Powered By Blogger

Jumat, 13 April 2012

Biografi Singkat Nabi saw

Biografi Singkat Nabi saw
Muhammad bin Abdillah bin Abdul Muthalib saw, penutup para nabi dan penghulu para rasul dilahirkan pada tanggal tujuh belas bulan Rabiul Awwal, tahun gajah. Setelah kehilangan ayahnya, Muhammad kecil disusukan di Bani Sa`ad dan dikembalikan lagi pada ibunya saat ia berusia sekitar empat atau lima tahun. Ibunya meninggal dunia saat ia masih berusia enam tahun lalu kakeknya mengasuhnya dan ia tinggal bersamanya selama dua tahun....


Biografi Singkat Nabi saw
Muhammad bin Abdillah bin Abdul Muthalib saw, penutup para nabi dan penghulu para rasul dilahirkan pada tanggal tujuh belas bulan Rabiul Awwal, tahun gajah. Setelah kehilangan ayahnya, Muhammad kecil disusukan di Bani Sa`ad dan dikembalikan lagi pada ibunya saat ia berusia sekitar empat atau lima tahun. Ibunya meninggal dunia saat ia masih berusia enam tahun lalu kakeknya mengasuhnya dan ia tinggal bersamanya selama dua tahun. Kemudian setelah menyerahkan urusan pengasuhan dan penjagaan Muhammad pada paman tersayangnya Abu Thalib, sang kakek pun meninggal dunia. Putra Abdullah ini tinggal bersama pamannya sampai masa pernikahnnya.
Muhammad melakukan perjalanan ke Syam bersama pamannya saat berusia dua belas tahun dan ia bertemu dengan pendeta Buhaira di suatu jalan. Buhaira pun mengenalnya dan mengingatkan Abu Thalib agar jangan sampai lengah saat menjaganya serta menerangkan kepadanya soal konspirasi kaum Yahudi terhadapnya.
Nabi saw menghadiri sumpah fudhul (hilful fudhul) saat berusia dua puluh tahun dimana kemudian beliau berbangga dengan hal itu. Beliau bepergian ke Syam dengan membawa barang dagangan Khadijah dan menikahinya saat beliau berusia dua puluh lima tahun dimana beliau berada pada puncak masa mudanya. Sebelumnya beliau dikenal sebagai seorang yang terpercaya dan jujur (al amin). Bahkan pelbagai suku yang terlibat konflik dalam memasang hajar aswad, semua puas dengan solusi jitu yang disodorkannya.
Beliau diutus saat berusia empat puluh tahun dan mulai menyeru kepada Allah SWT dalam keadaan yakin akan misinya. Beliau mengumpulkan para pengikutnya dan para penolongnya dari orang-orang yang beriman terdahulu.
Dan setelah berakhirnya tiga atau lima tahun dari permulaan dakwah di jalan Allah, Allah SWT memerintahkannya untuk mengingatkan kerabat dekatnya, kemudian juga menyuruhnya untuk secara terbuka menjelaskan risalah (agama Ilahi) dan mengajak manusia kepada Islam secara terang-terangan sehingga orang yang mencintai Islam masuk dalam golongan kaum Muslim dan Mukmin.
Sejak saat itu kaum Qurasiy mulai menanam berbagai ranjau (halangan) di hadapan gerakan Rasul saw dan mereka berusaha untuk membendung tersebarnya agama dengan membuntu jalan dakwah menuju Allah. Dan Nabi saw bereaksi dengan membuka jendela dakwah baru di luar Mekkah dimana beliau mengirim beberapa kelompok kaum Muslim ke Habasyah setelah sebelumnya mereka mendapatkan sambutan hangat dari Rajanya (Najasyi). Lalu mereka tinggal di sana di bawah kepemimpinan Ja`far bin Abi Thalib dan Ja`far tidak meninggalkan kawasan itu kecuali pada tahun ketujuh setelah Hijrah.
Kaum Quraisy tidak berhasil memprovokasi Najasyi untuk memusuhi Muslimin. Sehingga mereka menggunakan metode baru yang berupa pemberlakuan embargo ekonomi, sosial dan politik yang berjalan selama tiga tahun. Takkala kaum Quraisy putus asa dari usaha menundukkan Nabi saw dan Abu Thalib serta seluruh Bani Hasyim untuk kepentingan-kepentingan mereka maka tali embargo pun terputus. Namun setelah keluar dari embargo sebagai pemenang, Nabi saw dan keluarganya diuji dengan meninggalnya Abu Thalib dan Khadijah—semoga salam Allah tercurahkan bagi mereka berdua—pada tahun kesepuluh bi`tsah (masa pengutusan Nabi saw). Dua kejadian tersebut sangat memukul Nabi saw karena beliau kehilangan dua pendukung terkuat dalam satu tahun.
Di sini, sebagian sejarawan menguatkan terjadinya Isra dan Mi`raj dimana Nabi saw saat itu berada dalam puncak kesedihan ini dan beliau mengalami tekanan psikologis yang berat. Beliau melihat resistensi dan penentangan keras kaum Quraisy terhadap risalahnya. Lalu Allah SWT membukakan cakrawala masa depan baginya dengan memperlihatkan tanda-tanda kebesaran-Nya yang agung kepadanya. Maka, keberkahan mi`raj begitu agung (luar biasa) bagi Nabi dan semua kaum mukmin.
Dan Rasul saw hijrah ke Tha`if untuk mencari basis baru tetapi beliau tidak memperoleh pembukaan (ekspansi) yang baru dari negeri yang bertetanggaan dengan Mekkah ini dan yang terkontaminasi dengan udaranya. Kemudian beliau kembali ke Mekkah dan memilih tinggal di sebelah Muth`im bin `Adi. Dan beliau memulai aktifitas baru untuk menyebarkan agama di musim haji. Beliau memperkenalkan dirinya di hadapan pelbagai suku yang bertujuan ke Baitul Haram untuk menunaikan manasik haji dan berdagang di pasar `Ukadz. Maka, setelah berjumpa dengan penduduk Yatsrib, Allah SWT membukakan pintu kemenangan baginya. Dakwah beliau di jalan Allah berjalan terus dan Islam pun tersebar di Yatsrib hingga beliau memutuskan untuk hijrah ke sana sendirian setelah Allah memberitahukan padanya tentang makar kaum Quraisy ketika mereka sepakat untuk menghabisinya. Dan akhirnya, beliau selamat dari makar buruk itu. Beliau memerintahkan Ali as untuk tidur di ranjangnya dan saat itu beliau hijrah ke Yatsrib dengan penuh kehati-hatian. Beliau memasuki kota Yatsrib saat penduduknya benar-benar siap untuk menyambutnya. Beliau sampai di Quba di permulaan Rabiul Awwal. Dan atas perintah beliau sendiri, hijrahnya yang penuh berkah menjadi acuan permulaan sejarah Islam.
Nabi yang terakhir saw mendirikan negara Islam pertama dimana beliau mengukuhkan pondasi-pondasinya selama tahun pertama pasca hijrah yang dimulai dengan penghancuran berhala-berhala dan pembangunan Masjid Nabi. Beliau mempersiapkan Masjid ini sebagai sentral aktifitasnya, dakwahnya dan pemerintahannya. Pondasi lain yang dibangunnya adalah mempersaudarakan kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Sehingga hal itu menjadi pondasi publik yang kokoh yang negara baru berdiri di atasnya. Di samping itu, beliau menulis buku rujukan yang mengatur hubungan antara satu kabilah dengan kabilah yang lain. Beliau juga menandatangani perjanjian dengan para pemuka kaum Yahudi dimana ini mencakup garis-garis umum dari sistem birokrasi dan pemerintahan Islam pertama.
Negara Islam yang masih prematur dan begitu juga dakwah Islam berhadap-hadapan (bermusuhan) dengan kaum Quraisy yang bertekad untuk "menyapu" (menginvasi) dakwah Islam dan negara Islam. Mereka menyalakan peperangan demi peperangan terhadap kaum Muslimin dimana hal ini mengharuskan Nabi dan Muslimin untuk bertahan (membela diri).
Dan pembelaan terhadap negara yang prematur ini telah dimulai dengan pengiriman brigade (Sariyyah, yakni peperangan yang tidak menyertakan Nabi saw—pen.) di bawah kepemimpinan pamannya Hamzah pada bulan ketujuh setelah Hijrah. Nabi saw juga mempersiapkan tiga Sariyyah sampai penghujung tahun pertama dari Hijrah. Dan pada tahun ini banyak ayat dari surah al Baqarah yang turun untuk menjelaskan hukum-hukum yang abadi kepada Nabi saw dan negaranya serta umatnya dan membongkar rencana-rencana kaum munafik dan juga menyingkap konspirasi kaum Yahudi guna menentang penutup para nabi dan negara universalnya yang baru.
Kaum Quraisy "membidik" Nabi saw dan negaranya dari luar Madinah sedangkan kaum Yahudi "membidik" negara ini dari dalam Madinah. Namun Nabi saw memonitor semua gerakan mereka dimana sebagai konsekuensinya terjadilah delapan peperangan dan dua Sariyyah (pepeperangan yang tidak diikuti Nabi saw) sepanjang tahun kedua, termasuk peperangan Badar Kubra di bulan Ramadhan yang berkah. Dan dalam peperangan Badar itu perintah puasa telah diwajibkan dan juga terjadi perubahan kiblat dimana hal ini memberikan dimensi baru dalam kebebasan umat Islam dan negara Islam.
Dan tahun kedua dipenuhi dengan pelbagai kemenangan gemilang militer Islam. Di samping itu, telah turun undang-undang politik dan sosial. Sedangkan kaum Quraisy dan kaum Yahudi menelan kekalahan pertama yang memalukan. Dan Bani Qainuqa`—setelah mereka terbukti melanggar perjanjian mereka bersama Rasul saw pasca kemenangan kaum Muslim di Badar Kubra—diiusir dari Madinah. Mereka adalah kelompok Yahudi pertama yang menjadikan Madinah sebagai tempat tinggal.
Kaum Quraisy terus berusaha melakukan manuver militer untuk menentang Islam dan Muslimin dari luar Madinah. Dan berbagai kabilah Yahudi melanggar perjanjiannya bersama Nabi saw beberapa kali selama tiga tahun berturut-turut. Adalah lima peperangan, yaitu: Uhud, Bani Nazhir, Ahzab, Bani Quraizhah, dan Bani Musthaliq yang cukup menguras tenaga (meletihkan) Nabi saw dan seluruh Muslimin selama tiga tahun ini.
Allah SWT telah menggagalkan tipu daya kaum ahzab dan kaum Yahudi sekaligus pada tahun kelima setelah kaum Muslim melalui ujian yang baik dimana dengan hal itu Allah membentangkan jalan bagi penaklukan yang nyata—setelah kaum Quraisy berputus asa dari usaha menghancurkan kekuatan Muslimin. Dan pasca perjanjian Hudaibiyah, Nabi saw berkoalisi dengan pelbagai kabilah yang berada di sekitarnya dan mengajak mereka untuk menjadi satu kekuatan dalam menghadapi kekuatan-kekuatan syirik dan ateis. Sehingga Allah SWT menaklukkan Makkah baginya pada tahun kedelapan dan menjadikannya mampu "mensterilkan" semenanjung Arab dari basis-basis syirik setelah beliau menundukkan para pembangkang Quraisy pada negaranya dan politiknya yang berkah.
Kemudian tahun kesembilan Hijrah dipenuhi dengan kedatangan pelbagai kabilah yang masuk dalam Islam secara berbondong-bondong.
Sedangkan tahun kesepuluh adalah tahun haji terakhir (hijjatul wada`) dan merupakan tahun terakhir yang dilalui Nabi saw bersama umatnya. Beliau membentangkan jalan bagi negara universalnya dan bagi umatnya yang menjadi saksi atas seluruh umat.
Dan Nabi saw sang pemimpin meninggal dunia pada tanggal dua puluh delapan Shafar tahun kesebelas Hijriah—setelah beliau mengukuhkan pilar-pilar negara Islamnya dan menentukan kepemimpinan yang maksum baginya yang menggantikannya. Kepemimpinan yang maksum pasca beliau terwujud dalam sosok agung Ali bin Abi Thalib. Ali adalah manusia sempurna yang dididik oleh Rasul yang mulia saw dengan tangannya yang berkah semenjak ia lahir dan beliau mengasuhnya dengan sebaik-baik pengasuhan sepanjang hidupnya. Imam Ali bin Abi Thalib memanifestasikan semua nilai Islam dalam pikirannya, perilakunya dan akhlaknya. Ali bin Abi Thalib merupakan sosok yang paling patuh terhadap perintah-perintah dan larangan-larangan Nabi saw. Sehingga karena itu ia layak menyandang kekuasaan yang besar (al wilayah al kubra'), wasiat Nabi dan khilafah Ilahiah. Beliau telah mengabdikan seluruh hidupnya demi tegaknya risalah Islamiah dan revolusi Ilahiah serta negara nabawiah, hingga ia—sesuai dengan perintah Allah SWT—layak menjadi pengganti pertama Nabi saw pasca kepergiannya dari gelanggang kehidupan.
Rasul yang agung saw telah memenuhi panggilan Tuhannya setelah beliau menyempurnakan penyampaian risalah dengan mengangkat Imam Ali bin Abi Thalib as sebagai pemberi petunjuk dan Imam bagi kaum Muslim meskipun kondisi saat itu begitu sulit. Demikianlah Rasul saw merupakan contoh terbaik dalam ketaatan kepada Allah SWT dan kepatuhan terhadap perintah-perintah-Nya dimana beliau telah menyampaikan perintah Allah secara baik dan menyempurnakan hujah (bukti) secara indah.
Itulah sekilas pandang terhadap kepribadian dan kehidupan Nabi terakhir saw, Muhammad bin Abdillah saw. Dan setelah ini, marilah bersama kami guna menjelajahi dan mengkaji secara jauh kehidupan insan mulia ini.

Imamah dan Ahlul Bait

Imamah dan Ahlul Bait
Ismail Amin


Imamah dan Ahlul Bait
Akidah Islamiyah adalah kumpulan kaidah, hukum, landasan, perintah, larangan dan pengetahuan yang universal dan terperinci yang diturunkan Allah SWT kepada hamba-Nya, Muhammad SAW. Rasululullah SAW bertugas memberikan penjelasan kepada umat mausia melalui perantara dakwah dan daulah yang dipimpinnya sendiri. Oleh karena itu setiap perkataan, perbuatan dan taqrir Rasulullah SAW adalah juga aturan Ilahi sebagai pelengkap Al-Qur’an. Semasa hidupnya, Rasulullah menjadi satu-satunya sumber rujukan syar’i yang merupakan pengejewantahan akidah Ilahiah. Adalah mustahil jika aqidah yang berasal dari Allah ini dibiarkan tanpa seorang rujukan yang bertugas menjelaskan aqidah tersebut. Sumber rujukan ini haruslah orang yang memiliki pengetahuan Ilahiah, paling baik, afdhal dan tepat dari sekian manusia yang ada. Untuk memilih dan mengangkat orang yang memiliki kapasitas itu, hanya Allah sendirilah yang berhak menentukan. Sejarah perjalanan manusiapun membuktikan, semua nabi-nabi yang 124 ribu jumlahnya diutus dan diangkat oleh Allah SWT. Tak sekalipun Allah SWT menyerahkan penentuan dan pemilihan orang yang menjadi sumber rujukan kepada hawa nafsu dan pendapat-pendapat manusia. Begitulah sejarah membuktikan, dan tidak ada seorangpun yang menyelisihi ini.
Lewat tulisan ini, saya ingin memperlihatkan ada realitas lain selain Nabi dan Rasul yang juga menjadi ketetapan Ilahi. Allah SWT berfirman, "Dan ingatlah ketika Ibrahim di uji Tuhannya dengan beberapa perintah, lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman :"Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu seorang Imam bagi umat manusia." Ibrahim berkata, "(Dan aku mohon juga) dari keturunanku." Allah berfirman :"Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim." (Qs. Al-Baqarah : 124). 
Ayat ini menunjukkan bahwa menurut Al-Qur'an ada satu lagi realitas selain nabi dan rasul yakni imam, sebab bukankah penunjukan Ibrahim sebagai imam setelah ia menjadi nabi dan rasul dengan berbagai ujian ?.  Dalam ayat lain Allah SWT berfirman, "Dan Kami menganugerahkan kepadanya (Ibrahim), Ishak dan Yaqub sebagai suatu anugerah. Dan masing-masing Kami jadikan orang yang saleh. Dan Kami menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami, dan Kami wahyukan kepada mereka agar berbuat kebaikan, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kami mereka menyembah." (Qs. Al-Anbiya : 73). Di ayat lain, "…Kemudian Allah memberinya (Dawud) kerajaan dan hikmah dan mengajarinya apa yang Dia kehendaki." (Qs. Al-Baqarah : 41). Dari ayat-ayat ini menunjukkan bahwa penunjukkan imam, khalifah ataupun pemimpin atas umat manusia adalah wewenang dan otoritas mutlak Allah SWT sebagaimana penunjukan nabi dan rasul.
Sebagaimana surah Al-Baqarah ayat 124 di atas, kedudukan imam sebagai jabatan langit selain nabi dan rasul juga dianugerahkan kepada keturunan biologis nabi Ibrahim as.
Pada dasarnya, jabatan imam Allah merupakan tunas dari “Pohon Kejadian” yang menjadi tujuan atas penciptaan manusia di bumi. Sedangkan kenabian atau kerasulan adalah cabang dari “Pohon Kejadian” tersebut. Artiya, institusi ilahiah ini secara gradual diawali lebih dahulu oleh kenabian, kerasulan dan berakhir pada keimamahan. Ini bisa dimaklumi bahwa tidak mungkin ada hukum tanpa ada hakim. Hukum Islam telah sempurna, karenanya dengan wafatnya Nabi terakhir meniscayakan adanya hakim Ilahiah yang mendampingi pelaksanaan hukum. Hakim di bumi inilah yang disebut Imam.
Setelah nabi Ibrahim as wafat, jabatan-jabatan ini terus diwariskan melalui keturunan biologis Ismail dan Ishak yang mana keduanya adalah nabi. Dalam Alkitab dinubuatkan bahwa dari Ismail dan keturunannya akan muncul duabelas orang imam “Tentang Ismael, Aku telah mendengarkan permintaanmu; ia akan Kuberkati, Kubuat beranak cucu dan sangat banyak; ia akan memperanakkan dua belas imam dan Aku akan membuatnya menjadi umat yang besar (Kejadian 17:20). Kondisi serupa juga ditampakkan kepada bangsa Israel pada zaman Musa as yang mana dia telah diperintahkan oleh Allah untuk melantik dua belas orang imam yang dikepalai oleh Harun dan keturunannya, “Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian dari Bani Israil dan telah Kami angkat di antara mereka 12 orang pemimpin” (QS. Al-Maidah :12)
Pelantikan para imam Allah ini menandai kesempurnaan RisalahNya dan puncak dari perjanjian antara Allah dan para nabi yang ditugaskan untuk menyampaikan AjaranNya kepada manusia. Bahkan fungsi utama dari pengutusan seorang nabi atau rasul itu adalah untuk menegakkan kerajaan imam dan umat yang kudus. Al-Qur’an menyatakan: “Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari para nabi dan dari kamu, dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putera Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh”. (QS. 33:7)
Alhasil, substansi yang ingin saya tegaskan, bahwa status seorang imam di dalam Islam bahkan dalam ajaran Ibrahimik lainnya (Yahudi dan Nashrani) memang ada dan dipilih secara mutlak oleh Allah sebagaimana halnya kenabian dan kerasulan. Artinya tidak melalui konsensus. Imam Allah adalah jabatan sorgawi yang kudus dan tidak terbentuk melalui mekanisme pemilihan umum ataupun cara-cara lain yang dilandasi oleh perspektif manusia. Imamah atau kekhalifaan terlalu berharga, terlalu tinggi dan tidak pantas hanya disebut sebagai pemimpin sebuah pemerintahan. Imamah terlalu pelik dan rumit bagi manusia biasa untuk  memilih dan mengangkat sendiri imam mereka. Imamah tidak dapat diputuskan dalam pemilihan. Sebab imamah bukan sekedar masalah mengurus ummat melainkan perwakilan Allah SWT di muka bumi. Karena itu hanya Allah SWT yang berhak memilih dan mengangkatnya.
Sungguh tidak mengherankan bila Al-Qur’an sendiri pernah menegaskan bahwa keluarga Ibrahim as telah dianugerahi suatu kerajaan yang besar.
Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya? Sesungguhnya Kami memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar”. (QS. 4:54) Maka bagaimanakah dengan keluarga Muhammad saw sendiri? Dan apabila jumlah para imam dari keluarga Ibrahim as ini selalu duabelas orang, maka mungkinkah jumlah para imam dari keluarga Muhammad pun juga demikian?. Sebagai penutup, barangkali hadis Nabi saw yang pernah diriwayatkan dalam Sahih Bukhari  ini bisa membawa kita kepada kontemplasi mendalam yang selaras dengan pendewasaan beragama. Bukhari-Muslim meriwayatkan, "Agama (Islam) akan selalu tegak kukuh sampai tiba saatnya, atau sampai dua belas khalifah, semuanya dari Qurays."
Wallahu’alam Bishshawwab

Tawassul, Tanda Cinta Nabi pada Ummatnya

Tawassul, Tanda Cinta Nabi pada Ummatnya
Al-Qur’an menyatakan kepada kita bahwa ada suatu cara pendekatan “al-wasilah” untuk mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, dan kita diperintahkan mencarinya. Salah satu wasilah pendekatan kepada Allah SWT yang kebanyakan kaum muslimin melupakannya, malah oleh rekayasa sejarah dianggap kesyirikan adalah tawassul.


Tawassul, Tanda Cinta Nabi pada Ummatnya
















 “Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang
mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya supaya kamu
mendapat keberuntungan.” (Qs. Al-Maidah : 35).





 Al-Qur’an menyatakan kepada kita
bahwa ada suatu cara pendekatan “al-wasilah” untuk mendekatkan diri kepada
Allah Azza wa Jalla, dan kita diperintahkan mencarinya. Salah satu wasilah
pendekatan kepada Allah SWT yang kebanyakan kaum muslimin melupakannya, malah
oleh rekayasa sejarah dianggap
kesyirikan adalah tawassul. Sesungguhnya tawassul dan wasilah berasal dari akar
kata yang sama. Tawassul adalah usaha pendekatan kepada Allah melalui perantara
yang lebih taat kepada Allah. Karena melalui perantara maka wasilah ini
dianggap kesyirikan dengan dalih mengganggap ada selain Allah yang bisa
mendatangkan manfaat dan memberikan mudharat atau praktik berdoa melalui
perantara sama halnya memohon pertolongan kepada selain Allah. Sesungguhnya
dalih ini tidak beralasan menganggap tawassul adalah usaha yang sesat dalam
mendekatkan diri kepada Allah. Apalagi menyamakan tawassul dengan menyembah
berhala atau praktik tawassul kaum kafir jahiliyah yang menjadikan
patung-patung buatan mereka sendiri sebagai perantara diri mereka dengan Allah.
Alasan praktik penyembahan kaum kafir jahiliyah dilarang dan dianggap
kesyirikan bukan karena menggunakan perantara melainkan keyakinan mereka
terhadap berhala yang mereka jadikan perantara dapat mendatangkan kehancuran
dan memberikan manfaat. Alasan selanjutnya adalah mereka menggunakan perantara
yang salah, perantara yang menurut prasangkaan mereka dapat memberikan
pertolongan padahal yang mereka jadikan perantara tidak dapat memberikan
manfaat apa-apa, “Dan berhala-berhala yang mereka seru selain Allah tidak dapat
memperkenankan sesuatu pun bagi mereka.” (Qs. Ar-Ra’d: 14). 


Sedangkan jika bertawassul kepada orang yang
dekat kepada Allah dan tidak meyakini bahwa yang menjadi perantara memiliki
kekuatan sendiri selain dari Allah tetapi yang mereka miliki adalah kedudukan
ruhani di sisi Allah dan Allah tidak mengabaikan permohonan mereka apabila
mereka berdoa kepada Allah atas diri kita, bukanlah perbuatan syirik. Dan saya
akan memberikan beberapa referensi singkat mengenai hal ini.





Memohon Kepada Allah Melalui
Perantara





 Saya akan mengawalinya dari yang
telah menjadi kesepakatan seluruh kaum muslimin, bahwa sesungguhnya tidak ada
perbedaan di kalangan ulama bahwa memohon kepada Allah melalui perantara,
secara prinsip adalah sah. Tidak ada perbedaan dikalangan ummat Islam mengenai
bolehnya tiga jenis tawassul kepada Allah :


  1. Bertawassul
    kepada orang yang sangat dekat kepada Allah yang masih hidup. Contohnya
    seorang pelajar memohon di doakan oleh ulama agar bisa memiliki
    konsentrasi penuh dalam belajar. Tawassul sejenis ini juga pernah
    dilakukan oleh putra-putra Nabi Yakub as, "Wahai ayah kami,
    mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami
    adalah orang-orang yang bersalah ". (QS. Yusuf : 97). Begitu juga
    pernah dilakukan oleh  sahabat-sahabat
    yang meminta kepada Rasulullah saww agar memohon kepada Allah SWT supaya  menurunkan hujan bagi mereka. (HR Bukhari
    No. 1013 dan Muslim 897)
  2. Bertawwassul
    kepada Allah melalui perbuatan baik dan amal salehnya. Contohnya, pada
    hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dalam shahihnya tentang tiga orang
    yang terkurung oleh batu besar dalam sebuah gua. Mereka memohon kepada
    Allah SWT melalui perantaraan amal-amal saleh yang pernah mereka lakukan.
  3. Bertawassulnya
    seseorang kepada Allah melalui nama-nama-Nya yang indah. Sebagaimana
    firman Allah SWT, “Dan Allah memiliki Asma’ul Husna (nama-nama yang indah)
    maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asma’ul Husna itu…” (Qs.
    Al-A’raf: 180).





Karena
legalitas tiga jenis tawassul ini telah disepakati, tidak ada alasan untuk
menunjukkan bukti. Ketidaksepakatannya adalah bertawassul kepada seorang yang
shalih yang telah meninggal dunia.





Disini, saya kemukakan sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan Imam al-Hakim melalui rangkaian perawi dari
Usman bin Hunaif, "Suatu hari seorang yang lemah dan buta datang kepada
Rasulullah saww dan berkata: "Wahai Rasulullah, aku tidak mempunyai orang
yang menuntunku dan aku merasa berat" Rasulullah berkata, "Ambillah
air wudhu, lalu beliau berwudhu dan sholat dua rakaat, dan berkata: "Bacalah
doa (artinya)" Ya Allah sesungguhnya aku memintaMu dan menghadap kepadaMu
melalui nabiMu yang penuh kasih sayang, wahai Muhammad sesungguhnya aku
menghadap kepadamu dan minta tuhanmu melaluimu agar dibukakan mataku, Ya Allah
berilah ia syafaat untukku dan berilah aku syafaat". Utsman
berkata:"Demi Allah, kami belum lagi bubar dan belum juga lama pembicaraan
kami, orang itu telah datang kembali dengan segar bugar".





Dari hadits ini, praktik tawassul adalah
absah dalam ibadah, secara implisit hal ini tidak hanya membenarkan tawassul
kepada orang saleh yang masih hidup (seperti Nabi yang waktu itu masih hidup)
tetapi juga membenarkan keabsahan tawassul melalui orang yang sudah meninggal
dunia juga, karena dari gambaran hadits tersebut, Rasulullah saww mengajarkan
rangkaian lafadz do’a tanpa menyampaikan keharamannya untuk dibaca apabila
beliau telah meninggal dunia. Artinya setiap memiliki hajat-hajat yang serupa,
lafadz do’a tersebut bisa dibaca kapan saja, tidak ada syarat atau kaitannya
dengan kehidupan dan kematian Rasulullah saww. Pada hakikatnya, tawassul
melalui orang yang masih hidup atau sudah meninggal bukan melalui tubuh fisik,
kehidupan atau kematian, tetapi melalui makna positif (ma’na tayyib) yang
melekat pada orang itu baik dalam keadaan masih hidup atau sudah meninggal.
Tubuh hanyalah kendaraan yang memuat makna, yang dalam dirinya tetap dihormati
baik dalam keadaan masih hidup atau sudah meninggal. 





Dalam surah an-Nisa’ ayat 64, Allah SWT
berfirman: “Dan kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati
dengan seizin Allah. Dan sungguh, sekiranya mereka setelah menzalimi dirinya
datang kepadamu (Muhammad), lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun
memohonkan ampun untuk mereka, niscaya mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat
lagi Maha Penyayang”. Ayat ini menegaskan ketaatan kepada Rasulullah saww tidak
memiliki kaitan dengan kehidupan dan kematian beliau, meskipun Rassullah saww
sudah meninggal dunia sehingga kaum muslimin pada masa ini tidak hidup bersama
beliau dan tidak bisa bertemu langsung namun ajaran-ajaran, pesan-pesan moral
serta sabda-sabdanya adalah keniscayaan untuk ditaati bagi segenap kaum
muslimin tanpa terkecuali disetiap tempat dan masa. Karenanya demikian pula
dengan kasih sayang Rasulullah terhadap umatnya, setiap dari umatnya yang telah
menzalimi diri mereka sendiri ‘datang’ kepada Rasulullah dan memohon ampun
kepada Allah SWT maka Rasulullah saww pun turut memohonkan ampun buat mereka.
Pada bagian yang lain banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang mengindikasikan bahwa
kematian bukanlah akhir dari kehidupan. Adalah salah besar jika memahami bahkan
meyakini bahwa dengan kematian segala sesuatu yang menyangkut dengan manusia
berakhir sudah dan tidak ada yang tersisa dari manusia selain tubuh fisiknya
yang secara bertahap kembali melebur menjadi tanah. Al-Qur’an menegaskan bahwa
kematian fisik tidak meniscayakan kehidupan ruh juga turut berakhir, melainkan
ruh terus hidup meski telah berpisah dengan raganya. Allah SWT berfirman, “Dan
janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah,
(bahwa mereka itu) mati; bahkan  (sebenarnya)
mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” (Qs. Al-Baqarah: 154). Tidak
ada keraguan sama sekali, bahwa Rasulullah saww adalah yang termasuk gugur di
jalan Allah bahkan yang paling utama. Berdasarkan ayat ini, pada hakikatnya
Rasulullah saww masih hidup, masih mendapat rezeki dan nikmat-nikmat dari
Tuhannya, maka berdoa dengan menjadikan beliau saww sebagai wasilah masih tetap
absah dan berlaku sebagaimana sahabat-sahabat Nabi dimasanya melakukannya.
Karenanya, bagi ulama atau kelompok Islam yang mempersyaratkan bahwa tawwasul
yang diperbolehkan adalah melalui perantaraan orang-orang shalih selagi masih
hidup maka bertawassul melalui Rasulullah saww dan orang-orang yang gugur di
jalan Allah termasuk dalam kategori tawassul yang diperbolehkan, dan dalil
untuk menyebutnya syirik atau kesesatan tidak cukup kuat sebab akan mendapat
penentangan dari Allah SWT, “… mereka tidaklah mati, mereka itu hidup, tetapi
kamu tidak menyadarinya.” 





Kasih Sayang
yang Tak Berkesudahan





Saya
nukilkan satu ayat lagi yang semakin mempertegas bahwa terpisahnya ruh
Rasulullah saww dengan jasadnya bukanlah akhir hubungan dan keterikatan beliau
dengan umatnya. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya
bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman. Bershalawatlah kamu
untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya.” (Qs.
Al-Ahzab: 56). Perintah Allah SWT untuk mengucapkan salam dengan penuh
penghormatan kepada Rasulullah saww bukanlah salam-salam tanpa makna atau
sekedar formalitas belaka. Ketika Rasulullah saww bersabda bahwa menjawab salam
wajib hukumnya, maka perintah Allah SWT kepada orang-orang beriman untuk menyampaikan salam kepada Nabi Muhammad saww
meniscayakan kenyataan yang takkan terbantahkan bahwa Nabi Muhammad saww akan
menjawab setiap salam yang disampaikan kepadanya.





 Menakjubkan! Adalah sangat tidak adil, jika
kaum muslimin yang hidup sezaman dengan Rasulullah saww setiap mereka menzalimi
diri, cukup dengan mendatangi Rasulullah saww dan memohon ampun kepada Allah
SWT dan Rasulullah saww pun turut memohonkan ampun hanya berlaku semasa
Rasulullah saww hidup dan kaum muslimin pasca wafatnya Rasulullah saww tidak
memiliki kesempatan serupa untuk dimohonkan ampun oleh Rasulullah saww
sementara kewajiban-kewajiban syariat terus berlaku untuk segenap kaum muslimin
di setiap masa termasuk mengucapkan salam penghormatan kepada Rasulullah saww. Sangat
tidak adil, jika sahabat-sahabat setiap berdosa dapat segera menemui Nabi dan
meminta agar Nabi memohonkan bagi mereka ampunan Allah diyakini sebagai tauhid,
begitu juga putra-putra Nabi Ya’qub as yang telah meminta kepada ayah mereka
agar memohonkan ampunan Allah bagi mereka (sebagaimana tersurat dalam surah
Yusuf ayat 97-98) disebut sebagai bagian dari tauhid namun ketika permohonan
ampun kepada Allah SWT melalui Nabi-Nya setelah wafatnya disebut sebagai syirik
dan membatalkan keimanan.





Untuk mengakhiri
tulisan ini, saya nukilkan dua riwayat yang semoga dapat menghilangkan keraguan
kita akan keabsahan bertawassul kepada Nabi saww, bahwa tanpa beban psikologis
apapun kita katakan, tawassul adalah salah satu mukjizat dan karomah kenabian,
Nabi Muhammad saww. Adalah wajar, Rasululah saww sebagai makhluk Allah yang
terkasih dan memiliki kedudukan (jah / maqom / wajih) yang sangat tinggi di
sisi Allah, diberi otoritas oleh Allah untuk menjadi perantara (wasilah) dan
tempat meminta pertolongan (istighotsah) kepada Allah SWT.





Berkata
al-Hafidz Abu Abdillah Muhammad bin Musa an-Nukmani dalam karyanya yang
berjudul “Mishbah adz-Dzolam”; Sesungguhnya al-Hafidz Abu Said as-Sam’ani
menyebutkan satu riwayat yang pernah kami nukil darinya yang bermula dari
Khalifah Ali bin Abi Thalib yang pernah mengisahkan: “Telah datang kepada kami
seorang badui setelah tiga hari kita mengebumikan Rasulullah. Kemudian ia
menjatuhkan dirinya ke pusara Rasul dan membalurkan tanah (kuburan) di atas
kepalanya seraya berkata: Wahai Rasulullah, engkau telah menyeru dan kami telah
mendengar seruanmu. Engkau telah mengingat Allah dan kami telah mengingatmu.
Dan telah turun ayat; “Sesungguhnya Jikalau mereka ketika menganiaya dirinya
datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasulpun memohonkan ampun
untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha
Penyayang” (QS an-Nisa: 64) dan aku telah menzalimi diriku sendiri. Dan aku
mendatangimu agar engkau memintakan ampun untukku. Lantas terdengar seruan dari
dalam kubur: Sesungguhnya Dia (Allah) telah mengampunimu”. (Lihat: Kitab “Wafa’
al-Wafa’” karya as-Samhudi 2/1361)





Ad-Darami (dalam
Sunan Ad-Darami: 1/56), meriwayatkan: Penghuni Madinah mengalami paceklik yang
sangat parah. Lantas mereka mengadu kepada Aisyah (ummul Mukminin). Lantas
Aisyah mengatakan: “Lihatlah pusara Nabi! Jadikanlah ia (kuburan) sebagai
penghubung menuju langit sehingga tidak ada lagi penghalang dengan langit.
Lantas ia (perawi) mengatakan: Kemudian mereka (penduduk Madinah) melakukannya,
kemudian turunlah hujan yang banyak hingga tumbulah rerumputan dan gemuklah
onta-onta dipenuhi dengan lemak. Maka saat itu disebut dengan tahun “al-fatq”
(sejahtera)”.





Konklusinya
adalah, jika kaum muslimin yang bertemu dan hidup bersama Rasulullah saww setiap
melakukan kesalahan atau memiliki hajat bisa memohon kepada Allah SWT dengan
perantaraan Nabi, maka kaum muslimin setelahnya pun bisa melakukannya. Rasullah
saww adalah rahmat bagi semesta alam, kebaikan dan keberkahannya tidak hanya
didapatkan oleh orang-orang yang semasanya dan tidak pula berakhir dengan
wafatnya. Kepada Nabi Muhammad saww, Allah SWT berfirman, “…dan berdoalah untuk
mereka. Sesungguhnya doamu itu (menumbuhkan) kententraman jiwa bagi mereka.
Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (Qs. At-Taubah: 103).





Allahumma
inni atawajjahu ilaika binabiyyika nabiyyirrahmati Muhammadin shallallahu
‘alaihi wa alihi…





Ya Allah,
sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan (perantaraan)
Nabi-Mu, nabi pembawa rahmat, Nabi Muhammad, shalawat atasnya dan atas
keluarganya…





Wallahu
‘alam bishshawwab

Kembali Kepada Al Quran dan Ahlul Bait

Kembali Kepada Al Quran dan Ahlul Bait
Islam adalah keduanya (Al Quran dan Ahlul Bait) yang tidak akan terpisah hingga akhir zaman, hingga kehadiran Ahlul Bait Rasulullah yang terakhir, Imam Mahdi afs yang dinanti-natikan. Ahlul Bait adalah madrasah yang paling komplit yang mengandung berbagai khazanah ke- Islaman. Madrasah ini telah terbukti menghasilkan kader-kader yang mumpuni dan telah mempersembahkan karya-karya cemerlang bagi kehidupan umat manusia.
Ismail Amin


Kembali Kepada Al Quran dan Ahlul Bait
Sepanjang sejarah perjalanan umat manusia, polemik dan perbedaan pendapat telah menjadi keniscayaan tersendiri yang tak terelakkan. Adanya paradigma (cara pandang) yang berbeda pada umat manusia adalah konklusi dari dua jalan (kebajikan dan kejahatan) yang telah diilhamkan Allah SWT dalam diri setiap manusia (baca Qs. 90:10).
 
Oleh karenanya, keberadaan tolok ukur kebenaran yang menjadi rujukan semua pihak adalah suatu keniscayaan pula, yang eksistensinya bagian dari hikmah Ilahi. Allah SWT telah menurunkan kitab pedoman yang merupakan tolok ukur kebenaran dan menjadi penengah untuk menyelesaikan berbagai hal yang diperselisihkan umat manusia.
 
Allah SWT berfirman: "Manusia itu (dahulunya) satu umat. Lalu Allah mengutus para Nabi (untuk) menyampaikan kabar gembira dan peringatan. Dan diturunkan-Nya bersama mereka kitab yang mengandung kebenaran, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan." (Qs. Al-Baqarah : 213).
Ayat ini menjelaskan bahwa manusia tanpa bimbingan dan petunjuk Ilahi akan berpecah belah dan bergolong-golongan. Penggalan selanjutnya pada ayat yang sama menjelaskan pula, bahwa kedengkian dan memperturutkan hawa nafsulah yang menyebabkan manusia terlibat dalam perselisihan dan perpecahan.
Kebijaksanaan Ilahilah yang kemudian menurunkan sang Penengah (para nabi as) yang membawa kitab-kitab yang menerangi. Kitab-kitab Ilahiah terutama Al Quran memberikan petunjuk dan arahan yang jelas tentang kebenaran yang seharusnya ditempuh umat manusia.
 
Namun hawa nafsu, kedengkian, kedurhakaan dan juga kebodohan telah menjerumuskan manusia jauh berpaling dari mata air jernih kebenaran.
Puluhan ribu nabi telah diutus sepanjang sejarah hidup manusia di segala penjuru dunia. Umat Islam meyakini mata rantai kenabian bermula dari Nabi Adam as dan berakhir di tangan Muhammad SAW dan tidak ada lagi nabi sesudahnya.
Ditutupnya kenabian hanya bisa sesuai dengan hikmah dan falsafah diutusnya para nabi bila syariat samawi yang terakhir tersebut memenuhi seluruh kebutuhan umat manusia, di setiap masa dan di setiap tempat. Al Quran sebagai kitab samawi terakhir telah dijamin oleh Allah SWT keabadian dan keutuhannya dari berbagai penyimpangan hingga akhir masa.
 
Akan tetapi secara zahir Al Quran tidak menjelaskan hukum-hukum dan ajaran Islam secara mendetail. Oleh karenanya penjelasan perincian hukum menjadi tanggung jawab nabi untuk menerangkannya kepada seluruh umatnya.

Sewaktu Nabi Muhammad SAW masih hidup tanggung jawab itu berada dipundaknya. Karena itu hadits-hadits Nabi Muhammad SAW menjadi hujah dan sumber autentik ajaran Islam. Namun apakah semasa hidupnya, Rasulullah SAW telah menjelaskan seluruh hukum dan syariat Islam kepada seluruh umat?
Kalau tidak semua, siapa yang bertanggung jawab untuk menjelaskannya? Siapa pula yang bertanggung jawab menengahi silang sengketa sekiranya terjadi penafsiran yang berbeda tentang ayat-ayat Al Quran dalam tubuh umat Islam?
Saya sulit menerima jika dikatakan tanggung jawab penjelasan syariat Islam pasca Rasul jatuh ke tangan para sahabat. Sementara untuk contoh sederhana sahabat sendiri berbeda pendapat bagaimana cara Rasululullah melakukan wudhu dan salat yang benar, padahal Rasul mempraktikkan wudhu dan salat bertahun-tahun di hadapan mereka.

Untuk persoalan wudhu saja mereka menukilkan pendapat yang berbeda-beda, karenanya pada masalah yang lebih rumit sangat mungkin terjadi penukilan yang keliru. Ataupun tanggung jawab penafsiran Al Quran jatuh kepada keempat imam mazhab yang untuk sekadar menafsirkan apa yang dimaksud debu pada surah Al-Maidah ayat 6 saja sulit menemukan kesepakatan.
 
Kata mazhab Syafi'i debu meliputi pasir dan tanah, tanah saja kata Hanbali; tanah, pasir, batuan, salju dan logam kata Maliki; tanah, pasir dan batuan kata Hanafi (al-Mughniyah, 1960; Al-Jaziri, 1986).

 
Petunjuk Umat
 
Islam hanya dapat ditawarkan sebagai agama yang sempurna, yang dapat memenuhi segala kebutuhan manusia jika di dalam agama itu sendiri tidak terdapat perselisihan dan perpecahan. Karenanya, hikmah Ilahi meniscayakan adanya orang-orang yang memiliki kriteria seperti yang dimiliki Nabi Muhammad SAW untuk memberikan bimbingan kepada umat manusia di setiap masa tentunya selain syariat.
Ilmu yang mereka miliki tidak terbatas dengan apa yang pernah disampaikan Nabi Muhammad SAW (sebagaimana maklum Nabi tidak sempat menjelaskan semua tentang syariat Islam) namun juga memiliki potensi mendapatkan ilmu langsung dari Allah SWT ataupun melalui perantara sebagaimana ilham yang diterima Siti Maryam dan ibu nabi Musa as (Lihat Qs. Ali-Imran : 42, Thaha:38).
Mereka menguasai ilmu Al Quran sebagaimana penguasaan nabi Muhammad SAW sehingga ucapan-ucapan merekapun merupakan hujjah dan sumber autentik ajaran Islam. Masalah ini berkaitan dengan Al Quran sebagai mukjizat, berkaitan dengan kedalaman dan ketinggian Al Quran, sehingga hukumnya membutuhkan penafsir dan pengulas.

Al Quran adalah petunjuk untuk seluruh ummat manusia sampai akhir zaman karenanya akan selalu berlaku dan akan selalu ada yang akan menjelaskannya sesuai dengan pengetahuan Ilahi. "Sungguh, Kami telah mendatangkan kitab (Al Quran) kepada mereka, yang Kami jelaskan atas dasar pengetahuan, sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman." (Qs. Al-A'raf :52).
Pada ayat lain, Allah SWT berfirman, "Dan Kami tidak menurunkan kepadamu al-Kitab ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. " (Qs. An-Nahl : 64).
 
Dengan pemahaman seperti ini maka jelaslah maksud dari penggalan hadits Rasulullah, Kutinggalkan bagi kalian dua hal yang berharga, Al Quran dan Ahlul Baitku. (HR Muslim). Bahwa keduanya Al Quran dan Ahlul Bait adalah dua hal yang tak terpisahkan hingga hari kiamat, memisahkan satu sama lain akibatnya adalah kesesatan dan di luar dari koridor ajaran Islam itu sendiri.

Penyimpangan

Rasul menyebut keduanya (Al Quran dan Ahlul Baitnya) sebagai Tsaqalain yakni sesuatu yang sangat berharga. Keduanya saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan. Penerus nabi adalah orang-orang yang tahu interpretasi ayat-ayat Al Quran sesuai dengan makna sejatinya, sesuai dengan karakter esensial Islam, sebagaimana yang dikehendaki Allah SWT.
 
Rasulullah menjamin bahwa siapapun yang bersungguh-sungguh dan berpegang pada kedua tsaqal ini, maka tidak akan pernah mengalami kesesatan. Kemunduran dan penyimpangan kaum Muslimin terjadi ketika mencoba memisahkan kedua tsaqal ini.
Islam adalah keduanya (Al Quran dan Ahlul Bait) yang tidak akan terpisah hingga akhir zaman, hingga kehadiran Ahlul Bait Rasulullah yang terakhir, Imam Mahdi afs yang dinanti-natikan. Ahlul Bait adalah madrasah yang paling komplit yang mengandung berbagai khazanah ke- Islaman. Madrasah ini telah terbukti menghasilkan kader-kader yang mumpuni dan telah mempersembahkan karya-karya cemerlang bagi kehidupan umat manusia.
 
Imam Ja'far Shadiq (fiqh), Jalaluddin Rumi (tasawuf), Ibnu Sina (kedokteran), Mullah Sadra (Filsafat), Allamah Taba'tabai (tafsir) dan Imam Khomeini (politik), sebagian kecil orang-orang besar yang terlahir dari madrasah ini.

Ismail Amin Mahasiswa Mostafa International University
Islamic Republic of Iran

Nabi Muhammad saww Adalah Penentu Para Imam Mazhab Syi’ah

Nabi Muhammad saww Adalah Penentu Para Imam Mazhab Syi’ah
Tapi cukuplah bagi kita sebagai bukti bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah mengakui jumlah para Imam yang ke-12 itu, dan tidak terwujud para Imam itu selain ‘Ali dan anak-anaknya yang telah disucikan.


Nabi Muhammad saww Adalah Penentu Para Imam Mazhab Syi’ah
Seorang peneliti tidak akan dapat meragukan pelajaran sejarah Nabi saww dan pengetahuan sejarah Islam, bahwa Nabi saww telah menentukan para Imam yang ke dua belas (12 Imam as. ) dan beliau telah menetapkan mereka sebagai khalifah-khalifah setelahnya dan menjadi penerima wasiat di tengah umatnya. Telah disebutkan jumlah mereka dalam hadis-hadis shahih Ahlussunnah bahwa mereka itu adalah dua belas orang semuanya dari Quraisy, dan hal itu telah diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim serta lainnya. Sebagaimana dalam Sunni telah menyebutkan nama-nama mereka penjelasan Nabi Muhammad saww, bahwa yang pertama adalah ‘Ali bin Abi Thalib dan setelahnya ialah putranya yakni al-Hasan as,kemudian saudaranya al-Husein as, sedang yang terakhir ialah al-Mahdi. Sebagaimana tersebut dalam hadis berikut ini : Shahibu Yanabi’ al-Mawaddah telah meriwayatkan dalam kitabnya, dia berkata, “Seorang Yahudi disebut al-A’tal datang kepada Nabi Muhammad saww, dan ia berkata, “Hai Muhammad, saya menayakan kepadamu perkara-perkara yang telah terdetak dalam dadaku semenjak beberapa waktu, jika engkau dapat menjawabnya niscaya saya akan menyatakan masuk Islam di tanganmu.’Beliau menjawab, ‘Tanyalah! hai Aba Ammarah, maka ia menanyakan beberapa perkara yang sijawab oleh Nabi saww dan ia membenarkan, kemudian ia menanyakan, ‘Beritahukanlah padaku tentang penerimaan wasiatmu, siapakah ia itu? karena tidak seorang Nabi pun kecuali ia mempunyai seorang penerima wasiat, dan sesungguhnya Nabi kami Musa bin Imran telah berwasiat kepada Yusa’ bin Nun.’ Maka beliau bersabda, ‘Sesungguhnya penerima wasiatku adalah ‘Ali bin Abi Thalib dan setelahnya adalah kedua cucuku al-Hasan dan al-Husein kemudian beliau menyebutkan sembilan Imam dari tulang sulbi al-Husein. ‘Lalu ia berkata, ‘Ya Muhammad, sebutkanlah nama-nama mereka kepadaku!’ Beliau bersabda, “Bila al-Husein telah berlalu maka diganti oleh anaknya “Ali, bila ‘Ali telah berlalu maka diganti anaknya Muhammad, bila Muhammad berlalu maka diganti anaknya Ja’far, Musa, ‘Ali, Muhammad, ‘Ali, Hasan, al Hujjah Muhammad al-Mahdi as, maka itu semuanya adalah dua belas orang Imam.’ Kemudian orang Yahudi itu pun masuk Islam dan ia memuji Aallah SWT karena petunjuk-Nya.”(1)

Seandainya kita mau membuka lembaran kitab-kitab Syi’ah dan apa yang terkandung di dalamnya, dari hal kebenaran khusususnya tentang masalah ini niscaya kita akan mendapatkan lebih banyak dari itu. Tapi cukuplah bagi kita sebagai bukti bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah mengakui jumlah para Imam yang ke-12 itu, dan tidak terwujud para Imam itu selain ‘Ali dan anak-anaknya yang telah disucikan. Dan yang dapat menambahkan kayakinan bagi kita ialah, bahwa Imam yang ke-12 dari Ahlulbait itu tidak pernah belajar pada satu orang pun dari para ulama umat ini, tidak ada yang meriwayatkan pada kita baik para ahli tarikh maupun ahli hadis dan sejarawan, bahwa salah seorang Imam dari Ahlulbait itu mendapatkan ilmunya dari sebagian sahabat atau tabi’in sebagaimana halnya para ulama umat dan para imam mereka.  Sebagaimana Abu Hanifah belajar kepada Imam Ja’far ash -Shadiq dan Malik belajar kepada Abu Hanifah sedang Syafi’i mendapat ilmu dari Malik dan ia mengambil darinya, begitu pula Ahmad bin Hanbal. Adapun para imam Ahlulbait maka ilmu mereka adalah merupakan pemberian dari Allah SWT yang mereka mewarisi dari Bapak yang berasal dari datuk mereka, mereka itulah yang diistimewakan oleh Allah SWT dengan firmannya:“Kemudian kami mewariskan kitab pada orang-orang yang telah kami pilih dari antara hamba-hamba Kami.” (QS.Fathir:32) Imam Ja’far ash-Shadiq pernah menyatakan tentang hakikat tersebut sekali waktu dengan ungkapannya, “Sungguh mengherankan orang-orang itu, mereka mengatakan bahwa mereka mengambil ilmu seluruhnya dari Rasulullah saww dan mengamalkannya serta mendapat petunjuk ! Kemudian mereka mengatakan bahwa kami Ahlulbait tidak mengambil ilmu beliau dan tidak mendapat petunjuk, padahal kami adalah keluarga dan keturunan beliau, di rumah kamilah wahyu itu diturunkan dan dari sisi kami ilmu itu keluar kepada manusia, apakah Anda menganggap mereka berilmu dan mendapat petunjuk sedangkan kami bodoh dan tersesat...?”

Ya, bagaimana Imam ash-Shadiq tidak mengherankan mereka itu yang mendakwahkan diri telah mengambil ilmu dari Rasulullah saww, padahal mereka memusuhi Ahlulbait beliau dan pintu ilmunya yang melalui dirinya ilmu itu diberikan, bagaimana tidak mengherankan penempatan nama Ahlussunnah, padahal mereka sendiri penentang sunah itu. Dan bila Syi’ah sebagaimana telah disaksikan oleh sejarah, mereka itu mengistimewakan ‘Ali dan membelanya serta mereka berdiri tegak menentang musuhnya, memerangi orang yang memeranginya, dan damai dengan orang yang damai dengannya dan mereka telah mengambil seluruh ilmu darinya. Maka Ahulussunnah wal Jama’ah itu tidaklah mengikuti dan ingin membinasakannya, dan mereka telah meneruskan sikap itu terhadap anak keturunan setelahnya dengan pembunuhan, penjara, dan pengusiran. Mereka telah bertentangan dengannya dalam kebanyakan hukum dengan dasar mengikuti para pendakwah ilmu pengetahuan yang mereka itu saling berselisih sesuai dengan pendapat dan ijtihad mereka dalam perkara hukum Allah, lalu mereka menggantikannya sesuai dengan hawa nafsu dan kepentingan yang mereka tuju. Dan bagaimana kita sekarang tidak heran terhadap orang-orang yang mendakwahkan mengikuti sunah Nabi saww, dan menyetakan sendiri telah meninggalkan sunah Nabi saww karena ia telah menjadi Syi’ah bagi Syi’ah, (2) bukanlah ini merupakan hal yang mengherankan? Bagaimana kita tidak heran terhadap orang-orang yang mendakwahkan diri sebagai Ahlussunnah wal Jama’ah, sedang mereka merupakan kelompok yang banyak, seperti pengikut Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hambali yang mereka itu saling berselisih sebagian dengan lainnya dala hukum-hukum fiqih dan menganggap bahwa perselisihan itu adalah merupakan suatu rahmat bagi mereka, sehingga dengan demikian agama Allah SWT menjadi lampiasan hawa nafsu dan pendapat serta sasaran selera diri mereka. Memang benarlah, bahwa mereka adalah kelompok terbanyak yang saling berpecah-belah dalam hukum Allah SWT dan Rasul-Nya, tetapi mereka bersatu dan bersepakat dalam mengesakan kekhalifahan Saqifah yang durhaka dan bersepakat dalam meninggalkan dan menjauhkan keluarga Nabi saww, yang Suci.  Bagaimana kita tidak heran terhadap mereka itu yang membanggakan diri sebagai Ahlussunnah, padahal mereka telah meninggalkan yang berharga yakni Kitabullah dan keluarga Rasul betapapun mereka sendiri telah meriwayatkan hadis tersebut dan menshahihkannya...? Sesungguhnya mereka itu tidak berpegang baik pada Al-Qur’an maupun pada keluarga Rasul, sebab dengan meninggalkan keluarga Rasul yang suci itu berarti mereka telah meninggalkan Al-Qur’an, karena hadis yang mulia menetapkannya bahwa Al-Qur’an dan keluarga Rasul itu tidak pernah berpisah selama-lamanya, sebagaimana Rasulullah telah menyatakan hal itu dengan sabdanya: “Tuhan Yang Maha Halus lagi Maha Sadar telah memberitahukan padaku bahwa keduanya yakni Aal-Qur’an dan keluarga Rasul tidak akan pernah berpisah sehingga menemui aku di telaga surga.”(3) Dan bagaimana kita tidak heran kepada kaum yang mendakwahkan diri sebagai Ahlussunnah padahal mereka bersikap menentang terhadap apa yang telah ditetapkan dalam kitab shahih mereka dari hal perbuatan Nabi saww dan perintahnya serta larangannya.(4) Adapun bila kita meyakini dan membenarkan hadis, “aku tinggalkan pada kalian Kitabullah dan sunahku, selama kalian berpegang pada keduanya niscaya kalian tidak akan sesat selama-lamanya.” Sebagaimana yang telah ditetapkan bagi sebagian Ahlussunnah sekarang ini, maka keheranan itu akan menjadi lebih besar dan kecelakaan itu akan lebih jelas. Karena justru para tokoh mereka dan imam mereka itulah orang-orang yang telah membakar sunah yang telah ditinggalkan Rasulullah saww di kalangan mereka, dan telah mencegah periwayatannya dan penulisannya sebagaimana yang telah kita ketahui dalam pembahasan terdahulu. Umar bin khatab sendiri dengan terang-terangan telah menyatakan ucapan, “Cukup bagi kami Kitabullah,” itu adalah merupakan penolakan yang nyata terhadap Rasulullah saww, sedangkan orang yang menolak Rasulullah berarti menolak Allah SWT sebagaimana hal itu tak bisa disembunyikan lagi. Ucapan Umar bin Khathab tersebut telah diriwayatkan oleh seluruh hadis-hadis shahih Ahlussunnah termasuk di dalamnya Bukhari dan Muslim. Apabila Nabi saww telah bersabda, “Aku telah tinggalkan pada kalian Kitabullah dan sunahku, dan kami tidak membutuhkan sunahmu, dan bila Umar telah berkata dihadapan Nabi saww, “Cukup bagi kami Kitabullah, maka sesungguhnya Abu Bakar telah menguatkan untuk mewujudkan pandangan temannya itu lalu ia menyatakan setelah menjadi Khalifah: Janganlah kalian meriwayatkan suatu hadis dari Rasulullah saww, maka jika seseorang bertanya pada kalian, katakanlah di antara mereka kita dan kalian ada Kitabullah, maka halalkanlah apa yang telah dihalalkannya dan haramkanlah apa yang telah diharamkan. (5). Bagaimana kita tidak heran terhadap kaum yang telah meninggalkan sunah Nabi saww mereka dan membelakanginya lalu mereka menggantikan kedudukannya dengan suatu bid’ah yang mereka perbuat yang mana tidak diizinkan oleh Allah SWT, kemudian mereka menamakan diri dan pengikutnya dengan Ahlussunnah wal Jama’ah...? Tetapi keheranan tersebut akan musnah ketika kita katahui bahwa Abu Bakar, Umar, dan Utsman sebenarnya tidak mengenal pemberian nama tersebut selama-lamanya. Inilah Abu Bakar yang telah menyatakan: Jika kalian membebani aku dengan sunah Nabi saww, niscaya aku tidak akan mampu. (6). Bagaimana mungkin Abu Bakar tidak mampu menjalankan sunah Nabi saww? Apakah sunah beliau itu suatu perkara yang mustahil dilaksanakan, sehingga Abu bakar tidak mampu? Bagaimana Ahlussunnah bisa mendakwahkan diri berpegang padanya jika tokoh mereka yang pertama dan pembina mazhab mereka itu tidak mampu melaksanakan sunah? Bukankah Allah SWT menyatakan, “Pada diri Rasulullah suatu tauladan yang baik bagi kalian .” (QS. al-Ahzab:21) dan firman-Nya, “Allah tidak membebani seseorang kecuali semampunya.” (QS. at-Thalaq:7) Dan juga firman-Nya, “Dan tidak menjadikan suatu kesulitan bagi kalian dalam agama.” (QS. al-Haj :78) Apaakah Abu Bakar dan temannya Umar menganggap bahwa Rasulullah telah menciptakan suatu agama yang bukan diturunkan oleh Allah SWT, lalu beliau memerintah kaum Muslim ini dengan sesuatu yang tak terangkat dan membebani mereka dengan kesuliatan? Hal itu tidak mungkin, bahkan yang sering beliau katakan yakni, “Gembirakanlah dan jangan jadikan mereka lari, mudahkanlah dan jangan kalian mempersulit, sesungguhnya Allah SWT telah memberi kalian keringanan maka jangan kalian memberatkan diri kalian sendiri.” Tetapi pengakuan Abu Bakar bahwa ia tidak mampu melaksanakan sunah Nabi saww itu adalah menguatkan apa yang menjadi pendapat kami bahwa ia telah melakukan suatu bid’ah yang mampu ia laksanakan sesuai dengan keinginannya dan sejalan dengan politik yang ia kuasai. Dan mungkin Umar bin Khathab berpandangan yang lain, bahwa hukum-hukum Al-Qur’an dan sunah itu tak mampu dilaksanakan, lalu ia sengaja meninggalkan shalat ketika ia junub sedangkan air tidak didapatinya dan ia berfatwa demikian di saat kekhalifahannya, sedang orang khusus dan yang umum telah mengetahui hal itu dan seluruh ahli hadis telah meriwayatkan itu darinya. Hal itu dikarenakan Umar adalah orang yang gemar banyak bersetubuh dan dialah yang disinggung oleh firman Allah SWT, “Allah mengetahui bahwa kalian mengkhianati diri kalian lalu Dia mengampuni kalian.” (Qs. al-Baqarah: 187) Ini lantaran ia tidak mampu menahan diri dari bersetubuh di waktu puasa, dan dikarenakan air sangat sedikit maka Umar berpendapat bahwa yang paling mudah ialah meningalkan shalat dan bersantai-santai sampai ia mendapatkan air yang mencukupi untuk mandi, ketika itu baru ia kembali mengerjakan shalat. Adapun Utsman maka ia benar-benar telah mengabaikan sunah Nabi saww sebagaimana yang telah dikenal, sehingga ‘Aisyah mengeluarkan baju Nabi saww dan berkata, “Sungguh Utsman telah menghancurkan sunah Nabi saww sebelum baju beliau sendiri menjadi rusak.” Sehingga ia dicela oleh para sahabat bahwa ia telah menentang sunah Nabi saww, dan sunah Abu Bakar, Umar dan mereka pun membunuhnya lantaran itu. Mengenai Muawiyah, terserah apa yang Anda katakan, tidak mengapa, sesungguhnya ia telah meninggalkan Al-Qur’an dan sunah adalah dariku dan aku darinya, siapa yang mencaci ‘Ali sungguh telah mencaciku dan siapa yang mencaciku sungguh ia telah mencaci Allah SWT,” Kita dapati Muawiyah telah mengarahkan cacian dan kutukan padanya ia belum merasa cukup dengan itu sehingga ia memerintahkan seluruh wali-walinya dan para pegawainya untuk mencaci dan mengutuknya, siapa yang menolak di antara mereka maka ia disingkirkan dan dibunuh. Dan kita telah mengetahui bahwa Muawiyah itu adalah orang yang telah menamakan dirinya dan pengikutnya sebagai Ahlussunnah wal jama’ah dalam rangka menentang penamaan Syi’ah sebagai pengikut kebenaran. Dan sebagian ahli sejarah meriwayatkan bahwa tahun dimana Muawiyah memegang penuh kekuasaan umat Islam, setelah mengadakan perjanjian dengan al-Hasan bin ‘Ali Thalib bin Abi Thalib, maka tahun itu dinamakan tahun jama’ah. Dan keheranan pun akan hilang ketika kita memahami bahwa kata-kata sunah itu tidak dimaksudkan oleh Muawiyah dan pengikutnya kecuali hanyalah pengutukan ‘Ali bin Abi Thalib dari atas mimbar-mimbar Islam pada setiap hari Jumat dan hari Raya. Apabila Ahlussunnah wal Jama’ah itu merupakan rekayasa Muawiyah bin Abi Sofyan maka kita memohon pada Allah SWT agar mematikan kita di dalam bid’ah rafidhi yang telah dibina oleh ‘Ali bin Abi Thalib dan Ahlulbait (salam atas mereka). Anda tidak usah kaget wahai pembaca yang mulia, bila Ahlul bid’ah dan kesesatan itu menjadi Ahlussunnah wal Jama’ah sedang imam-imam yang suci dari Ahlulbait itu menjadi Ahli bid’ah. Inilah al-Allamah Ibnu Khaldun yang termasuk ulama termasyhur dari Ahlussunnah wal Jama’ah, ia menyatakannya dengan tegas setelah ia memerinci mazhab-mazhab jumhur ia mengatakan, “Ahlulbait itu menjadi terasing karena aliran faham yang mereka adakan dan fiqih yang berlainan dan mereka telah membina mazhab mereka atas dasar pencacian sebagian sahabat.” (7)).
Wahai pembaca, bukankah saya telah katakan dari semula, seandainya Anda berbuat sebaliknya niscaya Anda benar/tepat. Maka jika orang-orang fasik dari kalangan Bani Umayah mereka itu adalah Ahlussunnah dan Ahlulbait itu adalah Ahli bid’ah seperti yang dikatakan Ibnu Khaldun, maka buat Islam ucapan selamat jalan dan buat dunia ucapan selamat datang.


Foot note

  1. Riwayat al-Qunduzi al-Hanafi dalam kitab Yanabi’ al-Mawaddah, hal. 440, dan Faraid as-Samthain oleh al-Humawaini dengan sanad dari Ibnu Abbas.
  2. Sesuai pernyataan Ibnu Taimiyah untuk meninggalkan sunah Nabi saww bila itu  telah menjadi syi’ar bagi Syi’ah, lihat Minhaj as-Sunnah oleh Ibnu Taimiyah,II, hal.  143, dan Syarh al-Mawahib oleh Zargani,V, hal.13.
  3. Imam Ahmad dalam Musnad-nya, V, hal. 189, dan al-Hakim dalam Mustadark, III, hal. 148 dan ia menyatakan shahih menurut syarat Bukhari Muslim.
  4. Diriwayatkan Bukhari dalam Shahih-nya bahwa Nabi saww melarang shalat tarawih dalam bulan Ramadhan secara jama’ah dengan sabdanya, “Shalatlah wahai manusia di rumah-rumah kalian, sesungguhnya seutama-seutama shalat seseorang adalah di rumahnya selain shalat fardu.” Tetapi Ahlussunnah mengabaikan larangan Nabi saww dan mereka mengikuti bid’ah Umar bin Khathab.
  5. Tadzkirat al-Huffadz oleh Dzahabi, I, hal. 3.
  6. Lihat Musnad Ahmad bin Hanbal, I, hal. 4
  7. Muqaddaimah Ibnu Khaldun, hal. 494 dalam fasal Ilmu Fiqih. 

Amalan Malam dan Hari Arafah

Amalan Malam dan Hari Arafah
Amalan malam Arafah: Mandi, Munajat, Taubat, Do’a, Tasbih, Ziarah Imam Husain as/// Amalan Hari Arafah: Mandi, Membaca do’a Arafah, puasa, Ziarah Imam Husain as, shalat Amirul Mukminin, membaca tasbih Rasulullah, …


Amalan Malam dan Hari Arafah
Hari Arafah adalah hari yang penuh keutamaan, hari yang dimana kaum muslimin dapat meraup pahala dan keberkahan Ilahi yang sebanyak-banyaknya. Amalan-amalan ibadah yang khusus dilakukan pada hari ini, adalah amalan-amalan yang dapat dengan segera menaikkan derajat dan maqam seseorang di sisi Allah SWT. Yang dengan seizin-Nya, hajat-hajat mereka yang memohon doa pada hari ini akan terkabulkan, dan mendapat kebahagiaan di dunia dan akhirat.  
Amalan Malam Arafah
Malam ke Sembilan bulan Zulhijjah, adalah malam yang penuh berkah, malam munajat dan do’a-do’a yang dipanjatkan pada malam ini akan diijabah oleh Allah SWT, dan bagi yang bertaubat, akan mendapat pengampunan di sisi Allah SWT. Ganjaran pahala bagi ibadah yang dilaksanakan pada malam ini dinilai seperti telah melakukan ibadah 170 tahun lamanya. Berikut adalah beberapa amalan yang disunnahkan untuk dilakukan pada malam Arafah.
1.       Membaca tasbih ‘asyara, sebanyak 1000 kali.
2.       Membaca do’a Ziarah Imam Husain as.
3.       Mandi.
Keutamaan Hari Arafah
Hari kesembilan bulan Zulhijjah, lebih masyhur dengan sebutan hari Arafah. Merupakan hari besar dan penuh dengan kemuliaan bagi umat Islam. Hari Arafah, adalah hari dimana Allah mewajibkan bagi diri-Nya untuk memberikan ganjaran dan pahala kepada hamba-hamba-Nya yang berbuat amalan-amalan kebaikan pada hari ini dengan berlipat ganda, yang dengan itu syaitan menjadi murka karenanya.
Diantara amalan yang dianjurkan di Hari Arafah
1. Ziarah Imam Husain as, yang ganjaran pahalanya lebih besar dari 1000 kali haji dan umrah bahkan 1000 kali jihad di jalan Allah. Diriwayatkan oleh banyak hadits yang sanadnya mutawatir bahwa, barang siapa yang mendapat taufiq dari Allah untuk berziarah ke makam suci Imam Husain as pada hari Arafah, pahala yang ia dapatkan tidak lebih sedikit dari mereka yang berada di Arafah.
2. Mendirikan shalat Taubat. Setelah melaksanakan shalat Ashar dan membaca do’a Arafah, dianjurkan untuk mendirikan shalat dua raka’at yang dilaksanakan di ruang terbuka, dan bagi yang mengamalkannya, Allah SWT akan memberikan ampunan terhadap dosa-dosanya.
3. Berpuasa, disunnahkan berpuasa bagi mereka yang mampu menjalankannya.
4. Mandi, sebagaimana pelaksanaan mandi wajib.
5. Shalat khusus. Mendirikan shalat dua raka’at.  Pada rakaat pertama setelah membaca al Fatihah, membaca surah al Ikhlas, dan pada rakaat kedua, setelah membaca al Fatihah membaca surah al Kaafirun. Setelah itu mendirikan shalat 4 raka’at yang setiap raka’atnya sehabis membaca surah Al Fatihah, membaca 50 kali surah al Ikhlas. Shalat inilah yang dikenal dengan shalat Amirul Mukminin as.
6. Membaca tasbih Rasulullah saww.
سُبْحانَ الَّذى فِى السَّمآءِ عَرْشُهُ سُبْحانَ الَّذى فِى الاَْرْضِ حُکْمُهُ
سُبْحانَ الَّذى فِى الْقُبوُرِ قَضآؤُهُ سُبْحانَ الَّذى فِى الْبَحْرِ سَبیلُهُ
سُبْحانَ الَّذى فِى النّارِ سُلْطانُهُ سُبْحانَ الَّذى فِى الْجَنَّةِ رَحْمَتُهُ
سُبْحانَ الَّذى فِى الْقِیمَةِ عَدْلُهُ سُبْحانَ الَّذى رَفَعَ السَّمآءَ سُبْحانَ
الَّذى بَسَطَ الاْرْضَ سُبْحانَ الَّذى لا مَلْجَاَ وَلا مَنْجا مِنْهُ اِلاّ اِلَیْهِ پس
Setelah itu membaca سُبْحانَ اللّهِ وَالْحَمْدُ لِلّهِ وَلا اِلهَ اِلا اللّهُ وَاللّهُ اَکْبَرُ seratus kali.
7. Membaca shalawat yang diajarkan Imam Shadiq as
َّ اِنّى اَسْئَلُکَ یا مَنْ هُوَ اَقْرَبُ اِلَىَّ مِنْ حَبْلِ الْوَریدِ ی     
مَنْ یَحوُلُ بَیْنَ الْمَرْءِ وَ قَلْبِهِ یا مَنْ هُوَ بِالْمَنْظَرِ الاَْعْلى وَبِالاُْفُقِ
الْمُبینِ یا مَنْ هُوَ الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوى یا مَنْ لَیْسَ کَمِثْلِهِ
شَىْءٌ وَ هُوَ السَّمیعُ الْبَصیرُ اَسْئَلُکَ اَنْ تُصَلِّىَ عَلى مُحَمَّدٍ وَ الِ محمد
Setelah itu mengucapkan hajat-hajat dan permohonan kita. Imam Shadiq as mengajarkan kita do’a berikut:
اَللهُمَّ اِنّى اَسْئَلُکَ یا مَنْ هُوَ اَقْرَبُ اِلَىَّ مِنْ حَبْلِ الْوَریدِ یا
مَنْ یَحوُلُ بَیْنَ الْمَرْءِ وَ قَلْبِهِ یا مَنْ هُوَ بِالْمَنْظَرِ الاَْعْلى وَبِالاُْفُقِ
الْمُبینِ یا مَنْ هُوَ الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوى یا مَنْ لَیْسَ کَمِثْلِهِ
شَىْءٌ وَ هُوَ السَّمیعُ الْبَصیرُ اَسْئَلُکَ اَنْ تُصَلِّىَ عَلى مُحَمَّدٍ وَ الِ محمد
اَللّهُمَّ یا اَجْوَدَ مَنْ اَعْطى وَ یا خَیْرَ
مَنْ سُئِلَ وَیا اَرْحَمَ مَنِ اسْتُرْحِمَ اَللّهُمَّ صَلِّ عَلى مُحَمَّدٍ وَآلِهِ فِى
الاَْوَّلینَ وَصَلِّ عَلى مُحَمَّدٍ وَآلِهِ فِى الاَّْخِرینَ وَصَلِّ عَلى مُحَمَّدٍ
و َآلِهِ فِى الْمَلاَءِ الاَْعْلى وَصَلِّ عَلى مُحَمَّدٍ وَآلِهِ فِى الْمُرْسَلینَ
اَللّهُمَّ اَعْطِ مُحَمَّداً وَآلَهُ الْوَسیلَةَ وَالْفَضیلَةَ وَالشَّرَفَ وَالرِّفْعَةَ
وَالدَّرَجَةَ الْکَبیرَةَ اَللّهُمَّ اِنّى آمَنْتُ بِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللّهُ عَلَیْهِ وَآلِهِ
وَلَمْ اَرَهُ فَلا تَحْرِمْنى فِى الْقِیمَةِ رُؤْیَتَهُ وَارْزُقْنى صُحْبَتَهُ وَ تَوَفَّنى
عَلى مِلَّتِهِ وَاسْقِنى مِنْ حَوْضِهِ مَشْرَباً رَوِیّاً سآئِغاً هَنَّیئاً لا اَظْمَاءُ
بَعْدَهُ اَبَداً اِنَّکَ عَلى کُلِّشَىْءٍ قَدیرٌ اَللّهُمَّ اِنّى آمَنْتُ بِمُحَمَّدٍ صَلَّى
اللّهُ عَلَیْهِ وَآلِهِ وَلَمْ اَرَهُ فَعَرَِّفْنى فِى الْجِنانِ وَجْهَهُ اَللّهُمَّ بَلِّغْ مُحَمَّداً
الله علیه وآله و او را ندیده ام پس در بهشت رویش را به من نشان ده خدایا برسان به محمد
صَلَّى اللّهُ عَلَیْهِ وَآلِهِ مِنّى تَحِیَّةً کَثیرَةً وَ سَلاماً .
صلى الله علیه و آله از جانب من تحیتى بسیار و سلامى .
8. Membaca do’a Ummu Daud
9. Membaca do’a hari Arafah, yang diajarkan oleh Imam Husain as.
10. Membaca do’a di penghujung hari Arafah, sebagai berikut :
یا رَبِّ اِنَّ ذُنُوبى لا تَضُرُّکَ وَاِنَّ مَغْفِرَتَکَ لى لا تَنْقُصُکَ فَاَعْطِنى ما لا
یَنْقُصُکَ وَاغْفِرْ لى ما لایَضُرُّکَ و ایضا بخوان : اَللّهُمَّ لا تَحْرِمْنى خَیْرَ ما
عِنْدَکَ لِشَرِّ ما عِنْدى فَاِنْ اَنْتَ لَمْ تَرْحَمْنى بِتَعَبى وَ نَصَبى فَلا
تَحْرِمْنى اَجْرَ الْمُصابِ عَلى مُصیبَتِهِ