Media massa elektronik di Indonesia, terutama sekali media elektronik
yang dimiliki oleh para pemodal besar sekaligus politisi, mampu menjadi
alat propaganda politik yang cukup ampuh dan, atau setidaknya, mampu
menenggelamkan persoalan-persoalan complicated – atau citra buruk – dari para pemilik media tersebut guna melicinkan gerak mereka menuju kekuasaan politik.
Dalam
hal ini kita bisa menyebutnya langsung, bahwa pemilik media elektronik
yang mendominasi berita-berita politik di Indonesia, yakni Metro TV dan TV One,
merupakan media yang dimiliki oleh pemodal besar sekaligus politisi
yang tengah mempersiapkan pertarungannya pada pemilihan umum 2014
mendatang. Dan, dua media massa tersebut terbukti mampu mempengaruhi
perilaku massa karena telah menjadi sumber informasi utama bagi publik
mengenai persoalan politik.
Mata publik politik yang terkonsentrasi pada dua media terkemuka di
Indonesia ini sangat memungkinkan bagi politisi pemilik media tersebut
untuk memainkan opini publik. Pasti, dua media tersebut akan menyangkal
tuduhan ini dan mengatakan bahwa mereka hanyalah cermin bagi publik.
“Media sebagai cermin bagi publik” adalah mitos yang menyesatkan.
Karena, faktanya, media mampu memainkan peran dalam menetapkan
agenda-agenda pemberitaan mengenai politik: menentukan apa berita
politik yang akan dibahas hari ini, berapa banyak, dalam konteks apa dan
untuk kepentingan siapa.
Beberapa waktu lalu, tertanggal 25 April 2011, Kompas.com
memberitakan bahwa, menurut direktur Tata Usaha KemenkumHAM, sudah ada
tiga partai yang mendaftar sebagai peserta pemilu 2014, yakni Partai
Nasional Demokrat, Partai Nasional Republik dan Partai Persatuan
Nasional. Namun, terkait dengan pendaftaran Partai Nasional Demokrat
(Nasdem) ke KemenkumHAM, setelah dikonfirmasi ke organisasi Nasional
Demokrat yang dipimpin oleh Surya Paloh, Sekjen Nasdem, Syamsul Maarif,
membantah bahwa Nasdem yang mendaftarkan diri merupakan Nasdem yang
dikenal masyarakat selama ini. Dan masih menurut Syamsul, Nasdem
sebagai ormas yang kini dipimpin Surya Paloh tidak akan menjadi partai
politik pada tahun ini.
Benarkah demikian? Benar dan tidaknya pernyataan Syamsul, dengan
pola gerak yang propagandis melalui media, bisa dipastikan Nasdem sedang
mempersiapkan pertarungan untuk merebut kekuasaan politik pada pemilu
2014. Dan kekuatan ilusi yang dibangunnya melalui media massa (Metro TV)
dengan cepat bisa menyedot perhatian publik. Bahkan tidak hanya
menyedot perhatian publik, tetapi mampu membuat publik percaya bahwa
Nasdem adalah jalan alternatif dalam menghadapi kebuntuan politik di
negeri ini.
Apakah ada yang salah dengan apresiasi publik yang agresif terhadap
Nasdem? Tentu, sekilas, tidak. Tetapi di sini ada masalah yang serius
dengan negeri ini. Pertama, borjuasi, dengan kekuatan media yang mereka
miliki akan terus mengilusi rakyat, membodohi dan mengeksploitasinya –
sebagai komuditas politik; kedua, carut-marut perpolitikan Indonesia
yang dimainkan oleh para politisi borjuis pasca reformasi, sebagai
memori kolektif, belum mampu membuat lompatan kualitatif kesadaran
kritis rakyat. Progres politik yang dicapai SBY selama ini seharusnya
bisa membuat jera para konstituen politik, membuat sikap skeptis secara
massif terhadap jargon-jargon ilusif borjuasi, terutama, hari ini, Surya
Paloh dengan Nasdemnya. Kita semua masih ingat, dalam pemilu 2009,
bagaimana Prabowo mampu mengilusi publik dengan jargon-jargon kerakyatan
melalui media. Seketika publik tumpah-ruah, beriuh-sorak, percaya dan
berharap besar padanya. Tetapi kenyataannya nihil. Nampaknya, Surya
Paloh akan melakukan hal yang sama, yakni mengilusi publik dengan cara
mengekspos dirinya dan kegiatan-kegiatan “kemanusiaan”nya untuk merebut
momentum politik menuju 2014.
Dalam perspektif Marxis, masyarakat kapitalis, sebagai suatu
keberadaan, diciptakan dan didominasi oleh sebuah kelas. Penciptaan dan
dominasi atas struktur masyarakat oleh sebuah kelas ini (dalam hal ini
kelas borjuis), tentu tidak hanya pada sebagian lini, tetapi pada
keseluruhan entitas. Kelompok pluralis liberal, dengan pemikiran
superfisialnya, masih melihat media mampu menjadi alat kontrol dan
menjadi pioner dalam memperjuangkan kebebasan berbicara. Tetapi faktanya
tidak demikian, dengan mudah media bisa dipaksa untuk berada di arena
ideologikal di mana kelas-kelas (juga kelompok-kelompok) tengah
bertarung untuk berebut kekuasaan politik. Media akan menjadi alat
politik bagi yang menciptakan atau yang membiayainya. Di sini media
berperan mengintegrasikan tendensi kultural masyarakat dengan
jargon-jargon politik – menjadikannya sebuah ilusi yang sempurna.
Jika melihat apresiasi yang berlebihan dari publik terhadap Nasdem,
nampak sekali keberhasilan Nasdem dalam membangun sebuah ilusi melalui
media. Karena, jika kita memeriksa konten politik yang tertuang dalam
visi-misinya, dan juga dalam manifestonya, tidak ada hal yang lebih
progresif dibanding dengan organisasi-organisasi politik atau
partai-partai politik lain. Agenda restorasi untuk Indonesia, yang
menjadi jargon kebanggaan Nasdem, tidak memberi makna progresif
samasekali, bahkan belum jelas ke mana berpihaknya. Karena, kata
restorasi, secara etimologis, terkait dengan Nasdem, hanya bisa berarti,
tidak lebih, “memperbaiki kembali bangunan tua” menjadi tampak baru.
Dalam teori Marxis, basis struktur sangat berpengaruh terhadap
bangunan suprastruktur. Marxisme memandang bahwa basis ekonomi sangat
menentukan corak sosial, kesadaran politik dan corak intelektual. Teori
ini, yang juga sering disebut sebagai teori materialis, menegaskan bahwa
relasi-relasi ekonomi sebagai penyebab utama dari munculnya
fenomena-fenomena sosial. Hal ini juga menandaskan adanya determinisme
teknologis terhadap bangunan model politik, sebagaimana telah dikatakan
oleh Marx: “The windmill gives you society with the feudal lord: the steam-mill, society with the industrial capitalist; Kincir angin menyajikan masyarakat dengan tuan feodal: mesin uap, menyajikan masyarakat dengan kapitalis industrial” (The Poverty of Philosophy, 1847).
Media massa, hari ini, terkait dengan kecanggihan format teknologi
media, telah menjadi industri budaya yang mampu menggiring perspektif
politik publik ke arah yang diinginkan. Ini, secara teoritik, menegaskan
bahwa konten dan makna-makna yang dibawa melalui media ditentukan oleh
basis ekonomi dari organisasi yang menciptakan – atau yang membiayai –
mereka. Akibatnya, organisasi media komersial harus melayani keperluan
pengiklan (pemilik modal) dan harus memproduksi penonton yang maksimal.
Mau tidak mau lembaga media yang dikendalikan oleh organisasi-organisasi
politik dominan tersebut cenderung akan mempragmatismekan publik, atau,
menggiring publik ke arah “konsensus” yang akan menguntungkan mereka.
Di sini kesesatan mitos dari ilmu-ilmu sosial – yang “percaya” bahwa
suara media massa adalah suara yang “bebas nilai – harus diekspos”.
Marxisme, dalam perspektifnya mengenai media massa, jelas akan terus
mendekonstruksi mitos ini. Marxisme menyuguhkan sebuah perspektif yang
faktual, bahwa ada kepentingan ekonomi dan politik dalam lembaga media.
Hal yang menyolok ini telah terjadi di Metro TV akhir-akhir ini,
yakni sorot kesenjangan sosial dalam representasinya, diarahkan untuk
mengekspos “kearifan” Surya Paloh untuk menjadi sebuah diskursus baru
dalam politik. Tidak hanya itu, di berbagai momentum politik, Metro TV juga dibeli untuk kepentingan para petarung pada pemilihan kepala daerah.
Sehubungan dengan keberhasilan Metro TV dalam membangun
diskursus baru yang ilusif, yakni sosok Surya Paloh dan Nasdem – yang
juga telah dilakukan oleh para politisi lain di banyak momentum
politik, politik media terbukti bisa menjadi jalan instan menuju
kekuasaan, atau setidaknya, untuk membangun posisi tawar politik dalam
rangka membangun kekuasaan modal. Langkah-langkah dari kelas sosial
tertentu untuk menguasai media dan menguasai interpretasi penonton
terhadap teks-teks media terbukti telah menjadi manuver politik yang trendy. Politik
media juga telah berhasil mengilusi publik, mengganjal kesadaran kritis
publik mengenai ada tidaknya kesatuan antara frase dan realitas.
Sampai kapan politik media menjadi menuver yang trendy? Di
sinilah, secara bersamaan, bisa dimunculkan juga pertanyaan yang
serupa: sampai di mana kekuatan-kekuatan politik revolusioner mampu dan
mau membongkar kebobrokan cara-cara ini?
Sebenarnya untuk memahami langkah-langkah politik dari para politisi
borjuis yang menipu dan membodohi publik bukanlah pekerjaan yang perlu
ketrampilan atau analisa tinggi. Ketidaksesuaian antara frase dan
realitas dari para politisi borjuis mulai pasca “reformasi” adalah bukti
nyata, sesuatu yang, seharusnya, mampu meningkatkan kesadaran kritis
publik. Kita semua tahu, proses “reformasi” tidak pernah bergerak ke
mana-mana kecuali menuju ke proses “demokratisasi” yang sangat becek.
Pasca hancurnya Orde Baru dan Golkar, tidak ada satupun partai politik
dan sosok yang mampu menjadi tumpuan bagi rakyat, atau, paling tidak,
berbuat jujur terhadap rakyat. Pasca runtuhnya dua ornament ini pula,
sampai sekarang, belum ada ledakan massa yang, secara politis, melawan
keberadaan partai-partai baru borjuis komprador. Artinya, kita sedang
mengalami krisis kepemimpinan, dan kita membutuhkan kepemimpinan yang
revolusioner.
Suguhan terbaru dari analisis mengenai siapa-siapa yang akan maju di
pemilu 2014 masihlah sama, yakni orang-orang dari elemen-elemen lama
yang sudah remuk kualitas politiknya: dari Nasdem, Surya Paloh; PDIP,
Megawati; Partai Demokrat – mungkin – Yani Yudhoyono; Gerindra, Prabowo;
Golkar, Aburizal Bakri – pemilik TV One; dll.
Jika Surya Paloh dan Nasdem, dengan politik medianya, berhasil
memenangkan pemilu 2014, sudah bisa dipastikan, agenda politiknya tidak
akan pernah bergerak se”progresif” propagandanya , apalagi membebaskan
rakyat dari struktur penindasan; bisa saja ia akan menghalangi setiap
upaya gerakan massa yang menginginkan perubahan sistem secara mendasar.
Bahkan akan menuduh kelompok massa tersebut sebagai “kaum radikal”,
kaum komunis, terutama terhadap gerakan buruh.
Partai apa dan siapa sosok yang bisa diharapkan sebagai pembela
rakyat? Secara tegas saya katakan, hari ini tidak ada! Inilah tugas
utama dari elemen-elemen revolusioner hari ini, yakni, pada tahap awal,
adalah membangun dan menyatukan gerakan-gerakan revolusioner untuk
terus mengekspos kebobrokan partai-partai dan para politisi borjuis;
membangun partai yang berbasis rakyat grassroot (buruh, petani, kaum
miskin kota) dengan gagasan, metode, program, dan tradisi, Kaum
revolusioner tidak boleh meniru metode borjuis dalam berpolitik dan
berpartai, karena partai yang ingin dibangun bukanlah partai untuk
melanggengkan kekuasaan tetapi justru merubuhkan kappitalisme dan
membangun kekuasaan yang baru: kekuasaan buruh dan tani. Untuk ini,
segala jalan pintas dan metode instan tidak boleh menjadi bagian dari
pembangunan partai massa buruh dan tani.
Untuk membangun partai seperti ini memang perlu tahapan yang cukup
panjang. Tetapi hal ini harus segera dimulai. Perjuangan menuju
perubahan besar fundamental tidak bisa dikerjakan dengan serampangan dan
instan. Partai revolusioner harus dibangun di atas batu pondasi yang
kuat dan bertahap. Tanpa metode seperti ini, semassif apapun perjuangan
rakyat, tetap akan berakhir dengan kekalahan. Trotsky, dalam rangka
mengomentari sebuah revolusi yang pernah terjadi di Spanyol, menulis:
“We have few forces. But the advantage of a revolutionary situation
consists precisely in the fact that even a small group can become a
great force in a brief space of time, providing that it gives a correct
prognosis and that it issues correct slogan in time.” (The Character of the revolution, 1931)
“Kita hanya punya sejumlah kecil kekuatan. Tetapi situasi revolusioner
memiliki keuntungan di mana bahkan sebuah kelompok yang kecil dapat
menjadi sebuah kekuatan yang besar dalam waktu yang pendek, bila ia
dapat memberikan prognosis yang tepat dan menyerukan slogan yang tepat
pada waktunya.” (Karakter Revolusi, 1931)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar