Sampai tiga tahun lalu, jika Anda meneliti satu per satu Kartu Tanda
Penduduk (KTP) warga Indonesia yang mengaku sebagai penganut
kepercayaan atau kebatinan, maka Anda akan temukan kolom agama mereka
terisi dengan salah satu dari lima agama (Islam, Kristen, Katolik,
Hindu, Buddha). Sampai kemudian disahkanlah Undang-undang No. 23 tahun
2006 tentang Administrasi dan Kependudukan.
Undang-undang ini menjadi penanda perubahan penting di kalangan
penghayat kepercayaan. Mereka diberi ruang pilihan lain selain pada
kolom agama selain lima agama yang disebut di atas (plus Konghucu). Ini
adalah kompromi akhir dari perdebatan panjang dan tuntutan untuk
menghapus kolom agama dalam KTP. Setidaknya ini mengurangi hipokrisi
sistemik yang terpaksa harus dilakukan oleh penghayat kepercayaan selama
ini.
Selesaikah masalahnya? Tentu saja tidak. Pada tingkat
implementasinya; muncul beberapa variasi masalah serius menyangkut hal
ini: ada beberapa kasus penghayat yang berhasil mengosongkan kolom
agama, atau mengisinya dengan agama “lainnya”, atau mengisinya dengan
“kepercayaan”. Namun banyak lagi daerah-daerah tidak bisa melayaninya;
entah karena aparat di daerah justru tidak tahu menahu soal perubahan
kebijakan itu, atau banyak juga yang beralasan bahwa sistem pengkoloman
pada teknologi komputer tidak memungkinkan mengosongkan kolom agama atau
mengisinya dengan kata lain selain enam kategori agama “yang diakui”.
Namun setidaknya dalam konteks ini telah terjadi pergeseran “rasa
nyaman” di kalangan banyak penghayat bahwa identitas mereka tidak lagi
menjadi hambatan menjadi seorang warga negara.
Selesaikah masalahnya? Tentu saja tidak. Di luar masalah KTP
tersebut, masalah hak administrasi sipil ikutan lainnya adalah
pencatatan perkawinan, dan status anak penghayat pada akta kelahiran.
Namun di luar itu ada masalah yang jauh lebih serius, yaitu masalah
status “agama” penghayat yang di-budaya-kan. Meski sebagian mereka tak
hendak menyebut sistem keyakinan mereka dengan agama, namun dalam
konteks identitas ideologis dalam politik kenegaraan, kepercayaan atau
kebatinan—di mana nilai-nilai spiritual adalah bagian integral
darinya—harus dianggap sejajar dengan agama. Artinya, negara harus
memosisikan seseorang yang berkepercayaan sebagai orang yang telah
berstatus beragama, sehingga mereka tidak dipaksa lagi untuk menyebut
satu dari enam agama ketika menjawab pertanyaan: “Apa agamamu?”
Konsekuensi politisnya: tidak mungkin lagi negara meletakkan Dirjen
Penghayat Kepercayaan di bawah Departemen Budaya dan Pariwisata; harus
ada perubahan ekstrem tentang pemaknaan agama dalam sudut pandang
negara. Dengan demikian, Dirjen Penghayat Kepercayaan harus berada di
bawah Departemen Agama, sejajar dengan Dirjen Bimas Islam, Dirjen Bimas
Kristen, dan sebagainya. Itupun jika kita masih percaya bahwa Departemen
Agama masih diperlukan dalam kehidupan bernegara kita.
Meski ada beberapa kasus di mana penganut penghayat kepercayaan
meletakkan kepenghayatannya dalam logika budaya (artinya: mereka tetap
beragama [Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha] dan menganggap
kepenghayatan mereka sebagai laku hidup saja), namun harus diakui bahwa
secara umum sistem keyakinan dan kepercayaan mereka adalah “agama”
mereka. Relasi mereka dengan Tuhan mereka adalah relasi kepenghayatan,
bukan relasi keagamaan.
Ketika saya bertanya kepada salah satu pejabat teras Badan Litbang
Agama Departemen Agama Republik Indonesia; mengapa Dirjen Penghayat
Kepercayaan tidak di bawah Depag, ia menjawab tegas: kepercayaan bukan
agama!
Ketika saya bertanya kepada salah satu penganut penghayat
kepercayaan; mengapa mereka terkesan menikmati status mereka menjadi
“agama yang dibudayakan”, ia menjawab: ini bagian dari laku kami.
Kondisi ini sudah jauh lebih baik dan menguntungkan kami daripada
sebelumnya; di mana kami diberangus, di-atheis-kan, dianggap tak
beradab, dan semacamnya.
Jadi, selesaikah masalahnya? Tentu saja tidak. Karena sepanjang
kampanye pemilu legislatif maupun pemilu presiden 2009, tidak ada satu
kandidat pun yang mengangkat masalah ini. Jikapun ada, itupun hanya
singgungan normatif dan jargonis tentang kebhinnekaan, keragaman,
keberagaman. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar