Powered By Blogger

Selasa, 03 April 2012

Benarkah Islam Agama “Jalan Tengah”?

Benarkah Islam Agama “Jalan Tengah”?

Oleh Ulil Abshar-Abdalla
Jikapun ada hadis yang benar-benar melarang hal itu, maka yang patut dipersoalkan bukanlah hadis itu, tetapi cara kita menafsirkannya. Sudah jelas hadis terikat dengan konteks zaman tertentu, dan tidak semua hal yang termuat dalam hadis bisa dengan serta merta dilaksanakan sekarang.
Para ideolog Islam revivalis seringkali menggambarkan Islam sebagai agama “jalan tengah”, agama wasath, agama moderat. Mereka memahami “jalan tengah” di sini sebagai berada di tengah-tengah antara dua titik ekstrem.
Yang menarik, kedua titik ekstrem itu, menurut mereka, diwakili oleh agama Kristen dan Yahudi. Yahudi mewakili satu titik ekstrem, yaitu kecenderungan formalisme-legalisme dalam beragama, sementara Kristen dipandang sebagai wakil dari titik ekstrem yang lain, yakni keberagamaan yang didasarkan atas ide cinta kasih, dan sama sekali mengabaikan aspek legal-formal dalam agama.
Pandangan semacam ini dikemukakan antara lain orang-orang seperti Sayyid Qutb dan diikuti oleh banyak sarjana Islam lain. Posisi yang ada di tengah-tengah ini mereka pandang sebagai salah satu keunggulan agama Islam mengatasi agama-agama lain.
Saya ragu apakah penggambaran semacam ini tepat mengenai sasaran. Selama ini, ayat yang selalu dipakai sebagai sandaran adalah surah al-Baqarah (2:143). Dalam ayat itu, istilah “ummatan wasathan” sering dimaknai sebagai “bangsa yang ada di tengah-tengah”. Dalam perkembangan terakhir, frasa itu malah langsung dikaitkan dengan istilah “Islam moderat”.
Menurut saya, pemaknaan semacam ini tampak anakronis, dalam pengertian memaksakan pengertian modern kedalam ayat Qur’an yang belum tentu sesuai dengan makna asal dari ayat bersangkutan.
Hal itu sama saja dengan memaknai kata “hizb” yang ada dalam Qur’an sebagai “partai”, sesuatu yang sama sekali tidak bisa diterima, karena istilah partai adalah istilah modern yang sama sekali asing dalam konteks pewahyuan Qur’an.
Lepas dari itu, hal yang menarik adalah pengertian Islam sebagai agama yang ada di antara dua ekstrimitas, Yahudi dan Kristen. Pengertian ini kurang meyakinkan dengan pelbagai pertimbangan:
(1) Jika Islam disebut sebagai jalan tengah, tentu pertanyaan yang patut diajukan adalah Islam yang mana yang memenuhi citra seperti itu. Kita tahu bahwa Islam mengejawantah dalam pelbagai bentuk. Meskipun umat Islam selalu dengan gigih mengatakan bahwa Islam adalah satu, tetap saja secara empiris Islam memiliki pelbagai bentuk.
Jadi, Islam sebagai agama “wasath” atau jalan tengah itu Islam yang mana? Jika memakai contoh yang karikatural, jelas sekali Islam sebagaimana dicontohkan oleh Osamah bin Ladin sangat sulit disebut sebagai agama jalan tengah.
(2) Lebih jauh lagi patut juga dipersoalkan Kristen dan Yahudi yang mana yang dianggap mewakili dua titik ekstrem itu. Sebab, kita semua tahu, sebagaimana Islam mempunyai banyak wajah, begitu juga dalam kedua agama tersebut juga terdapat banyak kecenderungan. Corak keberagamaan yang legal-formalistis bukan saja terdapat dalam Yahudi, tetapi juga ada Kristen.
(3) Yang lebih penting lagi adalah juga mempertanyakan kembali: apakah betul Islam benar-benar berada di antara dua titik ekstrem? Jika agama Yahudi dianggap sebagai representasi dari agama yang secara keras menerapkan hukum, bukankah Islam pelan-pelan juga menjadi agama yang makin mirip seperti itu, yakni makin cenderung “halakhic”, maksudnya makin legalistis?
Bukankah kajian fikih mendapatkan porsi yang terlalu besar dalam Islam? Bukankah diam-diam fikih menjadi standar kesalehan dalam beragama di kalangan umat Islam saat ini?
Jika dilihat secara lebih cermat, kajian atas hukum/fikih Islam jauh lebih rumit dan bertakik-takik dalam Islam ketimbang dalam Yahudi. Dengan kata lain, tekanan atas dimensi hukum dalam modus keberagamaan jauh lebih kuat di dalam Islam ketimbang dalam Yahudi. Jika demikian, mana yang lebih ekstrem, Yahudi atau Islam?
(4) Contoh yang selalu dipakai untuk menunjukkan sikap moderat Islam adalah soal hukum cerai. Dalam masalah ini selalu dikatakan bahwa Islam mengambil jalan tengah: tidak melarang cerai sama sekali, seperti dalam Kristen, tidak pula membolehkan cerai secara sembarangan seperti dalam sebagian tradisi pra-Islam di Arab. Cerai diperbolehkan oleh Islam tetapi dengan “caveat” bahwa hal itu adalah tindakan halal yang paling dibenci Tuhan.
Meskipun Islam patut diberikan apresiasi karena mengambil sikap yang realistis dalam soal cerai ini, tetapi mengambil kasus cerai sebagai contoh menunjukkan moderasi Islam jelas kurang proporsional, sebab “corpus” hukum Islam begitu kaya dan rumit, dan tidak seluruh hukum Islam bisa dikatakan “moderat”.
Beberapa, atau bahkan banyak sekali hukum Islam yang bersifat ekstrem dan kaku. Inilah yang menjadikan alasan kenapa sejumlah kelompok Islam bersikap kaku. Contoh yang sederhana adalah soal hukum jabat tangan dengan seorang perempuan. Meskipun saya menghormati pandangan sebagian kalangan Islam yang beranggapan bahwa menurut Islam laki-laki tidak diperbolehkan berjabat-tangan dengan perempuan non-muhrim (bukan kerabat dekat yang masih ada hubungan waris), tetapi saya tetap tidak bisa memahami sikap seperti itu.
Jikapun ada hadis yang benar-benar melarang hal itu, maka yang patut dipersoalkan bukanlah hadis itu, tetapi cara kita menafsirkannya. Sudah jelas hadis terikat dengan konteks zaman tertentu, dan tidak semua hal yang termuat dalam hadis bisa dengan serta merta dilaksanakan sekarang.
Hadis yang melarang jabat tangan seorang perempuan sama saja dengan hadis yang mengatakan bahwa yang layak menjadi menjadi imam (kepala negara) adalah suku Quraish: dua-duanya harus ditafsirkan secara kritis dalam konteks zaman ini.
Masalah haramnya jabat tangan dengan perempuan ini memang kelihatan sepele, tetapi menjadi masalah yang serius karena sekarang tampaknya makin banyak umat Islam yang mengikuti pandangan tersebut. Tak kurang Ketua Umum MPR kita adalah pengikut pandangan ini. Bahkan kesalehan seorang Muslim juga cenderung diukur dengan standar yang seperti ini.
Jika contoh cerai menunjukkan komoderatan Islam, contoh jabat tangan justru menunjukkan keekstriman Islam. Jadi, betulkah Islam agama jalan tengah?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar