Powered By Blogger

Jumat, 30 Maret 2012

Politik Media Nasional Demokrat (Nasdem): Antara Frase dan Realitas

Media massa elektronik di Indonesia, terutama sekali media elektronik yang dimiliki oleh para pemodal besar sekaligus politisi, mampu menjadi alat propaganda politik yang cukup ampuh dan, atau setidaknya, mampu menenggelamkan persoalan-persoalan complicated – atau citra buruk – dari para pemilik media tersebut guna melicinkan gerak mereka menuju kekuasaan politik.
Dalam hal ini kita bisa menyebutnya langsung, bahwa pemilik media elektronik yang mendominasi berita-berita politik  di Indonesia, yakni Metro TV dan TV One, merupakan media yang dimiliki oleh pemodal besar sekaligus politisi yang tengah mempersiapkan pertarungannya pada pemilihan umum 2014 mendatang. Dan, dua media massa tersebut terbukti mampu mempengaruhi perilaku massa karena telah menjadi sumber informasi utama bagi publik mengenai persoalan politik.
Mata publik politik yang terkonsentrasi pada dua media terkemuka  di Indonesia ini sangat memungkinkan bagi politisi pemilik media tersebut untuk memainkan opini publik. Pasti, dua media tersebut akan menyangkal tuduhan ini dan mengatakan bahwa mereka hanyalah cermin bagi publik. “Media sebagai cermin bagi publik” adalah mitos yang menyesatkan. Karena, faktanya, media mampu memainkan peran dalam menetapkan agenda-agenda pemberitaan mengenai politik: menentukan apa berita politik yang akan dibahas hari ini, berapa banyak, dalam konteks apa dan untuk kepentingan siapa.
Beberapa waktu lalu, tertanggal 25 April 2011, Kompas.com memberitakan bahwa, menurut direktur Tata Usaha KemenkumHAM,  sudah ada tiga partai yang mendaftar sebagai peserta pemilu 2014, yakni Partai Nasional Demokrat, Partai Nasional Republik dan Partai Persatuan Nasional. Namun, terkait dengan pendaftaran Partai Nasional Demokrat (Nasdem) ke KemenkumHAM, setelah dikonfirmasi  ke organisasi Nasional Demokrat yang dipimpin oleh Surya Paloh, Sekjen Nasdem, Syamsul Maarif, membantah bahwa Nasdem yang mendaftarkan diri merupakan Nasdem yang dikenal masyarakat selama ini.  Dan masih menurut Syamsul, Nasdem sebagai ormas yang kini dipimpin Surya Paloh tidak akan menjadi partai politik pada tahun ini.
Benarkah demikian? Benar dan tidaknya pernyataan Syamsul, dengan pola gerak yang propagandis melalui media, bisa dipastikan Nasdem sedang mempersiapkan pertarungan untuk merebut kekuasaan politik pada pemilu 2014. Dan kekuatan ilusi yang dibangunnya melalui media massa (Metro TV) dengan cepat bisa menyedot perhatian publik. Bahkan tidak hanya menyedot perhatian publik, tetapi mampu membuat publik percaya bahwa Nasdem adalah jalan alternatif dalam menghadapi kebuntuan politik di negeri ini.
Apakah ada yang salah dengan apresiasi publik yang agresif terhadap Nasdem? Tentu, sekilas, tidak. Tetapi di sini ada masalah yang serius dengan negeri ini. Pertama, borjuasi, dengan kekuatan media yang mereka miliki akan terus mengilusi rakyat, membodohi dan mengeksploitasinya – sebagai komuditas politik; kedua, carut-marut perpolitikan Indonesia yang dimainkan oleh para politisi borjuis pasca reformasi, sebagai memori kolektif, belum mampu membuat lompatan kualitatif kesadaran kritis rakyat. Progres politik yang dicapai SBY selama ini seharusnya bisa membuat jera para konstituen politik, membuat sikap skeptis secara massif terhadap jargon-jargon ilusif borjuasi, terutama, hari ini, Surya Paloh dengan Nasdemnya. Kita semua masih ingat, dalam pemilu 2009, bagaimana Prabowo mampu mengilusi publik dengan jargon-jargon kerakyatan melalui media. Seketika publik tumpah-ruah, beriuh-sorak, percaya dan berharap besar padanya. Tetapi kenyataannya nihil. Nampaknya, Surya Paloh akan melakukan hal yang sama, yakni mengilusi publik dengan cara mengekspos dirinya dan kegiatan-kegiatan “kemanusiaan”nya  untuk merebut momentum politik menuju 2014.
Dalam perspektif Marxis, masyarakat kapitalis, sebagai suatu keberadaan, diciptakan dan didominasi oleh sebuah kelas. Penciptaan dan dominasi atas struktur masyarakat oleh sebuah kelas ini (dalam hal ini kelas borjuis), tentu tidak hanya pada sebagian lini, tetapi pada keseluruhan entitas. Kelompok pluralis liberal, dengan pemikiran superfisialnya, masih melihat media mampu menjadi alat kontrol dan menjadi pioner dalam memperjuangkan kebebasan berbicara. Tetapi faktanya tidak demikian, dengan mudah media bisa dipaksa untuk berada di arena ideologikal di mana kelas-kelas (juga kelompok-kelompok) tengah bertarung untuk berebut kekuasaan politik. Media akan menjadi alat politik bagi yang menciptakan atau yang membiayainya. Di sini media berperan mengintegrasikan tendensi kultural masyarakat dengan jargon-jargon politik – menjadikannya sebuah ilusi yang sempurna.
Jika melihat apresiasi yang berlebihan dari publik terhadap Nasdem, nampak sekali keberhasilan Nasdem dalam membangun sebuah ilusi melalui media. Karena, jika kita memeriksa konten politik yang tertuang dalam visi-misinya, dan juga dalam manifestonya, tidak ada hal yang lebih progresif dibanding dengan organisasi-organisasi politik atau partai-partai politik lain. Agenda restorasi untuk Indonesia, yang menjadi jargon kebanggaan Nasdem, tidak memberi makna progresif samasekali, bahkan belum jelas ke mana berpihaknya. Karena, kata restorasi, secara etimologis, terkait dengan Nasdem, hanya bisa berarti, tidak lebih, “memperbaiki kembali bangunan tua” menjadi tampak baru.
Dalam teori Marxis, basis struktur sangat berpengaruh terhadap bangunan suprastruktur. Marxisme memandang bahwa basis ekonomi sangat menentukan corak sosial, kesadaran politik dan corak intelektual. Teori ini, yang juga sering disebut sebagai teori materialis, menegaskan bahwa relasi-relasi ekonomi sebagai penyebab utama dari munculnya fenomena-fenomena sosial. Hal ini juga menandaskan adanya determinisme teknologis terhadap bangunan model politik, sebagaimana telah dikatakan oleh Marx: “The windmill gives you society with the feudal lord: the steam-mill, society with the industrial capitalist; Kincir angin menyajikan masyarakat dengan tuan feodal: mesin uap, menyajikan masyarakat dengan kapitalis industrial” (The Poverty of Philosophy, 1847).
Media massa, hari ini, terkait dengan kecanggihan format teknologi media,  telah menjadi industri budaya yang mampu menggiring perspektif politik publik ke arah yang diinginkan. Ini, secara teoritik, menegaskan bahwa  konten dan makna-makna yang dibawa melalui media ditentukan oleh basis ekonomi dari organisasi yang menciptakan – atau yang membiayai – mereka. Akibatnya, organisasi media komersial harus melayani keperluan pengiklan (pemilik modal) dan harus memproduksi penonton yang maksimal. Mau tidak mau lembaga media yang dikendalikan oleh organisasi-organisasi politik dominan tersebut cenderung akan mempragmatismekan publik, atau, menggiring publik ke arah “konsensus” yang akan menguntungkan mereka.
Di sini kesesatan mitos dari ilmu-ilmu sosial – yang “percaya” bahwa suara media massa adalah suara yang “bebas nilai – harus diekspos”.  Marxisme, dalam perspektifnya mengenai media massa, jelas akan terus mendekonstruksi mitos ini. Marxisme menyuguhkan sebuah perspektif yang faktual, bahwa ada kepentingan ekonomi dan politik dalam lembaga media. Hal yang menyolok ini telah terjadi di Metro TV akhir-akhir ini, yakni sorot kesenjangan sosial dalam representasinya, diarahkan untuk mengekspos “kearifan” Surya Paloh untuk menjadi sebuah diskursus baru dalam politik. Tidak hanya itu, di berbagai momentum politik, Metro TV juga dibeli untuk kepentingan para petarung pada pemilihan kepala daerah.
Sehubungan dengan keberhasilan Metro TV dalam membangun diskursus baru yang ilusif, yakni sosok Surya Paloh dan Nasdem – yang juga telah dilakukan oleh para politisi lain di banyak momentum politik,  politik media terbukti bisa menjadi jalan instan menuju kekuasaan, atau setidaknya, untuk membangun posisi tawar politik dalam rangka membangun kekuasaan modal. Langkah-langkah dari kelas sosial tertentu untuk menguasai media dan menguasai interpretasi penonton terhadap teks-teks media terbukti telah menjadi manuver politik yang trendy. Politik media juga telah berhasil mengilusi publik, mengganjal kesadaran kritis publik mengenai ada tidaknya kesatuan antara frase dan realitas.
Sampai kapan politik media menjadi menuver yang trendy? Di sinilah, secara bersamaan, bisa dimunculkan juga pertanyaan yang serupa:  sampai di mana kekuatan-kekuatan politik revolusioner mampu dan mau membongkar kebobrokan cara-cara ini?
Sebenarnya untuk memahami langkah-langkah politik dari para politisi borjuis yang menipu dan membodohi publik bukanlah pekerjaan yang perlu ketrampilan atau analisa tinggi. Ketidaksesuaian antara frase dan realitas dari para politisi borjuis mulai pasca “reformasi” adalah bukti nyata, sesuatu yang, seharusnya, mampu meningkatkan kesadaran kritis publik. Kita semua tahu, proses “reformasi” tidak pernah bergerak ke mana-mana kecuali menuju ke proses “demokratisasi” yang sangat becek. Pasca hancurnya Orde Baru dan Golkar, tidak ada satupun partai politik dan sosok yang mampu menjadi tumpuan bagi rakyat, atau, paling tidak, berbuat jujur terhadap rakyat.  Pasca runtuhnya dua ornament ini pula, sampai sekarang, belum ada ledakan massa yang, secara politis, melawan keberadaan partai-partai baru borjuis komprador. Artinya, kita sedang mengalami krisis kepemimpinan, dan kita membutuhkan kepemimpinan yang revolusioner.
Suguhan terbaru dari analisis mengenai siapa-siapa yang akan maju di pemilu 2014 masihlah sama, yakni orang-orang dari elemen-elemen lama yang sudah remuk kualitas politiknya: dari Nasdem, Surya Paloh; PDIP, Megawati; Partai Demokrat – mungkin – Yani Yudhoyono; Gerindra, Prabowo; Golkar, Aburizal Bakri – pemilik TV One; dll.
Jika Surya Paloh dan Nasdem, dengan politik medianya, berhasil memenangkan pemilu 2014, sudah bisa dipastikan, agenda politiknya tidak akan pernah bergerak se”progresif” propagandanya , apalagi membebaskan rakyat dari struktur penindasan; bisa saja ia akan menghalangi setiap upaya gerakan massa yang menginginkan perubahan sistem secara mendasar.  Bahkan akan menuduh kelompok massa tersebut sebagai “kaum radikal”, kaum komunis, terutama terhadap gerakan buruh.
Partai apa dan siapa sosok yang bisa diharapkan sebagai pembela rakyat? Secara tegas saya katakan, hari ini tidak ada! Inilah tugas utama dari elemen-elemen revolusioner  hari ini, yakni, pada tahap awal, adalah membangun dan menyatukan gerakan-gerakan revolusioner untuk terus mengekspos kebobrokan partai-partai dan para politisi borjuis; membangun partai yang berbasis rakyat grassroot (buruh, petani, kaum miskin kota) dengan gagasan, metode, program, dan tradisi, Kaum revolusioner tidak boleh meniru metode borjuis dalam berpolitik dan berpartai, karena partai yang ingin dibangun bukanlah partai untuk melanggengkan kekuasaan tetapi justru merubuhkan kappitalisme dan membangun kekuasaan yang baru: kekuasaan buruh dan tani. Untuk ini, segala jalan pintas dan metode instan tidak boleh menjadi bagian dari pembangunan partai massa buruh dan tani.     
Untuk membangun partai seperti ini memang perlu tahapan yang cukup panjang. Tetapi hal ini harus segera dimulai. Perjuangan menuju perubahan besar fundamental tidak bisa dikerjakan dengan serampangan dan instan. Partai revolusioner harus dibangun di atas batu pondasi yang kuat dan bertahap. Tanpa metode seperti ini, semassif apapun perjuangan rakyat, tetap akan berakhir dengan kekalahan. Trotsky, dalam rangka mengomentari sebuah revolusi yang pernah terjadi di Spanyol, menulis:
“We have few forces. But the advantage of a revolutionary situation consists precisely in the fact that even a small group can become a great force in a brief space of time, providing that it gives a correct prognosis and that it issues correct slogan in time.” (The Character of the revolution, 1931)
“Kita hanya punya sejumlah kecil kekuatan. Tetapi situasi revolusioner memiliki keuntungan di mana bahkan sebuah kelompok yang kecil dapat menjadi sebuah kekuatan yang besar dalam waktu yang pendek, bila ia dapat memberikan prognosis yang tepat dan menyerukan slogan yang tepat pada waktunya.” (Karakter Revolusi, 1931)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar