Powered By Blogger

Rabu, 04 April 2012

Agama yang (di)Budaya(kan)

Sampai tiga tahun lalu, jika Anda meneliti satu per satu Kartu Tanda Penduduk (KTP) warga Indonesia yang mengaku sebagai penganut kepercayaan atau kebatinan, maka Anda akan temukan kolom agama mereka terisi dengan salah satu dari lima agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha). Sampai kemudian disahkanlah Undang-undang No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi dan Kependudukan.
Undang-undang ini menjadi penanda perubahan penting di kalangan penghayat kepercayaan. Mereka diberi ruang pilihan lain selain pada kolom agama selain lima agama yang disebut di atas (plus Konghucu). Ini adalah kompromi akhir dari perdebatan panjang dan tuntutan untuk menghapus kolom agama dalam KTP. Setidaknya ini mengurangi hipokrisi sistemik yang terpaksa harus dilakukan oleh penghayat kepercayaan selama ini.
Selesaikah masalahnya? Tentu saja tidak. Pada tingkat implementasinya; muncul beberapa variasi masalah serius menyangkut hal ini: ada beberapa kasus penghayat yang berhasil mengosongkan kolom agama, atau mengisinya dengan agama “lainnya”, atau mengisinya dengan “kepercayaan”. Namun banyak lagi daerah-daerah tidak bisa melayaninya; entah karena aparat di daerah justru tidak tahu menahu soal perubahan kebijakan itu, atau banyak juga yang beralasan bahwa sistem pengkoloman pada teknologi komputer tidak memungkinkan mengosongkan kolom agama atau mengisinya dengan kata lain selain enam kategori agama “yang diakui”. Namun setidaknya dalam konteks ini telah terjadi pergeseran “rasa nyaman” di kalangan banyak penghayat bahwa identitas mereka tidak lagi menjadi hambatan menjadi seorang warga negara.
Selesaikah masalahnya? Tentu saja tidak. Di luar masalah KTP tersebut, masalah hak administrasi sipil ikutan lainnya adalah pencatatan perkawinan, dan status anak penghayat pada akta kelahiran.
Namun di luar itu ada masalah yang jauh lebih serius, yaitu masalah status “agama” penghayat yang di-budaya-kan. Meski sebagian mereka tak hendak menyebut sistem keyakinan mereka dengan agama, namun dalam konteks identitas ideologis dalam politik kenegaraan, kepercayaan atau kebatinan—di mana nilai-nilai spiritual adalah bagian integral darinya—harus dianggap sejajar dengan agama. Artinya, negara harus memosisikan seseorang yang berkepercayaan sebagai orang yang telah berstatus beragama, sehingga mereka tidak dipaksa lagi untuk menyebut satu dari enam agama ketika menjawab pertanyaan: “Apa agamamu?”
Konsekuensi politisnya: tidak mungkin lagi negara meletakkan Dirjen Penghayat Kepercayaan di bawah Departemen Budaya dan Pariwisata; harus ada perubahan ekstrem tentang pemaknaan agama dalam sudut pandang negara. Dengan demikian, Dirjen Penghayat Kepercayaan harus berada di bawah Departemen Agama, sejajar dengan Dirjen Bimas Islam, Dirjen Bimas Kristen, dan sebagainya. Itupun jika kita masih percaya bahwa Departemen Agama masih diperlukan dalam kehidupan bernegara kita.
Meski ada beberapa kasus di mana penganut penghayat kepercayaan meletakkan kepenghayatannya dalam logika budaya (artinya: mereka tetap beragama [Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha] dan menganggap kepenghayatan mereka sebagai laku hidup saja), namun harus diakui bahwa secara umum sistem keyakinan dan kepercayaan mereka adalah “agama” mereka. Relasi mereka dengan Tuhan mereka adalah relasi kepenghayatan, bukan relasi keagamaan.
Ketika saya bertanya kepada salah satu pejabat teras Badan Litbang Agama Departemen Agama Republik Indonesia; mengapa Dirjen Penghayat Kepercayaan tidak di bawah Depag, ia menjawab tegas: kepercayaan bukan agama!
Ketika saya bertanya kepada salah satu penganut penghayat kepercayaan; mengapa mereka terkesan menikmati status mereka menjadi “agama yang dibudayakan”, ia menjawab: ini bagian dari laku kami. Kondisi ini sudah jauh lebih baik dan menguntungkan kami daripada sebelumnya; di mana kami diberangus, di-atheis-kan, dianggap tak beradab, dan semacamnya.
Jadi, selesaikah masalahnya? Tentu saja tidak. Karena sepanjang kampanye pemilu legislatif maupun pemilu presiden 2009, tidak ada satu kandidat pun yang mengangkat masalah ini. Jikapun ada, itupun hanya singgungan normatif dan jargonis tentang kebhinnekaan, keragaman, keberagaman. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar