Powered By Blogger

Selasa, 03 April 2012

Ahlussunnah Waljama’ah Bukan Sebuah Nama: Review atas Sejarah Sekte Awal dalam Islam

Ahlussunnah Waljama’ah Bukan Sebuah Nama: Review atas Sejarah Sekte Awal dalam Islam

Oleh Ahmad Shams Madyan
“Mencomot statemen “ahlusunnati wa jama’ati” sebagai sebuah “nama” hanya akan berdampak perebutan yang tidak sehat, saling mengkafirkan, anarki antar kelompok dan rasa superioritas suatu golongan tertentu hingga merasa benar sendiri dan tidak menerima kritikan dari luar. Lebih fatal lagi misalnya, ketika vonis neraka dan sorga tidak lagi dianggap sebagai hak preogatif Tuhan. Masing-masing mengetuk palu, menyatakan bahwa yang tidak sesuai dengan ideologinya adalah golongan-golongan yang pasti masuk neraka. Perasaan benar sendiri seperti inilah nampaknya, yang menghipnotis kalangan Asy’ariah setelah berbaju besi “sunny”. Demikian juga kelompok-kelompok lain yang mencoba “zalim”, memperebutkan kata “ahlussunah waljamaah” sebagai “nama resmi” golongannya, kemudian menuduh sesat kelompok lain. “
Mengangkat kembali tema-tema Aqidiah Sebagai presentasi ideologi, atau mengurai detail altar sejarah aliran tertentu, akan menjadi bahasan ulang yang menjemukan. Namun barangkali cukup penulis singgung secara umum, bahwa sekte Syi’ah yang sekarang misalnya, adalah pengembangan yang sangat jauh dari ide pertamanya yaitu Tasyayyu’. Satu koreksi kesejarahan mungkin, bahwa Syi’ah belum-lah bisa dikatakan lahir pada saat riuh proses arbitrasi (tahkim) antara ‘Amru bin ‘Ash dan Abu Musa al-Asy’ari paska perang Shiffin (657 M). Lebih jeli, pecahnya umat Islam sebagai pendukung Ali, pendukung Mu’awwiyah dan golongan abstainis (khawarij), hanya bisa direfleksikan sebagai fenomena demokratis dalam gebyar pesta politik zaman itu. Background politis ini harus dicermati dan dibedakan, dengan pengembangan Syi’ah selanjutnya, sebagai satu aliran ideologis yang memiliki karakter teologis dengan doktrin-doktrinnya yang mandiri.
Beberapa kalangan intelektual mulai menyejarahkan kembali aliran Syi’ah ini dengan penanggalan yang lebih akurat, bahwa Syi’ah, sebagai sebuah varian ideologi keislaman, baru dilahirkan pada abad ke-III, tepatnya, setelah adanya kabar tentang “Ghaibah kubra”, menghilangnya imam ke dua belas mereka (baca: al-Mahdy 329 H). Munculnya doktrin-doktrin baru sejak peristiwa itu, seperti Wilayat alFaqieh, Khumus, Taqiyyah, Raj’ah, Bada’ dan lain sebagainya, lebih tepat ditengarai sebagai “tangis kelahiran” Syi’ah. Karena sejak saat itulah, Syi’ah -secara deklaratif- mulai mengenalkan diri, sebagai aliran baru yang memiliki nalar interpretasi berbeda dengan muslimin lain , bahkan sangat mendasar, perbedaan itu hingga pada taraf “rukun iman” (?)
Dari sanalah sebenarnya mengapa harus dibedakan antara Syi’ah dan Tasyayyu’. Pemahaman lebih dalam lagi akan mengantarkan pada statement radikal, bahwa antara dua terma ini (Syi’ah dan Tasyayyu’) terdapat satu kesenjangan yang berarti, bahkan sebagian ulama’ menganggapnya sebagai suatu Shira’ (Clash).
Antara Syi’ah dan Tasyayyu’
Suatu kepantasan jika sejarah duka ahl al-Beit sangat mengundang simpati dan luapan emosi. Satu kewajaran juga, jika simpati dan emosi tersebut kemudian tumbuh membentuk fanatisme “berlebih” dari kalangan awam. Rasa salut, simpati dan fanatisme inilah yang diistilahkan kemudian dengan terma Tasyayyu’. Kalangan Syi’ah sendiri berbeda-beda dalam menginterpretasikan mafhumnya secara konkret;
1. ada yang memandang Tasyayyu’ sebagai luapan rasa cinta  
2. ada yang memandang Tasyayyu’ sebagai dukungan politik
3. ada juga yang memandang Tasyayyu’ sebagai sebuah akidah
Rupa-rupanya, interpretasi Tasyayyu’ sebagai akidah-lah yang berandil besar dalam mencipta karakter baru, sekaligus merubah identitas golongan ini sebagai satu aliran resmi bernama SYI’AH hingga sekarang ini .
Pemilahan sikap terhadap tiga pola pemahaman Tasyayyu’ ini memang harus digagas, untuk kemudian segera disosialisasikan sesuai proporsinya, bahwa Tasyayyu’ sebagai dukungan politis, kecintaan “lebih”, atau bahkan fanatisme kalangan awwam terhadap ahl al-Bait, adalah satu kewajaran yang tidak perlu “digugat”. Berbeda dengan Syi’ah sebagai rumusan pemikiran, sekaligus wacana ideologis (konsep akidah), relevansi doktrin-doktrinnya bisa kita perbincangkan, sebagaimana kita pun juga “wajib” menelaah kembali aliran-aliran lain melalui motivasi pembelajaran yang adil, termasuk kita juga harus meelaah aliran mayoritas yang secara “terpeleset” menyebut dirinya “ahlussunnah wal jamaah”.

Review terhadap hadits sekte
Barangkali mengulang kembali penafsiran hadits sekte, akan banyak membantu. karena pembicaraan seputar sekte biasanya selalu dikaitkan dengan teks hadis sekte ini, apalagi jika pembahasan itu melulu menggunakan nalar kritis terhadap kelompok tertentu,  dalam hal ini Syi’ah.  Maka, ingin penulis singgung sebelumnya hadis sekte yang berbunyi;
“Umat ku akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya masuk neraka kecuali satu. Para sahabat pun bertanya, siapakah itu wahai Rasul? Rasulullah menjawab, yaitu orang-orang yang berpegang pada sunnahku “ahlussunnati” dan (sunnah) sahabat-sahabatku “wa jama’ati”. Atau dalam teks lain, “ma kuntu alaihi al yauma wa ashaby” (orang-orang yang I’tikad agamanya sesuai dengan ku dan sahabat-sahabatku, seperti hari ini) .   
Hadis diatas seharusnya dianggap sebagai teks suci yang lebih bercirikan nalar normative. Pemahaman bahwa hadits ini berisi pesan, agar umat Islam selalu berpegang pada al-Quran dan Sunnah, akan lebih mudah diterima akal dan hati, dibanding jika hadits ini dipahami “ceroboh”, bahwa waktu itu, Rasulullah Saw meresmikan sebuah “nama” bagi kelompok tertentu.
Tentunya sebagai teks normative, hadits seperti ini memancing banyak interpretasi dan usaha-usaha pemahaman (ijtihadat). Namun nampaknya, yang sering terjadi adalah pemaksaan penafsiran yang dilandasi subyektifitas sebagai kelompok tertentu. Setiap golongan menganggap bahwa kelompoknya-lah golongan yang dikecualikan “selamat” itu. Nasiruddin al-Thusy misalnya, menunjuk bahwa “al-firqah al-najiyah” (kelompok yang selamat) itu adalah Syi’ah Imamiah. Ibn Taymiah berkata lain, bahwa yang paling berhak menyandang nama “ahlussunnah waljamaah” adalah ahli hadits dan sunnah. Tak ketinggalan, kalangan Asy’ariah dan Maturidiah juga ikut berebut, mengklaim bahwa ahlussunnah waljamaah itu adalah nama resminya.
Pada akhirnya, memang ulama-ulama Asy’ariah inilah (sebagai anutan mayoritas), yang paling berhasil mencipta wacana umum, bahwa ahlussunnah waljamaah itu adalah nama kebesarannya. Ketenaran nama “Asy’ariah” atau “Maturidiah” kemudian larut dan hampir terlupakan, karena telah melebur sebagai kelompok yang menyebut dirinya “sunny”?. Saat itulah, karakter dogmatis dalam statement nabawi tentang “alfirqah annajiah” menjadi sangat dilematis. Semuanya menganggap bahwa kebenaran hanya miliknya, dia sendiri yang selamat, kelompok lain sesat dan masuk neraka

“Ahlussunnah” sebagai wacana, bukan nama
Maka terbukti, bahwa ulasan seputar hadis sekte belumlah menemukan finalnya hingga sekarang, perebutan legalitas sebagai sekte yang selamat dan dijanjikan Rasulullah Saw masuk surga (alfirqah annajiah) masih berkelanjutan. Sungguh pun demikian, jika wihdah al ummah (persatuan umat) masih dianggap sebagai semboyan dan idealisme yang dicita-citakan, apalagi kondisi umat sekarang ini yang “jenuh” menanti persatuan, maka kiranya, yang diperlukan sekarang adalah mencoba memahami kembali hadits sekte tersebut, setelah terlebih dulu menanggalkan subyektifitas sebagai kelompok tertentu.
Sikap rekonsiliatif obyektif seperti ini perlu, agar ego sebagai penganut suatu aliran hanya akan menjadi titik tolak untuk “melihat” aliran lain sebagai pembanding, bukan pesaing apalagi “musuh”. Konsep pembandingan semacam ini tentunya akan membuka pemahaman baru, bahwa mungkin ada sisi kebenaran di kelompok lain, sebagaimana juga ada kemungkinan salah pada aliran sendiri. Sungguh bukanlah masuk dalam cela talfiq (pindah-pindah madzhab secara eklektis: mencari yang mudah-mudah), ketika seseorang -dalam beberapa hal- harus mengikuti alur pikiran kelompok lain, jika memang kebenaran ada disana. Justeru yang tercela adalah konsisten terhadap satu aliran, kemudian bersikeras melakukan semua doktrinnya dengan menutup mata. 
Keterangan Rasul Saw bahwa kelompok yang selamat itu “ahlussunati wa jamati” perlu dipahami, bahwa “kalimat” itu merupakan standar keselamatan yang dijanjikan Nabi Saw, bukan sebuah nama. Toh, Islam tetap membela hak berpendapat dan mengemukakan ide, bahwa setiap orang ataupun kelompok, berhak memiliki interpretasi dan pemahaman sendiri. Syi’ah berhak menafsiri, sebagaimana juga Asy’ariah, Mu’tazilah dan yang lainnya. Hanya saja, Rasul Saw. memberikan parameter, bahwa interpretasi yang selamat adalah yang sesuai dengan al-Quran dan Sunnah, beliau membahasakannya dengan “maa ana ‘alaihi alyauma wa ashabi” atau dalam redaksi lain, ”ahlusunnati wa jamaati” itu. Dengan demikian, masing-masing kelompok tetap memiliki peluang salah dan benar. Semuanya bisa memberi dan bisa pula dikritisi.
Mencomot statemen “ahlusunnati wa jama’ati” sebagai sebuah “nama” hanya akan berdampak perebutan yang tidak sehat, saling mengkafirkan, anarki antar kelompok dan rasa superioritas suatu golongan tertentu hingga merasa benar sendiri dan tidak menerima kritikan dari luar. Lebih fatal lagi misalnya, ketika vonis neraka dan sorga tidak lagi dianggap sebagai hak preogatif Tuhan. Masing-masing mengetuk palu, menyatakan bahwa yang tidak sesuai dengan ideologinya adalah golongan-golongan yang pasti masuk neraka. Perasaan benar sendiri seperti inilah nampaknya, yang menghipnotis kalangan Asy’ariah setelah berbaju besi “sunny”. Demikian juga kelompok-kelompok lain yang mencoba “zalim”, memperebutkan kata “ahlussunah waljamaah” sebagai “nama resmi” golongannya, kemudian menuduh sesat kelompok lain.
Maka penulis tetap berkeyakinan, bahwa waktu itu Rasul Saw tidaklah bermaksud agar umatnya yang diramalkan pecah menjadi berpuluh-puluh golongan itu memperebutkan sebuah “nama”. Kiranya, yang beliau harap adalah satu sikap kompetitif dari masing-masing kelompok agar senantiasa menyesuaikan pemahaman dan interpretasinya masing-masing dengan parameter Quran dan Sunnah, yaitu maa ana ‘alaiahi alyauma wa ashabi,  mereka itulah nantinya yang akan selamat, karena mereka adalah golongan yang berpegang pada sunnah “ahlusunnati wajamaati” itu.   

Memahami al-Sawaad al-A’dzam (golongan mayoritas)
Nampaknya perlu juga direview, sebuah teks lagi yang sering disalahgunakan dalam pembicaraan seputar sekte. Yaitu hadits Nabi yang berbunyi “alaikum bi assawad al a’dzam” yang kiranya bermakna “ikutilah golongan mayoritas”.
Yang patut disayangkan dari doktrin aktsriah (mayoritas) semacam ini adalah permahamannya. Seringkali, doktrin seperti ini dijadikan stempel legalisir, bahwa golongan yang besar itulah satu-satunya yang benar dan yang lain salah. Padahal sepatutnya, sebelum menelan mentah-mentah hadits ini, ada yang perlu digaris bawahi terlebih dahulu, yaitu menyadari posisi Rasulullah Saw sebagai seorang pemimpin. Perintah agar kita selalu berada dalam kelompok mayoritas, harus kita akui sebagai ekspresi sikap yang jeli dan bijak.
Bagaimana pun, pemimpin yang baik akan memberikan intruksi umum, agar umatnya selalu berada dalam golongan terbesar, sesuai dengan falsafat gembala domba yang selalu diajarkan pada seluruh Nabi. Sungguh sangat tidak rasional, jika Rasulullah Saw membiarkan umatnya kebingungan, apalagi menjawab kebingungan mereka dengan berkata “terserah pilihan anda masing-masing”. Maka, seakan Rasul bersabda; “jika kalian kebingungan, ikuti saja golongan terbesar”. Tentunya, kelompok yang besar akan lebih aman diikuti, apalagi jika konteks waktu itu adalah membicarakan tentang konsep keselamatan (sorga). 
Namun yang perlu dipahami ulang disini adalah, bahwa perintah mengikuti golongan terbesar ini, sama sekali tidak berarti bahwa legitimasi kebenaran hanya milik kelompok yang besar itu saja, apalagi jika dipahami bahwa kebenaran hanya mutlak milik satu aliran. Mengatakan bahwa semua doktrin Asy’ariah benar, atau semua ajaran Syi’ah dan Mu’tazilah salah atau kufur, akan terjebak pada kesalahan sweeping generalisasi yang merugikan.
Seringkali Islam justeru membela dan membenarkan kalangan minoritas, bahkan tak jarang, Islam mencela mereka yang hanya ikut-ikutan buta kepada golongan mayoritas tanpa landasan. Maka kiranya, as-Sawaad al a’dzam adalah sebuah solusi arif dari seorang pemimpin, bukan legitimasi kebenaran yang akhirnya difungsikan secara tidak adil oleh dominasi kelompok tertentu.
Maka jika sampai point ini bisa disepakati, kajian terhadap konsep-konsep Syi’ah atau sekte-sekte lain akan menemukan hasilnya. Yang pasti, pemikiran seorang muslim bisa menjadi satu pemikiran utuh, jika ia bisa berangkat dari sikap akademis yang netral, tanpa didahului pandangan yang apriori sedikitpun. Ia mampu keluar menjauh dari subyektifisme Syi’ah atau Asy’ariah, dan segera menuju pada obyek doktrinal ajarannya (naturalis atau politis) atau menuju metodologi nya (ilmiah atau tekhnis) atau pada tujuan ilmiah nya (tafsir, ta’wil atau yang lain). saat itulah, sebuah bahasan atau dialog bisa menemukan buahnya, karena positif-negatif masing-masing kelompok akan terlihat secara utuh dan sempurna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar