A. Sejarah Demokrasi
Sistem Demokrasi dikenal sejak zaman
Yunani kuno abad 6 s/d 1 SM. Sistem demokrasi yang berlaku pada waktu
itu adalah demokrasi langsung dengan suatu majelis yang terdiri atas
5000-6000 orang. Istilah demokrasi juga berasal dari bahasa Yunani,
vaitu demos yang artinya rakyat, dan kratos yang
artinya pemerintahan. Sayangnya yang dianggap rakyat pada jaman Yunani
kuno (Athena) berbeda dengan apa yang mungkin kita pahami sekarang ini.
Pada waktu itu demokrasi hanya berlaku bagi orang laki-laki kota yang
resmi dan lahir secara bebas, sedangkan budak, wanita, pedagang asing,
dan pendatang tidak diikutkan. Setiap orang kota resmi mempunyai hak
yang sama untuk mengambil bagian secara pribadi dalam diskusi-diskusi
dan pemberian suara di lembaga perwakilan yang membahas masalah-masalah
hukum, dan berbagai kebijakan yang menyangkut kehidupan komunitas.
Mereka juga memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam
menjalankan hukum-hukum serta kebijakan-kebijakan itu melalui pelayanan
yuridis dan keanggotaan lembaga pemerintah. Sejak itu kualifikasi
kekayaan sebagai syarat untuk menduduki jabatan publik dihapuskan.
Sistem yang berlaku di Athena saat itu dapat dikatakan demokratis
dibandingkan sistem lain yang ada pada waktu itu, akan tetapi
kelembagaan klasik itu dapat dikatakan kurang demokratis, karena hak
suara masih dibatasi.
Gagasan demokrasi itu sempat hilang dan
muncul kembali Pada tahun 1215 dalam peristiwa Magna Charta. Demokrasi
modern muncul di Daratan Eropa setelah Zaman Renaissanse antara
tahun 1350-1600. Pada tahun 1700-an muncul teori trias politika.
kemudian muncul pula kebenaran umum, bahwa sesungguhnya hak politik
manusia yang meliputi hak hidup, hak kebebasan,hak milik {life, liberty, and property). Pada tanggal 4 Juli 1776 kemerdekaan Amerika Serikat (AS) dideklarasikan, sejak itu pula dinobatkan dirinya sebagai Champion of democracy (juara demokrasi) dan guardian of democracy
(pengawal demokrasi). Sejak itu pula AS mendengungkan tekadnya untuk
menegakkan pelaksanaan demokrasi di seluruh dunia. Tekad tersebut
dipertegas dengan dikeluarkannya Doktrin Carter (1980) yang berusaha
mengaitkan masalah penegakan hak asasi manusia dalam kebijakan luar
negeri AS terhadap negara lain. AS bahkan tidak segan-segan menjatuhkan
sangsi politik, ekonomi, maupun militer kepada negara-negara yang
dianggap tidak menghormati hak-hak manusia (Jatmika, 2000:1). Beberapa
tindakan yang telah diambil AS terhadap negara-negara atau kelompok yang
dianggap tidak-demokratis antara lain: kelompok Sandinista (Nicaragua),
Jenderal Noreiga (Panama), Khmer Merah (Kamboja), Khadafi (Lybia) Iran
(-1980). Irak (1991 dan 2003), Indonesia (1997) yang melarang pengusaha
dari negara bagian Massachusets berdagang dengan Indonesia dalam bentuk
undang-undang di House a/Representative dan lain-lain.
Barulah pada abad XIX muncul gagasan
demokrasi dalam wujud yang konkrit sebagai program dan sistem politik
berdasarkan azas kemerdekaan individu. Pada abab ke-20, bentuk
penyelenggaraan demokrasi berubah dari pola klasik (urusan kepentingan
politik bersama) menjadi pola negara kesejahteraan, di mana negara
dianggap bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat dengan cara
berupaya secara aktif meningkatkan taraf hidup warga negaranya (Beetham
& Boyle, 1995: 25-27; Syarbaini, 2002: 90).
Samuel P. Huntington dalam bukunya yang berjudul “Tle Third Ware: Democratization in The Late Twentieth Century” menyebut
masa 1974-1990-an adalah sebagai gelombang demokrasi ketiga. Pada masa
ini gelombang demokrasi berhembus ke seluruh dunia dalam bentuk transisi
politik yang dialami sekitar tiga puluh negeri dari sistem politik
nondemokratis ke sistem demokratis.
Selanjutnya Syarbaini menjelaskan bahwa di Indonesia, sejak awal kemerdekaan telah menyatakan dirinya demokrasi, dan dalam perjalanannya terlihat perkembangan demokrasi sebagai berikut. Pertama,
demokrasi parlemener (1945-1959) yang menonjolkan parlemen dan partai
politik. Pelaksanaan demokrasi ini ditandai oleh pemerintahan yang
kurang stabil. Kedua, demokrasi terpimpin (1959-1965) yang
menyimpang dari demokrasi konstitusional dan lebih menonjolkan aspek
demokrasi rakyat serta dominasi presiden. Ketetapan MPRS No III/1963
yang mengangkat presiden seumur hidup semakin memberikan peluang untuk melakukan penyimpangan dan penumpukan kekuasaan tangannya. Ketiga,
demokrasi Pancasila (1965-1998) menjadikan Pancasila sebagai landasan
ideal dan UUD 1945, ketetapan MPR sebagai landasan formal, untuk
meluruskan dan mengoreksi penyimpangan demokrasi sebelumnya. Pada masa
ini juga tidak lepas dari kelemahan, mengingat demokrasi hanya sebagai
lipstik bagi tumbuh suburnya otoritarianisme birokrasi dan KKN
/korupsi-kolusi-dan Nepotisme). Pada waktu itu juga peran militer sangat
dominan, sentralisasi pembuatan keputusan, penggebiran partai-partai
politik, massa mengambang, monolitisasi ideologi negara, dan inkorporasi
lembaga non-pemerintah. Keempat, transisi demokrasi yang
berusaha menerapkan konsep-konsep demokrasi secara murni, yaitu
keterbukaan sistem poiitik, budaya politik partisipatif egalitarian,
kepemimpinan politik yang bersemangat kerakyatan, semangat menghapus
KKN, partai politik yang tumbuh dari bawah, menjunjung tinggi
norma-hukum, kebebasan pers, terdapat mekanisme check and balances.
B. Konsep Demokrasi
Demokrasi merupakan sistem yang
didambakan oleh hampir setiap insan politik. Hampir tidak ada satu rezim
pun di dunia ini baik di negara-negara kapitalis maupun komunis, maju
maupun berkembang, timur maupun barat, utara maupun selatan, yang enggan
mencantumkan, baik eksplisit maupun implisit, kata ‘demokrasi’ pada
sistem politik yang dianut negaranya (Jatmika, 2000: v).
Demokrasi adalah suatu istilah yang
bersifat universal, namun tidak ada satu sistem demokrasi yang berlaku
untuk semua bangsa atau semua negara. Secara istilah mungkin sama, akan
tetapi isi dan cara perwujudannya bisa berbeda-beda antara negara yang
satu dengan yang lainnya. Secara haraviah, demokrasi adalah Pemerintahan
dari, oleh, dan untuk rakyat (Sartori, 1962: 5). Demokrasi adalah
bentuk pemerintahan di mana hak-hak untuk membuat keputusan-keputusan
politik digunakan secara langsung oleh setiap warga negara yang
diaktualisasikan melalui prosedur Pemerintahan mayoritas, yang biasa
dikenal dengan sebutan Dmokrasi langsung.
Dalam pandangan struktural demokrasi
adalah sistem politik yang memelihara keseimbangan antara konflik dan
konsensus (Alfian,1978: 236; Surbakti, 1999:228). Oleh karena itu,
menurut Ramlan demokrasi memungkinkan perbedaan pendapat persaingan,
dan pertentangan di antara individu, di antara berbagai kelompok, di
antara individu dan kelompok, individu dan pemerintah, kelompok dan
pemerintah, bahkan di antara lembaga-lembaga pemerintah. Akan tetapi
demokrasi hanya akan mentolerir konflik yang tidak menghancurkan sistem.
Oleh sebab itu, sistem politik demokrasi menyediakan mekanisme dan
prosedur yang mengatur dan menyalurkan konflik sampai pada
‘penyelesaian’ dalam bentuk kesepakatan. Prinsip ini pula yang mendasari
pembentukan identitas bersama, hubungan kekuasaan legitimasi
kewenangan, dan hubungan politik dengan ekonomi.
Demokrasi juga dijelaskan sebagai bentuk
pemerintahan dengan segenap kegiatan yang dikelola dengan menjadikan
rakyat sebagai subyek dan titik tumpu. Selain itu, demokrasi juga dapat
diartikan sebagai sistem pemerintahan yang bertumpu pada daulat rakyat
bukan daulat pemimpin, daulat pemerintah, atau daulat raja. Dalam
penjelasan yang lain, demokrasi dapat pula diartikan sebagai bentuk
pemerintahan di mana warga negara menggunakan hak yang sama tidak secara
pribadi tetapi melalui wakil yang duduk di lembaga perwakilan rakyat.
Melihat batasan di atas, tidak salah
apabila demokrasi diartikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk rakyat. Dengan kata lain, rakyat selaku mayoritas
mempunyai suara menentukan dalam proses perumusan kebijakan
pemerintahan melalui saluran-saluran yang tersedia seperti partai
politik, kelompok kepentingan, kelompok penekan, dan pendapat umum.
Sebuah sistem demokratis dicirikan: (1)
partisipasi politik yang luas, (2) kompetisi politik yang sehat, (3)
sirkulasi kekuasaan yang terjaga, terkelola, dan berkala, melalui proses
pemilihan umum, (4) pengawasan terhadap kekuasaan yang efektif,(5) diakuinya kehendak mayoritas, dan (6) adanya. tata-krama politik yang
disepakati dalam masyarakat (Sartori, 196?.). Melihat berbagai ciri
itu, maka kekuasaan pemerintahan ferbatas dan tidak dibenarkan
bertindak sewenang-wenang terhadap warganya Pembatasan ini tercantum
dalam konstitusi.
Sementara itu Robert Dahl (1973: 7),
mengemukakan bahwa ciri khas demokrasi adalah sikap tanggap pemerintah
secara terus-menerus terhadap preferensi atau keinginan warga di
negaranya. Adapun beberapa syarat yang harus dipenuhi antara lain: (1)
kebebasan membentuk dan bergabung dalam organisasi, (2) kebebasan
mengemukakan pendapat, (4) hak memilih dalam pemilihan umum, hak
menduduki jabatan publik, (5) hak para pemimpin untuk bersaing
memperoleh dukungan dan suara, (6) tersedianya sumber informasi
alternatif, (7) Pemilu yang bebas dan jujur, dan (8) adanya
lembaga-lembaga penjamin agar kebijakan publik tergantung pada suara
pemilihan umum dan cara-cara penyampaian preferensi yang lain.
Prinsip-prinsip dasar demokrasi meliputi
persamaan, hormat terhadap nilai-nilai luhur manusia, hormat terhadap
hak-hak sipil, dan kebebasaan, serta fair play. Makna persamaan
di sini adalah persamaan kesempatan bagi semua orang sebagai warga
negara untuk mencapai perkembangan yang maksimum mengenai
potensi-potensi fisik, intelektual, moral, spiritual, dan partisipasi
sosial oleh setiap pribadi. Berdasarkan prinsip dasar itu dapat
dirumuskan ciri-ciri hakiki demokrasi, yaitu: (1) adanya persetujuan
rakyat, (2) adanya partisipasi efektif rakyat dalam pembuatan keputusan
politik yang menyangkut nasib mereka, (3) adanya persamaan kedudukan di
hadapan hukum, (4) adanya kebebasan individu untuk menentukan diri, (5)
adanya penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia, (6) adanya pembagian
pendapatan yang adil, (7) adanya mekanisme kontrol sosial terhadap
pemerintah, dan (8) adanya ketersediaan dan keterbukaan informasi. (Sudarminta, 1996: 69; Maran, 2001:206).
Dalam berbagai literatur ilmu politik
konsep demokrasi dikaji dan dimaknai dengan cara pendekatan yang
berbeda. Pertama kali muncul adalah pendekatan klasik normatif yang
lebih membicarakan ide-ide dan model-model demokrasi secara substansial.
Pendekatan konvensional minimalis cenderung dibatasi makna demokrasi
sebagai sistem politik yang berbeda dengan sistem ekonomi dan sosial.
Satu argumen bagi definisi terbatas semacam itu adalah bahwa jika
isu-isu tentang demokrasi ekonomi dan sosial dimasukkan, maka konsep
demokrasi akan menjadi begitu luas, dan realitas empiris yang sesuai
dengan teori ini akan menjadi sempit sehingga menyulitkan untuk
menpelajari dan mengkaji fenomena yang ada (Sartori, 1962: 5).
Para pemikir lain lebih menyukai definisi
demokrasi yang maksimalis dengan memasukkan dimensi nonpolitik (sosial
budaya dan ekonomi) kebebasan sebagai obsssi demokrasi tidak hanya di
bidang politik, tetapi juga sosial, ekonomi dan budava juga bebas dari
ketidakadilan, kemiskinan, kelaparan, kebodohan Para pemikirnya seperti
Rosseu, John Stuart Mill, hingga Marx sepakat bahwa ketimpangan ekonomi
merupakan kendala bagi pertumbuhan politik yang demokratis (Uhlin, 1995:
54)
Baik definisi demokrasi yang minimalis
maupun maksirnalis keduanya ada benarnya. Mengingat banyak penafsiran
yang berbeda tentang demokrasi. Pendekatan klasik normatif mulai
kehilangan pengaruh di hadapan ilmuwan politik ketika studi demokrasi
berkembang sejak akhir dekade 1970-an. Arend Lijphart (1980) menggagas
model demokrasi konsosional yang ia rekomendasikan sebagai model
demokrasi terbaik.
Demokrasi merupakan cita-cita, meskipun
ia diciptakan tetapi menurut Plato demokrasi tidak diinginkan. Bahkan
Robert Michels berpendapat bahwa demokrasi itu disenangi, tetapi sulit
untuk dilaksanakan (Dahl, 1991). Di sisi lain, tatanan masyarakat yang
tertinggi tercapai manakala masyarakat itu telah menerapkan demokrasi
dalam setiap kegiatan kelompoknya. Joseph Schumpeter dalam teori
demokrasinya mengatakan bahwa demokrasi adalah kompetisi bebas antara
elite politik untuk menduduki suatu pemerintahan (Rose, 2000) Model
demokrasi seperti itu disebutnya sebagai “Schumpeter’s model of Democracy. Lain lagi Lijphart dalam “theory consencus democracy”
mengatakan bahwa demokrasi merupakan kesepakatan antara dua pihak atau
lebih untuk membuat keputusan. Lijphar membuat varian demokrasi antara
lain liberal democracy, free democracy, sosial democracy, cristian democracy. Alexis de Tocqueville da a mendefinisikan demokrasi dengan memperkenalkan konsep , “nature democracy” dan “advance democracy”. Sedangkan smith membedakan istilah demokrasi menjadi dua yaitu tradit ional democracy dan modem democracy (Smith, 1998).
Untuk konteks Indonesia, Anders Uhlin termasuk ilmuwan yang mengkaji
demokrasi dengan pendekatan normatif dan sekaligus empirik. Dia melacak
difusi ide-ide demokrasi diIndonesia sejak 1980-an dan memetakan wacana
demokrasi yang bervariasi di kalangan pejuang demokrasi (Uhlin, 1995′
45)
C. Transisi Menuju Demokrasi
Arus utama teoritisasi transisi menuju demokrasi dimulai pada dekade 1980-an. Secara mencolok dibangun atas dasar runtuhnya rezim otoritarian-totalitarian yang tumbuh di kawasan Eropa Selatan dan Amerika Latin. Berbagai karya perintis terutama buah karya suntingan Guillerno O ‘Donnel, Philippe Schmitter dan Laurence Whitehead, sering menjadi pusat rujukan bagi studi demokrasi, tetapi tidak punya kekuatan komparatif untuk menjelaskan gelombang tansisi demokrasi yang problematik dari rezim neopatrimonial yang eksis di berbagai negara seperti Filipina, Zaire, Haiti, Rusia dan juga Indonesia.
Transisi dari rezim otoriter dimulai dari perpaduan antara perpecahan elite maupun bangkitnya masyarakat sipil dan opoisi yang memungkinkan transisi berjalan. Transformasi dari atas atau lewat negosiasi (transplacement) antara kubu garis keras dan kubu garis lunak yang beraliansi dengan barisan oposisi dan masyarakat sipil. Permulaan jalur-jalur negosiasi itulah yang membuahkan transisi yang mulus dan sempurna dari rezim otorirer korporatif sehingga sangat mempermudah tugas-tugas konsolidasi demokrasi berikutnya.
Menurut Samuel Huntington (1991:44), demokratisasi pada tingkatan yang sederhana mencakup (1) berakhirnya sebuah rezim otoriter, (2) dibangunnya sebuah rezim demokrasi, (3) konsolidasi. Jika mengikuti Robert A. Dahl (1991:54), demokratisasi berarti Proses perubahan rezim otoritarian (hegemoni tertutup) yang tidak memberi kesempatan pada partisipasi dan liberalisasi menuju poliarki yang memberi derajat kesempatan partisipasi dan liberasasi Usasi yang lebih tinggi. Transisi demokrasi pada suatu negara menurut Lipset (1963)
Terjadi apabila terjadi pertumbuhan ekonomi dan pertambahan masyarakat terdidik. la beralasan, dengan masyarakat yang telah sejahtera secara ekonomi dan semakin tingginya tingkat pendidikan akan semakin terbuka mekanisme pengambilan keputusan untuk urusan-urusan publik, dan semakin terbukanya kesempatan untuk ikut berpartisipasi dala menentukan keputusan yang penting, yang menyangkut kepentingan publik. Argumen yang sama tetapi dengan perspektif dan metode yang berbeda juga diungkapkan oleh Moore (1996) Kalau Lipset lebih bertumpu pada paradigma modernisasi, yang menyetujui lahirnya masyarakat kapitalis, sedangkan Moore, lebih bertumpu pada perubahan cara produksi feodolis ke cara produksi kapitalis.
Sedangkan menurut O’Donnell, Schmitte”, dan Whitehead (kelompok sarjana-sarjana kiri) yang memfokuskan studi di Amerika Latin, beranggapan bahwa pembangunan di negara-negara terbelakang dengan kapitalisme barat mensyaratkan adanya stabilitas politik dengan menekan partisipasi massa dalam politik untuk mengamankan pembangunan ekonomi dan modal kapitalis mancanegara. Agen yang paling memungkinkan untuk menciptakan stabilitas politik ini adalah negara. di bawah komando militer. Oleh karena itu menurut O’Donnell pembangunan di negara-negara terbelakang bukannya mendorong demokrasi, di mana peran negara menjadi begitu sentral, sementara massa disingkirkan dari proses politik. O’Donnell menyebut fenomena ini sebagai Bureaucratic autliontarianism.
Kritik terhadap Bureaucratic authoritarinnism telah banyak dilakukan, termasuk oleh R. William Liddle dan Saiful Mujani (2000:56), thesis O’Donnell ini dibangun atas dasar pilihan atas kasus (case selection) secara selektif sehingga bias. O’Donnell tidak menghiraukan pembangunan ekonomi di negara-negara “si Timu.- seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan Hongkong pada tahun 80-an. Mereka melakukan demokratisasi di negaranya dengan bertumpu pada ekonomi pasar termasuk di Asia Tenggara negera-negara Bekas Uni Soviet, dan Eropa Timur.
Menurut Liddle dan Mujani setelah O’Donnel mengetahui bahwa argumen Bureaucratic aiitlioritariaiiism tidak realistik, penghujung tahun 80-an beralih ke pendakatan elite untuk menjelaskan variasi muncul dan stabilnya demokrasi. Mereka berkesimpulan bahwa, munculnya rezim demokasi adalah suatu “kebetulan” sejarah yang tidak bisa dijelaskan. Elit dinilai penting dalarn proses transisi ke rezim demokrasi tetapi kapan elit menjadi pro demokrasi dan kapan tidak, menurutnya tidak bisa dijelaskan. Konsep ini juga telah dikritik oleh Prezeworski dan Lunongi, yang datang juga dari lingkaran Kiri. Elit melakukan pro demokrasi karena mereka menggunakan rational choice theory (Almond , 1990:117).
Menurut pendekatan ini elit ini, diasumsikan bahwa transisi jadi rezim nondemokrasi ke rezim demokrasi sebagian besar ditentukan oleh inisiatif, kompromi, dan kalkulasi rasional elit politik. Pilihan atas demokrasi dipandang memupgkinkan elit mencapai tujuan politiknya. Motif dan kalkulasi elit seperti ini tentu saja akan ditemukan dikalangan elit politik pada umumnya
Secara urut demokratisasi mencakup beberapa proses atau tahapan yang saling berkaitan, yaitu: liberalisasi, transisi, instalasi dan konsolidasi. Liberalisasi adalah proses mengefektifkan hak-hak politik yang melindungi individu dan kelompok sosial dari tindakan sewenang-wenang atau tidak sah yang dilakukan oleh negara atau pihak ketiga (O’Donnell & Philippe Schimitter, 1986). Pada tahap ini biasanya ditandai kekuasaan untuk membuka peluang terjadinya kompetisi politik, dilepaskannya tahanan politik, dan uiberikannya ruang kebebasan pers.
Ada dua catatan yang bisa diajukan terhadap O’Donnell khususnya pada proses sebelum memasuki tahap transisi. Dia tidak melakukan elaborasi yang menyeluruh mengenai tahap decomposing politics sebelum tahap liberalisasi.
Tahap lain selain liberalisasi adalah transisi, yaitu titik awal atau interval (selang waktu) antara rezim otoritarian dengan rezim demokrasi. Transisi diawali dengan keruntuhan rezim otoriter lama yang kemudian diikuti dengan pengesahan lembaga politik peraturan politik baru di bawah payung demokrasi. Pada tahapini ditandai dengan adanya pemilu. Dalam konteks Indonesia tidak partai perubahan format politik baru yang secara diametral berubah dari format masa sebelumnya.
Setelah transisi yaitu konsolidasi. Proses konsolidasi jauh lebih komplek dan panjang dibandingkan transisi. la merupakan proses yang mengurangi kemungkinan pembalikan demokrasi. Didalamnya diwarnai proses negosiasi. Pada fase ini partai politik perlu melakukan pelatihan terhadap kader-kadernva; medi massa, asosiasi-asosiasi perdagangan; lembaga-lembaga swadaya masyarakat perlu mengembangkan kapasitasnya untuk bertindak secara mandiri terlepas pada pengaruh negara dan ‘payung’ negara. Pada tahap ini sering juga disebut sebagai tahap kampanye yang digerakkan pada dua front sekaligus. Di satu pihak adalah perjuangan melawan kekuatan-kekuatan anti-demokratis yang mungkin tidak pernah mau mengalah. Di pihak lain adalah perjuangan menampung unsur-unsur yang bersifat memecah belah dari sistem politik itu sendiri, misalnya persaingan memperebutkan jabatan di pemerintahan dan godaan untuk memperlakukan politik sebagai sebuah pertandingan di mana para pemenanglah yang menguasai semua hadiah.
Minimal ada empat komponen atau pilar utama dari demokrasi yang sedang berjalan, yaitu pemilihan umum yang bebas dan adil, pemerintahan yang bertanggung jawab, hak-hak politis dan sipil , dan suatu masyarakat yang demokratis atau masyarakat Madani (Beetham & Boyle, 1995: 57-58).
Apabila digambarkan dalam bentuk alur, akan nampak urut-urutan sebagai berikut:
Gambar 10.1 Alur perkembangan demokrasi
Sumber: Disarikan dari berbagai bacaan terutarna Huntington,1991.
C. Transisi Menuju Demokrasi
Arus utama teoritisasi transisi menuju demokrasi dimulai pada dekade 1980-an. Secara mencolok dibangun atas dasar runtuhnya rezim otoritarian-totalitarian yang tumbuh di kawasan Eropa Selatan dan Amerika Latin. Berbagai karya perintis terutama buah karya suntingan Guillerno O ‘Donnel, Philippe Schmitter dan Laurence Whitehead, sering menjadi pusat rujukan bagi studi demokrasi, tetapi tidak punya kekuatan komparatif untuk menjelaskan gelombang tansisi demokrasi yang problematik dari rezim neopatrimonial yang eksis di berbagai negara seperti Filipina, Zaire, Haiti, Rusia dan juga Indonesia.
Transisi dari rezim otoriter dimulai dari perpaduan antara perpecahan elite maupun bangkitnya masyarakat sipil dan opoisi yang memungkinkan transisi berjalan. Transformasi dari atas atau lewat negosiasi (transplacement) antara kubu garis keras dan kubu garis lunak yang beraliansi dengan barisan oposisi dan masyarakat sipil. Permulaan jalur-jalur negosiasi itulah yang membuahkan transisi yang mulus dan sempurna dari rezim otorirer korporatif sehingga sangat mempermudah tugas-tugas konsolidasi demokrasi berikutnya.
Menurut Samuel Huntington (1991:44), demokratisasi pada tingkatan yang sederhana mencakup (1) berakhirnya sebuah rezim otoriter, (2) dibangunnya sebuah rezim demokrasi, (3) konsolidasi. Jika mengikuti Robert A. Dahl (1991:54), demokratisasi berarti Proses perubahan rezim otoritarian (hegemoni tertutup) yang tidak memberi kesempatan pada partisipasi dan liberalisasi menuju poliarki yang memberi derajat kesempatan partisipasi dan liberasasi Usasi yang lebih tinggi. Transisi demokrasi pada suatu negara menurut Lipset (1963)
Terjadi apabila terjadi pertumbuhan ekonomi dan pertambahan masyarakat terdidik. la beralasan, dengan masyarakat yang telah sejahtera secara ekonomi dan semakin tingginya tingkat pendidikan akan semakin terbuka mekanisme pengambilan keputusan untuk urusan-urusan publik, dan semakin terbukanya kesempatan untuk ikut berpartisipasi dala menentukan keputusan yang penting, yang menyangkut kepentingan publik. Argumen yang sama tetapi dengan perspektif dan metode yang berbeda juga diungkapkan oleh Moore (1996) Kalau Lipset lebih bertumpu pada paradigma modernisasi, yang menyetujui lahirnya masyarakat kapitalis, sedangkan Moore, lebih bertumpu pada perubahan cara produksi feodolis ke cara produksi kapitalis.
Sedangkan menurut O’Donnell, Schmitte”, dan Whitehead (kelompok sarjana-sarjana kiri) yang memfokuskan studi di Amerika Latin, beranggapan bahwa pembangunan di negara-negara terbelakang dengan kapitalisme barat mensyaratkan adanya stabilitas politik dengan menekan partisipasi massa dalam politik untuk mengamankan pembangunan ekonomi dan modal kapitalis mancanegara. Agen yang paling memungkinkan untuk menciptakan stabilitas politik ini adalah negara. di bawah komando militer. Oleh karena itu menurut O’Donnell pembangunan di negara-negara terbelakang bukannya mendorong demokrasi, di mana peran negara menjadi begitu sentral, sementara massa disingkirkan dari proses politik. O’Donnell menyebut fenomena ini sebagai Bureaucratic autliontarianism.
Kritik terhadap Bureaucratic authoritarinnism telah banyak dilakukan, termasuk oleh R. William Liddle dan Saiful Mujani (2000:56), thesis O’Donnell ini dibangun atas dasar pilihan atas kasus (case selection) secara selektif sehingga bias. O’Donnell tidak menghiraukan pembangunan ekonomi di negara-negara “si Timu.- seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan Hongkong pada tahun 80-an. Mereka melakukan demokratisasi di negaranya dengan bertumpu pada ekonomi pasar termasuk di Asia Tenggara negera-negara Bekas Uni Soviet, dan Eropa Timur.
Menurut Liddle dan Mujani setelah O’Donnel mengetahui bahwa argumen Bureaucratic aiitlioritariaiiism tidak realistik, penghujung tahun 80-an beralih ke pendakatan elite untuk menjelaskan variasi muncul dan stabilnya demokrasi. Mereka berkesimpulan bahwa, munculnya rezim demokasi adalah suatu “kebetulan” sejarah yang tidak bisa dijelaskan. Elit dinilai penting dalarn proses transisi ke rezim demokrasi tetapi kapan elit menjadi pro demokrasi dan kapan tidak, menurutnya tidak bisa dijelaskan. Konsep ini juga telah dikritik oleh Prezeworski dan Lunongi, yang datang juga dari lingkaran Kiri. Elit melakukan pro demokrasi karena mereka menggunakan rational choice theory (Almond , 1990:117).
Menurut pendekatan ini elit ini, diasumsikan bahwa transisi jadi rezim nondemokrasi ke rezim demokrasi sebagian besar ditentukan oleh inisiatif, kompromi, dan kalkulasi rasional elit politik. Pilihan atas demokrasi dipandang memupgkinkan elit mencapai tujuan politiknya. Motif dan kalkulasi elit seperti ini tentu saja akan ditemukan dikalangan elit politik pada umumnya
Secara urut demokratisasi mencakup beberapa proses atau tahapan yang saling berkaitan, yaitu: liberalisasi, transisi, instalasi dan konsolidasi. Liberalisasi adalah proses mengefektifkan hak-hak politik yang melindungi individu dan kelompok sosial dari tindakan sewenang-wenang atau tidak sah yang dilakukan oleh negara atau pihak ketiga (O’Donnell & Philippe Schimitter, 1986). Pada tahap ini biasanya ditandai kekuasaan untuk membuka peluang terjadinya kompetisi politik, dilepaskannya tahanan politik, dan uiberikannya ruang kebebasan pers.
Ada dua catatan yang bisa diajukan terhadap O’Donnell khususnya pada proses sebelum memasuki tahap transisi. Dia tidak melakukan elaborasi yang menyeluruh mengenai tahap decomposing politics sebelum tahap liberalisasi.
Tahap lain selain liberalisasi adalah transisi, yaitu titik awal atau interval (selang waktu) antara rezim otoritarian dengan rezim demokrasi. Transisi diawali dengan keruntuhan rezim otoriter lama yang kemudian diikuti dengan pengesahan lembaga politik peraturan politik baru di bawah payung demokrasi. Pada tahapini ditandai dengan adanya pemilu. Dalam konteks Indonesia tidak partai perubahan format politik baru yang secara diametral berubah dari format masa sebelumnya.
Setelah transisi yaitu konsolidasi. Proses konsolidasi jauh lebih komplek dan panjang dibandingkan transisi. la merupakan proses yang mengurangi kemungkinan pembalikan demokrasi. Didalamnya diwarnai proses negosiasi. Pada fase ini partai politik perlu melakukan pelatihan terhadap kader-kadernva; medi massa, asosiasi-asosiasi perdagangan; lembaga-lembaga swadaya masyarakat perlu mengembangkan kapasitasnya untuk bertindak secara mandiri terlepas pada pengaruh negara dan ‘payung’ negara. Pada tahap ini sering juga disebut sebagai tahap kampanye yang digerakkan pada dua front sekaligus. Di satu pihak adalah perjuangan melawan kekuatan-kekuatan anti-demokratis yang mungkin tidak pernah mau mengalah. Di pihak lain adalah perjuangan menampung unsur-unsur yang bersifat memecah belah dari sistem politik itu sendiri, misalnya persaingan memperebutkan jabatan di pemerintahan dan godaan untuk memperlakukan politik sebagai sebuah pertandingan di mana para pemenanglah yang menguasai semua hadiah.
Minimal ada empat komponen atau pilar utama dari demokrasi yang sedang berjalan, yaitu pemilihan umum yang bebas dan adil, pemerintahan yang bertanggung jawab, hak-hak politis dan sipil , dan suatu masyarakat yang demokratis atau masyarakat Madani (Beetham & Boyle, 1995: 57-58).
Apabila digambarkan dalam bentuk alur, akan nampak urut-urutan sebagai berikut:
Gambar 10.1 Alur perkembangan demokrasi
Sumber: Disarikan dari berbagai bacaan terutarna Huntington,1991.
Jika transisi hanya menghasilkan
otoritarian baru, maka Konsolidasi yang terjadi adalah pemantapan rezim
otoriter baru. sebaliknya, jika yang dihasilkan transisi adalah
instalati demokrasi maka rezim demokrasi yang baru itu akan
dikonsolidasi. Proses konsolidasi jauh lebih komplek dan panjang
dibandingkan transisi. la merupakan proses yang mengurangi kemungkinan
pembalikan demokrasi. Di dalamnya diwarnai proses negosiasi. Transisi
hendak mempromosikan sistem baru ketimbang merusak sistem lama.
Transisi adalah tahapan awal terpenting
yang sangat menentukan dalam proses demokrasi. Sebagian besar kajian
para ilmuwan difokuskan pada transisi menuju demokrasi itu. Dalam
transisi pasti terjadi liberalisasi yang mungkin akan diakhiri dengan
instalasi demokrasi.
Dalam transisi di setiap negara terjadi
lewat beberapa tahap atau rute yang berbeda. Dalam transisi di setiap
negara terjadi lewat beberapa tahap atau rute yang berbeda. Samuel.
Huntington (1991) berpendapat, ada empat jalur transisi demokrasi: pertnuin, transformasi
yang diprakarsai dari atas oleh rezim seperti Taiwan, Mexico, India,
Chile, Turki, Brazil, Peru, Ekuador, Guetamala, Norwegia, Pakistan serta
Sudan. Kediia, transisi lewat trnnsplncenient atau
negosiasi antara rezim yang berkuasa dengan oposisi seperti Nepal,
Nikaraguae, Mongolia, Brazilia, Salvador, Korea Selatan, Afrika Selatan.
Ketiga, replacement atau pergantian atau tekanan oposisi dari bawah yang meliputi Pilipina, Argentina. Dan keempat, interfensi dari luar yang meliputi Grenada dan Panama.
Menurut Donald Share (1987:19) ada empat
jalur proses transisi demokrasi menurut kecepatan serta keterlibatan
pimpinan rezim, yaitu (1) demokrasi secara bertahap, melibatkan rezim
secara konsensual, (2) transaksi secara cepat, melibatkan rezim secara
konsensual, (3) transisi lewat perjuangan revolusioner gradual
nonkonseksual, dan (4) transisi lewat perpecahan (revolusi, kudeta,
keruntuhan, ektriksi) yang berlangsung cepat tanpa melibatkan
konsensual.
Tabel 10.1 Contoh Negara yang mengalami demokratisasi
Jenis kekuasaan otoritanian Sebelum demokratisasi |
Jalan Demokrasi |
|||
Satu Partai | Diktator Perseorangan | Rezim Militer | Oligarki Rasial | |
Taiwan Hongaria Meksiko
Uni Soviet Bulgaria |
Spanyol
India Cile |
Turki Brazil Peru
Ekuador Guatemala Nigeria Pakistan Sudan |
Transformation | |
Polandia Cekoslowakia Nikaragua Mongolia | Nepal | Uruguay Bolivia
Honduras ElSavador Korea Selatan |
Afrika Selatan | Transplacement |
Jerman Timur | Portugal Filipina Rumania | Yunani Argentina | — | Replacement |
Grenada | — | Panama | — | lntervention |
D. Berbagai Kendala Proses Transisi Demokrasi
Beberapa peristiwa dunia akhir ini,
ditandai dengan maraknya gerakan massa yang menuntut perubahan mendasar
terhadap struklur politik dan ketatanegaraan, selain menuntut perbaikan
sosial-ekonomi. Itu semua oleh pengamat disebut sebagi gelombang
transisi menuju demokrasi dalam skala dunia. Runtuhnya tembok Berlin,
gerakan pro-demokrasi di Hongaria/ Cekoslowakia, termasuk di belahan
negara sosialis seperti Eropa Timur, Cina, Vietnam, dan Nikaragua,
Yugoslavia merupakan bukti atas gerakan itu. Sehingga, sejak awal dasa
warsa delapan puluhan, di negara-negara itu dapat dikatakan tidak
mengenal “ tanpa “desakan rakyat”.
Itu semua oleh, Francis Fukuyama (1992: 7-12.), dianggap
sebagai proses yang sangat menjanjikan terhadap proses demokrasi. Proses
itu menurutnya dianggap sebagai proses menuju the end of historis,
yang berwujud kemenangan kapitalisme, dan demokrasi liberal di seluruh
bumi. Melihat fenomena ini Fukuyama yakin bahwa proses sejarah demokrasi
di dunia dapat diprediksi berjalan secara linier utopis. Sehingga
Fukuyama yakin seluruh dunia akan menganut sistem demokrasi sebagai
sistem nemerintahan terbaik, dengan demikian the end of historis akan terlaksana.
Proses demokrasi yang diprediksi oleh Fukuyama akan berjalan linier, di bawah payung ekonomi liberal produk dari proyek pencerahan (enlightenmeney). Hal ini ternyata masih perlu dipertanyakan, termasuk dalam penelitian ini akan berusaha membuktikan linieritas proses demokratisasi yang meliputi liberalisasi, transisi, dan konsolidasi dari Huntington.
Minimal ada dua kendala dalam proses transisi demokrasi, yaitu kendala internal dan eksternal. Di Eropa Timur muncullah aksi-aksi protes bercorak rasial seperti di Jerman dan Perancis, gejolak konflik etnis dan agama, seperti di Cekoslowakia dan Indonesia, termasuk di bekas Yugoslavia dan bekas Uni Sofyet, munculnya kembali aspirasi komunis seperti di Polandia dan Rusia. Di Cina hambatan internal berupa pembantaian berdarah di lapangan Tiananmen (Wang, 1997). Richard Rose (2000) dalam penelitiannya yang membahas hambatan demokrasi tingkat adtvice di Austria dan Switzerland, menyimpulkan bahwa Consensus antar elit partai runtuh karena (1) setiap orang mempunyai perbedaan kebutuhan dalam menentukan masa depan pemerintahan dan partainya, (2) adanya provokasi antar pendukung partai sehingga memperuncing konsensus yang telah disepakati.
Hambatan eksternal dan juga internal secara bersama-sama banyak ditemui di negara Amerika Latin, Afrika dan Asia, di mana kilter menunjukkan tanda-tanda tidak mau kembali ke barak. Di Asia sebagai contoh Indonesia, Korea Selatan, Taiwan, Filipina, Vietnam, dan Kamboja proses transisi juga masih menemui kendala baik internal maupun eksternal (Curtis, 1997). Di Amerika Latin, seperti di Cili, Brazil, Argentina, Venezuela, Nikaragua, ([an Meksiko demokrasi juga masih menemui hambatan (Whitehead 2000). Di Afrika dan Timur Tengah, seperti Iran, Mesir, Marokn Negeria, Sudan, Arab Saudi, Oman demokrasi juga masih saneat alot (Johanbegloo, 1997).
Kasus yang lebih tragis lagi adalah di Aljazair, Irak Libia Somalia, El-Salvador, Guatemala, Paraguay, Myanmar, Korea Utara, di mana demokrasi telah hilang kembali dari putaran neeara itu, berubah menjadi negara yang otoriter-diktator.
Kendala internal dan eksternal sama kuatnya menghalanei proses-proses politik yang mengarah pada proses transisi demokrasi, termasuk di Indonesa, dengan tidak menutup kemungkinan transisi demokrasi di pedesaan juga akan menemui berbagai kendala meskipun dikemas dalam bingkai otonomi. Kendala yang muncul pada tingkat nasional dapat dikategorikan menjadi enam yaitu: (1) ancaman disintegrasi bangsa, (2) konflik SARA, (3) tidak ada penegakan hukum, (4) ancaman kebebasan pers dari intimidasi, (5) ancaman militerismg, dan (6) kurupsi meraja lela (Abdullah, 2000). Sedangkan kendala pada tingkat desa dapat diidentifikasi seperti (1) menguatnya etnisitas, (2) budaya masyarakat desa yang bertentangan dengan demokrasi seperti offer permisive dan terlalu percaya dan patuh pada pimpinan, dan (3) rendahnya tingkat pendidikan politik. Oleh karena itu, dnpat dikatakan proses demokrasi masih jauh dari prediksi “sejarah linier-utopisnya Fukuyama”. Dengan demikian harapan messianistik tentang the cud of history masih perlu dibuktikan kembali dengan penelitian ini. Termasuk tesis Huntington bahwa demokratisasi berjalan linier dari liberalisasi, transisi, dan konsolidasi mengingat banyak negara setelah terjadi transisi tidak diikuti proses konsolidasi tetapi kembali ke otoriter.
Proses demokrasi yang diprediksi oleh Fukuyama akan berjalan linier, di bawah payung ekonomi liberal produk dari proyek pencerahan (enlightenmeney). Hal ini ternyata masih perlu dipertanyakan, termasuk dalam penelitian ini akan berusaha membuktikan linieritas proses demokratisasi yang meliputi liberalisasi, transisi, dan konsolidasi dari Huntington.
Minimal ada dua kendala dalam proses transisi demokrasi, yaitu kendala internal dan eksternal. Di Eropa Timur muncullah aksi-aksi protes bercorak rasial seperti di Jerman dan Perancis, gejolak konflik etnis dan agama, seperti di Cekoslowakia dan Indonesia, termasuk di bekas Yugoslavia dan bekas Uni Sofyet, munculnya kembali aspirasi komunis seperti di Polandia dan Rusia. Di Cina hambatan internal berupa pembantaian berdarah di lapangan Tiananmen (Wang, 1997). Richard Rose (2000) dalam penelitiannya yang membahas hambatan demokrasi tingkat adtvice di Austria dan Switzerland, menyimpulkan bahwa Consensus antar elit partai runtuh karena (1) setiap orang mempunyai perbedaan kebutuhan dalam menentukan masa depan pemerintahan dan partainya, (2) adanya provokasi antar pendukung partai sehingga memperuncing konsensus yang telah disepakati.
Hambatan eksternal dan juga internal secara bersama-sama banyak ditemui di negara Amerika Latin, Afrika dan Asia, di mana kilter menunjukkan tanda-tanda tidak mau kembali ke barak. Di Asia sebagai contoh Indonesia, Korea Selatan, Taiwan, Filipina, Vietnam, dan Kamboja proses transisi juga masih menemui kendala baik internal maupun eksternal (Curtis, 1997). Di Amerika Latin, seperti di Cili, Brazil, Argentina, Venezuela, Nikaragua, ([an Meksiko demokrasi juga masih menemui hambatan (Whitehead 2000). Di Afrika dan Timur Tengah, seperti Iran, Mesir, Marokn Negeria, Sudan, Arab Saudi, Oman demokrasi juga masih saneat alot (Johanbegloo, 1997).
Kasus yang lebih tragis lagi adalah di Aljazair, Irak Libia Somalia, El-Salvador, Guatemala, Paraguay, Myanmar, Korea Utara, di mana demokrasi telah hilang kembali dari putaran neeara itu, berubah menjadi negara yang otoriter-diktator.
Kendala internal dan eksternal sama kuatnya menghalanei proses-proses politik yang mengarah pada proses transisi demokrasi, termasuk di Indonesa, dengan tidak menutup kemungkinan transisi demokrasi di pedesaan juga akan menemui berbagai kendala meskipun dikemas dalam bingkai otonomi. Kendala yang muncul pada tingkat nasional dapat dikategorikan menjadi enam yaitu: (1) ancaman disintegrasi bangsa, (2) konflik SARA, (3) tidak ada penegakan hukum, (4) ancaman kebebasan pers dari intimidasi, (5) ancaman militerismg, dan (6) kurupsi meraja lela (Abdullah, 2000). Sedangkan kendala pada tingkat desa dapat diidentifikasi seperti (1) menguatnya etnisitas, (2) budaya masyarakat desa yang bertentangan dengan demokrasi seperti offer permisive dan terlalu percaya dan patuh pada pimpinan, dan (3) rendahnya tingkat pendidikan politik. Oleh karena itu, dnpat dikatakan proses demokrasi masih jauh dari prediksi “sejarah linier-utopisnya Fukuyama”. Dengan demikian harapan messianistik tentang the cud of history masih perlu dibuktikan kembali dengan penelitian ini. Termasuk tesis Huntington bahwa demokratisasi berjalan linier dari liberalisasi, transisi, dan konsolidasi mengingat banyak negara setelah terjadi transisi tidak diikuti proses konsolidasi tetapi kembali ke otoriter.
E. Perspektif Transisi Menuju DemokrasiAda empat perspektif arus utara yang menjelaskan proses transisi menuju demokrasi dalam skala global dan perubahan politik di Indonesia. (1) pendekatan yang berpusat pada masyarakat, (2) pendekatan yang berpusat pada negara, pendckatan kontingensi elite, dan (4) pendekatan kontekstual yang
berfokus pada lingkungan terbesar yang melengkupi proses transisi.
1 Pendekatan Sosio Kultural
Menurut perspektif sosio kultural yang berpusat pada masvarakat ini variabel penentu demokrasi sifamya sangat Substansial yang berakar pada masyarakat seperti tingkat kemakmuran ekonomi yang mantap, kelas menengah yang benar-benar kuat, dan mantapnya budaya demokrasi (toleransi terhadap perbedaan, dan akomodatif).
Penjelasan demokrasi pada elemen kemakmuran ekonomi sebagaimana dijelaskan di atas pertama kali dyrtikan oleh teoritisasi modernisasi seperti Seymour Martin Lipset dan James Coleman. Meskipun variabel ini ditolak oleh teoritisasi generasi 1980-an, malah membalik logika generasi pertama dengan berasumsi bahwa justru krisis ekonomi yang menyebabkan tumbangnya rezim otoriter yang diganti dengar tumbuhnya demokrasi (Neeuheuser, 1992). Seperti di Argentina, kegagalan ekonomi rezim militer sebagai penyebab peralih’an secara demokratis dan cepat.
Menurut peneliti variabel kemajuan ekonomi lebih bersifat konsolidasi yang hanya relevan menopang konsolidasi demokrasi tetapi tidak relevan sebagai penjelas terhadap proses demokrasi.
Variabel kelas menengah juga bersifat kondisionil, struktural bahkan deterministik yang kurang relevan untuk meningkatkan demokrasi. Begitu juga variabel budaya politik (toleransi, kompromi, akomodatif, dan kompeten) sebagai sebagai prasyarat bagi tumbuhnya demokrasi (Almond dan Verba, 1984).
Konsep civic culture sebagai kultur politik demokrasi dikembangkan pertama kali oleh Almond dan Verba yang pada dasarnya sama dengan pandangan Tocqueville dalam menjelaskan demokrasi di Amerika yang akar filosofisnya ditarik dari Rousseau. Konsep ini telah direaktualisasikan tahun 90-an oleh Putrnan. Dalam karyanya Putman menunjukkan tidak realitisnya Penjelasan new-institutionalism dan sosial ekonomi terhadap kinerja birokrasi. Menurutnya, yang menentukan perkembangan demokrasi di sebuah negara, setidaknya dalam kasus Italy adalah, civic culture dan civic community.
2. Pendekatan Berpusat pada Negara
Semangat kajian pendekatan yang berpusat pada negara diawali dengan kritik teoritis pada teori-teori sebelumnya van hanya menempatkan negara sebagai mediator pasif di antar kelompok-kelompok pluralisme dalam masyarakat dan menganggap negara hanya sebagai panitia kecil yang meneabdi pada kepentingan kelas yang berkuasa.
Sebaliknya, para pendukung teori ini berpusat pada negara menempatkan negara bukan sekedar lustrum kelompok atau kelas akan tetapi juga punya otonomi relatif yang kebal dari pengaruh kelompok dan kelas di luarnya. Negara tidak lagi bisa dilihat sebagai administrator proses penghapusan surplus, tetapi sebagai komponen pemandu dalam formasi dan konflik kelas serta menjadi bagian dari transformasi bentuk serta hubungan-hubungan produksi.
3. Pendekatan Kontingensi Elit
Pendekatan ini sepenuhnya berpusat pada strategi dan pilihan kontingen aktor atau elit politik. Pendekatan ini diprakarsai oleh para pengkaji demokrasi yang sebelumnya, mengkaji dengan pendekatan negara. Seperti O’Donnel, Schmitter, Alfred Stepan, Przeworski dan mereka yang meninggalkan, pendekatan sosio kultural dan negara. Meraka memusatkan kinerja atau prosedural lembaga-lembaga politik serta pada tindakan (strategi dan praktik) para aktor (elit politik) dalam proses transisi menuju demokrasi.
O’Donnell, Schmitter. dan Whitehead sebagaimana telah disebutkan di atas berfokus pada perilaku otonom para pemimpin politik, dan menganalisis transisi rezim sebagai negosiasi antara “penganut garis lunak” (soft liners) dan rezim otoriter dengan par pemimpin oposisi moderat (linrd-liners) O’Dcnnell & Schimitter’ 1986). Transisi ditandai oleh perjuangan yang kusut dan oleh ketidakpastian watak rezim yang akan dihasilkan.
1 Pendekatan Sosio Kultural
Menurut perspektif sosio kultural yang berpusat pada masvarakat ini variabel penentu demokrasi sifamya sangat Substansial yang berakar pada masyarakat seperti tingkat kemakmuran ekonomi yang mantap, kelas menengah yang benar-benar kuat, dan mantapnya budaya demokrasi (toleransi terhadap perbedaan, dan akomodatif).
Penjelasan demokrasi pada elemen kemakmuran ekonomi sebagaimana dijelaskan di atas pertama kali dyrtikan oleh teoritisasi modernisasi seperti Seymour Martin Lipset dan James Coleman. Meskipun variabel ini ditolak oleh teoritisasi generasi 1980-an, malah membalik logika generasi pertama dengan berasumsi bahwa justru krisis ekonomi yang menyebabkan tumbangnya rezim otoriter yang diganti dengar tumbuhnya demokrasi (Neeuheuser, 1992). Seperti di Argentina, kegagalan ekonomi rezim militer sebagai penyebab peralih’an secara demokratis dan cepat.
Menurut peneliti variabel kemajuan ekonomi lebih bersifat konsolidasi yang hanya relevan menopang konsolidasi demokrasi tetapi tidak relevan sebagai penjelas terhadap proses demokrasi.
Variabel kelas menengah juga bersifat kondisionil, struktural bahkan deterministik yang kurang relevan untuk meningkatkan demokrasi. Begitu juga variabel budaya politik (toleransi, kompromi, akomodatif, dan kompeten) sebagai sebagai prasyarat bagi tumbuhnya demokrasi (Almond dan Verba, 1984).
Konsep civic culture sebagai kultur politik demokrasi dikembangkan pertama kali oleh Almond dan Verba yang pada dasarnya sama dengan pandangan Tocqueville dalam menjelaskan demokrasi di Amerika yang akar filosofisnya ditarik dari Rousseau. Konsep ini telah direaktualisasikan tahun 90-an oleh Putrnan. Dalam karyanya Putman menunjukkan tidak realitisnya Penjelasan new-institutionalism dan sosial ekonomi terhadap kinerja birokrasi. Menurutnya, yang menentukan perkembangan demokrasi di sebuah negara, setidaknya dalam kasus Italy adalah, civic culture dan civic community.
2. Pendekatan Berpusat pada Negara
Semangat kajian pendekatan yang berpusat pada negara diawali dengan kritik teoritis pada teori-teori sebelumnya van hanya menempatkan negara sebagai mediator pasif di antar kelompok-kelompok pluralisme dalam masyarakat dan menganggap negara hanya sebagai panitia kecil yang meneabdi pada kepentingan kelas yang berkuasa.
Sebaliknya, para pendukung teori ini berpusat pada negara menempatkan negara bukan sekedar lustrum kelompok atau kelas akan tetapi juga punya otonomi relatif yang kebal dari pengaruh kelompok dan kelas di luarnya. Negara tidak lagi bisa dilihat sebagai administrator proses penghapusan surplus, tetapi sebagai komponen pemandu dalam formasi dan konflik kelas serta menjadi bagian dari transformasi bentuk serta hubungan-hubungan produksi.
3. Pendekatan Kontingensi Elit
Pendekatan ini sepenuhnya berpusat pada strategi dan pilihan kontingen aktor atau elit politik. Pendekatan ini diprakarsai oleh para pengkaji demokrasi yang sebelumnya, mengkaji dengan pendekatan negara. Seperti O’Donnel, Schmitter, Alfred Stepan, Przeworski dan mereka yang meninggalkan, pendekatan sosio kultural dan negara. Meraka memusatkan kinerja atau prosedural lembaga-lembaga politik serta pada tindakan (strategi dan praktik) para aktor (elit politik) dalam proses transisi menuju demokrasi.
O’Donnell, Schmitter. dan Whitehead sebagaimana telah disebutkan di atas berfokus pada perilaku otonom para pemimpin politik, dan menganalisis transisi rezim sebagai negosiasi antara “penganut garis lunak” (soft liners) dan rezim otoriter dengan par pemimpin oposisi moderat (linrd-liners) O’Dcnnell & Schimitter’ 1986). Transisi ditandai oleh perjuangan yang kusut dan oleh ketidakpastian watak rezim yang akan dihasilkan.
4. Pendekatan Kontektual
Pendekatan ini tidak lagi terfokus pada
peran aktor politik akan tetapi pada konteks lingkungan terdekat yang
ikut menentukan jalan menuju demokrasi. Kontak lingkungan terdekat itu
bisa berasal dan dunia internasional maupun berupa ekonomi politik
domestik. Melakukan pembedaan seperti itu dalam dunia vang makin saling
mengait dan global, di mana simbol interaksi antara faktor domestik dan
faktor eksternal sulit untuk diurai.
Persoalannya adalah elemen-elemen
internasional apa saja yang bermain di dalam transisi, apakah konteks
internasional lebih bisa berpengaruh dibanding konteks domestik. Juan J
Linz dan Alfred Stepan (1986) misalnya memperkenalkan tiga konteks
internasional yang selalu ikut bermain dalam permulaan transisi menuju
demokrasi yaitu kebijakan luar negeri, semangat demokrasi, dan efek
difusi. Huntington menunjukkan bermainnya variabel kebijakan pelaku
eksternal dan efek demokrasi dalam proses demokrasi. Ades Uhlin
mencermati kaitan transnasional dan efek difusi sangat berpengaruh
terhadap bangkitnva gerakan prodemokrasi sejalan dengan dekade 1980-an.
Selanjutnya Juan J. Linz melihat ada tiga
kategori situasi di mana penggunaan kekuatan di dalam kebijakan luar
negeri menentukan jalanyn demokrasi. (1) negara nondemokrasi mampu
mengalahkan negara demokrasi yang kuat tetapi dalam segi militer lemah
baik dalam melakukan aneksasi dan pendudukan. Seperti Jerman di
Czechoslovakia, (2) hegemoni regional nondemokrasi yang menggunakan
kekuatan militer untuk membelokkan usaha-usaha revolusioner untuk
menggulingkan nondemokrasi (Hongaria) (3) negara demokrasi merupakan
pemenang perebutan melawan rezim nondemokrasi dan memprakarsai demokrasi
di negara yang dikalahkan (Jerman dan Tepang tahun 1945).
5. Pendekatan Konjungtural
Pendekatan yang hendak ditawarkan dalam studi ini yaitu Pendekatan interaktif yang bisa mengkover jalinan elemen sosio-itural (underterministic)
kontingensi elite dan kontektual. cnunjam teminologi Karl pendekatan
interaktif itu disebut kontingensi struktur, yaitu suatu pendekatan yang
merupakan “farian secara eksplisit untuk menghubungkan batasan-batasan
struktural dengan bentuk pilihan kontingensi aktor politik (Karl,
2000:57-68).
Dengan mengacu pada studi Karl itu, studi
ini akan menggunakan pendekatan konjungtural sebagai alternatif
penjelasan transisi menuju demokrasi di pedesaan. Pendekatan, hendak
memadukan elemen sosial kultural, kontingensi aktor, dan kontektual yang
dibingkai tipe rezim otoriter sebelumnya sehingga, pendekatan ini tidak
hanya bisa menjawab secara komprehensif “mengapa” transisi terjadi,
tetapi juga bisa memahami bagaimana rute transisi. Bagaimana
mengelaborasi pendekatan konjungtural untuk mengkover jalinan ketiga
elemen, sehingga mampu rnenjadi perangkat analisis yang memadai.
Pertama, penulis hendak mengatakan bahwa kinerja lembaga politik dan tindakan aktor politik bukanlah sesuatu vane impredicable
dalam proses transisi melainkan mempunyai jalinan dengan konteks
sosio-kultural, dan kontektual di sepanjang sejarah. Paling tidak
tindakan aktor politik seperti gerakan perjuangan demokrasi melawan
rezim ororitarian. Sebagian merupakan respon atas perubahan konjungtural
yang terjadi. Meledaknya gerakan masyarakat merupakan respon atas
lemahnya kapasitas rezim dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintah.
Kedua, penulis menghindari analisis
determinan sosio-kultural secara parsial, meskipun elemen-elemen ini
(perubahan ekonomi dan budaya demokrasi) diperhatikan. Dari segi
pembangunan ekonomi studi ini meninggalkan tradisi pemikiran
konvensional yang umumnya menempaikan kemakmuran (kemajuan ekonomi)
sebagai prasyarat tumbuhnya demokrasi. Studi ini justru akan membalik
logika bahwa kemunduran ekonomi (karena penyalahgunaan uang rakyat) akan
dilakukan delegitimasi kekuasaan dan keambrukan kekuasaan.
Dari segi budaya politik, studi ini
hendak membangun asumsi bahwa transisi menuju demokrasi di
pedesaan-tidak membutuhkan dukungan budaya demokrasi, tetapi ia selalu
direproduksi oleh penguasa sebagai senjata untuk memperkuat legitimasi. Penulis juga
menolak pendekatan struktural yang berbasis pada ke sebagai kerangka
penjelasan transisi menuju demokrasi di pedesaan. Dari segi kelas
menengah misalnya, studi ini meninggalkan tradisi analisis kelas yang
deterministik ala Marxian , dan penulis akan menempatkan elemen kelas
menengah sebagai aktor politik yang menjadi bagian dari panggung
demokrasi dalam proses demokratisasi.
Ketiga, transisi menuju demokrasi di
pedesaan ditentukan oleh bekerjanva konteks lingkungan nasional
ketimbang konteks internasional, seperti tatanan eksternal, relasi
internasional, semangat zaman, dan efek difusi adalah variabel sekunder
yang letaknva jauh dari proses demokratisasi di pedesaan. Konteks
domestik jauh lebih berpengaruh, seperti krisis ekonomi dan legitimasi
merupakan struktur kesempatan bagi melemahnya rezim di satu sisi dan
semakin menguatnya barisan oposisi dalam melawan rezim.
Persoalannya adalah bagaimana merangkai
pendekatan konjungtural yang punya jangkauan struktural yang panjang
dengan transisi demokrasi sebagai bentuk perubahan politik jangka
panjang dengan transisi demokrasi sebagai perubahan politik jangka
pendek. Dalam mainstream studi demokratisasi, transisi menuju
demokrasi hanya merupakan perubahan politik jangka pendek yang
dihasilkan oleh pertarungan elite dan transisi bisa berakhir bila elite
yang bertentangan itu membangun negosiasi. Tetapi peneliti tidak puas
dengan perspektif mainstream itu. Meskipun transisi menuju
demokrasi di desa- merupakan perubahan politik jangka pendek tetapi
kesulitan/kemudahan pola/rute dan hasil transisi tidak semata-mata
disebabkan oleh perhitungan elit dalam jangka pendek, melainkan
disebabkan oleh elemen-elemen sosial politik dan tindakan masyarakat
dalam Jangka panjang tentang bekerja di sepanjang sejarah.
Pendekatan konjungtural tentu saja bisa
untuk menjawab mengapa jalan menuju transisi di desa selama ini sangat
Problematik dan baru dimulai ketika Suharto turun? Beberapa isu
strategis dalam transisi (pergolakan politik, jalur, pola, dan hasil)
bisa dijawab dengan baik oleh pendekatan konjungtural apabila keduanya
diletakkan dalam kerangka tipe rezim sebelumnya, sehingga studi ini
tidak hanya menjawab “mengapa.” tetapi juga memahami “bagaimana” pola
(rute) transisi yang terjadi. Dalam diri peneliti berpendapat bahwa
sifat bawaan rezim memberi bentuk pada dinamika dan hasil transisi
politik desa. Perubahan politik, kontemporer, menurut hemat peneliti
dikondisikan oleh mekanisme penetapan aturan main dalam rezim
sebelumnya.
BAHAN BACAAN
--------------Alfian,1986, Masalah dan Prospek Pembangunan Politik di Indonesia, Jakarta: Gramedia.————–Almond, Gabriel A, 1990, A Discpline Devided: School and Sect in Political Science, Newbury Park London, New Delhi: SAGE Publication.
————–Budiarjo, Miriam, 1992, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta Gramedia.
————–Budiman, Arief, 1992, State and civil society in Indonesia, Australia; Aristoc Press.
————–Fukuyama, F, 1992, The end of historis and the last man, New York: Free Press.
————–Huntington, Samuel P, 1991, Gelombang Demokrasi Ketiga, Jakarta Grafiti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar