’id fiqh, ulumul qur’an, ulumul hadits, dan lain sebagainya. Tafsir yang berisi penjelasan al-Qur’an juga dijadikan pengayaan pemikiran yang luar biasa. Dari pergulatan intelektual yang panjang dan melelahkan itulah mereka memahami agama secara moderat, inklusif, toleran, dan pluralis, tidak langsung mengambil sana mengambil sana tanpa aturan yang benar.
Tentu tidak sama dengan gerakan Islam yang akhir-akhir ini mendengungkan syari’at Islam dengan langsung kembali kepada al-Qur’an dan Hadits Nabi, karena al-Qur’an dan Hadits tidak akan bisa dipahami tanpa memahami bahasa arab, tafsir, ulumul qur’an, ulumul hadits, dan perangkat ilmu penggalian hukum Islam yang lain sebagaimana di atas. Islam kaya wacana, pemikiran, dan interpretasi, ada perdebatan panjang antar para pemikir Islam yang sangat luar biasa. Mestinya, gerakan Islam ini melalui proses pemahaman Islam yang benar sebagaimana para pemimpin Islam yang lain.
Menurut Zakki Mubarak (2009), kelompok-kelompok Islam kanan yang getol memperjuangkan politik Islam, kebanyakan tidak mempunyai konsep kenegaraan yang utuh yang meliputi konsep politik, ekonomi, kebudayaan, pendidikannya, militer, dan lain sebagainya. Mereka hanya mengandalkan satu nama ’syari’at Islam’ tanpa memberikan formula konkret syariat Islam yang bagaimana yang akan diterapkan dan formula itu harus siap didiskusikan secara terbuka oleh seluruh elemen bangsa, termasuk yang nonmuslim, sehingga ada dimensi akseptabilitas dari syariat Islam tersebut.
Terlepas dari spirit agama yang mereka perjuangkan, mereka seyogianya memahami dengan bijaksana bahwa Indonesia adalah negara plural, binneka tunggal ika, banyak agama, suku, etnis, ras, dan golongan yang hidup di negeri ini. Kalau Indonesia berubah menjadi negara Islam, disintegrasi bangsa sulit dicegah. Akan ada banyak daerah yang memisahkan diri dari Republik ini, terutama daerah-daerah yang menjadi kantong agama nonmuslim, misalnya Bali, Maluku, Sulawesi, Papua, dan lain-lain. Mereka beranggapan apa manfaatnya bergabung dengan Indonesia kalau agama yang diakui hanya Islam, lebih baik mendirikan negara Kristen sendiri, Budha sendiri, dan Hindu sendiri. Indonesia bukan lagi negara yang terdiri dari Sabang sampai Merauke, tapi akan terpecah-pecah menjadi beberapa negara. Kalau ada kepentingan asing yang masuk, maka akan semakin memperkeruh suasana. Jawa yang menjadi basis umat Islam tidak bisa utuh lagi, karena nonmuslim di Jawa juga banyak, mereka akan berjuang melawan nonmuslim kalau mereka memaksakan Islam sebagai agama negara.
Dus, pluralitas Indonesia adalah sunnatullah yang harus diterima dengan lapang dada, bahkan menjadi pelecut untuk berprestasi. Pluralitas inilah yang menjadikan Indonesia sebagai negara unik dari segala aspek. Pluralitas disisi agama, negara ini dihuni banyak agama, dari sisi geografis, negara ini terdiri dari banyak pulau, dari segi bahasa, negara ini mempunyai banyak bahasa lokal, begitu juga dengan etnis, ras, suku, dan golongan. Islam yang menjadi agama mayoritas terdiri dari banyak golongan dan aliran, ada NU, Muhammadiyah, Persis, Wasliyah, LDII, Darul Hadits, Qudsiyah, dan lain-lain. Semuanya ada dalam kebinnekaan Indonesia. Pancasila menjadi payung besar bagi seluruh agama, golongan, dan geografis dari Sabang sampai Merauke.

Keunikan inilah yang mendapat apresiasi positif dari hampir seluruh negara dunia. Orang-orang Barat memuji demokrasi Indonesia yang luar biasa, karena bisa memperlakukan semua agama secara setara. Negara-negara Islam juga memuji Indonesia karena moderasinya dalam beragama dan proaktifnya dalam politik internasional yang bebas aktif.  Multikulturalisme menjadi potensi besar bangsa ini yang mengamankan integrasi bangsa dari potensi separatisme dan disintegrasi. 
Kesejahteraan rakyat dan New Leader
Politik Islam seyogianya tidak terus berkutat pada masalah formalitas akademik, namun harus turun gunung untuk fokus terhaap problem pengentasan kemiskinan. Karena sistem politik manapun yang mampu menghadirkan kesejahteraan ekonomi, akan diterima dan didukung rakyat. Politik Islam harus fokus pada masalah ini. Kemiskinan dan kemunduran umat Islam di segala aspek kehidupan meniscayakan lompatan pemikiran dan gerakan yang menyadarkan umat akan pentingnya pendidikan dan ekonomi transformatif dan progresif. Al-Qur’an mendorong umat Islam untuk berjuang dengan harta dan jiwa. Perintah ini secara eksplisit mengharuskan umat Islam untuk meningkatkan aspek ekonomi dan pengembangan sumber daya manusia sebagai dua aspek fundamental dalam kebangkitan suatu bangsa. Menurut Dr. KH. MA. Sahal Mahfudh, dua bangunan yang didirikan Nabi ketika hijrah dari Mekah ke Madinah adalah masjid dan pasar sebagai simbol kebangkitan agama, pendidikan, dan ekonomi. Masjid zaman Nabi tidak hanya untuk menjalankan shalat, tapi untuk mencerdaskan umat, dan memupuk persatuan. Sedangkan pasar dijalankan dengan penuh kejujuran, akuntabilitas, dan kredibelitas tinggi sehingga membawa semangat kemandirian dan kemajuan umat.
Kemiskinan dan kemunduran umat Islam dalam bidang pengetahuan dan ekonomi sekarang ini adalah a-historis, melupakan sejarah kebangkitan Islam yang dirintis Nabi Muhammad SAW. Saat hijrah, walau harus meninggalkan kerabat dan harta di Mekah, namun semangat berprestasi yang berkobar di dada, membuat umat Islam cepat mengatasi masalah ekonomi dengan semangat berdikari dan berprestasi. Mereka mempunyai komitmen, integritas, dan profesionalitas dalam menjalankan roda perekonomian yang sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad SAW. yang menekankan kejujuran, keadilan, kerelaan, proporsionalitas, keseimbangan, dan menghindari kebohongan, korupsi, kolusi, manipulasi, spekulasi, riba, penipuan, kemungkaran, dan kekejian. Kesejahteraan dan kebahagiaan lahir-batin menjadi mind set ekonomi Islam yang dibumikan oleh Nabi Muhammad SAW. dan para sahabat.
Menurut Prof. Rokhmin Dahuri (2011), kemunduran umat Islam disebabkan enam hal. Pertama, keimanan dan ketakwaan berada di titik nadir. Survei lembaga kredibel di 33 Provinsi di Indonesia, hanya 30 % umat Islam yang melaksanakan shalat. Kedua, menjauhi pengetahuan dan teknologi. Ketiga, menjauhi semangat berwirausaha dan berdagang secara jujur dan profesional, sedangkan Nabi Muhammad menganjurkan dan menjadi contoh yang baik dalam masalah perdagangan. Umat Islam lebih suka bercita-cita menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Keempat, menjalankan Islam secara parsial, hanya dalam konteks relasi vertikal (ibadah mahdlah), sedangkan dalam konteks ekonomi, politik, budaya, dan teknologi, mengikuti sistem Barat. Kelima, terlibat dalam korupsi, mafia pajak, nepotisme, kolusi, dan lain-lain. Realitas ini bertentangan dengan ajaran al-Qur’an yang memuji umat Islam sebagai umat terbaik (khaira ummah) yang mengajak kebaikan dan mencegah kemungkaran. Keenam, perpecahan karena perbedaan organisasi dan kepentingan tertentu. Sedangkan Al-Qur’an mendorong kepada persaudaraan dan kerukunan hakiki. Bahkan Nabi Muhammad SAW. menggambarkan umat Islam laksana satu tubuh, sebagai simbol satu sistem yang terintegrasi dalam satu langkah menuju satu tujuan yang disepakati.
Menyikapi kemunduran umat Islam dalam segala aspek kehidupan ini, tidak ada jalan lain kecuali menggerakkan perubahan secara dinamis dan kompetitif, sesuai dengan ajaran Islam, khususnya dalam bidang ekonomi sebagai pondasi kemajuan umat. Ada beberapa langkah yang seharusnya dilakukan para pemimpin politik Islam.
Pertama, mengalokasikan anggaran mulai dari APBD 1, 2, dan APBN yang memadai. Menurut Imam Suyuthi dalam kitabnya Asybah wa An-Nadhair, kebijakan penguasa harus berkelit kelindan dengan kemaslahatan rakyat. Salah satu cirinya adalah mendahulukan kelompok yang paling berhak. Dalam konteks Indonesia, kaum petani, nelayan, pedagang kaki lima, buruk, TKI, dan lain-lain adalah kelompok masyarakat paling marginal yang membutuhkan bantuan secara terus menerus. Pemerintah sudah seyogianya mengalokasikan dana besar buat mereka untuk keluar dari problem kemiskinan dan kemunduran.
Kedua, mendorong kajian ekonomi Islam diberbagai lembaga pendidikan, dari bawah sampai perguruan tinggi. Mushalla, masjid, majlis ta’lim, dan lainnya bisa dijadikan media dinamisasi kajian ekonomi Islam. Kajian ekonomi Islam selama ini ditempatkan secara marginal dan dikotomis, apalagi dengan interpretasi yang negatif. Ajaran zuhud, qana’ah, wira’i, tawakkal, dan takdir dimaknai secara pasif dan negatif yang membuat umat Islam tidak mempunyai semangat melakukan perubahan nasib ke arah yang lebih baik. Dunia dibenci karena menjadi sumber malapetaka. Reinterpretasi ajaran-ajaran ini mendesak dilakukan agar umat Islam tidak membenci dunia, tapi memburunya sebagai bekal menghadapi masa depan akhirat yang lebih baik. Dengan harta, umat Islam bisa meningkatkan kualitas pendidikan, kesehatan, membantu mereka yang lemah dan tertindas, bisa menunaikan ibadah zakat dan haji, serta menghilangkan kemungkaran dan kebatilan. Bukti kesejarahan yang diperankan Nabi Muhammad SAW., Khadijah, Abu Bakar, Utsman, Abdurrahman bin ‘Auf, dan lain-lain dalam bidang ekonomi diangkat kembali secara aktif untuk memberikan bukti dinamisme ajaran Islam dalam bidang ekonomi.
Ketiga, menyulutkan semangat dagang dan berwirausaha. Umat Islam tidak boleh takut berdagang dan berwirausaha, karena wilayah ini menjadi kunci kebangkitan ekonomi. Dibutuhkan pelatihan intensif menjadi pedagang profesional. Tradisi menabung dikembangkan, watak konsumerisme dan konsumtivisme diminimalisir. Mempersiapkan mental yang tangguh, tidak mudah menyerah, kreatif, dinamis, dan inovatif adalah keniscayaan untuk meraih keberhasilan dalam berwirausaha. Semangat berkompetisi dikobarkan, sehingga kemampuan terbaik terus dikeluarkan.
Keempat, mendirikan lembaga swadaya masyarakat untuk mengadakan pelatihan keterampilan sebagai bekal mencari penghidupan, seperti menjahit, komputer, bahasa Inggris, jurnalistik, membuat makanan ringan, kerajinan tangan, dan lain-lain. Posdaya yang digerakkan Mantan Menkokesra Haryono Suyono bisa dijadikan contoh gerakan pemberdayaan masyarakat ini. Bekerjasama dengan lembaga pendidikan melakukan pendampingan masyarakat dalam program KKN (Kuliah Kerja Nyata) dengan membekali masyarakat kemampuan praktis sehingga mereka eksis dan survive ditengah kompetisi terbuka.
Kelima, menggerakkan dana zakat, wakaf dan sedekah untuk mempercepat proses pengentasan kemiskinan. Dana ini lebih diprioritaskan untuk memberikan beasiswa pendidikan kepada kader-kader masa depan bangsa dari keluarga yang tidak mampu, anak yatim piatu, dan yang membutuhkan, sehingga mereka bisa mengenyam lembaga pendidikan dari bawah sampai atas, kalau bisa sampai menjadi Doktor. Akhirnya, dana ini tidak hanya bersifat konsumtif, tapi juga produktif untuk meningkatkan pengetahuan dan ekonomi umat dalam jangka panjang.
Keenam, menggalang kerjasama umat Islam dalam program pengentasan kemiskinan, misalnya, antara NU dan Muhammadiyah. NU dan Muhammadiyah dengan kekayaan pesantren dan lembaga pendidikannya, dekat dengan semua kalangan, adalah modal sosial yang harus dimanfaatkan untuk memberdayakan ekonomi umat. Partai politik, seperti PKB, Demokrat, Golkar, PAN, PDIP, Nasdem, PKU, dan lain-lain diajak bergandengan untuk memaksimalkan program populis ini. Persatuan ini menjadi kekuatan besar dalam menggerakkan perubahan ekonomi umat menuju level ekonomi menengah ke atas. Dari sanalah, kemajuan dan kejayaan umat dan bangsa ini akan menjadi kenyataan. Lima langkah di atas diharapkan mampu meningkatkan kepekaan krisis para pemimpin politik umat Islam dan menjadikan kesejahteraan dan keadilan sebagai tujuan yang terus diperjuangkan sepanjang hayat.
Dengan pergulatan intelektual dan aksi sosial yang panjang dan melelahkan inilah, Islam akan tampil sebagai pioneer perubahan untuk mencapai keagungan Islam dan umatnya, Izzul Islam wal muslim dengan mengedepankan paradigma pemikiran dan gerakan Islam yang moderat, progresif, toleran, inklusif dan pluralis. Mereka aktif mengembangkan pendidikan, ekonomi, peradaban, intelektual, militer, informasi, teknologi dan lainnya untuk mencapai masa kejayaan sebagai sebuah bangsa yang bermartabat. Jika umat Islam negeri ini mampu mewujudkan idealisme ini, maka jargon Islam rahmatan lil alamin, sebagai penebar kasih sayang kepada seluruh penduduk alam, tidak hanya untuk umat Islam saja, bisa menjadi kenyataan, karena dengan kebangkitan Indonesia menjadi negara maju, seluruh elemen bangsa, termasuk mereka yang nonislam bisa merasakan manfaatnya. Dan dari sini Indonesia pelan namun pasti akan muncul sebagai pemimpin baru dunia Islam.
*Mahasiswa S3 IAIN Walisongo Semarang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar