Zakat dan Tranformasi Keadilan Sosial
Pendahuluan
Zakat merupakan rukun Islam yang ketiga dan setiap orang Islam mempunyai kewajiban untuk menunainakannya.[1]
Zakat tidak hanya bermakna semata tanggungjawab kepada Allah, lebih
dari itu, kewajiban zakat mendoktrinkan kepada setiap orang Islam untuk
selalu peduli dan bertanggungjawab terhadap situasi dan kondisi sosial
masyarakat sekitarnya. Zakat menjadi media yang sangat penting untuk
membangun mental dan solidaritas orang-orang Islam untuk meminimalkan kesenjangan antara kelompok yang kaya dan kelompok yang miskin. [2]
Dalam ajaran Islam, kewajiban melaksanakan zakat selalu dikaitkan dengan tujuan pembersihan dan pemeliharaan pertumbuhan harta. Pembersihan dimaksudkan bahwa pelaksanaan zakat dapat membersihkan pemiliknya dari kekikiran dan rasa cinta yang berlebih-lebihan terhadap harta benda, sedangkan pensucian dimaksudkan sebagai penguat sifat-sifat kebaikan dalam hati pemiliknya serta mengembangkan harta milik mereka.[3]
Doktrin ini mempertegas bahwa harta benda duniawi seyogyanya bisa
dimiliki setiap orang secara adil dan merata, sehingga tidak seorangpun
boleh menderita karena kesenjangan ekonomi karena sebagian besar
kekayaan ekonomi hanya memusat pada sekelompok orang.[4]
Keberadaan
zakat dengan tujuan yang suci itu terlihat sangat fundamental untuk
membangun keseimbangan dan keadilan ekonomi dalam masyarakat. Pemberian
zakat menghendaki adanya distribusi yang adil oleh para pengelola
zakat, dengan harapan distribusi tersebut dapat membangkitkan daya
produksi dan konsumsi masyarakat yang hidup dalam kondisi yang miskin.
Oleh karena itu, kewajiban zakat meniscayakan untuk dikelola secara
profesional dan produktif. Metode pengelolaan zakat yang tradisional harus dibenahi sehingga dapat memberdayakan dan mensejahterakan masyarakat yang lemah secaraekonomi.
Makalah ini hendak menguraikan beberapa hal, pertama, bagaimanakah makna zakat dalam ajaran Islam?, Kedua, apakah problem sebenarnya dari pengelolaan zakat saat ini sehingga belum mampu mengentaskan kemiskinan?, Ketiga, bagaimanakah mentranformasikan zakat sehingga berdampak terhadap perwujudan keadilan sosial di Indonesia?
Memahami Makna Zakat
Zakat
secara bahasa berarti bersih, berkembang, baik, terpuji, dan barokah.
Disebut zakat karena dapat mengembangkan dan menjauhkan harta yang
telah dizakati dari bahaya. Sekaligus dapat membersihkan harta dan
pemiliknya dari haknya orang lain. Secara istilah, zakat berarti nama
sejumlah harta yang dikeluarkan dari jenis harta tertentu, dengan
syarat tertentu dan diberikan pada golongan tertentu pula.[5]
Neal Robinson mengatakan, kata zakat sebenarnya bermakna kesucian, namun sekarang zakat telah menjadi istilah
teknis untuk menyebut kewajiban tahunan seorang muslim untuk
menyedekahkan kelebihan kekayaannya dalam prosentase tertentu. Kata
zakat diartikan dalam berbagai istilah, seperti hutang kepada kaum
miskin, sumbangan wajib atau kewajiban pajak yang berpahala.[6]
Sedangkan Zakiah Drajat mengatakan bahwa pengertian zakat yang
berkembang di masyarakat ialah zakat dengan maksud shodaqoh wajib,
sedangkan pengertian shodaqoh itu sendiri ialah shodaqoh sunnah.
Menurutnya, ulama’ telah membagikan ibadah itu menjadi 3 (tiga) hal, yaitu ibadah badaniyah untuk sholat, ibadah maliah untuk zakat dan ibadah badaniyah dan maliah untuk haji.[7]
Dalam
Al-Qur’an, istilah zakat diungkapkan sebanyak 32 kali. Dalam dua tempat
(Qs. 18 : 81, Qs. 19 : 13) mempunyai makna kesucian. Dalam empat surat
lainnya yang kesemuanya mungkin diturunkan di periode Mekkah terbukti
menunukkan beberapa bentuk pembayaran keagamaan yang dianggap sebagai
kewajiban oleh para nabi terdahulu, sedangkan surat Al-Qur’an lainnya
ialah surat yang turun di Madinah, salah satunya menyebutkan bahwa
Allah mengenakan denda sholat dan zakat pada anak-anak Israel sebagai
bahan perjanjiannya dengan mereka (Qs. 2 : 83), di antara surat
Al-Qur’an lainnya menunjuk pada perbuatan umat dan pemberian zakat
sebagai kewajiban seorang muslim.[8]
Penyebutan
kata zakat dalam Al-Qur’an yang berkali-kali memberikan makna intensi
yang cukup serius tentang urgensi nilai sebuah zakat. Seorang muslim,
tidak bisa berpaling untuk selalu berbagi rasa dan materi dengan
orang-orang di sekelilingnya. Ikatan “memanusiakan manusia” tidak
bisa dilepaskan sama sekali dalam ajaran-ajaran Islam. Teungku Muhammad
Hasbi Assiddieqy mengatakan, salah satu ciri khas dalam hukum Islam
ialah dimensi insaniyah. Hukum Islam memberikan perhatian penuh kepada
manusia, memelihara segala yang berpautan dengan manusia, baik mengenai
diri, ruh, akal, akidah, fikrah, usaha, pahala, dan siksa, baik selaku
perorangan maupun selaku anggota masyarakat, baik
mengenai anak istrinya, harta kekayaannya, keutamaan dan kekejiannya
dan aneka rupa yang lain yang tidak dapat dihitung dan dihinggakan yang
berkaitan dengan manusia. Intisari hukum Islam ialah memelihara
manusia, memberi perhatian yang penuh kepada manusia dan kemuliannya.[9]
Problem Pengelolaan Zakat di Indonesia
Pengelolaan
zakat di Indonesia masih berjibun dengan problematika yang tidak
kunjung selesai. Jumlah orang Islam yang mayoritas bahkan diperkirakan
mencapai 85,1% dari 240.271.522[10]
penduduk Indonesia, belum mampu mengangkat derajat kaum miskin,
walaupun setiap tahun orang Islam selalu menunaikan kewajiban zakatnya.
Zakat yang berlangsung seakan menjadi ritual dan sekedar penutup
kewajiban. Ironisnya, pembagian zakat di beberapa daerah dalam setiap
tahunnya sudah terbiasa dengan kerusuhan, berebut, injak-menginjak,
berderet-berderet antri, bahkan pada tahun 2008 kita
masih ingat dengan pembagian zakat di Pasuruan Jawa Timur, sekitar 21
orang meninggal akibat berdesakan dan puluhan lainnya pingsan.[11]
Pengelolaan zakat
yang serba instan dan tidak terkoordinasi dengan sistematis berdampak
pada pemiskinan yang berantai. Orang-orang miskin setelah menerima
zakat, barang maupun uang bantuan habis dan tidak terkelola. Zakat
tidak mendayakan kaum lemah dan tidak dapat membangkitkan semangat
kreatifitas produksi. Dengan semakin banyaknya penerima zakat dari
tahun ke tahun menjadi petanda betapa masyarakat saat
ini semakin bermental pengemis dan lemah untuk memandirikan dirinya
sendiri. Kondisi inilah yang menjadi kritik Jalaluddin Rakhmat yang
mengatakan bahwa zakat di Indonesia selalu hidup dengan mitos-mitos
kemiskinan. Orang miskin yang yang menjadi obyek pemberian zakat, masih
dipandang oleh sistem dan masyarakat sebagai subyek yang memikul budaya
miskin (culture of peverty) dan menjadi penyebab atas kemiskinan dirinya sendiri.[12]
Menurut
Jalaluddin Rakhmat, untuk mengatasi kemiskinan yang pertama-tama harus
dilakukan ialah harus mengatasi kekeliruan berfikir. Apa yang dilakukan
seseorang atau pemimpin dalam mengelola zakat sangat tergantung dengan
cara berfikirnya. Mayoritas orang-orang Islam masih mengatakan bahwa
kemiskinan tidak perlu dipersoalkan secara sungguh-sungguh dengan
rasionalisasi bahwa bila seseorang mau bekerja keras ia akan kaya
pada akhirnya. Miskin hanyalah periode saja dalam perjalanan kehidupan
seseorang. Kebanyakan orang tidak pernah bertanya secara kritis
terhadap fakta di balik kemiskinan masyarakat. Menurut Kang Jalal, zakat tidak akan pernah merubah apapun jika masih terbersit dalam pikiran penanggung zakat
dan pengelolanya bahwa penunaian zakat hanya semata kewajiban agama dan
meyakini bahwa kemiskinan adalah fitrah setiap manusia.[13]
Persoalan tidak kalah peliknya ialah soal paradigma pengelolaan zakat oleh negara. Menurut Masjfuk Zuhdi, dalam hukum Islam zakat
bukanlah urusan pribadi yang kemudian pengelolaannya diserahkan pribadi
masing-masing. Pemikiran yang melihat bahwa pengelolaan zakat merupakan
kepentingan pribadi sangat bertentangan dengan fakta-fakta sejarah yang
menunjukkan bahwa pengelolaan zakat di negara-negara Islam sejak Nabi
Muhammad, Khulafa’ Rasyidin dan pemerintahan sesudahnya telah ditangani
oleh aparat pemerintahan yang kemudian disebut dengan amil zakat yang
bertugas menarik dan mengumpulkan zakat dari para wajib zakat dan
mendistribusikanya kepada orang-orang yang berhak menerimanya.[14]
Masjfuk menambahkan, jika kewajiban zakat diserahkan sepenuhnya kepada pribadi pemberi zakat tanpa campur tangan pemerintah sangat
dimungkinkan terjadinya dampak negatif seperti para wajib zakat yang
tidak membayar zakat, distribusi zakat yang tidak ditegakkan secara
adil kepada para orang-orang yang berhak, fakir miskin sebenarnya lebih
merasa terhormat jika diberikan hak-haknya oleh pemerintah, dan dampak
sosial lainnya. Oleh karena itu, pengelolaan zakat seharusnya ditangani
oleh pemerintah, karena pemerintahlah yang mempunyai aparat
pemerintahan yang lengkap, sarana prasarana yang memadai, dan mempunyai
otoritas pemaksa bagi mereka yang melanggarnya.[15]
Di Indonesia, pengelolaan zakat oleh pemerintah masih tarik ulur dan bahkan terlihat tidak adanya komitmen pemerintah terhadap pengelolaan dan pengawasannya. Sri Adi Bramasetia, Sekretaris Jenderal Asosiasi Organisasi Pengelola Zakat Indonesia (Forum Zakat) mengatakan, dirinya
tidak sependapat jika pengelolaan zakat diambil alih sepenuhnya oleh
pemerintah dan menghapuskan peran swasta (LAZ), sebagaimana rencana
pemerintah untuk merevisi UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang Zakat.
Menurutnya, pengelolaan zakat oleh masyarakat akan berdampak baik,
apalagi, jika pemerintah bisa memfasilitasi terwujudnya suasana yang
kondusif. Masalah yang cukup serius menurut Sri Adi ialah terkait UU No. 38/1999 tentang Zakat sampai saat ini belum memiliki Peraturan Pemerintah. Aturan pelaksanaanya masih berdasarkan Keputusan Menteri Agama dan berakibat buruk pada ketidakjelasan tata kelola zakat di Indonesia. Termasuk tidak jelas siapa pengawasnya,operatornya,dan siapa regulatornya.[16]
Sri Adi mengusulkan, semestinya Baznas menjadi regulator dan pengawas, BAZ (Badan Amil Zakat) menjadi operator pemerintah, sedangkan LAZ
(Lembaga Amil Zakat) menjadi operator swasta dan menjadi pihak yang
harus diawasi. Masing-masing memiliki segmen dan memiliki cara kerja
yang khas. Menurut Edi, tata kelola zakat saat
ini tidak jelas. Baznas dibentuk oleh SK Presiden dan semestinya
sebagai badan negara yang dibentuk Presiden mendapatkan pembiyaan dari
APBN secara langsung. Fakta di lapangan sampai hari ini, Baznas
memperoleh dana APBN sebagian kecil saja dan masih dititipkan lewat Departemen Agama (Depag). Baznas juga masih sibuk dengan masalah operasional kelembagaannya karena Badan Amil Zakat (BAZ) provinsi tingkat I dan II tidak memiliki koordinasi dan garis komando secara langsung kepada Baznas.[17]
Kritik lainnya diungkap oleh Sahabudin
Ketua Yayasan Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU). Sahabudin berharap tidak
ada sentralisasi pengumpulan dan pendayagunaan zakat melalui Badan Amil
Zakat (BAZ) dan meminta pemerintah untuk tetap membiarkan keberadaan
Lembaga Amil Zakat (LAZ), karena keberadaan LAZ telah lama ada dan
telah memberikan kontribusi kepada masyarakat. Pengumpulan dan pendayagunaan zakat oleh LAZ telah berhasil menghidupkan pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan.[18] Kritik beberapa tokoh penggerak zakat di atas salah satunya didasari atas ketidakpercayaan (distrust) bahwa pemerintah dalam proses pengelolaan zakat
di Indonesia akan dapat bertindak secara transparan dan bisa
dipertanggungjawabkan mulai tingkat pengumpulan hingga
pendistribusiannya kepada masyarakat yang berhak.[19] Pemerintah Indonesia masih hidup dengan sistem koruptif yang cukup massif dan belum bisa diperbaiki secara sistemik.[20]
Kritik
lainnya diungkap oleh Irfan Syauqi Beik, Dosen IPB dan Anggota ISEFID,
menurutnya, pemerintah saat ini mempunyai pekerjaan rumah yang cukup
banyak dalam pengelolaan zakat, diantaranya terkait dengan sosialisasi, regulasi, dan sumber daya manusia. Menurut Irfan, problem mendasar tidak optimalnya pengelolaan zakat sampai hari ini karena lemahnya sosialisasi dan penyadaran terhadap masyarakat. Mayoritas umat Islam beranggapan bahwa pemberian zakat masih lebih utama diberikan kepada mustahik. [21]
Lemahnya sosialisasi akhirnya
berdampak pada ketidakkepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga
amil zakat yang sekarang mencoba mengelola zakat secara profesional. Di
samping itu, persoalan serius pengelolaan zakat di Indonesia juga
terkait regulasi dan sumber daya manusia. Regulasi yang ada masih belum
mengatur secara tegas dan jelas terkait struktur organisasi, fungsi dan
kewenangan lembaga amil zakat baik dari tingkat nasional sampai
kecamatan. Demikian juga masalah kualitas pengelola zakat. Pemerintah masih belum mengintegrasikan perguruan tinggi untuk menghasilkan lulusan-lulusan berkwalitas yang diperuntukkan untuk bekerja di lembaga zakat di Indonesia.[22]
Problem-problem di atas pada akhirnya poros dari semuanya tergantung pada komitmen dan kemauan pemerintah untuk menyelesaikannya. Rapuhnya paradigma masyarakat dan masih hidupnya mereka dengan pengelolaan zakat yang tradisional, sesungguhnya tidak lahir secara internal dan fungsional masyarakat, tetapi merupakan dampak lanjutan dari lemahnya ijtihad dan kemauan politik negara untuk memperbaiki pengelolaan zakat sehingga produktif dan bisa memberdayakan. Otoritas
dan kewenangan pemerintah bisa mendorong pengelolaan zakat dan
mendistribusikannya secara adil lewat program-program yang
tranformatif, walaupun dalam banyak hal, pemerintah saat ini memang
harus memperbaiki sistemnya sendiri yang masih sangat korup.
Tranformasi Zakat Untuk Mewujudkan Keadilan Sosial
Zakat
sebagaimana maknanya yang suci, bersih, berkembang dan berkah,
semestinya mampu mengangkat kelompok lemah menjadi lebih kuat, dari
kaum miskin menjadi kaya, dari kaum yang mengalami
ketergantungan menjadi mandiri, dan seterusnya. Orang miskin dengan
zakat semestinya didorong untuk terbebas dari ketertindasannya. Asghar
Ali Engineer mengatakan, jika agama hendak menciptakan kesehatan sosial
dan menghindarkan diri dari sekedar pelipur lara dan tempat berkeluh
kesah, agama harus mentranformasikan dirinya menjadi alat yang canggih untuk melakukan perubahan-perubahan sosial.[23] Zakat sesuai dengan makna dasarnya, akan menjadi alat tranformasi keadilan sosial jika pengelolaannya bisa digerakkan secara aktif, dinamis dan sistematis.[24]
Munir
Mulkhan mengatakan, ibadah zakat juga mengandaikan bahwa keadilan
produksi tidak menjamin bagi terjadinya keadilan distribusi. Jika
ibadah zakat maal berlaku bagi semua jenis harta milik seperti emas,
hewan ternak, hasil perdagangan, hasil pertambangan, hasil panen dan
penghasilan lainnya, zakat fitrah hanya berlaku bagi makanan pokok yang
dikonsumsi yang di Indonesia ialah beras. Maksud utama penetapan zakat
menurut Munir ialah terjadinya keadilan distribusi kepemilikan harta dan hilangnya
orang-orang yang menderita kelaparan dan bagi mereka yang tertutup
akses-akses sosialnya. Karena itu, sangat penting untuk meletakkan
maksud etik itu dalam pengelolaan zakat kekinian, yaitu tidak semata
bentuk formalnya pada masa nabi seperti yang selama ini diformulasikan
oleh para fuqaha dan kemudian kita artikan juga secara verbal.[25]
Dalam
konteks mentranformasikan maksud etik zakat, Munir Mulkhan mengatakan,
saat ini penting untuk mencermati penghitungan prinsip efektif dan
efisien dalam mengelola, menarik dan membagi zakat daripada cara-cara
konvensional yang selama ini dilakukan dengan hanya menarik tahun atau
hari ini dan kemudian membagi sampai habis dalam tahun dan hari yang
sama. Sama halnya pelaksanaan ibadah zakat fitrah di akhir bulan
Ramadhan dan juga kurban pada bulan haji. Padahal, jika diandaikan
jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 40 juta jiwa, maka
penduduk sisanya yang tergolong kaya yang mencapai sekitar
210 juta jiwa, yakni 170 jiwa. Dengan perhitungan yang memeluk Islam
dari jumlah itu mencapai 90%, maka harta yang bisa dikumpulkan bisa
mencapai sekitar lebih dari 10 trilyun rupiah. Jika angka sebegitu
besar habis seketika, sebenarnya fungsi sosial zakat telah gagal
ditegakkan, mereka yang menderita miskin akan tetap miskin, bahkan
diantara mereka akan semakin menderita karena mengalami ketergantungan
dengan sumbangan tahunan.[26]
Pemikiran senada diungkap oleh Khamami Zada. Menurutnya, zakat
merupakan potensi besar yang dimiliki Islam untuk menciptakan keadilan
sosial, terutama untuk membantu fakir miskin. Secara global, potensi
zakat cukup besar. Asumsinya, besar zakat yang dapat dikumpulkan adalah
2,5 persen dari total produk domestik bruto (PDB). Dengan asumsi itu,
Arab Saudi memiliki potensi zakat hingga 5,4 miliar dollar AS atau Rp
48,6 triliun (1 dollar AS setara Rp 9.000). Adapun Turki berpotensi
lebih besar, 5,7 miliar dollar AS (Rp 51,3 triliun), sedangkan potensi
Indonesia hingga 4,9 miliar dollar AS atau Rp 44,1 triliun.[27] Meskipun
demikian, fakta menunjukkan kondisi yang amat ironis. Hingga kini belum
ada satu negara Islam pun yang mampu mengumpulkan zakat hingga 2,5
persen dari total PDB-nya.[28]
Pada
tahun 2006, Malaysia hanya mampu mengumpulkan zakat 600 juta ringgit
(Rp 1,5 triliun), atau sekitar 0,16 % dari total PDB. Begitu pun
Indonesia hanya mengumpulkan Rp 800 miliar atau hanya 0,045 % dari
total PDB. Secara umum, negara-negara Teluk hanya mampu mengumpulkan
zakat rata-rata 1,0 % dari PDB. Padahal, jika dikelola dengan baik,
zakat dapat diarahkan pada usaha pemerataan ekonomi masyarakat. Zakat
yang dikelola dengan efektif dan efisien, akan membangun
keseimbangan sirkulasi ekonomi masyarakat. Masyarakat miskin akan
mendapatkan haknya secara lebih baik untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.
Zakat seharusnya dikelola dengan menggunakan sistem yang akuntabel. Masalanya saat ini, pengelolaan zakat masih berkutat dalam bentuk-bentuk konsumtif-karikatif yang tidak menimbulkan dampak sosial berarti. Zakat
hanya diberikan langsung oleh tiap pembayar kepada penerima sehingga
zakat tidak menjadi sistem sosial yang tranformatif. Karena itu, untuk mengelola
dan memberdayakan potensi zakat sebagai kekuatan ekonomi masyarakat,
keberadaan institusi zakat sebagai lembaga publik di masyarakat menjadi
teramat penting. [29]
Masjfuk
Zuhdi juga mengatakan, seandainya aparat pemerintah Indonesia bersih,
berwibawa dan mereka dapat menangani langsung pengelolaan zakat dengan
menajemen yang baik sesuai dengan tujuan dan sasaran zakat yang telah
digariskan dalam Islam, pengelolaan pasti akan efektif dan efisien. Persoalannya sekarang terletak pada pengelolaan zakat yang masih ditangani banyak badan-badan amil zakat atau baitul maal yang berjalan tanpa
koordinasi. Sebagian besar adalah non pemerintah dan sebagian kecil
dari semi resmi pemerintah, seperti Baziz-bazim di daerah-daerah
Kabupaten/Kotamadya.[30]
Menurut
Masjfuk Zuhdi, seandainya pemerintah dapat membangun sistem dan
kelembagaan pengelolaan yang baik, pemerintah pasti bisa menjadikan
zakat sebagai sumber dana yang potensial untuk menunjang pembiayaan
pembangunan yang seringkali tertimpa resesi ekonomi, serta dapat mensejahterakan
masyarakat secara jasmani dan rohani. Masjfuk mengatakan, kita ambil
contoh Kotamadya Malang saja yang berdasarkan sensus penduduk tahun
1980 berjumlah penduduk 507. 917 jiwa, dan yang muslim berjumlah 445.
258 jiwa. Kalau yang mengeluarkan zakat fitrah 80% saja, akan terkumpul
beras sebanyak (80% x 445. 258) x 2, 5 kg = 890. 516 kg. Jika diuangkan
pada waktu itu menjadi Rp. 400. 00 x 890. 516 = Rp. 356. 206. 400, 00. Jumlah
itu baru zakat fitrah, angka itu akan menjadi fantastis jika ditambah
zakat profesi pegawai/karyawan, zakat perusahaan, koperasi,
perdagangan, industri, perhotelan dan banyak lainnya. Hasil zakat jika
dikelola dengan baik pasti dapat membantu pemerataaan pendapatan masyarakat dan akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.[31]
Pendapat
beberapa pemikir di atas mempertegas terhadap cara pandang kita bahwa
pengelolaan zakat sudah saatnya ditranformasi dari pengelolaan yang
tercerai berai menjadi pengelolaan yang koordinatif, organik dan
sistematik, dan dari pengelolaan yang sekedar
konsumtif-karikatif menjadi kreatif- produktif. Zakat dalam konteks ini
seharusnya juga ditempatkan tidak sekedar memberikan harta dan sejumlah
uang, tetapi harus dikembalikan kepada makna dasarnya yaitu sebagai
sistem pembinaan terhadap kelompok lemah yang menjadi pemegang hak
zakat.[32] Karena itu, zakat dalam dimensi tranformatifnya harus mempunyai indikator matematis keberhasilan, yaitu minimalisasi orang miskin secara progresif dan maksimalisasi produksi, kreasi dan konsumsi orang-orang miskin.[33]
Kesimpulan
Dari
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa zakat mempunyai peran yang sangat
fundamental untuk meminimalisasi kemiskinan. Zakat menjadi dogma yang
teramat penting bagi orang-orang Islam untuk selalu berbagi rasa dan
materi terhadap masyarakat sekitarnya yang tergolong miskin. Zakat
sesuai dengan artinya bersih, berkembang, baik, terpuji, dan barokah
bermakna ibadah karena zakat dapat mengembangkan dan menjauhkan harta
yang telah dizakati dari bahaya dan membersihkan harta dan pemiliknya dari hak-hak orang lain. Zakat juga bermakna sosial karena untuk memanusiakan manusia.
Zakat sebagai satu kewajiban setiap orang Islam untuk memenuhinya tidak kunjung dapat menyelesaikan problem kemiskinan dan
kemelaratan di Indonesia saat ini. Pengelolaan zakat di Indonesia masih
tidak terorganisir, pola distribusi yang tidak efektif dan efisien
serta regulasi pemerintah yang sangat lemah. Buruknya sistem
pengelolaan zakat di Indonesia menyebabkan tidak adanya indikator
matematis keberhasilan dari hasil zakat yang diperoleh dari orang-orang Islam setiap tahunnya. Bahkan dampak buruk pengelolaan zakat yang tidak memberdayakan saat ini telah menumbuhkan mentalitas ketergantungan kelompok miskin terhadap pemberian zakat.
Pengelolaan zakat di Indonesia yang masih tercerai
berai, pola distribusi yang konsumtif-karikatif dan bangun regulasi
yang sangat lemah meniscayakan untuk ditranformasikan sedemikian rupa
menjadi pengelolaan zakat yang organik, sistemik, produktif, kreatif,
efektif, efisien dan memberdayakan. Pengelolaan zakat harus
dikembalikan pada fungsinya sebagai pembinaan orang-orang miskin
sehingga dapat mandiri dan berdaya dengan manajemen modal yang
diperoleh dari hasil zakat setiap tahunnya. Tranformasi zakat akan
mempunyai indikator yang metematis untuk membangun keadilan sosial,
yaitu minimalisasi orang miskin secara progresif dan maksimalisasi produksi, kreasi dan konsumsi orang-orang miskin.
Daftar Pustaka :
Buku-Buku :
Abdul Munir Mulkhan, Teologi Kiri : Landasan Gerakan Membela Kaum Mustadl’afin, (Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2002)
Abdullah Ahmed An-Na’im, Dekonstruksi Syariah, (Yogyakarta : LkiS, 1994)
Asgar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006)
Imam Az-Zabid, Ringkasan Shahih Al-Bukhari, (Bandung : Mizan, 1997)
Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktual : Refleksi Sosial Seorang Cendekiawan Muslim, (Bandung : Mizan, 2001)
M. Masykur Khoir, Risalatuz Zakat, ( Kediri : Duta Karya Mandiri, 2003)
M. Zainuddin, Normatif, Kesalehan dan Sosial, (Malang : UIN Malang Press, 2007)
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta : PT Toko Gunung Agung, 1987)
Neal Robinson, Pengantar Islam Komprehensif, (Yogyakarta : Fajar Pustaka Baru, 2001)
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban : Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Komodernan, (Jakarta : Yayasan Wakaf Paramadina, 1992)
Syahrin Harahap, Islam Dinamis : Menegakkan Nilai-Nilai Ajaran Islam dalam Kehidupan Modern di Indonesia, (Yogyakarta : PT Tiara Wacana Yogya, 1997)
Tajuddin Thalibi, Pendidikan Agama Islam 2 SMU Assa’adah, (Gresik : 1998)
Teungku Muhammad Hasbi Assiddiqieqy, Falsafah Hukum Islam, (Semarang : PT Pustaka Rizki Putra, 2001)
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Daarul Fikr, jilid II)
Zakiah Drajat, Ilmu Fiqh (Jilid 1), (Yogyakarta : PT Dana Bhakti Wakaf, 1995)
KORAN DAN MEDIA :
- Irfan Syauqi Beik, Masa Depan Zakat di Indonesia, Ripublika, 2 Septemberi 2009
- Harian Kompas, Jumat, 19 September 2008
- Hamami Zada, Zakat dan Derita Kaum Miskin, Harian Kompas, Jumat, 19 September 2008
- Sayid Qutb, Keadilan Sosial dalam Paham Islam, Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial, UNISIA No. 39/XXII/III/1999
- Info Z + : Media Informasi Organisasi Pengelola Zakat, Edis 4 Thn VI, Januari-Pebruari 2010
WEBSITE :
- http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_di_Indonesia. Diakses pada Rabu, 16 Maret 2011, jam 15. 00 WIB
- http://www.antaranews.com/view/?i=1221452947&c=NAS&s=. diakses pada Rabu, 16 Maret 2011, jam 15. 00 WIB
- http://www.inilah.com/read/detail/234002/mengurai-problem-tata-kelola-zakat. Diakses pada 15 Maret 2011, jam 20. 00 WIB
- http://imz.or.id/new/news/184/problematika-pengelolaan-zakat/, diakses pada 15 Maret 2011, jam 10. 00 WIB
- http//issuu.com/matabening/docs/annual_report_icw_2010. Diakses pada 16 Maret 2011, jam 10. 30 WIB
http://agama.kompasiana.com/2010/09/12/zakat-transformatif-interupsi-model-konvensional/. Diakses pada Jumat, 18 Maret 2011, jam 09. 00 WIB
[1] Imam Az-Zabid, Ringkasan Shahih Al-Bukhari, Bandung, Mizan, 1997, hlm 282
[2] Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Daarul Fikr, jilid II, hlm.732
[3] Tajuddin Thalibi, Pendidikan Agama Islam 2 SMU Assa’adah, Gresik, 1998, hlm 267, lihat juga Qs. Al-Taubah : 103
[4] Abdul Munir Mulkhan, Teologi Kiri : Landasan Gerakan Membela Kaum Mustadl’afin, Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2002, hlm 269
[5] M. Masykur Khoir, Risalatuz Zakat, Kediri, Duta Karya Mandiri, 2003, hal. 8
[6] Neal Robinson, Pengantar Islam Komprehensif, Yogyakarta, Fajar Pustaka Baru, 2001, hlm 175
[7] Zakiah Drajat, Ilmu Fiqh (Jilid 1), Yogyakarta, PT Dana Bhakti Wakaf, 1995, hlm 216
[8] Neal Robinson, Pengantar Islam…. Op. Cit, hlm 176-177
[9] Teungku Muhammad Hasbi Assiddiqieqy, Falsafah Hukum Islam, Semarang, PT Pustaka Rizki Putra, 2001, hlm 142-146. Baca juga Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban : Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Komodernan, Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina, 1992, hlm 328-342
[10] http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_di_Indonesia. Diakses pada Rabu, 16 Maret 2011, jam 15. 00 WIB
[11] http://www.antaranews.com/view/?i=1221452947&c=NAS&s=. diakses pada Rabu, 16 Maret 2011, jam 15. 00 WIB
[12] Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktual : Refleksi Sosial Seorang Cendekiawan Muslim, Bandung, Mizan, 2001, hlm239-242
[13] Ibid, hlm 242
[14] Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Jakarta, PT Toko Gunung Agung, 1987, hlm 256
[15] Ibid, hlm 257
[16]Ahmad Munjin, Mengurai Problem Tata Kelola Zakat, lihat di http://www.inilah.com/read/detail/234002/mengurai-problem-tata-kelola-zakat. Diakses pada 15 Maret 2011, jam 20. 00 WIB
[17] Ibid
[18] Ibid
[19] Press Rilis M. Arwani Thomafi, anggota DPR-RI Fraksi PPP terkait RUU Pengelolaan Zakat. Lihat http://imz.or.id/new/news/184/problematika-pengelolaan-zakat/, diakses pada 15 Maret 2011, jam 10. 00 WIB
[20]
Korupsi di Indonesia dari tahun ke tahun cenderung mengalami
peningkatan. Pada tahun 2008-2009 sebagaiana survey TII, Indeks
Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2009 naik menjadi 2,8 dari 2,6
pada tahun 2008. Dengan skor ini, peringkat Indonesia terdongkrak cukup
signifikan, yakni berada di urutan 111 dari 180 negara di dunia. Di
tingkat ASEAN, Indonesia juga tidak lagi menduduki posisi yang tak jauh
dari posisi juru kunci. Jika sebelumnya di tingkat ASEAN Indonesia
selalu berada di peringkat terbawah negara yang dipersepsikan korup,
tahun 2009 posisi Indonesia berada di peringkat kelima dari 10 negara
ASEAN. Pada tahun 2010-2011, pemerintah Indonesia juga mengalami kritik
tajam perihal pembiaran terhadap kriminalisasi pimpinan KPK dan semakin
berkembangnya tren penegakan hukum tindak pidana korupsi yang tidak
jelas. Koruptor selalu mendapatkan keringanan hukuman. ICW menyebut
tahun 2010 sebagai tahun paling suram dalam pemberantasan korupsi dan
penegakan hukum di Indonesia. http://www.kpk.go.id/modules/news/article.php?storyid=942. dan http//issuu.com/matabening/docs/annual_report_icw_2010. Diakses pada 16 Maret 2011, jam 10. 30 WIB
[21] Irfan Syauqi Beik, Masa Depan Zakat di Indonesia, lihat Ripublika, 2 Septemberi 2009
[22] Ibid
[23] Asgar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006, hlm 89
[24] Syahrin Harahap, Islam Dinamis : Menegakkan Nilai-Nilai Ajaran Islam dalam Kehidupan Modern di Indonesia, Yogyakarta, PT Tiara Wacana Yogya, 1997, hlm 102
[25] Munir Mulkhan, Teologi Kiri… Op. Cit, hlm 269-270
[26] Ibid
[27] Hamami Zada, Zakat dan Derita Kaum Miskin, Lihat Harian Kompas, Jumat, 19 September 2008
[28] Ibid
[29] Ibid
[30] Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah…. Op. Cit, hlm 274-275
[31] Ibid
[32] Lihat http://agama.kompasiana.com/2010/09/12/zakat-transformatif-interupsi-model-konvensional/. Diakses pada Jumat, 18 Maret 2011, jam 09. 00 WIB
[33] Salah satu instrumen penting untuk memperbaiki kekisruhan pengelolaan zakat ialah reformulasi
UU No. 38/1999 tentang Zakat. Saat ini Undang-Undang ini lagi dibahas
di DPR dan berbagai polemik yang masih belum menemukan titik terang. Semoga Undang-Undang ini bisa dirumuskan dengan sistemik dan organik sehingga kondisi masyarakat yang lemah di Indonesia akan semakin baik. Lihat Info Z + : Media Informasi Organisasi Pengelola Zakat, Edisi 4 Thn VI, Januari-Pebruari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar