Powered By Blogger

Selasa, 03 April 2012

Syari’at, Untuk Siapa?

Syari’at, Untuk Siapa?

Oleh Ahmad Shams Madyan
Tantangan kita memang cukup berat untuk meletakkan ‘Islam’ dan ‘Syari’at’ dalam konteks pluralitas agama. Manakah yang didahulukan, klaim-klaim kebenaran sendiri, ataukah kerendahan hati untuk menerima ‘yang lain’ sebagai orang-orang yang juga berhak memilki klaim kebenaran yang berbeda?
Terlepas dari beragam level penafsiran tentang apa yang dimaksud dengan Syari’at, setiap orang Islam memang mengaku tunduk pada “Syari’at”, namun untuk orang yang bukan Muslim, apakah mereka juga harus turut ditundukkan? Beberapa kalangan berargumen bahwa penerapan ‘Syari’at Islam’ itu eksklusif, terbatas hanya untuk umat Islam saja, namun banyak yang memahami bahwa mendakwahkan Islam kepada umat non-Muslim itu juga merupakan bagian dari Syari’at yang eksklusif itu sendiri. Lalu bagaimana?
Tantangan kita memang cukup berat untuk meletakkan ‘Islam’ dan ‘Syari’at’ dalam konteks pluralitas agama. Manakah yang didahulukan, klaim-klaim kebenaran sendiri, ataukah kerendahan hati untuk menerima ‘yang lain’ sebagai orang-orang yang juga berhak memilki klaim kebenaran yang berbeda?  Di dalam al-Quran, derivasi kata ‘Syari’at’ disebutkan dalam surat al-Maidah (5) : 48. Terjemahan ayat tersebut berbunyi: 
“Dan Kami telah turunkan al-Quran kepadamu dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan ebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskan lah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu Kami berikan SYIR’AH (aturan) dan MINHAJ (jalan yang terang) sendiri-sendiri. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah lah kalian semuanya dikembalikan, lalu akan diberitahukan-nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan”   
Ayat ini sangat relevan untuk dibaca dan dipahami dalam konteks mendudukkan Islam ditengah kerumunan agama-agama lain; meletakkan ‘Syari’at Islam’ ditengah Syari’at (aturan-aturan) yang berbeda-beda. 
***
Untuk membaca ayat diatas, Setidaknya ada dua model penafsiran yang bisa kita golongkan. Penafsiran pertama bersifat inklusif; yang terbuka atas eksistensi agama dan syari’at lain. Model interpretasi kedua bersifat eksklusif; yang berarti tertutup dan tetap menafsirkan ayat ini sebagai justifikasi klaim Islam sebagai agama dan Syari’at yang paling dan maha benar. Penafsiran inklusif diusulkan oleh para penafsir seperti Rasyid Ridla, al-Tabataba’i, Farid Esack dan juga beberapa penafsir kontemporer lainnya. Sedangkan penafsiran model kedua dapat kita jumpai dalam gaya penafsiran tradisional (klasik), sebut saja misalnya karya al-Thabary dan al- Razi.
[1] Penafsiran Inklusif
Sebelum mengutip penafsiran Ridla dan al-Tabataba’i, Saya ingin mencatatkan bahwa potongan ayat “... Untuk tiap-tiap umat diantara kamu Kami berikan SYIR’AH (aturan) dan MINHAJ (jalan yang terang) sendiri-sendiri” itu sangat mirip dengan makna ayat al-Quran lain yang mengatakan “Bagi tiap-tiap umat telah kami tetapkan MANSAK (jalan/aturan/syariat)  tertentu yang mereka lakukan, maka janganlah sekali-kali mereka membantah kamu dalam urusan (Syari’at) ini dan serulah kepada (agama) Tuhan mu. Sesungguhnya kamu benar-benar berada pada jalan yang lurus’ (Q.22: 67). Dalam pandangan saya, kedua ayat ini memang identik dan keduanya bisa dipadu untuk bersama-sama dibaca sebagai respon Al-Quran terhadap pluraitas agama.
Dua ayat identik diatas hampir serempak menyebutkan bahwa fungsi Al-Quran sebagai kitab suci adalah untuk mempertegas kembali kebenaran kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya, sekaligus mengukuhkan Muhammad sebagai salah satu dari gugusan para Nabi dan rasul Allah. Beberapa nama nabi-nabi itu disebutkan secara khusus dalam Quran, sementara sebagian nama nabi yang lain tidak disebutkan (Q. 40:78). Dalam hal ini, al-Qur’an menyatakan bahwa Muhammad adalah penunjuk dan pengarah, yang memiliki agama (Dien) yang sama dengan agama yang diwahyukan kepada Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa [Yesus] (Q.42: 13, 16:36 dan 35:24)
Kembali ke teks al-Maidah yang menggunakan kata SYIR’AH dan MINHAJ tadi, Sebagian besar Mufassir mengatakan bahwa kata SYIR’AH adalah bentuk lain dari istilah ‘SYARI’AH’, keduanya memiliki arti yang sama, karena keduanya berkaitan dengan kata MINHAJ, yang secara harafiah berarti ’ jalan yang jelas’. Dalam tafsirnya, Ridla misalnya mengurai panjang makna etimologis kata ‘Syir’ah’ dan ‘Syari’ah’ yang keduanya berarti “jalan air/ sumber air atau lajur sungai..”.
Dalam tafsir Ridla, dipaparkan juga diskusi yang cukup panjang tentang perbedaan antara istilah Dien (agama / keyakinan) dan ‘Syari’ah’. Bahkan, komentar dari Ridla dan juga al-Thabathaba’i tentang ayat ini telah membuat jelas bahwa “Syari’ah adalah aturan tertentu bagi komunitas tertentu” sementara “Dien adalah sebuat pola atau pattern yang lebih universal, sebuah jalan ilahi yang lebih umum bagi seluruh umat manusia”. Menurut dua orang mufassir ini, konsekwensinya adalah bahwa Syari’ah bisa menerima pencabutan, penghapusan dan ralat (Nasakh), sementara Dien (agama) dalam arti luas tidak bisa dihapus atau digantikan (al-Tabataba’i, 1973, 5: 350). Lebih jelas lagi, Ridla dalam tafsirnya juga membandingkan berbagai ‘Syari’at’ yang dapat membatalkan satu sama lain. Berbeda dengan ‘Dien’ (agama) yang menurutnya akan tetap satu selamanya (Ridla, 1980, 5:351).
Hemat saya, baik Ridla dan al-Thabathaba’i telah menyarankan bahwa kenyataan “Islam” sebagai nama sebuah agama yang telah dianut oleh banyak orang saat ini adalah bentuk reifikasi (bukan makna yang utuh) dari istilah Dien (agama/keyakinan). Seorang pemikir Muslim dan mufassir asal Afrika Selatan, Farid Esack, juga menegaskan tentang terjadinya reifikasi makna dari kata ‘Islam’ ini sebagai satu bentukan saja dari Syari’at yang bisa diubah dan dibatalkan, seperti agama-agama yang terlembaga lainnya. Namun menurutnya, memang akan hanya ada satu satu ‘Dien’ (agama / keyakinan) dengan makna yang tidak direifikasi, makna Islam yang lebih utuh, yaitu yang sejatinya dimiliki oleh semua agama dan lebih bersifat eternal dan universal (Esack, 1997:167).
Untuk argumen ini juga, Ridla mengatakan bahwa “Allah telah memetakan jalur dan cara beragama yang berbeda-beda, tergantung pada kapasitas manusia yang berbeda pula…” Pemahaman pluralist seperti ini lah yang kemudian menjadi sangat sinkron ketika dalam ayat yang sama juga disabdakan bahwa “Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja)... (Q. 5:351)”
***
[2] interpretasi Eksklusif
Tidak mengherankan, bahwa sebelum interpretasi yang inklusif seperti ini muncul belakangan,  ada banyak mufassir klasik yang memahami ayat diatas secara eksklusif. Baca saja tafsir al-Thabari atau al-Razi yang menyatakan bahwa khitab (sasaran) dari ayat (Q. 5:48) itu sebenarnya ditujukan kepada semua Nabi dan masing-masing umat nya (termasuk yang sudah meninggal), walaupun penerima ayat ini adalah Nabi Muhammad (al-Thabari, 1954, 6:272, al-Razi 1990, 12: 14). Jadi tetap saja, ayat ini tidak mewartakan pluralisme
Esack dan Ridla lebih suka makna yang jelas dari teks, yaitu, bahwa khitab (sasaran) ayat ini merujuk kepada umat Islam, orang-orang Yahudi dan Kristen [ahlulkitab] mulai zaman nabi, serta untuk umat manusia pada umumnya yang masih hidup (Ridla 1980, 1:413), bukan umat-umat yang sudah mati. Memang, ada kesulitan untuk mengikuti interpretasi tradisional dari teks ini, karena akan ditemui banyak kejanggalan dan inkonsistensi, menurut mereka.
Dalam refleksi Farid Esack, ia mengatakan bahwa [1] diskusi al-Quran secara keseluruhan, termasuk ayat di atas, haruslah mengacu pada hubungan antara Nabi Muhammad dan pengikutnya yang riil, bukan komunitas imajiner yang sudah meninggal jaman dahulu [2] ayat tersebut harus dipahami sebagai motivasi bagi semua kelompok agama untuk bersaing dalam kebaikan. Dengan demikian, Tuhan berjanji di bagian akhir ayat bahwa ‘Dia akan memberitahu siapa yang paling baik dan benar’ [3] Sebagai teks yang memotivasi sebuah persaingan di tengah keragaman, maka harus dipahami bahwa pesaing orang Muslim adalah orang-orang ‘lain’ (non Muslim) yang tinggal bersama mereka saat ini, bukan umat lain yang telah meninggal dahulu kala (Esack, 1997:169)
***
Akhirnya, saya secara pribadi menjadi cenderung nyaman menggunakan hermeneutika ala Esack ini dalam membaca teks yang secara eksplisit bicara tentang ‘Syari’at’ diatas. Bahwa benar ayat al-Maidah (5) : 48 itu adalah motivasi bagi umat Islam untuk bersaing dengan kelompok-kelompok iman lain nya dalam berbuat baik dengan pengakuan atas perbedaan-perbedaan. Argumen ini tampaknya juga sangat kuat manakala kata persaingan juga muncul, bahkan lebih tegas dalam ayat lain, yang diwahyukan kepada nabi Muhammad dalam konteks masyarakat Madinah, yaitu ketika beliau berada ditengah orang-orang Yahudi dan Kristen [ahlulkitab] kala itu.
Ayat tersebut berbunyi: “Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri). Maka berlomba-lombalah kamu dalam berbuat kebaikan. Dimana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah maha kuasa atas segala sesuatu (QS 2:148)”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar