Powered By Blogger

Selasa, 03 April 2012

TUHAN

TUHAN

Kalau kita menengok  ke  belakang,  mempelajari  kepercayaan
umat  manusia,  maka yang ditemukan adalah hampir semua umat
manusia mempercayai adanyaTuhan yang mengatur alam raya ini.
Orang-orang Yunani Kuno menganut paham politeisme (keyakinan
banyak tuhan): bintang adalah  tuhan  (dewa),  Venus  adalah
(tuhan)   Dewa  Kecantikan,  Mars  adalah  Dewa  Peperangan,
Minerva adalah  Dewa  Kekayaan,  sedangkan  Tuhan  tertinggi
adalah Apollo atau Dewa Matahari.
 
Orang-orang  Hindu  -masa lampau juga mempunyai banyak dewa,
yang diyakini sebagai tuhan-tuhan. Keyakinan  itu  tercermin
antara  lain  dalam  Hikayat  Mahabarata.  Masyarakat Mesir,
tidak terkecuali. Mereka meyakini  adanya  Dewa  Iziz,  Dewi
Oziris, dan yang tertinggi adalah Ra'. Masyarakat Persia pun
demikian, mereka percaya bahwa ada  Tuhan  Gelap  dan  Tuhan
Terang. Begitulah seterusnya.
 
Pengaruh  keyakinan  tersebut  merambah  ke masyarakat Arab,
walaupun jika mereka ditanya tentang Penguasa  dan  Pencipta
langit  dan bumi mereka menjawab, "Allah." Tetapi dalam saat
yang sama mereka menyembah juga berhala-berhala Al-Lata, Al-
Uzza,  dan  Manata, tiga berhala terbesar mereka, di samping
ratusan berhala lainnya.
 
Al-Quran  datang  untuk  meluruskan  keyakinan  itu,  dengan
membawa ajaran tauhid. Tulisan ini berusaha untuk memaparkan
wawasan Al-Quran tentang hal tersebut, meskipun harus diakui
bahwa   tulisan   ini   tidak   mungkin   dapat   menjangkau
keseluruhannya. Dapat  dibayangkan  betapa  luas  pembahasan
tentang  Tuhan  Yang  Maha Esa bila akan dirujuk keseluruhan
kata yang menunjuk-Nya. Kata  "Allah"  saja  dalam  Al-Quran
terulang  sebanyak  2697  kali. Belum lagi kata-kata semacam
Wahid, Ahad, Ar-Rab, Al-Ilah, atau  kalimat  yang  menafikan
adanya  sekutu  bagi-Nya  baik dalam perbuatan atau wewenang
menetapkan hukum, atau kewajaran beribadah kepada selain-Nya
serta   penegasian   lain   yang  semuanya  mengarah  kepada
penjelasan tentang tauhid.
 
             FITRAH MANUSIA: KEYAKINAN TENTANG KEESAAN ALLAH
 
Kalau kita membuka lembaran-lembaran Al-Quran, hampir  tidak
ditemukan  ayat yang membicarakan wujud Tuhan. Bahkan Syaikh
Abdul  Halim  Mahmud  dalam  bukunya  Al-Islam  wa   Al-'Aql
menegaskan  bahwa,  "Jangankan  Al-Quran,  Kitab Taurat, dan
Injil dalam bentuknya yang sekarang pun (Perjanjian Lama dan
Baru) tidak menguraikan tentang wujud Tuhan." Ini disebabkan
karena wujud-Nya sedemikian  jelas,  dan  "terasa"  sehingga
tidak perlu dijelaskan.
 
Al-Quran mengisyaratkan bahwa kehadiran Tuhan ada dalam diri
setiap  insan,  dan  bahwa  hal  tersebut  merupakan  fitrah
(bawaan)  manusia  sejak asal kejadiannya. Demikian dipahami
dari firman-Nya dalam surat Al-Rum (30): 30.
 
"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah),
(tetaplah  atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah  itu.  Tiada  perubahan  pada  fitrah  Allah.
(Itulah)  agama  yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui."
 
Dalam ayat lain dikemukakan, bahwa:
 
"Dan  (ingatlah)  ketika  Tuhanmu   mengeluarkan   keturunan
anak-anak  Adam  dari  sulbi  mereka,  dan  Allah  mengambil
kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), 'Bukankah
Aku  ini  Tuhanmu?'  Mereka  menjawab:  'Betul (Engkau Tuhan
kami), kami menyaksikan'" (QS Al-A'raf [7]: 172).
 
Apabila Anda duduk termenung  seorang  diri,  pikiran  mulai
tenang, kesibukan hidup atau haru hati telah dapat teratasi,
terdengarlah  suara  nurani,  yang   mengajak   Anda   untuk
berdialog,  mendekat  bahkan  menyatu dengan suatu totalitas
wujud Yang Maha mutlak.
 
Suara itu mengantar Anda  untuk  menyadari  betapa  lemahnya
manusia dihadapan-Nya. dan betapa kuasa dan perkasa Dia Yang
Mahaagung itu. Suara yang Anda dengarkan itu,  adalah  suara
fitrah  manusia.  Setiap  orang  memiliki  fitrah  itu,  dan
terbawa serta  olehnya  sejak  kelahiran,  walau  seringkali
-karena kesibukan dan dosa-dosa- ia terabaikan, dan suaranya
begitu lemah sehingga  tidak  terdengar  lagi.  Tetapi  bila
diusahakan untuk didengarkan, kemudian benar-benar tertancap
di dalam jiwa, maka  akan  hilanglah  segala  ketergantungan
kepada  unsur-unsur  lain kecuali kepada Allah semata, tiada
tempat bergantung, tiada tempat  menitipkan  harapan,  tiada
tempat  mengabdi  kecuali kepada-Nya. La haula wa la quwwata
illa billahi-'Aliyyil-'Azhim (Tiada  daya  untuk  memperoleh
manfaat,  tiada  pula  kuasa  untuk menolak mudarat, kecuali
bersumber dari Allah Yang Mahatinggi  lagi  Mahaagung).  Dan
dengan  demikian  tidak  ada lagi rasa takut yang menghantui
atau mencengkeram, tiada pula rasa sedih yang akan mencekam.
 
Sesungguhnya orang-orang  yang  berkata  (berprinsip)  bahwa
Tuhan  Pemelihara  kami adalah Allah, serta istiqamah dengan
prinsip  itu,  akan  turun  kepada  mereka  malaikat  (untuk
menenangkan  mereka  sambil  berkata)  "Jangan takut, jangan
bersedih, berbahagialah kalian dengan surga yang dijanjikan"
(QS Fushshilat [41]: 30)
 
"Orang-orang  yang  beriman dan jiwa mereka menjadi tenteram
karena  mengingat  Allah.  Memang  hanya  dengan   mengingat
Allahlah jiwa menjadi tenteram" (QS Al-Ra'd [13]: 28).
 
Memang  boleh  jadi  ada  saat-saat dalam hidup ini -singkat
atau panjang-  dimana  manusia  mengalami  keraguan  tentang
wujud-Nya,  bahkan boleh jadi keraguan tersebut mengantarnya
untuk   menolak    kehadiran    Tuhan    dan    menanggalkan
kepercayaannya,  tetapi  ketika itu keraguannya akan beralih
menjadi kegelisahan, khususnya pada saat-saat ia merenung.
 
Di atas telah penulis katakan bahwa hampir  tidak  ditemukan
ayat  yang  membicarakan  tentang  wujud  Tuhan. Ini, karena
harus diakui bahwa ada beberapa  ayat  Al-Quran  yang  dapat
dipahami sebagai berbicara tentang wujud Tuhan, dan ada pula
beberapa ayat yang mengisyaratkan adanya segelintir  manusia
yang ateis. Misalnya,
 
"Dan  mereka  berkata,  'Kehidupan  ini  tidak lain hanyalah
kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup, dan tidak
ada  yang  membinasakan  kita selain masa.'" (QS Al-Jatsiyah
[45]: 24)
 
Namun seperti bunyi lanjutan ayat di atas,
 
"Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu,
dan mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja."
 
Bahkan boleh jadi kita dapat berkata bahwa mereka yang tidak
mempercayai wujud Tuhan adalah  orang-orang  yang  kehabisan
akal   dan   keras  kepala  ketika  berhadapan  dengan  satu
kenyataan yang tidak sesuai dengan "nafsu kotornya" itu.
 
Yang demikian dapat  dipahami  dari  ayat  yang  menguraikan
diskusi  yang  terjadi antara Nabi Ibrahim a.s. dan penguasa
masanya (Namrud) (QS  Al-Baqarah  [2]:  258),  atau  Fir'aun
ketika  berhadapan  dengan  Musa  a.s. yang bertanya, "Siapa
Tuhan semesta alam itu?" (QS Al-Syu'ara, 126]: 23).
 
Salah satu bukti bahwa pernyataan ini lahir dari sikap keras
kepala  adalah  pengakuan Fir'aun sendiri ketika ruhnya akan
meninggalkan   jasadnya.   Dalam   konteks   ini   Al-Quran,
menjelaskan  sikap  Fir'aun  yang  ketika itu kembali kepada
fitrah, namun sayang dia telah terlambat.
 
"... hingga saat Fir'aun telah hampir tenggelam,  berkatalah
dia.  'Saya  percaya  bahwa  tidak ada Tuhan melainkan Tuhan
yang  dipercayai  oleh  Bani  Israil,  dan   saya   termasuk
orang-orang  yang  berserah  diri  (kepada  Allah).'  Apakah
sekarang (baru kamu percaya) padahal sesungguhnya kamu telah
durhaka  sejak  dahulu  dan  kamu  termasuk orang-orang yang
berbuat kerusakan?" (QS Yunus [10]: 90-91).
 
Ayat  ini  sekaligus  membuktikan  bahwa   kehadiran   Tuhan
merupakan  fitrah manusia yang merupakan kebutuhan hidupnya.
Kalaupun  ada  yang   mengingkari   wujud   tersebut,   maka
pengingkaran  tersebut  bersifat sementara. Dalam arti bahwa
pada akhirnya -sebelum jiwanya berpisah dengan jasadnya-  ia
akan     mengakui-Nya.     Memang,     kebutuhan     manusia
bertingkat-tingkat, ada yang harus dipenuhi  segera  seperti
kebutuhan  udara, ada yang dapat ditangguhkan untuk beberapa
saat, seperti kebutuhan minum. Kebutuhan untuk makan,  dapat
ditangguhkan  lebih  lama daripada kebutuhan minuman, tetapi
kebutuhan pemenuhan seksual  bisa  lebih  lama  ditangguhkan
daripada   kebutuhan   pada   makan   dan   minum;  demikian
seterusnya. Kebutuhan yang paling  lama  dapat  ditangguhkan
adalah  kebutuhan  tentang keyakinan akan adanya Allah Swt.,
Tuhan Yang Maha Esa.
 
                    TAUHID ADALAH PRINSIP DASAR AGAMA SAMAWI
 
Merujuk kepada Al-Quran, dapat kita temukan bahwa para  Nabi
dan Rasul selalu membawa ajaran tauhid.
 
"Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu, kecuali
Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada  Tuhan  selain  Aku,
maka sembahlah Aku" (QS Al-Anbiya' [21]: 25).
 
"Wahai  kaumku,  sembahlah  Allah, sekali-kali tak ada Tuhan
bagimu selain-Nya."
 
Demikian ucapan Nabi  Nuh,  Hud,  Shaleh  dan  Syu'aib  yang
diabadikan Al-Quran masing-masing secara berurut dalam surat
Al-A'raf (7): 59, 65, 73, dan 85.
 
Demikian juga ajaran yang diterima Musa a.s. langsung  dari
Allah:
 
"Aku  yang  memilihmu, maka dengarkan dengan tekun, apa yang
diwahyukan (padamu): 'Sesungguhnya Aku adalah  Allah,  tidak
ada  Tuhan  selain Aku. Sembahlah Aku, dan dirikanlah shalat
untuk mengingat-Ku'" (QS Thaha [20] 13-14)
 
Nabi Isa a.s. juga mengajarkan prinsip ini kepada umatnya:
 
"Isa  berkata  (kepada  Bani  Israil),  'Hai  Bani   Israil,
sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu.' Sesunguhnya siapa yang
mempersekutukan-Nya maka Allah mengharamkan  baginya  surga,
dan tempatnya adalah neraka. Tiada penolong bagi orang-orarg
yang aniaya." (QS Al-Maidah [5]: 72)
 
Namun, walaupun semua nabi membawa ajaran  tauhid,  terlihat
melalui   ayat-ayat   Al-Quran  bahwa  ada  perbedaan  dalam
pemaparan mereka tentang prinsip tauhid. Jelas sekali  bahwa
Nabi  Muhammad  Saw.,  melalui Al-Quran diperkaya oleh Allah
dengan  aneka  penjelasan  dan  bukti,  serta  jawaban  yang
membungkam siapa pun yang mempersekutukan Tuhan
 
Allah  Swt.  menyesuaikan tuntunan yang dianugerahkan kepada
para Nabi-Nya sesuai dengan tingkat kedewasaan berpikir umat
mereka.  Karena  itu hampir tidak ada bukti-bukti logis yang
dikemukakan oleh Nabi Nuh kepada umatnya, dan pada  akhirnya
setelah  mereka  tetap  membangkang,  jatuhlah  sanksi  yang
memusnahkan mereka:
 
"Maka  topan  membinasakan   mereka,   dan   mereka   adalah
orang-orang aniaya" (QS Al-'Ankabut [29]: 14).
 
Ketika  tiba  masa Nabi Hud a.s. -yang masanya belum terlalu
jauh dari Nuh- pemaparan beliau hampir tidak berbeda, tetapi
di  sana  sini  telah  jelas bahwa masyarakat yang diajaknya
berdialog, memiliki kemampuan berpikir sedikit di atas  umat
Nuh.  Karena  itu, pemaparan tentang tauhid yang dikemukakan
oleh   Hud   a.s.   disertai   dengan   peringatan   tentang
nikmat-nikmat  Allah  yang  mereka dapatkan. Dalam rangkaian
ayat-ayat yang mengingatkan mereka akan keesaan  Allah,  Hud
mengingatkan:
 
"Ingatlah  (nikmat  Allah)  oleh  kamu sekalian ketika Allah
menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (yang  berkuasa)
sesudah  lenyapnya  kaum  Nuh; dan Tuhan melebihkan kekuatan
tubuh dan perawakanmu (daripada  kaum  Nuh),  maka  ingatlah
nikmat-nikmat  Allah  supaya kamu mendapat keberuntungan (QS
Al-A'raf [7]:  69,  dan  juga  dalam  QS  Al-Syu'ara'  [26]:
123-140)
 
Nabi Shaleh yang datang sesudah Nabi Hud a.s. lebih luas dan
rinci penjelasannya, karena wawasan umatnya lebih luas pula.
Mereka misalnya diingatkan tentang asal kejadian mereka dari
tanah atau tugas mereka memakmurkan bumi (QS Hud [11]: 61).
 
Akal yang mampu mencerna dapat memahami bahwa asal  kejadian
manusia  berasal  dari  tanah  -dalam arti bahwa sperma yang
dituangkan  ke  rahim  istri  berasal  dari   makanan   yang
dihasilkan  oleh bumi. Manusia yang memiliki akal yang dapat
mencerna ini  atau  walau  hanya  memahaminya  secara  umum,
pastilah  lebih  mampu  dari  mereka yang sekadar dipaparkan
kepadanya nikmat-nikmat Ilahi, sebagaimana halnya  kaum  Hud
dan Nuh- Di samping itu ada bukti lain yang dikemukakan Nabi
Shaleh:
 
"Dan kepada Tsamud (Kami mengutus)  saudara  mereka  Shaleh.
Dia  berkata,  'Wahai  kaumku  sembahlah  Allah, sekali-kali
tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang
bukti  yang  sangat  nyata  kepadamu;  unta betina Allah ini
sebagai bukti untuk kamu ...'" (QS Al-A'raf [7]: 73).
 
Ketika tiba masa Syu'aib, ajakan dakwahnya lebih luas  lagi,
melampaui batas yang disinggung oleh ketiga Nabi sebelumnya.
Kali  ini  ajaran  tauhid  tidak   saja   dikaitkan   dengan
bukti-bukti,  tetapi  juga  dirangkaikan  dengan hukum-hukum
syariat.
 
"Dan kepada penduduk Madyan (Kami mengutus)  saudara  mereka
Syu'aib.   Ia   berkata,   'Hai   kaumku,  sembahlah  Allah,
sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya.  Sesungguhnya
telah  datang  kepadamu  bukti  yang nyata dan Tuhanmu. Maka
sempurnakanlah takaran dan  timbangan,  dan  janganlah  kamu
kurangkan    bagi    manusia   barang-barang   takaran   dan
timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan  di  bumi
sesudah  Tuhan  memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik
bagimu, jika kamu  benar-benar  orang  yang  beriman.'"  (QS
Al-A'raf [7]: 85).
 
Ayat  ini  bahkan  menggugah  jiwa dan menuntut mereka untuk
membangun satu masyarakat yang penuh dengan  kemakmuran  dan
keadilan.
 
Setelah  itu,  datang  ajakan  Nabi  Ibrahim, yang merupakan
periode baru dari tuntunan tentang Ketuhanan Yang Maha  Esa.
Nabi  Ibrahim a.s. dikenal sebagai "Bapak Para Nabi," "Bapak
Monoteisme,"  serta  "Proklamator  Keadilan  Ilahi"   karena
agama-agama  samawi terbesar dewasa ini merujuk kepada agama
beliau.
 
Ibrahim a.s.  menemukan  dan  membina  keyakinannya  melalui
pencarian    dan   pengalaman-pengalaman   keruhanian   yang
dilaluinya dan hal ini -secara Qurani- terbukti  bukan  saja
dalam  penemuannya tentang keesaan Tuhan seru sekalian alam,
sebagaimana diuraikan dalam surat Al-An'am ayat  75,  tetapi
juga dalam keyakinan tentang hari kebangkitan. Menarik untuk
diketahui bahwa beliaulah  satu-satunya  Nabi  yang  disebut
Al-Quran bermohon kepada Allah untuk diperlihatkan bagaimana
cara-Nya menghidupkan yang mati, dan permintaan  beliau  itu
dikabulkan Allah (QS Al-Baqarah [2]: 260)
 
Para  ilmuwan seringkali berbicara tentang penemuan-penemuan
manusia yang  mempengaruhi  atau  bahkan  mengubah  jalannya
sejarah kemanusiaan. Tetapi, seperti ditulis Abbas Al-'Aqqad
dalam Abu Al-Anbiyya': "Penemuan yang dikaitkan dengan  Nabi
Ibrahim  a.s.  merupakan penemuan manusia yang terbesar, dan
yang tidak dapat diabaikan oleh para ilmuwan atau sejarawan.
Ia  tidak  dapat  dibandingkan  dengan  penemuan  roda, api,
listrik,  atau  rahasia-rahasia  atom  -betapapun   besarnya
pengaruh penemuan-penemuan tersebut- yang semua itu dikuasai
oleh manusia.  Penemuan  Ibrahim  menguasai  jiwa  dan  raga
manusia.   Penemuan  Ibrahim menjadikan manusia yang tadinya
tunduk kepada  alam  menjadi  mampu  menguasai  alam,  serta
menilai baik buruknya.  Penemuan manusia dapat menjadikannya
berlaku sewenang-wenang,  tetapi  kesewenangan-wenangan  ini
tidak  mungkin  dilakukannya  selama  penemuan  Ibrahim a.s.
tetap menghiasi jiwanya.  Penemuan tersebut berkaitan dengan
apa   yang   diketahui   dan   tidak-diketahuinya  berkaitan
kedudukannya  sebagai  makhluk,  dan  hubungan  makhluk  ini
dengan Tuhan, alam raya, dan makhluk-makhluk sesamanya."
Karena  itu  ketika  memaparkan  tauhid kepada umatnya, Nabi
mulia ini tidak lagi berkata  sebagai  Nabi-nabi  sebelumnya
berkata,
 
"Sembahlah Allah, kalian tidak memiliki Tuhan selain-Nya,"
 
tetapi dinyatakannya,
 
"Sembahlah  Allah  dan bertakwalah kepada-Nya, yang demikian
itu  lebih  baik  untukmu  kalau  kamu  mengetahuinya"   (QS
Al-'Ankabut [29]: 16)
 
Dan  dinyatakannya  bahwa  Tuhan  yang disembah adalah Tuhan
seru sekalian alam,  bukan  Tuhan  suku,  bangsa  dan  jenis
makhluk tertentu saja.
 
"Sesungguhnya  aku  menghadapkan  wajahku  kepada Tuhan yang
menciptakan langit dan bumi dengan  cenderung  kepada  agama
yang  benar,  dan  aku  bukanlah  termasuk  orang-orang yang
mempersekutukan Tuhan" (QS Al-'An'am [6]: 79).
 
"Dia (Ibrahim) berkata (kepada kaumnya),  'Sebenarnya  Tuhan
kamu  adalah  Tuhan  seluruh  langit  dan  bumi  yang  telah
menciptakannya, dan  aku  termasuk  orang-orang  yang  dapat
memberikan  bukti  atas  yang  demikian  itu" (QS Al-Anbiya,
[21]: 56).
 
Terlihat juga dari Al-Quran  bagaimana  beliau  "berdiskusi"
dengan  umatnya  dalam  rangka membuktikan kesesatan mereka,
dan menunjukkan kebenaran akidah tauhid (antara  lain  surat
Al-Anbiya, [21]: 51-67).
 
Demikianlah  tahap  baru dalam uraian tauhid, dan karena itu
-seperti  ditulis  oleh  Abdul-Karim  Al-Khatib  dalam  buku
karyanya, Qadhiyat Al-Uluhiyyah baina Al-Falsafah wa Ad-Din-
sejak Nabi Ibrahim, sampai dengan nabi-nabi sesudahnya tidak
dikenal   lagi   pemusnahan   total   bagi  umat  satu  Nabi
sebagaimana yang terjadi terhadap umat-umat sebelumnya.
 
Pemaparan tauhid pun dari hari ke hari  semakin  mantap  dan
jelas   hingga  mencapai  puncaknya  dengan  kehadiran  Nabi
Muhammad Saw.
 
Uraian Al-Quran tentang Tuhan kepada umat Nabi Muhammad Saw.
dimulai  dengan  pengenalan tentang perbuatan dan sifat-Nya.
Ini terlihat secara jelas ketika wahyu pertama turun.
 
"Bacalah demi Tuhan-Mu yang  menciptakan  (segala  sesuatu).
Dia  telah  menciptakan  manusia  dari  'alaq.  Bacalah  dan
Tuhan-mulah yang  (bersifat)  Maha  Pemurah,  yang  mengajar
manusia  dengan  qalam,  mengajar  manusia  apa  yang  tidak
diketahui(-nya)" (QS Al-'Alaq [96]: 1-5).
 
Dalam  rangkaian  wahyu-wahyu  pertama.  Al-Quran   menunjuk
kepada kepadaTuhan Yang Maha Esa dengan kata Rabbuka (Tuhan)
Pemeliharamu (Wahai Muhammad), bukan kata "Allah."1
 
Hal ini untuk menggarisbawahi Wujud  Tuhan  Yang  Maha  Esa,
yang dapat dibuktikan melalui ciptaan atau perbuatan-Nya.
 
Dari  satu  sisi  memang  dikenal  satu  ungkapan  yang oleh
sementara pakar dinilai sebagai hadis Qudsi yang berbunyi:
 
"Aku adalah sesuatu yang tersembunyi, Aku berkehendak  untuk
dikenal, maka Kuciptakan makhluk agar mereka mengenal-Ku."
 
Di   sisi   lain,   tidak  digunakannya  kata  "Allah"  pada
wahyu-wahyu pertama  itu,  adalah  dalam  rangka  meluruskan
keyakinan  kaum musyrik, karena mereka juga menggunakan kata
"Allah" untuk menunjuk kepada Tuhan, namun keyakinan  mereka
tentang  Allah  berbeda dengan keyakinan yang diajarkan oleh
Islam.
 
Mereka  misalnya  beranggapan  bahwa  ada  hubungan   antara
"Allah"  dan  jin (QS Al-Shaffat [37]: 158), dan bahwa Allah
memiliki anak-anak wanita  (QS  Al-Isra'  [17]:  40),  serta
manusia  tidak mampu berhubungan dan berdialog dengan Allah,
karena Dia demikian tinggi dan suci, sehingga para  malaikat
dan      berhala-berhala      perlu     disembah     sebagai
perantara-perantara antara mereka dengan Allah (QS  Al-Zumar
[39]: 3)
 
Dan   kekeliruan-kekeliruan  itu,  maka  Al-Quran  melakukan
pelurusan-pelurusan yang dipaparkannya dengan berbagai  gaya
bahasa,  cara dan bukti. Sekali dengan pernyataan tegas yang
didahului dengan sumpah, misalnya:
 
"Demi (rombongan) yang bershaf-shaf dengan sebenar-benarnya,
dan  demi  (rombongan)  yang  melarang  (perbuatan  durhaka)
dengan sebenar-benamya, dan demi (rombongan) yang membacakan
pelajaran.   Sesungguhnya  Tuhanmu  benar-benar  Esa,  Tuhan
langit dan bumi serta apa yang ada di antara  keduanya,  dan
Tuhan tempat-tempat terbitnya matahari" (QS Al-Shaffat [37]:
1-5).
 
Dalam ayat lain diajukan pertanyaan yang mengandung kecaman,
 
"Manakah yang baik, tuhan-tuhan yang  banyak  bermacam-macam
itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Mahaperkasa?" (QS Yusuf
[12]: 39).
 
Kemudian  Al-Quran  juga   menggunakan   gaya   perumpamaan,
seperti:
 
"Perumpamaan  orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung
selain Allah adalah seperti laba-laba  yang  membuat  rumah.
Sesungguhnya rumah yang paling rapuh adalah rumah laba-laba,
kalau mereka mengetahui" (QS Al-'Ankabut [29]: 41).
 
Ayat  ini  memberi  perumpamaan  mengenai  orang-orang  yang
meminta  perlindungan  kepada selain Allah, sebagai serangga
yang berlindung ke sarang laba-laba. Serangga itu tentu akan
terjerat  menjadi  mangsa laba-laba, dan bukannya terlindung
olehnya. Bahkan jangankan serangga yang berlainan  jenisnya,
yang  satu  jenis  pun  seperti  jantan  laba-laba, berusaha
diterkam  oleh  laba-laba  betina  begitu   mereka   selesai
berhubungan  seks.  Kemudian telur-telur laba-laba yang baru
saja menetas, saling tindih-menindih sehingga  yang  menjadi
korban adalah yang tertindih.
 
Dalam  kesempatan lain, Al-Quran memaparkan kisah-kisah yang
bertujuan menegakkan  tauhid,  seperti  kisah  Nabi  Ibrahim
ketika   memorak-porandakan   berhala-berhala  kaumnya  (QS
Al-Anbiya' [21]: 51-71)
 
                                   BUKTI-BUKTI KEESAAN TUHAN
 
Ada sementara orang yang menuntut bukti  wujud  dan  keesaan
Tuhan   dengan  pembuktian  material.  Mereka  ingin  segera
melihat-Nya di dunia ini. Nabi Musa a.s. suatu ketika pernah
bermohon agar Tuhan menampakkan diri-Nya kepadanya, sehingga
Tuhan berfirman sebagai jawaban atas permohonannya,
 
"'Engkau sekali-kali tidak  akan  dapat  melihat-Ku.  Tetapi
lihatlah  ke  bukit itu, jika ia tetap di tempatnya [seperti
keadaannya semula), niscaya kamu dapat melihat-Ku.'  Tatkala
Tuhannya   tampak   bagi   gunung   itu,  kejadian  tersebut
menjadikan gunung  itu  hancur  luluh  dan  Musa  pun  jatuh
pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata, 'Maha
suci Engkau, aku bertobat  kepada-Mu,  dan  aku  orang  yang
pertama  (dari  kelompok)  orang beriman'" (QS Al-A'raf [7]:
143).
 
Peristiwa ini membuktikan  bahwa  manusia  agung  pun  tidak
berkemampuan   untuk   melihat-Nya   -paling   tidak-  dalam
kehidupan   dunia   ini.   Agaknya   kenyataan   sehari-hari
menunjukkan  bahwa  kita  dapat  mengakui keberadaan sesuatu
tanpa harus melihatnya. Bukankah kita mengakui adanya angin,
hanya dengan merasakan atau melihat bekas-bekasnya? Bukankah
kita mengakui adanya "nyawa"  bukan  saja  tanpa  melihatnya
bahkan tidak mengetahui substansinya?
 
Di  sisi  lain  ada dua faktor yang menjadikan makhluk tidak
dapat melihat sesuatu. Pertama,  karena  sesuatu  yang  akan
dilihat terlalu kecil apalagi dalam kegelapan. Sebutir pasir
lebih-lebih di malam yang kelam tidak mungkin ditemukan oleh
seseorang.  Namun  kegagalan  itu  tidak  berarti pasir yang
dicari  tidak  ada  wujudnya.  Faktor  kedua  adalah  karena
sesuatu  itu  sangat  terang. Bukankah kelelawar tidak dapat
melihat di siang hari, karena  sedemikian  terangnya  cahaya
matahari  dibanding  dengan kemampuan matanya untuk melihat?
Tetapi bila malam tiba,  dengan;  mudah  ia  dapat  melihat.
Demikian  pula  manusia tidak sanggup menatap matahari dalam
beberapa saat saja, bahkan sesaat setelah menatapnya ia akan
menemukan kegelapan Kalau demikian wajar jika mata kepalanya
tak mampu melihat Tuhan Pencipta matahari itu.
 
Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya  oleh  seorang  sahabatnya
bernama Zi'lib Al-Yamani,
 
"Apakah   Anda   pernah  melihat  Tuhan?"  Beliau  menjawab,
"Bagaimana saya menyembah yang  tidak  pernah  saya  lihat?"
"Bagaimana  Anda  melihat-Nya?"  tanyanya  kembali. Imam Ali
menjawab,"Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangannya
yang  kasat,  tetapi  bisa  dilihat oleh hati dengan hakikat
keimanan ..."
 
Mata hati  jauh  lebih  tajam  dan  dapat  lebih  meyakinkan
daripada  pandangan  mata. Bukankah mata sering menipu kita?
Kayu yang lurus terlihat bengkok di  dalam  sungai,  bintang
yang besar terlihat kecil dari kejauhan.
 
Dalam  kaitan dengan argumen-argumen dan bukti-bukti logika,
kita dapat menyatakan bahwa  tidak  ada  satu  argumen  yang
dikemukakan  oleh  para  filosof  tentang  Wujud dan Keesaan
Tuhan yang tidak dikemukakan Al-Quran. Hanya  bedanya  bahwa
kalimat-kalimat yang digunakan Al-Quran sedemikian sederhana
dan  mudah  ditangkap,  berbeda  dengan  para  filosof  yang
seringkali berbelit-belit.
 
Dahulu  dikenal  apa yang dinamai bukti ontologi, kosmologi,
dan  teleologi.  Bukti  ontologi  menggambarkan  bahwa  kita
mempunyai  ide  tentang  Tuhan, dan tidak dapat membayangkan
adanya sesuatu yang lebih berkuasa dan-Nya. Bukti  kosmologi
berdasar  pada  ide  "sebab dan akibat" yakni, tidak mungkin
tertadi sesuatu tanpa ada penyebabnya, dan penyebab terakhir
pastilah  Tuhan.  Bukti teleologi, berdasar pada keseragaman
dan keserasian alam, yang tidak dapat terjadi tanpa ada satu
kekuatan yang mengatur keserasian itu
 
Kini  para  filosof memperkenalkan bukti-bukti baru, seperti
pengalaman moral. Pengalaman moral merupakan  tanda  tentang
adanya  yang  real;  pengalaman ini tidak akan berarti tanpa
adanya susunan moral yang objektif, dan ini pada  gilirannya
tidak  akan  berarti  tanpa adanya satu Zat Yang Mahatinggi,
Tuhan Yang Mahakuasa.
 
Bukti lain adalah pengalaman  keagamaan  yang  dialami  oleh
kebanyakan  manusia  yang  tidak diragukan kejujurannya, dan
yang intinya mengandung informasi yang sama.
 
Bukti-bukti  yang  dipaparkan  di  atas,  dikemukakan   oleh
Al-Quran   dengan   berbagai   cara,  baik  tersurat  maupun
tersirat.
 
Secara umum kita dapat membagi uraian Al-Quran tentang bukti
Keesaan Tuhan dengan tiga bagian pokok, yaitu:
 
1. Kenyataan wujud yang tampak.
2. Rasa yang terdapat dalam jiwa manusia.
3. Dalil-dalil logika.
 
                              1. KENYATAAN WUJUD YANG TAMPAK
 
Dalam konteks ini Al-Quran menggunakan seluruh wujud sebagai
bukti,  khususnya  keberadaan  alam  raya  ini dengan segala
isinya. Berkali-kali manusia diperintahkan  untuk  melakukan
nazhar,  fikr, serta berjalan di permukaan bumi guna melihat
betapa alam raya ini tidak mungkin terwujud tanpa  ada  yang
mewujudkannya.
 
"Tidakkah  mereka  melihat kepada unta bagaimana diciptakan,
dan ke langit bagaimana ia ditinggikan, ke gunung  bagaimana
ia ditancapkan, serta ke bumi bagaimana ia dihamparkan?" (QS
Al-Ghasyiyah [88]: l7-20).
 
Dalam   uraian    Al-Quran    tentang    kenyataan    wujud,
dikemukakannya keindahan dan keserasian alam raya.
 
"Tidakkah mereka melihat ke langit di atas mereka, bagaimana
Kami meninggikannya dan menghiasinya dan  langit  itu  tidak
mempunyai  retak-retak  sedikit pun? Dan Kami hamparkan bumi
serta Kami letakkan padanya gunung-gunung  yang  kokoh,  dan
Kami  tumbuhkan  padanya  segala  macam  tanaman  yang indah
dipandang mata." (QS Qaf [50]: 6-7).
 
Adapun keserasiannya, maka dinyatakannya:
 
"(Allah) yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis.  Kamu
sama  sekali  tidak  melihat  pada  ciptaan  Tuhan Yang Maha
Pengasih  sesuatu  yang  tidak   seimbang.   Maka   lihatlah
berulang-ulang,   adakah   sesuatu  yang  kamu  lihat  tidak
seimbang?   Kemudian   pandanglah   sekali   lagi,   niscaya
penglihatanmu  akan  kembali kepadamu dengan tidak menemukan
sesuatu pun yang cacat,  dan  penglihatanmu  itu  pun  dalam
keadaan payah" (QS Al-Mulk [67]: 3-4).
  2. RASA YANG TERDAPAT DALAM JIWA MANUSIA
 
Dalam konteks ini, Al-Quran misalnya mengingatkan manusia,
 
"Katakanlah   (hai   Muhammad  kepada  yang  mempersekutukan
Tuhan), 'Jelaskanlah  kepadaku  jika  datang  siksaan  Allah
kepadamu,  atau  datang  hari  kiamat,  apakah  kamu menyeru
(tuhan) selain Allah, jika  kamu  orang-orang  yang  benar?'
Tidak!  Tetapi  hanya  kepada-Nya  kamu  bermohon,  maka Dia
menyisihkan bahaya yang karenanya  kamu  berdoa  kepada-Nya,
jika  Dia menghendaki, dan kamu tinggalkan sembahan-sembahan
yang  kamu  sekutukan  (dengan  Allah)"  (QS  Al-An'am  [6]:
40-41).
 
"Dialah   Tuhan  yang  menjadikan  kamu  dapat  berjalan  di
daratan, dan (berlayar) di lautan. Sehingga bila kamu berada
di  dalam  bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa para
penumpangnya dengan  tiupan  angin  yang  baik,  dan  mereka
bergembira  karenanya:  (kemudian) datanglah angin badai dan
apabila  gelombang  dari  segenap  penjuru  menimpanya,  dan
mereka  yakin  bahwa  mereka  telah terkepung (bahaya), maka
mereka berdoa kepada  Allah  dengan  mengikhlaskan  ketaatan
kepada-Nya  semata-mata. (Mereka berkata) 'Sesungguhnya jika
Engkau menyelamatkan kami dari  bahaya  ini,  pastilah  kami
akan  termasuk  orang-orang yang bersyukur'" (QS Yunus [10]:
22).
 
Demikian Al-Quran menggambarkan  hati  manusia.  Karena  itu
sungguh  tepat  pandangan  sementara filosof yang menyatakan
bahwa manusia dapat  dipastikan  akan  terus  mengenal  dari
berhubungan  dengan  Tuhan sampai akhir zaman, walaupun ilmu
pengetahuan membuktikan lawan dari hal tersebut. Ini  selama
tabiat  kemanusiaan  masih  sama  seperti  sediakala,  yakni
memiliki naluri mengharap, cemas, dan takut,  karena  kepada
siapa  lagi  jiwanya  akan  mengarah  jika  rasa  takut atau
harapannya tidak lagi dapat dipenuhi oleh makhluk, sedangkan
harapan dan rasa takut manusia tidak pernah akan putus.
 
                                       3. DALIL-DALIL LOGIKA
 
Bertebaran  (ayat-ayat  yang  menguraikan dalil-dalil aqliah
tentang Keesaan Tuhan- Misalnya,
 
"Bagaimana Dia mempunyai anak, padahal Dia  tidak  mempunyai
istri.   Dia   yang  menciptakan  segala  sesuatu,  dan  Dia
mengetahui segala sesuatu" (QS Al-An'am [6]: 101)
 
"Seandainya pada keduanya (langit dan bumi) ada  dua  Tuhan,
maka pastilah keduanya binasa" (QS Al-Anbiya' [21]: 22)
 
Maksud  ayat  ini  adalah "seandainya ada dua pencipta, maka
akan  kacau  ciptaan,  karena  jika  masing-masing  Pencipta
menghendaki  sesuatu  yang tidak dikehendaki oleh yang lain,
maka kalau keduanya berkuasa, ciptaan pun  akan  kacau  atau
tidak  akan mewujud; kalau salah satu mengalahkan yang lain,
maka yang kalah  bukan  Tuhan;  dan  apabila  mereka  berdua
bersepakat, maka itu merupakan bukti kebutuhan dan kelemahan
mereka, sehingga keduanya bukan Tuhan,  karena  Tuhan  tidak
mungkin membutuhkan sesuatu atau lemah atas sesuatu."
 
Pengalaman   ruhani   pun  disebutkan  oleh  Al-Quran  yaitu
pengalaman para Nabi dan  Rasul.  Misalnya  pengalaman  Nabi
Musa   a.s.  (Baca  QS  Thaha  [20]:  9-47).  Demikian  juga
pengalaman  Nabi  Ibrahim  dan  Nabi  Muhammad  Saw.,  serta
nabi-nabi yang lain dengan berbagai rinciannya yang berbeda,
namun semuanya bermuara pada tauhid atau Keesaan Tuhan.
 
Di samping mengemukakan dalil-dalil di atas,  Al-Quran  juga
mengajak  mereka yang mempersekutukan Tuhan untuk memaparkan
hujjah mereka
 
"Apakah mereka mengambil tuhan-tuhan selain-Nya? Katakanlah,
'Kemukakan bukti kalian!'" (QS Al-Anbiya' [21]: 24).
 
"Katakanlah,  'Jelaskanlah  kepadaku  tentang  apa yang kamu
sembah selain Allah; perlihatkan kepada-Ku apakah yang telah
mereka  ciptakan dan bumi ini, atau adakah mereka berserikat
(dengan Allah) dalam (penciptaan) langit.  Bawalah  kepadaku
kitab   sebelum   (Al-Quran)   ini,   atau  peninggalan  dan
pengetahuan   (orang-orang   dahulu)   jika   kamu    adalah
orang-orang yang benar'" (QS Al-Ahqaf [46]: 4)
 
                                         MACAM-MACAM KEESAAN
 
Berbicara  tentang  macam-macam  keesaan  Allah mengantarkan
kita untuk memahami paling tidak surat Al-Ikhlas, sedikitnya
tentang ayatnya yang pertama,
 
"Katakanlah! Dia Allah Yang Maha Esa."
 
Abu As-Su'ud, salah seorang pakar tafsir dan tasawuf menulis
dalam tafsirnya, bahwa Al-Quran menempatkan kata huwa  untuk
menunjuk  kepada  Allah,  padahal  sebelumnya  tidak  pernah
disebut dalam susunan redaksi ayat ini  kata  yang  menunjuk
kepada-Nya.  Ini,  menurutnya, untuk memberi kesan bahwa Dia
Yang Mahakuasa itu, sedemikian terkenal dan nyata,  sehingga
hadir  dalam  benak setiap orang dan hanya kepada-Nya selalu
tertuju segala isyarat.
 
Ahad yang diterjemahkan dengan kata Esa terambil  dari  akar
kata wahdat yang berarti "kesatuan," seperti juga kata wahid
yang berarti "satu." Kata ini  sekali  berkedudukan  sebagai
nama,  dan  sekali  sebagai  sifat  bagi sesuatu. Apabila ia
berkedudukan sebagai sifat, maka ia  hanya  digunakan  untuk
Allah Swt. semata.
 
Dalam  ayat di atas, kata Ahad berfungsi sebagai sifat Allah
Swt., dalam arti bahwa Allah memiliki sifat-sifat tersendiri
yang tidak dimiliki oleh selain-Nya.
 
Dari  segi  bahasa,  kata  Ahad walaupun berakar sama dengan
Wahid, tetapi masing-masing memiliki  makna  dan  penggunaan
tersendiri.  Kata  Ahad  hanya  digunakan untuk sesuatu yang
tidak dapat menerima penambahan  baik  dalam  benak  apalagi
dalam  kenyataan,  karena  itu  kata  ini  -ketika berfungsi
sebagai  sifat-  tidak  termasuk  dalam  rentetan  bilangan,
berbeda  halnya  dengan wahid (satu); Anda dapat menambahnya
sehingga  menjadi  dua,  tiga,  dan   seterusnya,   walaupun
penambahan itu hanya dalam benak pengucap atau pendengarnya.
 
Berbicara  tentang  angka  -dalam  kaitannya  dengan bahasan
tauhid- agaknya menarik untuk  dihayati  bahwa  kata  "Ahad"
terulang  di  dalam  Al-Quran  sebanyak 85 kali, namun hanya
sekali yang menjadi sifat Tuhan yakni firman-Nya dalam surat
Al-Ikhlas,   "Qul   Huwa  Allahu  Ahad."  Seakan-akan  Allah
bermaksud untuk  menekankan  keyakinan  tauhid,  bukan  saja
dalam  maknanya,  tetapi  juga  dalam  bilangan  pengulangan
lafalnya,  serta  kandungan  lafal  itu.  Ini  menggambarkan
kemurnian  mutlak  dalam  keesaan.  Bukankah kata Wahid yang
berarti "satu," dapat  berbilang  unsurnya,  berbeda  dengan
kata  Ahad  yang mutlak tidak berbilang, walau hanya sekadar
unsurnya?
 
Benar! Allah  terkadang  juga  disifati  dengan  kata  Wahid
seperti antara lain dalam firman-Nya:
 
"Tuhan-Mu  adalah  Tuhan yang Wahid, tiada Tuhan selain Dia,
Dia Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang"  (QS  Al-Baqarah
[2]: 163)
 
Sementara  ulama  berpendapat bahwa kata Wahid dalam ayat di
atas,  menunjuk  kepada  keesaan  Zat-Nya  disertai   dengan
keragaman  sifat-sifat-Nya, bukankah Dia Maha Pengasih, Maha
Penyayang,  Mahakuat,  Maha  Mengetahui,   dan   sebagainya,
sedangkan  kata  Ahad  dalam  surat  Al-Ikhlas  itu, mengacu
kepada keesaan Zat-Nya saja, tanpa memperlihatkan  keragaman
sifat-sifat tersebut.
 
Terlepas  dari  setutu  atau tidak dengan pembedaan terakhir
ini, namun yang jelas bahwa Allah Maha Esa, dan  Keesaan-Nya
itu mencakup empat macam keesaan
 
1. Keesaan Zat
2. Keesaan Sifat
3. Keesaan Perbuatan, dan
4. Keesaan dalam beribadah kepada-Nya.
 
                                          1. KEESAAN ZAT-NYA
 
Keesaan Zat  mengandung  pengertian  bahwa  seseorang  harus
percaya  bahwa  Allah  Swt.  tidak terdiri dari unsur-unsur,
atau bagian-bagian,  karena  bila  Zat  Yang  Mahakuasa  itu
terdiri  dari dua unsur atau lebih -betapapun kecilnya unsur
atau bagian itu- maka ini berarti Dia membutuhkan unsur atau
bagian  itu.  Atau  dengan  kata  lain unsur atau bagian itu
merupakan syarat bagi wujud-Nya. Ambil sebagai contoh sebuah
jam   tangan.  Anda  menemukan  jam  tersebut  terdiri  dari
beberapa bagian, ada jarum yang menunjuk angka,  ada  logam,
ada  karet, dan lain-lain. Bagian-bagian tersebut dibutuhkan
oleh sebuah jam tangan, karena tanpa bagian  itu,  ia  tidak
dapat  menjadi  jam  tangan.  Nah,  ketika itu, walaupun jam
tangan ini hanya  satu,  tetapi  ia  tidak  esa,  karena  ia
terdiri  dari  bagian-bagian  tersebut.  Jika  demikian, Zat
Tuhan pasti tidak  terdiri  dari  unsur  atau  bagian-bagian
betapapun  kecilnya,  karena  jika  demikian, Dia tidak lagi
menjadi Tuhan. Benak kita  tidak  dapat  membayangkan  Tuhan
membutuhkan sesuatu dan Al-Quran pun menegaskan demikian:
 
"Wahai  seluruh  manusia kamulah yang butuh kepada Allah dan
Allah Mahakaya tidak membutuhkan sesuatu lagi Maha  Terpuji"
(QS Fathir [35]: 15).
 
Setiap penganut paham tauhid berkeyakinan bahwa Allah adalah
sumber segala sesuatu dan Dia sendiri tidak  bersumber  dari
sesuatu pun. Al-Quran menegaskan bahwa,
 
"Tidak  ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha
Mendengar lagi Maha Melihat" (QS Al-Syura [42]: 11)
 
Perhatikan redaksi ayat di atas, "Tidak ada sesuatupun  yang
serupa  dengan-Nya."  Yang  serupa dengan-Nya pun tidak ada,
apalagi yang seperti Dia. lebih-lebih yang sama  dengan-Nya.
Karena itu, jangankan secara faktual di dunia nyata ada yang
seperti dengan-Nya, yang secara  imajinatif  pun  tidak  ada
yang serupa dengan-Nya.
 
Keragaman  dan  bilangan  lebih  dari  satu adalah substansi
setiap makhluk, bukan ciri  Khaliq.  Itulah  sebagian  makna
Keesaan dalam Zat-Nya.
 
                                        2. KEESAAN SIFAT-NYA
 
Adapun keesaan sifat-Nya, maka itu antara lain berarti bahwa
Allah memiliki sifat yang tidak  sama  dalam  substansi  dan
kapasitasnya dengan sifat makhluk, walaupun dari segi bahasa
kata yang digunakan  untuk  menunjuk  sifat  tersebut  sama.
Sebagai  contoh,  kata  Rahim  merupakan  sifat  bagi Allah,
tetapi juga  digunakan  untuk  menunjuk  rahmat  atau  kasih
sayang  makhluk.  Namun  substansi  dan kapasitas rahmat dan
kasih sayang Allah berbeda dengan rahmat makhluk-Nya.
 
Allah Esa dalam sifat-Nya, sehingga tidak ada yang  menyamai
substansi dan kapasitas sifat tersebut.
 
Sementara  ulama  memahami lebih jauh keesaan sifat-Nya itu,
dalam  arti  bahwa  Zat-Nya  sendiri  merupakan   sifat-Nya.
Demikian  mereka  memahami keesaan secara amat murni. Mereka
menolak adanya "sifat" bagi  Allah,  walaupun  mereka  tetap
yakin   dan   percaya  bahwa  Allah  Maha  Mengetahui,  Maha
Pengampun, Maha Penyantun, dan lain-lain  yang  secara  umum
dikenal  ada  sembilan  puluh sembilan. Mereka yakin tentang
hal tersebut, tetapi mereka menolak menamainya  sifat-sifat.
Lebih  jauh penganut paham ini berpendapat bahwa "sifat-Nya"
merupakan satu kesatuan, sehingga kalau dengan  tauhid  Zat,
dinafikan segala unsur keterbilangan pada Zat-Nya, betapapun
kecilnya unsur  itu,  maka  dengan  tauhid  sifat  dinafikan
segala  macam dan bentuk ketersusunan dan keterbilangan bagi
sifat-sifat Allah.  Berapa  jumlah  sifat  Allah  itu?  Yang
populer  menurut  sebuah hadis ada 99 sifat. Tetapi Muhammad
Husain  Ath-Thabathaba'i,   setelah   menelusuri   ayat-ayat
Al-Quran,  menyimpulkan  bahwa ada 127 nama atau sifat Allah
yang  ditemukan   dalam   Al-Quran,   kesemuanya   merupakan
Al-Asma',     Al-Husna.    Rincian    sifat/nama-nama    itu
dikemukakannya dalam Tafsirnya Al-Mizan  ketika  menafsirkan
QS Al-A'raf [7]: 180.
 
                                    3. KEESAAN PERBUATAN-NYA
 
Keesaan ini mengandung arti bahwa segala sesuatu yang berada
di alam raya ini, baik  sistem  kerjanya  maupun  sebab  dan
wujud-Nya,  kesemuanya  adalah hasil perbuatan Allah semata.
Apa  yang  dikehendaki-Nya  terJadi,  dan  apa  yang   tidak
dikehendaki-Nya  tidak  akan  terjadi, tidak ada daya (untuk
memperoleh manfaat),  tidak  pula  kekuatan  (untuk  menolak
madarat), kecuali bersumber dari Allah Swt., itulah makna:
 
[tulisan Arab]
 
Tetapi   ini   bukan   berarti   bahwa  Allah  Swt.  berlaku
sewenang-wenang,   atau   "bekerJa"   tanpa   sistem    yang
ditetapkanNya.   Keesaan   perbuatan-Nya   dikaitkan  dengan
hukum-hukum,    atau    takdir    dan    sunnatullah    yang
ditetapkan-Nya.
 
Dalam mewujudkan kehendak-Nya Dia tidak membutuhkan apa pun.
 
"Sesungguhnya   keadaan-Nya  bila  Dia  menghendaki  sesuatu
hanyalah berkata, 'Jadilah!' Maka jadilah  ia"  (QS  Ya  Sin
[36]: 82)
 
Tetapi  ini  bukan juga berarti bahwa Allah membutuhkan kata
"jadilah;" ayat ini hanya bermaksud menggambarkan bahwa pada
hakikatnya  dalam  mewujudkan  sesuatu Dia tidak membutuhkan
apa pun. Ayat ini juga tidak berarti  bahwa  segala  sesuatu
yang  diciptakan-Nya  tercipta  dalam sekejap, tanpa proses,
sesuai dengan kehendak-Nya. Bukankah Isa a.s. dinyatakan-Nya
sebagai tercipta dengan kun.
 
"Sesungguhnya  keadaan (penciptaan) Isa di sisi Allah adalah
seperti Adam, diciptakan dari  tanah  kemudian  Dia  katakan
kepadanya  kun  (jadilah),  maka jadilah dia" (9S Ali 'Imran
[3]: 59).
 
Pada ayat lain, Al-Quran menggambarkan proses kejadian  Isa,
yang   dimulai  dengan  kehadiran  malaikat  kepada  Maryam,
kehamilannya, sakit perut menjelang kelahiran, dan  akhirnya
lahir (Baca QS Maryam [19]: 16-26).
 
Sekali  lagi,  kata  kun  bukan berarti bahwa segala sesuatu
yang dikehendaki-Nya terjadi serta-merta tanpa suatu proses.
 

4. KEESAAN DALAM BERIBADAH KEPADA-NYA   Kalau ketiga keesaan di atas merupakan hal-hal yang harus diketahui dan diyakini, maka keesaan keempat ini merupakan perwujudan dari ketiga makna keesaan terdahulu.   Ibadah itu beraneka ragam dan bertingkat-tingkat. Salah satu ragamnya yang paling jelas, adalah amalan tertentu yang ditetapkan cara dan atau kadarnya langsung oleh Allah atau melalui Rasul-Nya, dan yang secara populer dikenal dengan istilah ibadah mahdhah. Sedangkan ibadah dalam pengertiannya yang umum, mencakup segala macam aktivitas yang dilakukan demi karena Allah.   Nah, mengesakan Tuhan dalam beribadah, menuntut manusia untuk melaksanakan segala sesuatu demi karena Allah, baik sesuatu itu dalam bentuk ibadah mahdhah (murni), maupun selainnya. Walhasil, keesaan Allah dalam beribadah kepada-Nya adalah dengan melaksanakan apa yang tergambar dalam firman-Nya,   "Katakanlah, 'Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku, (seterusnya) karena Allah, Pemelihara seluruh alam'" (QS Al-An'am [6]: 162).   ALLAH DALAM KEHIDUPAN MANUSIA   Salah satu ayat yang menggambarkan dampak kehadiran Allah dalam jiwa manusia adalah firman-Nya,   "Allah membuat perumpamaan, (yaitu) seorang lelaki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat dan saling berselisih (buruk perangai mereka), dengan seorang budak yang menjadi milik penuh dari seorang saja. Adakah keduanya (budak-budak itu) sama halnya? Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui (QS Al-Zumar [39]: 29).   Ayat ini bermaksud menggambarkan bagaimana keadaan seseorang yang harus taat kepada sekian banyak orang yang memilikinya, tetapi pemilik-pemiliknya itu saling berselisih dan buruk perangainya. Alangkah bingung ia. Yang ini memerintahkan satu hal, belum lagi selesai datang yang lain mencegah atau memerintahkannya dengan perintah lain, yang ketiga pun demikian. Begitu seterusnya, sehingga pada akhirnya budak itu hidup dalam kompleks kejiwaan yang tidak diketahui bagaimana cara menanggulanginya. Bandingkanlah hal itu dengan seorang budak lain yang hanya menjadi milik penuh seseorang sehingga ia tidak mengalami kebingungan atau kontradiksi dalam kesehariannya.   Menarik dikemukakan alasan Murtadha Muthahhari yang juga memahami sebagaimana ulama-ulama lain -arti kata rajulan pada ayat di atas dengan "budak." Ulama tersebut menulis dalam bukunya Allah dalam Kehidupan Manusia bahwa: Sementara orang ada yang membuat kemungkinan berikut, yakni bahwa manusia berkeinginan untuk hidup bebas (tanpa kendali). Sesungguhnya keinginan ini (walaupun merupakan sesuatu yang mustahil) menjadikan manusia keluar dari kemanusiaannya, karena ini berarti bahwa ketika itu dia tidak mengakui adanya hukum, tujuan, keinginan atau ide -dalam arti dia kosong sama sekali dari keyakinan tertentu, dan keadaan demikian mencabutnya dari hakikat kemanusiaan. Keadaan semacam ini tidak ada wujudnya dalam kehidupan manusia di dunia. Orang-orang yang menghendaki kehidupan sebebas mungkin, serta tidak mengakui adanya sedikit peraturan pun, pasti hidup mereka pun dilandasi oleh keyakinan (ide tertentu) atau berusaha mencari ide/keyakinan tertentu. Usaha ini menunjukkan bahwa manusia harus menerima wewenang pengaturan dari keyakinan (ide yang ada dalam benaknya). Jika demikian, tidak heran jika Al-Quran menggunakan istilah-istilah yang mengandung arti budak (seseorang yang dimiliki oleh pihak lain).   Keadaan yang digambarkan oleh ayat di atas, terbukti kebenarannya dalam kenyataan hidup orang-orang yang lemah imannya, atau memiliki sekian banyak ide atau keyakinan yang saling bertentangan. Sekali dia taat kepada Tuhan, lain kali dia taat kepada setan, sekali dia ke masjid, lain kali ke klub malam. Orang semacam ini dikuasai atau menjadi budak sekian penguasa yang buruk perangainya sehingga pada akhimya ia mengidap kepribadian ganda (split personality), yang merupakan salah satu bentuk dari sekian banyak bentuk penyakit kejiwaan. Kalau demikian wajar jika Al-Quran menegaskan bahwa,   "Orang-orang yang beriman dan hati mereka tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram" (QS Al-Ra'd [13]: 28).   Kalau dalam ayat lain Al-Quran menegaskan bahwa seandainya pada keduanya (langit dan bumi) terdapat banyak Tuhan (Pengusa yang mengatur alam) selain Allah, maka pastilah keduanya akan binasa (QS Al-Anbiya, [21]: 22), maka dalam QS Al-Zumar [39]: 29 di atas, Allah berpesan bahwa seandainya di dalam jiwa seseorang ada banyak tuhan atau penguasa yang mengatur hidupnya, maka pasti pula jiwanya akan rusak binasa.   Kalau uraian di atas membuktikan kebutuhan jiwa manusia kepada akidah tauhid, maka rangkaian pertanyaan berikut dapat menjadi salah satu bukti tentang kebutuhan akalnya terhadap akidah ini. Pertanyaan dimaksud adalah: "Siapa yang menjamin bila Anda melontar ke depan, maka batu itu tidak mengarah ke belakang? Apa yang menjamin bahwa air selalu mencari tempat yang rendah? Apa yang mengantar ilmuwan untuk memperoleh semacam, kepastian, dalam langkah-langkahnya?" Kepastian tersebut tidak mungkin dapat diperoleh kecuali melalui keyakinan tentang wujud Tuhan Yang Maha Esa. Karena jika Tuhan berbilang, maka sekali tuhan ini yang mengatur alam dan menetapkan kehendak-Nya dan kali lain tuhan yang itu. Apa yang menjamin kepastian itu, seandainya Tuhan Yang mengatur hukum-hukum dan tata kerta alam raya, juga butuh kepada sesuatu? Sudah dapat dipastikan tidak ada yang dapat menjamin!   Jika demikian, tauhid bukan saja merupakan hakikat kebenaran yang harus diakui karena diperlukan oleh jiwa manusia, tetapi juga merupakan kebutuhan akalnya demi kemajuan dan kesejahteraan umat manusia. Wajar jika perkembangan pemikiran manusia tentang Tuhan, berakhir pada monoteisme murni, setelah pada awalnya menganut keyakinan politeisme (banyak tuhan), kemudian dua tuhan, disusul dengan kepercayaan tentang adanya satu Tuhan. dan berakhir dengan tauhid murni (keesaan mutlak) yang dianut oleh umat Islam.   Apabila seseorang telah menganut akidah tauhid dalam pengertian yang sebenarnya, maka akan lahir dari dirinya berbagai aktivitas, yang kesemuanya merupakan ibadah kepada Allah, baik ibadah dalam pengertiannya yang sempit (ibadah murni) maupun pengertiannya yang luas. Ini disebabkan karena akidah tauhid merupakan satu prinsip lengkap yang menembus semua dimensi dan aksi manusia. Karena itu,   "Allah tidak mengampuni siapa yang mempersekutukan-Nya dengan sesuatu, dan dapat mengampuni selain itu bagi siapa yang Dia kehendaki (QS Al-Nisa, [4]: 48).   Kalau dalam alam raya ini ada matahari yang menjadi sumber kehidupan makhluk di permukaan bumi ini, dan yang berkeliling padanya planet-planet tata surya yang tidak dapat melepaskan diri darinya, maka akidah tauhid merupakan matahari kehidupan ruhani dan yang berkeliling di sekitarnya kesatuan-kesatuan yang tidak dapat pula melepaskan diri atau dilepaskan darinya. Kesatuan dimaksud antara lain adalah kesatuan alam semesta, kesatuan kehidupan dunia dan akhirat, kesatuan natural dan supranatural, kesatuan ilmu, kesatuan agama, kesatuan kemanusiaan, kesatuan umat, kesatuan kepribadian manusia, dan lain-lain.   Prinsip lengkap ini harus terus-menerus dipelihara, diasah, dan diasuh. Memang boleh jadi seorang Muslim mengalami godaan sehingga timbul tanda tanya menyangkut kehadiran Allah Yang Maha Esa itu. Yang demikian adalah wajar-wajar saja, asal ia selalu berupaya untuk mengusir godaan itu. Hal ini dialami juga oleh para sahabat Nabi Saw. Mereka yang mengadukan pengalamannya kepada beliau ditanggapi oleh Nabi Saw. dengan bersabda,   "Segala puji bagi Allah yang menangkal tipuannya (setan) menjadi waswasah (bisikan)."   Sahabat Nabi, Ibnu Abbas, pernah ditanya oleh Abu Zamil Sammak ibn Al-Walid, "Apakah yang saya rasakan di dalam dadaku (ini)?" "Apakah itu," tanya Ibnu Abbas. "Demi Allah saya tidak akan mengatakannya." Ibnu Abbas bertanya balik, "Apakah semacam syak atau keraguan?" Si penanya mengiyakan. Ibnu Abbas kemudian berkata, "Tidak seorang pun (dari kami) yang terbebaskan dari yang demikian, sampai turun firman Allah:   "Apabila kamu dalam keraguan dari apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca kitab sebelum kamu" (QS Yunus [10]: 94).   Apabila engkau mendapatkan hal itu bacalah, Dia yang Awal, Dia Yang Akhir, Dia Yang Zhahir (tampak melalui ciptaan-Nya), Dia juga Yang Batin (tak tampak hakikat Zat-Nya), dan Dia. Maha Mengetahui segala sesuatu."   Demikian Allah Swt. Karena itu wajar kita bermohon:   "Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu. Sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi anugerah" (QS Ali 'Imran 13]: 8).[]   Catatan kaki: ------------- 1 Wahyu pertama adalah lima ayat pertama surat Al-'Alaq. Di sana tidak ada kata "Allah.". Wahyu kedua adalah beberapa ayat dari surat Al-Qalam. dalam surat ini tidak disebut kata "Allah." Wahyu ketiga adalah awal surat Al-Muzammil. Dalam surat ini kata Rabbika ditemukan dua kali, dan kata "Allah" tujuh kali, yaitu pada ayat terakhir (kedua puluh). Dapat dipastikan bahwa ayat terakhir tersebut turun setelah Nabi hijrah ke Madinah, karena ayat tersebut berbicara tentang keterlibatan para sahabat dalam peperangan, sedangkan peperangan pertama baru terjadi pada tahun kedua Hijriah.   Wahyu keempat adalah awal suratAl-Muddatstsir (tujuh ayat pertama). Dalam tujuh ayat pertama tersebut kata pengganti Tuhan Yang Maha Esa adalah "Rabbika" yang disebut sebanyak dua kali. Benar bahwa dalam surat tersebut ditemukan kata "Allah" sebanyak empat kali, tetapi ayat-ayatnya bukan merupakan rangkaian wahyu-wahyu pertama.   Wahyu kelima adalah surat Al-Lahab (Tabbat) . Dalam surat ini tidak ditemukan kata apa pun yang menunjukkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.   Wahyu keenam adalah surat At-Takwir. Pada ayat terakhir (ke-29) surat ini, ditemukan kata dengan predikat Rabbul 'Alamin, namun seperti yang diriwayatkan oleh banyak ulama, ayat itu turun terpisah dari ayat-ayat sebelumnya.   Wahyu ketujuh adalah surat "Sabbihisma." Dalam surat ini disebutkan kata-kata "Rabbuka," "Allah," dan "Rabbihi" masing-masing sekali. Di sõnilah kata "Allah" disebutkan untuk pertama kalinya dalam rangkaian wahyu-wahyu Al-Quran. Namun perlu digarisbawahi bahwa surat ini justru menjelaskan sifat-sifat Allah Yang Mahasuci, serta perbuatan- perbuatan-Nya.   Wahyu kedelapan adalah Alam Nasyrah, wahyu kesembilan Al-Ashr, wahyu kesepuluh Al-Fajr, wahyu kesebelas Adh-Dhuha, wahyu kedua belas Al-Lail, wahyu ketiga belas Al-'Adiyat, wahyu keempat belas Al-Kautsar, wahyu kelima belas At-Takwir, wahyu keenam belas At-Takatsur, wahyu ketujuh belas Al-Ma'un, wahyu kedelapan belas Al-Fil.   Dalam Wahyu kedelapan hingga kedelapan belas tersebut di atas, tidak terdapat kata "Allah." Nanti pada wahyu kesembilan belas yaitu, Qul Huwa Allahu Ahad, barulah kata Allah dijelaskan secara rinci, sebagai jawaban terhadap kaum musyrik yang mempertanyakan tentang Tuhan yang disembah oleh Nabi Muhammad Saw.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar