Powered By Blogger

Selasa, 03 April 2012

Laylat Al-Qadr

Laylat Al-Qadr
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
 

Surah Al-Qadr adalah surah ke-97 menurut urutannya di dalam Mushaf. Ia ditempatkan sesudah surah Iqra'. Para ulama Al-Quran menyatakan bahwa ia turun jauh sesudah turunnya surah Iqra'. Bahkan, sebagian diantara mereka, menyatakan bahwa surah Al-Qadr turun setelah Nabi Muhammad saw. berhijrah ke Madinah.
Penempatan dan perurutan surah dalam Al-Quran dilakukan langsung atas perintah Allah SWT, dan dari perurutannya ditemukan keserasian-keserasian yang mengagumkan.
Kalau dalam surah Iqra', Nabi saw. diperintahkan (demikian pula kaum Muslim) untuk membaca dan yang dibaca itu antara lain adalah Al-Quran, maka wajarlah jika surah sesudahnya --yakni surah Al-Qadr ini-- berbicara tentang turunnya Al-Quran dan kemuliaan malam yang terpilih sebagai malam Nuzul Al-Qur'an (turunnya Al-Quran).
Bulan Ramadhan memiliki sekian banyak keistimewaan. Salah satu di antaranya adalah Laylat Al-Qadr -- satu malam yang oleh Al-Quran dinamai "lebih baik daripada seribu bulan".
Tetapi, apa dan bagaimana malam itu? Apakah ia terjadi sekali saja yakni pada malam ketika turunnya Al-Quran lima belas abad yang lalu atau terjadi setiap bulan Ramadhan sepanjang sejarah? Bagaimana kedatangannya, apakah setiap orang yang menantinya pasti akan mendapatkannya? Benarkah ada tanda-tanda fisik material yang menyertai kehadirannya (seperti membekunya air, heningnya malam dan menunduknya pepohonan, dan sebagainya)? Masih banyak lagi pertanyaan yang dapat dan sering muncul berkaitan dengan malam Al-Qadr itu.
Yang pasti, dan ini harus diimani oleh setiap Muslim berdasarkan pernyataan Al-Quran, bahwa "Ada suatu malam yang bernama Laylat Al-Qadr" (QS 97:1) dan bahwa malam itu adalah "malam yang penuh berkah di mana dijelaskan atau ditetapkan segala urusan besar dengan penuh kebijaksanaan" (QS 44:3).
Malam tersebut terjadi pada bulan Ramadhan, karena Kitab Suci menginformasikan bahwa ia diturunkan oleh Allah pada bulan Ramadhan (QS 2:185) serta pada malam Al-Qadr (QS 97:1). Malam tersebut adalah malam mulia, tidak mudah diketahui betapa besar kemuliaannya. Ini diisyaratkan oleh adanya "pertanyaan" dalam bentuk pengagungan, yaitu Wa ma adraka ma laylat Al-Qadr.
Tiga belas kali kalimat ma adraka terulang dalam Al-Quran. Sepuluh di antaranya mempertanyakan tentang kehebatan yang terkait dengan hari kemudian, seperti Ma adraka ma Yawm Al-Fashl, ... Al-Haqqah .. 'illiyyun, dan sebagainya. Kesemuanya itu merupakan hal yang tidak mudah dijangkau oleh akal pikiran manusia, kalau enggan berkata mustahil dijangkaunya. Dari ketiga belas kali ma adraka itu terdapat tiga kali yang mengatakan: Ma adraka ma al-thariq, Ma adraka ma al-aqabah, dan Ma adraka ma laylat al-qadr.
Kalau dilihat pemakaian Al-Quran tentang hal-hal yang menjadi objek pertanyaan, maka kesemuanya adalah hal-hal yang sangat hebat dan sulit dijangkau hakikatnya secara sempurna oleh akal pikiran manusia. Hal ini tentunya termasuk Laylat Al-Qadr yang menjadi pokok bahasan kita, kali ini.
Walaupun demikian, sementara ulama membedakan antara pertanyaan ma adraka dan ma yudrika yang juga digunakan oleh Al-Quran dalam tiga ayat.
Wa ma yudrika la 'alla al-sa'ata takunu qariba (Al-Ahzab: 63) Wa ma yudrika la'alla al-sa'ata qarib ... (Al-Syura:17)
Wa ma yudrika la allahu yazzakka (Abasa: 3).
Dua hal yang dipertanyakan dengan wa ma yudrika adalah pertama menyangkut waktu kedatangan hari kiamat dan kedua apa yang berkaitan dengan kesucian jiwa manusia.
Secara gamblang, Al-Quran --demikian pula Al-Sunnah-- menyatakan bahwa Nabi saw. tidak mengetahui kapan datangnya hari kiamat, dan tidak pula mengetahui tentang yang gaib. Ini berarti bahwa ma yudrika digunakan oleh Al-Quran untuk hal-hal yang tidak mungkin diketahui walaupun oleh Nabi saw. sendiri. Sedangkan wa ma adraka, walaupun berupa pertanyaan, namun pada akhirnya Allah SWT menyampaikannya kepada Nabi saw., sehingga informasi lanjutan dapat diperoleh dari beliau.
Itu semua berarti bahwa persoalan Laylat Al-Qadr harus dirujuk kepada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw., karena di sanalah dapat diperoleh informasinya.
Kembali kepada pertanyaan semula, bagaimana tentang malam itu? Apa arti malam Al-Qadr dan mengapa malam itu dinamai demikian? Di sini ditemukan berbagai jawaban.
Kata qadr sendiri paling tidak digunakan untuk tiga arti:
  1. Penetapan dan pengaturan sehingga Laylat Al-Qadr dipahami sebagai malam penetapan Allah bagi perjalanan hidup manusia. Pendapat ini dikuatkan oleh penganutnya dengan firman Allah pada surah 44:3 yang disebut di atas. Ada ulama yang memahami penetapan itu dalam batas setahun. Al-Quran yang turun pada malam Laylat Al-Qadr diartikan bahwa pada malam itu Allah SWT mengatur dan menetapkan khiththah dan strategi bagi Nabi-Nya, Muhammad saw., guna mengajak manusia kepada agama yang benar yang pada akhirnya akan menetapkan perjalanan sejarah umat manusia, baik sebagai individu maupun kelompok.
  2. Kemuliaan. Malam tersebut adalah malam mulia yang tiada bandingnya. Ia mulia karena terpilih sebagai malam turunnya Al-Quran serta karena ia menjadi titik tolak dari segala kemuliaan yang dapat diraih. Kata qadr yang berarti mulia ditemukan dalam ayat ke-91 surah Al-An'am yang berbicara tentang kaum musyrik: Ma qadaru Allaha haqqa qadrihi idz qalu ma anzala Allahu 'ala basyarin min syay'i (Mereka itu tidak memuliakan Allah sebagaimana kemuliaan yang semestinya, tatkala mereka berkata bahwa Allah tidak menurunkan sesuatu pun kepada manusia).
  3. Sempit. Malam tersebut adalah malam yang sempit, karena banyaknya malaikat yang turun ke bumi, seperti yang ditegaskan dalam surah Al-Qadr: Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Ruh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Kata qadr yang berarti sempit digunakan oleh Al-Quran antara lain dalam ayat ke-26 surah Al-Ra'd: Allah yabsuthu al-rizqa liman yasya' wa yaqdiru (Allah melapangkan rezeki bagi yang dikehendaki dan mempersempitnya [bagi yang dikehendaki-Nya]).
Ketiga arti tersebut, pada hakikatnya, dapat menjadi benar, karena bukankah malam tersebut adalah malam mulia, yang bila dapat diraih maka ia menetapkan masa depan manusia, dan bahwa pada malam itu malaikat-malaikat turun ke bumi membawa kedamaian dan ketenangan? Namun demikian, sebelum melanjutkan pembahasan tentang hakikat dan hikmah Laylat Al-Qadr, terlebih dahulu akan dijawab pertanyaan tentang kehadirannya, apakah setiap tahun atau hanya sekali, yakni ketika turunnya Al-Quran lima belas abad yang lalu.
Dari Al-Quran kita menemukan penjelasan bahwa wahyu-wahyu Allah itu diturunkan pada Laylat Al-Qadr, tetapi karena umat sepakat mempercayai bahwa Al-Quran telah sempurna dan tidak ada lagi wahyu setelah wafatnya Nabi Muhammad saw., maka atas dasar logika itu, ada yang berpendapat bahwa malam mulia itu sudah tidak akan hadir lagi. Kemuliaan yang diperoleh oleh malam tersebut adalah karena ia terpilih menjadi waktu turunnya Al-Quran. Pakar hadis, Ibnu Hajar, menyebutkan satu riwayat dari penganut paham di atas yang menyatakan bahwa Nabi saw. pernah bersabda bahwa malam qadr sudah tidak akan datang lagi.
Pendapat tersebut ditolak oleh mayoritas ulama dengan berpegang pada teks ayat Al-Quran serta sekian banyak teks hadis yang menunjukkan bahwa Laylat Al-Qadr terjadi pada setiap bulan Ramadha.n. Bahkan, Rasul saw. menganjurkan umatnya untuk mempersiapkan jiwa menyambut malam mulia itu secara khusus pada malam-malam gazal setelah berlalu dua puluh hari Ramadhan.
Memang, turunnya Al-Quran lima belas abad yang lalu terjadi pada malam Laylat Al-Qadr, tetapi itu bukan berarti bahwa malam mulia itu hadir pada saat itu saja. Ini juga berarti bahwa kemuliaannya bukan hanya disebabkan karena Al-Quran ketika itu turun, tetapi karena adanya faktor intern pada malam itu sendiri. Pendapat tersebut dikuatkan juga dengan penggunaan bentuk kata kerja mudhari' (present tense) pada ayat, Tanazzal al-mala'ikat wa al-ruh, kata Tanazzal adalah bentuk yang mengandung arti kesinambungan, atau terjadinya sesuatu pada masa kini dan masa datang.
Nah, apakah bila ia hadir, ia akan menemui setiap orang yang terjaga (tidak tidur) pada malam kehadirannya itu? Tidak sedikit umat Islam yang menduganya demikian. Namun, dugaan itu --hemat penulis-- keliru, karena itu dapat berarti bahwa yang memperoleh keistimewaan adalah yang terjaga baik untuk menyambutnya maupun tidak. Di sisi lain, ini berarti bahwa kehadirannya ditandai oleh hal-hal yang bersifat fisik material, sedangkan riwayat-riwayat demikian tidak dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya. Dan seandainya, sekali lagi seandainya, ada tanda-tanda fisik material, maka itu pun tidak akan ditemui oleh orang-orang yang tidak mempersiapkan diri dan menyucikan jiwa guna menyambutnya. Air dan minyak tidak mungkin akan menyatu dan bertemu. Kebaikan dan kemuliaan yang dihadirkan oleh Laylat Al-Qadr tidak mungkin akan diraih kecuali oleh orang-orang tertentu saja. Tamu agung yang berkunjung ke satu tempat, tidak akan datang menemui setiap orang di lokasi itu, walaupun setiap orang di tempat itu mendambakannya. Bukankah ada orang yang sangat rindu atas kedatangan kekasih, namun ternyata sang kekasih tidak sudi mampir menemuinya? Demikian juga dengan Laylat Al-Qadr. Itu sebabnya bulan Ramadhan menjadi bulan kehadirannya, karena bulan ini adalah bulan penyucian jiwa, dan itu pula sebabnya sehingga ia diduga oleh Rasul datang pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan. Karena, ketika itu, diharapkan jiwa manusia yang berpuasa selama dua puluh hari sebelumnya telah mencapai satu tingkat kesadaran dan kesucian yang memungkinkan malam mulia itu berkenan mampir menemuinya. Dan itu pula sebabnya Rasul saw. menganjurkan sekaligus mempraktekkan i'tikaf (berdiam diri dan merenung di masjid) pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan.
Apabila jiwa telah siap, kesadaran telah mulai bersemi, dan Laylat Al-Qadr datang menemui seseorang, ketika itu malam kehadirannya menjadi saat qadr --dalam arti, saat menentukan bagi perjalanan sejarah hidupnya pada masa-masa mendatang. Saat itu, bagi yang bersangkutan adalah saat titik tolak guna meraih kemuliaan dan kejayaan hidup di dunia dan di akhirat kelak, dan sejak saat itu, malaikat akan turun guna menyertai dan membimbingnya menuju kebaikan sampai terbit fajar kehidupannya yang baru kelak di hari kemudian. (Perhatikan kembali makna-makna Al-Qadr yang dikemukakan di atas!).
Syaikh Muhammad 'Abduh pernah menjelaskan pandangan Imam Al-Ghazali tentang kehadiran malaikat dalam diri manusia. Abduh memberikan ilustrasi berikut:
"Setiap orang dapat merasakan bahwa dalam jiwanya ada dua macam bisikan, yaitu bisikan baik dan buruk. Manusia seringkali merasakan pertarungan antara keduanya, seakan apa yang terlintas dalam pikirannya ketika itu sedang diajukan ke satu sidang pengadilan. Yang ini menerima dan yang itu menolak, atau yang ini berkata lakukan dan yang itu mencegah, demikian halnya sampai pada akhirnya sidang memutuskan sesuatu.
Yang membisikkan kebaikan adalah malaikat, sedangkan yang membisikkan keburukan adalah setan atau paling tidak penyebab adanya bisikan tersebut adalah malaikat atau setan. Nah, turunnya malaikat, pada malam Laylat Al-Qadr, menemui orang yang mempersiapkan diri menyambutnya berarti bahwa ia akan selalu disertai oleh malaikat sehingga jiwanya selalu terdorong untuk melakukan kebaikan-kebaikan. Jiwanya akan selalu merasakan salam (rasa aman dan damai) yang tidak terbatas sampai fajar malam Laylat Al-Qadr, tetapi sampai akhir hayat menuju fajar kehidupan baru di hari kemudian kelak."
Di atas telah dikemukakan bahwa Nabi saw., menganjurkan sambil mengamalkan i 'tikaf di masjid dalam rangka perenungan dan penyucian jiwa. Masjid adalah tempat suci, tempat segala aktivitas kebajikan bermula. Di masjid, seseorang diharapkan merenung tentang diri dan masyarakatnya. Juga, di masjid, seseorang dapat menghindar dari hiruk-pikuk yang menyesakkan jiwa dan pikiran guna memperoleh tambahan pengetahuan dan pengayaan iman. Itulah sebabnya ketika melakukan i'tikaf, seseorang dianjurkan untuk memperbanyak doa dan bacaan Al-Quran, atau bahkan bacaan-bacaan lain yang dapat memperkaya iman dan ketakwaan.
Malam Al-Qadr, yang ditemui atau yang menemui Nabi pertama kali adalah ketika beliau menyendiri di Gua Hira, merenung tentang diri beliau dan masyarakat. Ketika jiwa beliau telah mencapai kesuciannya, turunlah Al-Ruh (Jibril) membawa ajaran dan membimbing beliau sehingga terjadilah perubahan total dalam perjalanan hidup beliau bahkan perjalanan hidup umat manusia.
Dalam rangka menyambut kehadiran Laylat Al-Qadr itu yang beliau ajarkan kepada umatnya, antara lain, adalah melakukan i'tikaf. Walaupun i'tikaf dapat dilakukan kapan saja dan dalam waktu berapa lama saja --bahkan dalam pandangan Imam Syafi'i, walaupun hanya sesaat selama dibarengi oleh niat yang suci-- namun, Nabi saw. selalu melakukannya pada sepuluh hari dan malam terakhir bulan puasa. Di sanalah beliau bertadarus dan merenung sambil berdoa.
Salah satu doa yang paling sering beliau baca dan hayati maknanya adalah: Rabbana atina fi al-dunya hasanah, wa fi al-akhirah hasanah wa qina 'adzab al-nar (Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami kebajikan di dunia dan kebajikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka). Doa ini bukan sekadar berarti permohonan untuk memperoleh kebajikan dunia dan kebajikan akhirat, tetapi lebih-lebih lagi bertujuan untuk memantapkan langkah dalam berupaya meraih kebajikan yang dimaksud, karena doa mengandung arti permohonan yang disertai usaha. Permohonan itu juga berarti upaya untuk menjadikan kebajikan dan kebahagiaan yang diperoleh dalam kehidupan dunia ini, tidak hanya terbatas dampaknya di dunia, tetapi berlanjut hingga hari kemudian kelak.
Kalau yang demikian itu diraih oleh manusia, maka jelaslah ia telah memperoleh kemuliaan dunia dan akhirat. Karena itu, tidak heran jika kita mendengar jawaban Rasul saw. yang menunjuk kepada doa tersebut, ketika istri beliau 'A'isyah menanyakan doa apa yang harus dibaca jika ia merasakan kehadiran Laylat-Al-Qadr?

LAILAT AL-QADAR
 
Berbicara tentang Lailat Al-Qadar mengharuskan kita  berbicara
tentang surat Al-Qadar.
 
Surat  Al-Qadar  adalah  surat  ke-97  menurut urutannya dalam
Mushaf.  Ia  ditempatkan  sesudah  surat  Iqra'.  Para   ulama
Al-Quran menyatakan bahwa ia turun jauh sesudah turunnya surat
Iqra'. Bahkan sebagian di antara mereka menyatakan bahwa surat
Al-Qadar turun setelah Nabi Saw. berhijrah ke Madinah.
 
Penempatan urutan surat dalam Al-Quran dilakukan langsung atas
perintah  Allah  Swt.,   dan   dari   perurutannya   ditemukan
keserasian-keserasian yang mengagumkan.
 
Kalau  dalam surat Iqra' Nabi Saw. (demikian pula kaum Muslim)
diperintahkan untuk membaca, dan yang dibaca itu  antara  lain
adalah  Al-Quran, maka wajar jika surat sesudahnya yakni surat
Al-Qadar  ini  berbicara  tentang   turunnya   Al-Quran,   dan
kemuliaan malam yang terpilih sebagai malam Nuzul Al-Quran.
 
Bulan  Ramadhan  memiliki  sekian  banyak  keistimewaan, salah
satunya adalah Lailat Al-Qadar, suatu malam yang oleh Al-Quran
"lebih baik dari seribu bulan."
 
Tetapi  apa  dan bagaimana malam itu? Apakah ia terjadi sekali
saja yakni malam ketika turunnya Al-Quran lima belas abad yang
lalu,  atau  terjadi  setiap  bulan  Ramadhan  sepanjang masa?
Bagaimana kedatangannya, apakah setiap orang  yang  menantinya
pasti  akan mendapatkannya, dan benarkah ada tanda-tanda fisik
material yang menyertai kehadirannya (seperti membekunya  air,
heningnya  malam,  dan  menunduknya pepohonan dan sebagainya)?
Bahkan masih banyak lagi  pertanyaan  yang  dapat  dan  sering
muncul berkaitan dengan malam Al-Qadar itu.
 
Yang  pasti  dan  harus diimani oleh setiap Muslim berdasarkan
pernyataan Al-Quran  bahwa,  "Ada  suatu  malam  yang  bernama
Lailat  Al-Qadar,  dan bahwa malam itu adalah malam yang penuh
berkah, di mana dijelaskan atau ditetapkan segala urusan besar
dengan penuh kebijaksanaan."
 
     Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Quran) pada suatu
     malam, dan sesungguhnya Kamilah yang memberi
     peringatan. Pada malam itu dijelaskan semua urusan yang
     penah hikmah, yaitu urusan yang besar di sisi Kami (QS
     Al-Dukhan [44]: 3-5).
 
Malam tersebut terjadi pada bulan Ramadhan, karena kitab  suci
menginformasikan bahwa ia diturunkan Allah pada bulan Ramadhan
(QS Al-Baqarah [2]: 185) serta pada malam Al-Qadar (QS Al-Qadr
[97]: l).
 
Malam  tersebut  adalah  malam  mulia.  Tidak  mudah diketahui
betapa besar kemuliannnya. Hal  ini  disyaratkan  oleh  adanya
"pertanyaan" dalam bentuk pengagungan, yaitu:
 
     Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? (QS
     Al-Qadr [97]: 2)
 
Tiga belas kali kalimat ma  adraka  terulang  dalam  Al-Quran,
sepuluh  di  antaranya  mempertanyakan  tentang kehebatan yang
berkait dengan hari  kemudian,  seperti:  Ma  adraka  ma  yaum
al-fashl,  dan sebagainya. Kesemuanya merupakan hal yang tidak
mudah  dijangkau  oleh  akal  pikiran  manusia,  kalau  enggan
berkata  mustahil  dijangkaunya. Tiga kali ma adraka sisa dari
angka tiga belas itu adalah:
 
     Tahukah kamu apakah yang datang pada malam hari itu?
     (QS Al-Thariq [86]: 2)
     
     Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu?
     (QS Al-Balad [90]: 12)
     
     Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? (QS
     Al-Qadr [97]: 2)
 
Pemakaian kata-kata ma adraka dalam Al-Quran berkaitan  dengan
objek  pertanyaan  yang menunjukkan hal-hal yang sangat hebat,
dan sulit  dijangkau  hakikatnya  secara  sempurna  oleh  akal
pikiran manusia.
 
Walaupun   demikian,   sementara   ulama   membedakan   antara
pertanyaan ma  adraka  dan  ma  yudrika  yang  juga  digunakan
Al-Quran dalam tiga ayat.
 
     Dan tahukah kamu, boleh jadi hari berbangkit itu adalah
     dekat waktunya? (QS Al-Ahzab [33]: 63)
     
     Dan tahukah kamu, boleh jadi hari kiamat itu (sudah)
     dekat? (QS Al-Syura [42]: 17~.
     
     Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan diri (dan
     dosa)? (QS 'Abasa [80]: 3).
 
Dua ayat pertama di  atas  mempertanyakan  dengan  ma  yudrika
menyangkut   waktu   kedatangan  kiamat,  sedang  ayat  ketiga
berkaitan dengan kesucian jiwa manusia.  Ketiga  hal  tersebut
tidak mungkin diketahui manusia.
 
Secara   gamblang   Al-Quran   --demikian   pula   As-Sunnah--
menyatakan bahwa Nabi Saw. tak mengetahui kapan datangnya hari
kiamat,  tidak  pula mengetahui tentang~perkara yang gaib. Ini
berarti bahwa ma yudrika digunakan oleh Al-Quran untuk hal-hal
yang  tidak  mungkin  diketahui  walau oleh Nabi Saw. sendiri,
sedang wa  ma  adraka,  walau  berupa  pertanyaan  namun  pada
akhirnya  Allah Swt. menyampaikannya kepada Nabi Saw. sehingga
informasi  lanjutan  dapat  diperoleh  dari  beliau.  Demikian
perhedaan kedua kalimat tersebut.
 
Ini  berarti  bahwa  persoalan  Lailat Al-Qadar, harus dirujuk
kepada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Saw., karena di  sanalah
kita dapat memperoleh informasinya.
 
Kembali kepada pertanyaan semula, apa malam kemuliaan itu? Apa
arti malam Qadar, dan mengapa malam itu dinamai  demikian?  Di
sini ditemukan berbagai jawaban.
 
Kata qadar sendiri paling tidak digunakan untuk tiga arti:
 
1.  Penetapan dan pengaturan sehingga Lailat Al-Qadar dipahami
sebagai malam penetapan Allah bagi perjalanan  hidup  manusia.
Pendapat  ini  dikuatkan  oleh penganutnya dengan firman Allah
dalam surat Ad-Dukhan ayat 3 yang disebut di atas. (Ada  ulama
yang  memahami  penetapan  itu  dalam batas setahun). Al-Quran
yang turun pada malam Lailat Al-Qadar,  diartikan  bahwa  pada
malam  itu  Allah  Swt.  mengatur dan menetapkan khiththah dan
strategi bagi Nabi-Nya Muhammad Saw.,  guna  mengajak  manusia
kepada  agama  yang  benar, yang pada akhirnya akan menetapkan
perjalanan sejarah umat manusia baik sebagai  individu  maupun
kelompok.
 
2.   Kemuliaan.   Malam  tersebut  adalah  malam  mulia  tiada
bandingnya. Ia mulia karena terpilih  sebagai  malam  turunnya
Al-Quran,  serta  karena  ia  menjadi  titik tolak dari segala
kemuliaan yang dapat diraih. Kata  qadar  yang  berarti  mulia
ditemukan  dalam surat Al-An'am (6): 91 yang berbicara tentang
kaum musyrik:
 
     Mereka itu tidak memuliakan Allah dengan kemuliaan yang
     semestinya, tatkala mereka berkata bahwa Allah tidak
     menurunkan sesuatu pun kepada masyarakat.
 
3. Sempit. Malam tersebut adalah  malam  yang  sempit,  karena
banyakuya malaikat yang turun ke bumi, seperti yang ditegaskan
dalam surat Al-Qadr:
 
     Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Ruh
     ((Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala
     urusan.
 
Kata qadar yang berarti sempit digunakan Al-Quran antara  1ain
dalam surat A1-Ra'd (13): 26:
 
     Allah melapangkan rezeki yang dikehendaki dan
     mempersempit (bagi yang dikehendaki-Nya).
 
Ketiga arti tersebut  pada  hakikatnya  dapat  menjadi  benar,
karena  bukankah  malam tersebut adalah malam mulia, yang bila
diraih maka ia menetapkan masa depan manusia, dan  bahwa  pada
malam  itu  malaikat-malaikat  turun ke bumi membawa kedamaian
dan  ketenangan.  Namun  demikian,  sebelum  kita  melanjutkan
bahasan  tentang  Laitat  Al-Qadar,  maka terlebih dahulu akan
dijawab pertanyaan tentang kehadirannya  adakah  setiap  tahun
atau  hanya  sekali, yakni ketika turunnya Al-Quran lima belas
abad yang lalu?
 
Dari Al-Quran  kita  menemukan  penjelasan  bahwa  wahyu-wahyu
Allah  itu diturunkan pada Lailat Al-Qadar. Akan tetapi karena
umat sepakat mempercayai bahwa  Al-Quran  telah  sempurna  dan
tidak ada lagi wahyu setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw., maka
atas dasar logika itu, ada yang berpendapat bahwa malam  mulia
itu sudah tidak akan hadir lagi. Kemuliaan yang diperoleh oleh
malam  tersebut  adalah  karena  ia  terpilih  menjadi   waktu
turunnya Al-Quran.
 
Pakar  hadis Ibnu Hajar menyebutkan satu riwayat dari penganut
paham di atas yang menyatakan bahwa Nabi Saw. pernah  bersabda
bahwa malam qadar sudah tidak akan datang lagi.
 
Pendapat  tersebut ditolak oleh mayoritas ulama, karena mereka
berpegang kepada teks ayat Al-Quran, serta sekian banyak  teks
hadis  yang  menunjukkan  bahwa  Lailat  Al-Qadar terjadi pada
setiap bulan Ramadhan. Bahkan  Rasululllah  Saw.  menganjurkan
umatnya  untuk  mempersiapkan  jiwa menyambut malam mulia itu,
secara khusus pada  malam-malam  ganjil  setelah  berlalu  dua
puluh Ramadhan.
 
[tulisan Arab]
 
Demikian sabda Nabi Saw.
 
Memang  turunnya  Al-Quran  lima  belas abad yang lalu terjadi
pada malam Lailat Al-Qadar, tetapi  itu  bukan  berarti  bahwa
ketika  itu saja malam mulia itu hadir. Ini juga berarti bahwa
kemuliaannya bukan hanya disebabkan karena Al-Quran ketika itu
turun,  tetapi  karena  adanya  faktor  intern  pada malam itu
sendiri.
 
Pendapat di atas dikuatkan juga dengan penggunaan bentuk  kata
kerja  mudhari' (present tense) oleh ayat 4 surat Al-Qadr yang
mengandung arti kesinambungan, atau  terjadinya  sesuatu  pada
masa kini dan masa datang.
 
Nah, apakah bila Lailat Al-Qadar hadir, ia akan menemui setiap
orang yang terjaga (tidak tidur) pada malam kehadirannya  itu?
Tidak  sedikit  umat  Islam  yang  menduganya  demikian. Namun
dugaan itu menurut hemat penulis keliru, karena hal itu  dapat
berarti bahwa yang memperoleh keistimewaan adalah yang terjaga
baik untuk menyambutnya maupun tidak.  Di  sisi  1ain  berarti
bahwa   kehadirannya   ditandai  oleh  hal-hal  yang  bersifat
fisik-material,  sedangkan  riwayat-riwayat  demikian,   tidak
dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya.
 
Seandainya,  sekali  lagi  seandainya,  ada  tanda-tanda fisik
material, maka itu pun takkan ditemui  oleh  orang-orang  yang
tidak    mempersiapkan   diri   dan   menyucikan   jiwa   guna
menyambutnya. Air dan minyak tidak mungkin  akan  menyatu  dan
bertemu.  Kebaikan  dan  kemuliaan yang dihadirkan oleh Lailat
Al-Qadar tidak mungkin akan diraih  kecuali  oleh  orang-orang
tertentu  saja.  Tamu  agung  yang  berkunjung ke satu tempat,
tidak akan datang menemui setiap orang di lokasi itu, walaupun
setiap  orang  di sana mendambakannya. Bukankah ada orang yang
sangat rindu atas  kedatangan  kekasih,  namun  ternyata  sang
kekasih tidak sudi mampir menemuinya?
 
Demikian  juga  dengan  Lailat  Al-Qadar.  Itu  sebabnya bulan
Ramadhan menjadi bulan kehadirannya, karena bulan  ini  adalah
bulan penyucian jiwa, dan itu pula sebabnya sehingga ia diduga
oleh Rasul datang pada sepuluh malam terakhir bulan  Ramadhan.
Karena,  ketika  itu,  diharapkan  jiwa  manusia yang berpuasa
selama dua puluh hari sebelumnya telah mencapai  satu  tingkat
kesadaran  dan  kesucian  yang  memungkinkan  malam  mulia itu
berkenan mampir menemuinya, dan itu pula sebabnya  Rasul  Saw.
menganjurkan sekaligus mempraktekkan i'tikaf (berdiam diri dan
merenung di masjid) pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.
 
Apabila jiwa telah siap, kesadaran telah  mulai  bersemi,  dan
Lailat  Al-Qadar  datang  menemui seseorang, ketika itu, malam
kehadirannya menjadi saat qadar dalam  arti,  saat  menentukan
bagi  perjalanan sejarah hidupnya di masa-masa mendatang. Saat
itu, bagi yang  bersangkutan  adalah  saat  titik  tolak  guna
meraih  kemuliaan  dan  kejayaan hidup di dunia dan di akhirat
kelak. Dan sejak saat itu, malaikat akan turun guna  menyertai
dan  membimbingnya  menuju  kebaikan  sampai  terbitnya  fajar
kehidupannya yang baru kelak  di  hari  kemudian.  (Perhatikan
kembali makna-makna Al-Qadar yang dikemukakan di atas!).
 
Syaikh  Muhammad 'Abduh, menjelaskan pandangan Imam Al-Ghazali
tentang kehadiran malaikat dalam diri manusia. 'Abduh  memberi
ilustrasi berikut:
 
     Setiap orang dapat merasakan bahwa dalam jiwanya ada
     dua macam bisikan, baik dan buruk. Manusia sering
     merasakan pertarungan antar keduanya, seakan apa yang
     terlintas dalam pikirannya ketika itu sedang diajukan
     ke satu sidang pengadilan. Yang ini menerima dan yang
     itu menolak, atau yang ini berkata lakukan dan yang itu
     mencegah, sampai akhirnya sidang memutuskan sesuatu.
 
Yang  membisikkan  kebaikan  adalah  malaikat,   sedang   yang
membisikkan  keburukan  adalah  setan  atau paling tidak, kata
'Abduh, penyebab adanya bisikan tersebut adalah malaikat  atau
setan.  Turunnya malaikat pada malam Lailatul Al-Qadar menemui
orang yang mempersiapkan diri  menyambutnya,  menjadikan  yang
bersangkutan  akan  selalu  disertai  oleh  malaikat. Sehingga
jiwanya selalu terdorong  untuk  melakukan  kebaikan-kebaikan,
dan  dia  sendiri  akan  selalu merasakan salam (rasa aman dan
damai) yang tak terbatas sampai fajar malam  Lailat  Al-Qadar,
tapi  sampai  akhir  hayat menuju fajar kehidupan baru di hari
kemudian kelak.
 
Di atas telah di kemukakan bahwa Nabi Saw. menganjurkan sambil
mengamalkan  i'tikaf  di  masjid  dalam  rangka perenungan dan
penyucian jiwa. Masjid adalah tempat  suci.  Segala  aktivitas
kebajikan   bermula   di  masjid.  Di  masjid  pula  seseorang
diharapkan merenung  tentang  diri  dan  masyarakatnya,  serta
dapat  menghindar  dari  hiruk pikuk yang menyesakkan jiwa dan
pikiran guna memperoleh tambahan  pengetahuan  dan  pengkayaan
iman.  Itu  sebabnya  ketika  melaksanakan i'tikaf, dianjurkan
untuk  memperbanyak  doa  dan  bacaan  Al-Quran,  atau  bahkan
bacaan-bacaan lain yang dapat memperkaya iman dan takwa.
 
Malam  Qadar  yang ditemui atau yang menemui Nabi pertama kali
adalah ketika beliau menyendiri di Gua Hira, merenung  tentang
diri  beliau  dan  masyarakat. Saat jiwa beliau telah mencapai
kesuciannya,  turunlah  Ar-Ruh  (Jibril)  membawa  ajaran  dan
membimbing  beliau  sehingga  terjadilah perubahan total dalam
perjalanan hidup beliau bahkan perjalanan hidup umat  manusia.
Karena  itu  pula  beliau  mengajarkan  kepada  umatnya, dalam
rangka menyambut kehadiran Lailat Al-Qadar  itu,  antara  1ain
adalah melakukan i'tikaf.
 
Walaupun  i'tikaf  dapat dilakukan kapan saja, dan dalam waktu
berapa lama saja --bahkan dalam pandangan Imam Syafi'i,  walau
sesaat  selama dibarengi oleh niat yang suci-- namun Nabi Saw.
selalu melakukannya pada sepuluh hari dan malam terakhir bulan
puasa.  Di  sanalah  beliau  bertadarus  dan  merenung  sambil
berdoa.
 
Salah satu doa yang  paling  sering  beliau  baca  dan  hayati
maknanya adalah:
 
     Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami kebajikan
     di dunia dan kebajikan di akhirat, dan peliharalah kami
     dan siksa neraka (QS Al-Baqarah [2]: 201).
 
Doa ini bukan  sekadar  berarti  permohonan  untuk  memperoleh
kebajikan  dunia  dan kebajikan akhirat, tetapi ia lebih-lebih
lagi bertujuan untuk memantapkan langkah dalam berupaya meraih
kebajikan dimaksud, karena doa mengandung arti permohonan yang
disertai  usaha.  Permohonan  itu  juga  berarti  upaya  untuk
menjadikan  kebajikan  dan  kebahagiaan  yang  diperoleh dalam
kehidupan dunia ini, tidak hanya terbatas dampaknya di  dunia,
tetapi berlanjut hingga hari kemudian kelak.
 
Adapun   menyangkut   tanda   alamiah,   maka  Al-Quran  tidak
menyinggungnya. Ada beberapa hadis mengingatkan hal  tersebut,
tetapi  hadis  tersebut tidak diriwayatkan oleh Bukhari, pakar
hadis yang dikenal  melakukan  penyaringan  yang  cukup  ketat
terhadap hadis Nabi Saw.
 
Muslim,  Abu  Daud,  dan  Al-Tirmidzi antara lain meriwayatkan
melalui sahabat Nabi Ubay bin Ka'ab, sebagai berikut,
 
     Tanda kehadiran Lailat Al-Qadr adalah matahari pada
     pagi harinya (terlihat) putih tanpa sinar.
 
Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan,
 
     Tandanya adalah langit bersih, terang bagaikan bulan
     sedang purnama, tenang, tidak dingin dan tidak pula
     panas ...
 
Hadis ini dapat diperselisihkan kesahihannya, dan  karena  itu
kita  dapat  berkata  bahwa  tanda  yang  paling jelas tentang
kehadiran Lailat Al-Qadar bagi seseorang adalah kedamaian  dan
ketenangan.  Semoga  malam  mulia  itu berkenan mampir menemui
kita.[]
 
----------------
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931  Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar