Powered By Blogger

Kamis, 05 April 2012

Zakat dan Tranformasi Keadilan Sosial

Zakat dan Tranformasi Keadilan Sosial


Pendahuluan
Zakat merupakan rukun Islam yang ketiga dan setiap orang Islam mempunyai kewajiban untuk menunainakannya.[1] Zakat tidak hanya bermakna semata tanggungjawab kepada Allah, lebih dari itu, kewajiban zakat mendoktrinkan kepada setiap orang Islam  untuk selalu peduli dan bertanggungjawab terhadap situasi dan kondisi sosial masyarakat sekitarnya. Zakat menjadi media yang sangat penting untuk membangun  mental dan solidaritas orang-orang Islam  untuk meminimalkan kesenjangan antara kelompok yang kaya dan kelompok yang miskin. [2]
Dalam ajaran Islam, kewajiban melaksanakan zakat selalu dikaitkan dengan tujuan pembersihan dan pemeliharaan pertumbuhan harta. Pembersihan dimaksudkan bahwa pelaksanaan  zakat dapat membersihkan  pemiliknya dari kekikiran dan rasa cinta yang berlebih-lebihan terhadap harta benda, sedangkan pensucian dimaksudkan sebagai  penguat sifat-sifat kebaikan dalam  hati pemiliknya serta mengembangkan harta milik mereka.[3] Doktrin ini mempertegas bahwa harta benda duniawi seyogyanya bisa dimiliki setiap orang secara adil dan merata, sehingga tidak seorangpun boleh menderita karena kesenjangan ekonomi karena sebagian besar kekayaan ekonomi hanya memusat pada sekelompok orang.[4]
Keberadaan zakat dengan tujuan yang suci itu terlihat sangat fundamental untuk membangun keseimbangan dan keadilan ekonomi dalam masyarakat. Pemberian zakat menghendaki adanya distribusi yang adil oleh para pengelola zakat, dengan harapan distribusi tersebut dapat membangkitkan  daya produksi dan konsumsi masyarakat yang hidup dalam kondisi yang miskin. Oleh karena itu, kewajiban zakat meniscayakan untuk dikelola secara profesional dan produktif. Metode  pengelolaan  zakat yang tradisional harus dibenahi sehingga dapat memberdayakan dan mensejahterakan masyarakat yang lemah secaraekonomi.
Makalah  ini hendak menguraikan beberapa hal, pertama, bagaimanakah makna zakat dalam ajaran Islam?, Kedua, apakah problem sebenarnya dari pengelolaan zakat saat ini sehingga belum mampu mengentaskan kemiskinan?, Ketiga,  bagaimanakah  mentranformasikan zakat sehingga berdampak terhadap perwujudan keadilan sosial di Indonesia?

Memahami Makna Zakat
Zakat secara bahasa berarti bersih, berkembang, baik, terpuji, dan barokah. Disebut zakat karena dapat mengembangkan dan menjauhkan harta yang telah dizakati dari bahaya. Sekaligus dapat membersihkan harta dan pemiliknya dari haknya orang lain. Secara istilah, zakat berarti nama sejumlah harta yang dikeluarkan dari jenis harta tertentu, dengan syarat tertentu dan diberikan pada golongan tertentu pula.[5]
Neal Robinson mengatakan, kata zakat sebenarnya bermakna kesucian, namun sekarang zakat telah menjadi  istilah teknis untuk menyebut kewajiban tahunan seorang muslim untuk menyedekahkan kelebihan kekayaannya dalam prosentase tertentu. Kata zakat diartikan dalam berbagai istilah, seperti hutang kepada kaum miskin, sumbangan wajib atau kewajiban pajak yang berpahala.[6] Sedangkan Zakiah Drajat mengatakan bahwa pengertian zakat yang berkembang di masyarakat ialah zakat dengan maksud shodaqoh wajib, sedangkan pengertian shodaqoh itu sendiri ialah shodaqoh sunnah. Menurutnya, ulama’ telah membagikan  ibadah itu menjadi 3 (tiga) hal,  yaitu ibadah badaniyah untuk sholat, ibadah maliah untuk zakat dan ibadah badaniyah dan maliah untuk haji.[7]
Dalam Al-Qur’an, istilah zakat diungkapkan sebanyak 32 kali. Dalam dua tempat (Qs. 18 : 81, Qs. 19 : 13) mempunyai makna kesucian. Dalam empat surat lainnya yang kesemuanya mungkin diturunkan di periode Mekkah terbukti menunukkan beberapa bentuk pembayaran keagamaan yang dianggap sebagai kewajiban oleh para nabi terdahulu, sedangkan surat Al-Qur’an lainnya ialah surat yang turun di Madinah, salah satunya menyebutkan bahwa Allah mengenakan denda sholat dan zakat pada anak-anak Israel sebagai bahan perjanjiannya dengan mereka (Qs. 2 : 83), di antara surat Al-Qur’an lainnya menunjuk pada perbuatan umat dan pemberian zakat sebagai kewajiban seorang muslim.[8]
Penyebutan kata zakat dalam Al-Qur’an yang berkali-kali memberikan makna intensi yang cukup serius tentang urgensi nilai sebuah zakat. Seorang muslim, tidak bisa berpaling untuk selalu berbagi rasa dan materi dengan orang-orang di sekelilingnya. Ikatan  “memanusiakan manusia”  tidak bisa dilepaskan sama sekali dalam ajaran-ajaran Islam. Teungku Muhammad Hasbi Assiddieqy mengatakan, salah satu ciri khas dalam hukum Islam ialah dimensi insaniyah. Hukum Islam memberikan perhatian penuh kepada manusia, memelihara segala yang berpautan dengan manusia, baik mengenai diri, ruh, akal, akidah, fikrah, usaha, pahala, dan siksa, baik selaku perorangan  maupun selaku anggota masyarakat, baik mengenai anak istrinya, harta kekayaannya, keutamaan dan kekejiannya dan aneka rupa yang lain yang tidak dapat dihitung dan dihinggakan yang berkaitan dengan manusia. Intisari hukum Islam ialah memelihara manusia, memberi perhatian yang penuh kepada manusia dan kemuliannya.[9]

Problem Pengelolaan Zakat di Indonesia
Pengelolaan zakat di Indonesia masih berjibun dengan problematika yang tidak kunjung selesai. Jumlah orang Islam yang mayoritas bahkan diperkirakan mencapai  85,1%  dari 240.271.522[10] penduduk Indonesia, belum mampu mengangkat derajat kaum miskin, walaupun setiap tahun orang Islam selalu menunaikan kewajiban zakatnya. Zakat yang berlangsung seakan menjadi ritual dan sekedar penutup kewajiban. Ironisnya, pembagian zakat di beberapa daerah dalam setiap tahunnya sudah terbiasa dengan kerusuhan, berebut, injak-menginjak, berderet-berderet antri, bahkan  pada tahun 2008 kita masih ingat dengan pembagian zakat di Pasuruan Jawa Timur, sekitar 21 orang meninggal akibat berdesakan dan puluhan lainnya pingsan.[11]
Pengelolaan  zakat yang serba instan dan tidak terkoordinasi dengan sistematis berdampak pada pemiskinan yang berantai. Orang-orang miskin setelah menerima zakat, barang maupun uang bantuan habis dan tidak terkelola. Zakat tidak mendayakan kaum lemah dan tidak dapat membangkitkan semangat kreatifitas produksi. Dengan semakin banyaknya penerima zakat dari tahun ke tahun menjadi petanda betapa  masyarakat saat ini semakin bermental pengemis dan lemah untuk memandirikan dirinya sendiri. Kondisi inilah yang menjadi kritik Jalaluddin Rakhmat yang mengatakan bahwa zakat di Indonesia selalu hidup dengan mitos-mitos kemiskinan. Orang miskin yang yang menjadi obyek pemberian zakat, masih dipandang oleh sistem dan masyarakat sebagai subyek yang memikul budaya miskin (culture of peverty)  dan menjadi penyebab atas kemiskinan dirinya sendiri.[12]
Menurut Jalaluddin Rakhmat, untuk mengatasi kemiskinan yang pertama-tama harus dilakukan ialah harus mengatasi kekeliruan berfikir. Apa yang dilakukan seseorang atau pemimpin dalam mengelola zakat sangat tergantung dengan cara berfikirnya. Mayoritas orang-orang Islam masih mengatakan bahwa kemiskinan tidak perlu dipersoalkan secara sungguh-sungguh dengan rasionalisasi bahwa bila seseorang mau bekerja keras ia akan  kaya pada akhirnya. Miskin hanyalah periode saja dalam perjalanan kehidupan seseorang. Kebanyakan orang tidak pernah bertanya secara kritis terhadap fakta di balik kemiskinan  masyarakat. Menurut Kang Jalal, zakat tidak akan pernah merubah apapun jika masih terbersit dalam pikiran penanggung  zakat dan pengelolanya bahwa penunaian zakat hanya semata kewajiban agama dan meyakini bahwa kemiskinan adalah fitrah setiap manusia.[13]
Persoalan tidak kalah peliknya ialah  soal paradigma pengelolaan zakat oleh negara. Menurut Masjfuk Zuhdi, dalam hukum Islam  zakat bukanlah urusan pribadi yang kemudian pengelolaannya diserahkan pribadi masing-masing. Pemikiran yang melihat bahwa pengelolaan zakat merupakan kepentingan pribadi sangat bertentangan dengan fakta-fakta sejarah yang menunjukkan bahwa pengelolaan zakat di negara-negara Islam sejak Nabi Muhammad, Khulafa’ Rasyidin dan pemerintahan sesudahnya telah ditangani oleh aparat pemerintahan yang kemudian disebut dengan amil zakat yang bertugas menarik dan mengumpulkan zakat dari para wajib zakat dan mendistribusikanya kepada orang-orang yang berhak menerimanya.[14]
Masjfuk menambahkan,  jika kewajiban zakat diserahkan sepenuhnya kepada pribadi pemberi zakat tanpa campur tangan pemerintah  sangat dimungkinkan terjadinya dampak negatif seperti para wajib zakat yang tidak membayar zakat, distribusi zakat yang tidak ditegakkan secara adil kepada para orang-orang yang berhak, fakir miskin sebenarnya lebih merasa terhormat jika diberikan hak-haknya oleh pemerintah, dan dampak sosial lainnya. Oleh karena itu, pengelolaan zakat seharusnya ditangani oleh pemerintah, karena pemerintahlah yang mempunyai aparat pemerintahan yang lengkap, sarana prasarana yang memadai, dan mempunyai otoritas pemaksa bagi mereka yang melanggarnya.[15]
Di Indonesia, pengelolaan zakat oleh pemerintah  masih tarik ulur  dan bahkan terlihat tidak adanya komitmen pemerintah terhadap pengelolaan dan pengawasannya. Sri Adi Bramasetia, Sekretaris Jenderal Asosiasi Organisasi Pengelola Zakat Indonesia (Forum Zakat) mengatakan,  dirinya tidak sependapat jika pengelolaan zakat diambil alih sepenuhnya oleh pemerintah dan menghapuskan peran swasta (LAZ), sebagaimana rencana pemerintah untuk merevisi UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang Zakat. Menurutnya, pengelolaan zakat oleh masyarakat akan berdampak baik, apalagi, jika pemerintah bisa memfasilitasi terwujudnya suasana yang kondusif. Masalah yang cukup serius  menurut  Sri Adi ialah terkait UU No. 38/1999 tentang Zakat sampai saat ini belum  memiliki Peraturan Pemerintah. Aturan pelaksanaanya masih berdasarkan Keputusan Menteri Agama dan berakibat buruk pada  ketidakjelasan tata kelola zakat di Indonesia. Termasuk tidak jelas siapa pengawasnya,operatornya,dan siapa regulatornya.[16]
Sri Adi mengusulkan, semestinya Baznas menjadi regulator dan pengawas, BAZ (Badan Amil Zakat)  menjadi operator pemerintah, sedangkan  LAZ (Lembaga Amil Zakat) menjadi operator swasta dan menjadi pihak yang harus diawasi. Masing-masing memiliki segmen dan memiliki cara kerja yang khas. Menurut Edi,  tata kelola zakat  saat ini tidak jelas. Baznas dibentuk oleh SK Presiden dan semestinya sebagai badan negara yang dibentuk Presiden mendapatkan pembiyaan dari APBN secara langsung. Fakta di lapangan sampai hari ini, Baznas memperoleh dana APBN sebagian kecil  saja dan masih dititipkan lewat Departemen Agama (Depag).  Baznas juga masih sibuk dengan masalah operasional kelembagaannya  karena  Badan Amil Zakat (BAZ)  provinsi tingkat I dan II tidak memiliki koordinasi dan garis komando secara langsung kepada Baznas.[17]
Kritik lainnya diungkap oleh Sahabudin Ketua Yayasan Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU). Sahabudin berharap tidak ada sentralisasi pengumpulan dan pendayagunaan zakat melalui Badan Amil Zakat (BAZ) dan meminta pemerintah untuk tetap membiarkan keberadaan Lembaga Amil Zakat (LAZ), karena keberadaan LAZ telah lama ada dan telah memberikan kontribusi kepada masyarakat.  Pengumpulan dan pendayagunaan zakat oleh LAZ telah berhasil menghidupkan pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan.[18] Kritik beberapa tokoh penggerak zakat di atas  salah satunya didasari atas ketidakpercayaan (distrust) bahwa pemerintah dalam proses pengelolaan  zakat di Indonesia akan dapat bertindak secara transparan dan bisa dipertanggungjawabkan mulai tingkat pengumpulan hingga pendistribusiannya kepada masyarakat yang berhak.[19] Pemerintah Indonesia masih hidup dengan  sistem koruptif yang cukup massif dan belum bisa diperbaiki secara sistemik.[20]
Kritik lainnya diungkap oleh Irfan Syauqi Beik, Dosen IPB dan Anggota ISEFID, menurutnya, pemerintah saat ini mempunyai pekerjaan rumah yang cukup banyak dalam  pengelolaan zakat, diantaranya terkait dengan sosialisasi, regulasi, dan sumber daya manusia. Menurut Irfan, problem mendasar  tidak optimalnya pengelolaan zakat sampai hari ini karena lemahnya sosialisasi dan penyadaran terhadap  masyarakat. Mayoritas umat Islam beranggapan bahwa pemberian zakat masih lebih utama diberikan kepada mustahik. [21]
Lemahnya sosialisasi  akhirnya berdampak pada ketidakkepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga amil zakat yang sekarang mencoba mengelola zakat secara profesional. Di samping itu, persoalan serius pengelolaan zakat di Indonesia juga terkait regulasi dan sumber daya manusia. Regulasi yang ada masih belum mengatur secara tegas dan jelas terkait struktur organisasi, fungsi dan kewenangan lembaga amil zakat baik dari tingkat nasional sampai kecamatan. Demikian juga masalah  kualitas pengelola zakat. Pemerintah  masih belum mengintegrasikan  perguruan  tinggi untuk menghasilkan lulusan-lulusan berkwalitas yang diperuntukkan untuk bekerja di lembaga  zakat di Indonesia.[22]
Problem-problem di atas pada akhirnya  poros dari semuanya  tergantung pada komitmen dan kemauan pemerintah untuk menyelesaikannya. Rapuhnya paradigma masyarakat dan  masih hidupnya mereka dengan pengelolaan zakat yang  tradisional,  sesungguhnya tidak lahir secara internal dan fungsional masyarakat, tetapi  merupakan dampak lanjutan dari lemahnya ijtihad  dan kemauan politik negara untuk memperbaiki pengelolaan zakat sehingga produktif dan bisa memberdayakan.  Otoritas dan kewenangan pemerintah bisa mendorong pengelolaan zakat dan mendistribusikannya secara adil lewat program-program yang tranformatif, walaupun dalam banyak hal, pemerintah saat ini memang harus memperbaiki sistemnya sendiri yang masih sangat korup.

Tranformasi Zakat Untuk Mewujudkan Keadilan Sosial
Zakat sebagaimana maknanya yang suci, bersih, berkembang dan berkah, semestinya mampu mengangkat kelompok lemah menjadi lebih kuat, dari kaum miskin menjadi  kaya, dari kaum yang mengalami ketergantungan menjadi mandiri, dan seterusnya. Orang miskin dengan zakat semestinya didorong untuk terbebas dari ketertindasannya. Asghar Ali Engineer mengatakan, jika agama hendak menciptakan kesehatan sosial dan menghindarkan diri dari sekedar pelipur lara dan tempat berkeluh kesah, agama harus mentranformasikan dirinya menjadi alat yang canggih  untuk melakukan perubahan-perubahan sosial.[23] Zakat sesuai dengan  makna dasarnya, akan menjadi alat tranformasi keadilan sosial jika pengelolaannya bisa digerakkan  secara aktif, dinamis dan sistematis.[24]
Munir Mulkhan mengatakan, ibadah zakat juga mengandaikan bahwa keadilan produksi tidak menjamin bagi terjadinya keadilan distribusi. Jika ibadah zakat maal berlaku bagi semua jenis harta milik seperti emas, hewan ternak, hasil perdagangan, hasil pertambangan, hasil panen dan penghasilan lainnya, zakat fitrah hanya berlaku bagi makanan pokok yang dikonsumsi yang di Indonesia ialah beras. Maksud utama penetapan zakat menurut Munir ialah terjadinya keadilan distribusi kepemilikan harta dan  hilangnya orang-orang yang menderita kelaparan dan bagi mereka yang tertutup akses-akses sosialnya. Karena itu, sangat penting untuk meletakkan maksud etik itu dalam pengelolaan zakat kekinian, yaitu tidak semata bentuk formalnya pada masa nabi seperti yang selama ini diformulasikan oleh para fuqaha dan kemudian kita artikan juga secara verbal.[25]
Dalam konteks mentranformasikan maksud etik zakat, Munir Mulkhan mengatakan, saat ini penting untuk mencermati penghitungan prinsip efektif dan efisien dalam mengelola, menarik dan membagi zakat daripada cara-cara konvensional yang selama ini dilakukan dengan hanya menarik tahun atau hari ini dan kemudian membagi sampai habis dalam tahun dan hari yang sama. Sama halnya pelaksanaan ibadah zakat fitrah di akhir bulan Ramadhan dan juga kurban pada bulan haji. Padahal, jika diandaikan jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 40 juta jiwa, maka penduduk sisanya yang tergolong kaya yang mencapai  sekitar 210 juta jiwa, yakni 170 jiwa. Dengan perhitungan yang memeluk Islam dari jumlah itu mencapai 90%, maka harta yang bisa dikumpulkan bisa mencapai sekitar lebih dari 10 trilyun rupiah. Jika angka sebegitu besar habis seketika, sebenarnya fungsi sosial zakat telah gagal ditegakkan, mereka yang menderita miskin akan tetap miskin, bahkan diantara mereka akan semakin menderita karena mengalami ketergantungan dengan sumbangan tahunan.[26]
Pemikiran senada diungkap oleh Khamami Zada. Menurutnya, zakat merupakan potensi besar yang dimiliki Islam untuk menciptakan keadilan sosial, terutama untuk membantu fakir miskin. Secara global, potensi zakat cukup besar. Asumsinya, besar zakat yang dapat dikumpulkan adalah 2,5 persen dari total produk domestik bruto (PDB). Dengan asumsi itu, Arab Saudi memiliki potensi zakat hingga 5,4 miliar dollar AS atau Rp 48,6 triliun (1 dollar AS setara Rp 9.000). Adapun Turki berpotensi lebih besar, 5,7 miliar dollar AS (Rp 51,3 triliun), sedangkan potensi Indonesia hingga 4,9 miliar dollar AS atau Rp 44,1 triliun.[27]  Meskipun demikian, fakta menunjukkan kondisi yang amat ironis. Hingga kini belum ada satu negara Islam pun yang mampu mengumpulkan zakat hingga 2,5 persen dari total PDB-nya.[28]
Pada tahun 2006, Malaysia hanya mampu mengumpulkan zakat 600 juta ringgit (Rp 1,5 triliun), atau sekitar 0,16 % dari total PDB. Begitu pun Indonesia hanya mengumpulkan Rp 800 miliar atau hanya 0,045 % dari total PDB. Secara umum, negara-negara Teluk hanya mampu mengumpulkan zakat rata-rata 1,0 % dari PDB. Padahal, jika dikelola dengan baik, zakat dapat diarahkan pada usaha pemerataan ekonomi masyarakat. Zakat yang dikelola dengan efektif dan efisien, akan  membangun keseimbangan sirkulasi ekonomi masyarakat. Masyarakat miskin akan mendapatkan haknya secara lebih baik untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Zakat  seharusnya dikelola dengan menggunakan sistem yang akuntabel. Masalanya saat ini,  pengelolaan zakat masih berkutat dalam bentuk-bentuk konsumtif-karikatif yang tidak menimbulkan dampak sosial berarti.  Zakat hanya diberikan langsung oleh tiap pembayar kepada penerima sehingga zakat tidak menjadi sistem sosial yang tranformatif. Karena itu, untuk  mengelola dan memberdayakan potensi zakat sebagai kekuatan ekonomi masyarakat, keberadaan institusi zakat sebagai lembaga publik di masyarakat menjadi teramat penting. [29]
Masjfuk Zuhdi juga mengatakan, seandainya aparat pemerintah Indonesia bersih, berwibawa dan mereka dapat menangani langsung pengelolaan zakat dengan menajemen yang baik sesuai dengan tujuan dan sasaran zakat yang telah digariskan dalam Islam, pengelolaan pasti  akan efektif dan efisien. Persoalannya sekarang terletak pada  pengelolaan zakat yang masih ditangani banyak badan-badan amil zakat  atau baitul maal yang berjalan  tanpa koordinasi. Sebagian besar adalah non pemerintah dan sebagian kecil dari semi resmi pemerintah, seperti Baziz-bazim di daerah-daerah Kabupaten/Kotamadya.[30]
Menurut Masjfuk Zuhdi, seandainya pemerintah dapat membangun sistem dan kelembagaan pengelolaan yang baik, pemerintah pasti bisa menjadikan zakat sebagai sumber dana yang potensial untuk menunjang pembiayaan pembangunan yang seringkali tertimpa resesi ekonomi, serta dapat  mensejahterakan masyarakat secara jasmani dan rohani. Masjfuk mengatakan, kita ambil contoh Kotamadya Malang saja yang berdasarkan sensus penduduk tahun 1980 berjumlah penduduk 507. 917 jiwa, dan yang muslim berjumlah 445. 258 jiwa. Kalau yang mengeluarkan zakat fitrah 80% saja, akan terkumpul beras sebanyak (80% x 445. 258) x 2, 5 kg = 890. 516 kg. Jika diuangkan pada waktu itu menjadi Rp. 400. 00 x 890. 516 = Rp. 356. 206. 400, 00.  Jumlah itu baru zakat fitrah, angka itu akan menjadi fantastis jika ditambah zakat profesi pegawai/karyawan, zakat perusahaan, koperasi, perdagangan, industri, perhotelan dan banyak lainnya. Hasil zakat jika dikelola dengan baik pasti  dapat membantu pemerataaan pendapatan masyarakat dan akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.[31]
Pendapat beberapa pemikir di atas mempertegas terhadap cara pandang kita bahwa pengelolaan zakat sudah saatnya ditranformasi dari pengelolaan yang tercerai berai menjadi pengelolaan yang koordinatif, organik dan sistematik, dan dari  pengelolaan yang sekedar konsumtif-karikatif menjadi kreatif- produktif. Zakat dalam konteks ini seharusnya juga ditempatkan tidak sekedar memberikan harta dan sejumlah uang, tetapi harus dikembalikan kepada makna dasarnya yaitu sebagai sistem pembinaan terhadap kelompok lemah yang menjadi pemegang hak zakat.[32] Karena itu, zakat  dalam dimensi tranformatifnya harus mempunyai indikator matematis keberhasilan, yaitu minimalisasi  orang miskin secara progresif  dan maksimalisasi produksi, kreasi dan konsumsi orang-orang miskin.[33]
Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa zakat mempunyai peran yang sangat fundamental untuk meminimalisasi kemiskinan. Zakat menjadi dogma yang teramat penting bagi orang-orang Islam untuk selalu berbagi rasa dan materi terhadap masyarakat sekitarnya yang tergolong miskin. Zakat sesuai dengan artinya bersih, berkembang, baik, terpuji, dan barokah bermakna ibadah karena zakat dapat mengembangkan dan menjauhkan harta yang telah dizakati dari bahaya dan  membersihkan harta dan pemiliknya dari hak-hak orang lain. Zakat juga bermakna sosial karena untuk memanusiakan manusia.
Zakat sebagai satu kewajiban setiap orang Islam untuk memenuhinya tidak kunjung dapat menyelesaikan problem kemiskinan  dan kemelaratan di Indonesia saat ini. Pengelolaan zakat di Indonesia masih tidak terorganisir, pola distribusi yang tidak efektif dan efisien serta regulasi pemerintah yang sangat lemah. Buruknya sistem pengelolaan zakat di Indonesia menyebabkan tidak adanya indikator matematis keberhasilan dari  hasil zakat yang diperoleh dari orang-orang Islam setiap tahunnya. Bahkan  dampak buruk pengelolaan zakat yang tidak memberdayakan saat ini  telah menumbuhkan  mentalitas ketergantungan kelompok miskin terhadap pemberian zakat.
Pengelolaan zakat di Indonesia yang  masih tercerai berai, pola distribusi yang konsumtif-karikatif dan bangun regulasi yang sangat lemah meniscayakan untuk ditranformasikan sedemikian rupa menjadi pengelolaan zakat yang organik, sistemik, produktif, kreatif, efektif, efisien dan memberdayakan. Pengelolaan zakat harus dikembalikan pada fungsinya sebagai pembinaan orang-orang miskin sehingga dapat mandiri dan berdaya dengan manajemen modal yang diperoleh dari hasil zakat setiap tahunnya. Tranformasi zakat akan mempunyai indikator yang metematis untuk membangun keadilan sosial, yaitu  minimalisasi  orang miskin secara progresif  dan maksimalisasi produksi, kreasi dan konsumsi orang-orang miskin.

Daftar Pustaka :
 
Buku-Buku :
Abdul Munir Mulkhan, Teologi Kiri : Landasan Gerakan Membela Kaum Mustadl’afin, (Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2002)
Abdullah Ahmed An-Na’im, Dekonstruksi Syariah, (Yogyakarta : LkiS, 1994)
Asgar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006)
Imam Az-Zabid, Ringkasan Shahih Al-Bukhari, (Bandung :  Mizan, 1997)
Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktual : Refleksi Sosial Seorang Cendekiawan Muslim, (Bandung : Mizan, 2001)
M. Masykur Khoir, Risalatuz Zakat, ( Kediri : Duta Karya Mandiri, 2003)
M. Zainuddin, Normatif, Kesalehan dan Sosial, (Malang : UIN Malang Press, 2007)
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta : PT Toko Gunung Agung, 1987)
Neal Robinson, Pengantar Islam Komprehensif, (Yogyakarta : Fajar Pustaka Baru, 2001)
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban :  Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Komodernan, (Jakarta : Yayasan Wakaf Paramadina, 1992)
Syahrin Harahap, Islam Dinamis : Menegakkan Nilai-Nilai Ajaran Islam dalam Kehidupan Modern di Indonesia, (Yogyakarta :  PT Tiara Wacana Yogya, 1997)
Tajuddin Thalibi, Pendidikan Agama Islam 2 SMU Assa’adah, (Gresik : 1998)
Teungku Muhammad Hasbi Assiddiqieqy, Falsafah Hukum Islam, (Semarang : PT Pustaka Rizki Putra, 2001)
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Daarul Fikr, jilid II)
Zakiah Drajat, Ilmu Fiqh (Jilid 1), (Yogyakarta : PT Dana Bhakti Wakaf, 1995)
  
KORAN DAN MEDIA :
-  Irfan Syauqi Beik, Masa Depan Zakat di Indonesia, Ripublika, 2 Septemberi 2009
- Harian Kompas, Jumat, 19 September 2008
- Hamami Zada, Zakat dan Derita Kaum Miskin,  Harian Kompas, Jumat, 19 September 2008
- Sayid Qutb, Keadilan Sosial dalam Paham Islam, Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial, UNISIA No. 39/XXII/III/1999
- Info Z + : Media Informasi Organisasi Pengelola Zakat, Edis 4 Thn VI, Januari-Pebruari 2010

 WEBSITE :
-    http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_di_Indonesia. Diakses pada Rabu, 16 Maret 2011, jam 15. 00 WIB
-    http://www.antaranews.com/view/?i=1221452947&c=NAS&s=. diakses pada Rabu, 16 Maret 2011, jam 15. 00 WIB
-    http://www.inilah.com/read/detail/234002/mengurai-problem-tata-kelola-zakat. Diakses pada 15 Maret 2011, jam 20. 00 WIB
-    http://imz.or.id/new/news/184/problematika-pengelolaan-zakat/, diakses pada 15 Maret 2011, jam 10. 00 WIB
-    http//issuu.com/matabening/docs/annual_report_icw_2010. Diakses pada 16 Maret 2011, jam 10. 30 WIB


[1] Imam Az-Zabid, Ringkasan Shahih Al-Bukhari, Bandung, Mizan, 1997, hlm 282
[2] Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Daarul Fikr, jilid II, hlm.732
[3] Tajuddin Thalibi, Pendidikan Agama Islam 2 SMU Assa’adah, Gresik, 1998, hlm 267, lihat juga Qs. Al-Taubah : 103
[4] Abdul Munir Mulkhan, Teologi Kiri : Landasan Gerakan Membela Kaum Mustadl’afin, Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2002,  hlm 269
[5] M. Masykur Khoir, Risalatuz Zakat, Kediri, Duta Karya Mandiri, 2003, hal. 8
[6] Neal Robinson, Pengantar Islam Komprehensif, Yogyakarta, Fajar Pustaka Baru, 2001, hlm 175
[7] Zakiah Drajat, Ilmu Fiqh (Jilid 1), Yogyakarta, PT Dana Bhakti Wakaf, 1995, hlm 216
[8] Neal Robinson, Pengantar Islam…. Op. Cit, hlm 176-177
[9] Teungku Muhammad Hasbi Assiddiqieqy, Falsafah Hukum Islam, Semarang, PT Pustaka Rizki Putra, 2001, hlm 142-146. Baca juga Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban : Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Komodernan, Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina, 1992, hlm 328-342
[10] http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_di_Indonesia. Diakses pada Rabu, 16 Maret 2011, jam 15. 00 WIB
[11]  http://www.antaranews.com/view/?i=1221452947&c=NAS&s=. diakses pada Rabu, 16 Maret 2011, jam 15. 00 WIB
[12] Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktual : Refleksi Sosial Seorang Cendekiawan Muslim, Bandung, Mizan, 2001, hlm239-242
[13] Ibid, hlm 242
[14] Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Jakarta, PT Toko Gunung Agung, 1987, hlm 256
[15] Ibid, hlm 257
[16]Ahmad Munjin, Mengurai Problem Tata Kelola Zakat, lihat di http://www.inilah.com/read/detail/234002/mengurai-problem-tata-kelola-zakat. Diakses pada 15 Maret 2011, jam 20. 00 WIB
[17] Ibid
[18] Ibid
[19] Press Rilis M. Arwani Thomafi,  anggota DPR-RI Fraksi PPP terkait RUU Pengelolaan Zakat. Lihat http://imz.or.id/new/news/184/problematika-pengelolaan-zakat/, diakses pada 15 Maret 2011, jam 10. 00 WIB
[20] Korupsi di Indonesia dari tahun ke tahun cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 2008-2009 sebagaiana survey TII, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2009 naik menjadi 2,8 dari 2,6 pada tahun 2008. Dengan skor ini, peringkat Indonesia terdongkrak cukup signifikan, yakni berada di urutan 111 dari 180 negara di dunia. Di tingkat ASEAN, Indonesia juga tidak lagi menduduki posisi yang tak jauh dari posisi juru kunci. Jika sebelumnya di tingkat ASEAN Indonesia selalu berada di peringkat terbawah negara yang dipersepsikan korup, tahun 2009 posisi Indonesia berada di peringkat kelima dari 10 negara ASEAN. Pada tahun 2010-2011, pemerintah Indonesia juga mengalami kritik tajam perihal pembiaran terhadap kriminalisasi pimpinan KPK dan semakin berkembangnya tren penegakan hukum tindak pidana korupsi yang tidak jelas. Koruptor selalu mendapatkan keringanan hukuman. ICW menyebut tahun 2010 sebagai tahun paling suram dalam pemberantasan korupsi dan penegakan hukum di Indonesia.  http://www.kpk.go.id/modules/news/article.php?storyid=942. dan http//issuu.com/matabening/docs/annual_report_icw_2010. Diakses pada 16 Maret 2011, jam 10. 30 WIB
[21] Irfan Syauqi Beik, Masa Depan Zakat di Indonesia, lihat Ripublika, 2 Septemberi 2009
[22] Ibid
[23] Asgar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006, hlm 89
[24] Syahrin Harahap, Islam Dinamis : Menegakkan Nilai-Nilai Ajaran Islam dalam Kehidupan Modern di Indonesia, Yogyakarta, PT Tiara Wacana Yogya, 1997, hlm 102
[25] Munir Mulkhan, Teologi Kiri… Op. Cit, hlm 269-270
[26] Ibid
[27] Hamami Zada, Zakat dan Derita Kaum Miskin, Lihat Harian Kompas, Jumat, 19 September 2008
[28] Ibid
[29] Ibid
[30] Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah…. Op. Cit, hlm 274-275
[31] Ibid
[33] Salah satu instrumen penting untuk memperbaiki kekisruhan pengelolaan zakat ialah  reformulasi UU No. 38/1999 tentang Zakat. Saat ini Undang-Undang ini lagi dibahas di DPR dan berbagai polemik yang masih belum menemukan titik  terang.  Semoga Undang-Undang ini bisa dirumuskan dengan sistemik dan organik  sehingga kondisi masyarakat yang lemah di Indonesia  akan semakin baik. Lihat Info Z + : Media Informasi Organisasi Pengelola Zakat, Edisi 4 Thn VI, Januari-Pebruari 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar