Biografi Ahlul Bait as:
Imam As Sajjad, Pangeran yang Sebatang Kara
Nama : Ali
Gelar : Zainal Abidin, As-Sajjad Julukan : Abu Muhammad Ayah : Husein bin Ali bin Abi Thalib Ibu : Syahar Banu Tempat/Tgl Lahir : Madinah, 15 Jumadil Ula 36 H. Hari/Tgl Wafat : 25 Muharram 95 H. Umur : 57 Tahun Sebab Kematian : Diracun Hisyam bin Abdul Malik, di Zaman al-Walid Makam : Baqi' Madinah Jumlah Anak : 15 orang; 11 Laki-Laki dan 4 Perempuan Anak Laki-laki : Muhammad Al-Baqir, Abdullah, Hasan, Husein, Zaid, 'Amr Husein Al-Asghor, Abdurrahman, Sulaiman, Ali, Muhammad al-Asghor Anak perempuan : Hadijah, Fatimah, Aliyah, Ummu Kaltsum |
Riwayat hidup
Setelah
kejadian "karbala", Ali Zainal Abidin a.s. menjadi pengganti al-Husein
sebagai pemimpin umat dan sebagai penerima wasiat Rasul yang ke-empat.
Ketika Imam Ali bin Abi Thalib memegang tapak pemerintahan, beliau
menikahkan al-Husein dengan seorang pultri Yazdarij, anak Syahriar,
anak kisra, raja terakhir kekaisaran Persia yang bernama Syahar Banu.
Dari perkawinan yang mulia inilah Imam Ali Zainal Abidin a.s.
dilahirkan.
Dua
tahun pertama di masa kecilnya, beliau berada dipangkuan kakeknya, Ali
bin Abi Thalib. Dan setelah kakeknya berpulang ke rahmatullah beliau
diasuh pamannya al-Hasan, selama delapan tahun. Beliau mendapat
perlakuan yang sangat istimewa dari pamannya.
Sejak
masa kecilnya beliau telah menghiasi dirinya dengan sifat-sifat yang
terpuji. Keutamaan budi, ilmu dan ketaqwaan telah menyatu dalam
dirinya. al-Zuhri berkata: "Aku tidak menjumpai seorang pun dari Ahlul
Bait nabi s.a.w yang lebih utama dari Ali bin Husein.
Beliau dijuluki as-sajjad,
karena banyaknya bersujud. Sedang gelar Zainal Abidin (hiasannya
orang-orang ibadah) karena beliau selalu beribadah kepada Allah SWT.
Bila akan shalat wajahnya pucat, badannya gemetar. Ketika ditanya:
Mengapa demikian? Jawabannya: "Kamu tidak mengetahui di hadapan siapa
aku berdiri shalat dan kepada siapa aku bermunajat".
Setelah
kesyahidan al-Husein beserta saudara-saudaranya, beliau sering kali
menangis. Tangisannya itu bukanlah semata-mata hanya karena kematian
keluarganya, namun karena perbuatan umat Muhammad s.a.w yang durjana
dan aniaya, yang hanya akan menyebabkan kesengsaraan mereka di dunia
dan di akhirat. Bukankah Rasulullah s.a.w tidak meminta upah apapun
kecuali agar umatnya mencintai keluarganya. Sebagaimana firman Allah
(as-Syura 23). "Dan bukti kecintaan kita kepada keluarganya adalah dengan mengikuti mereka."
Di
saat keluarganya telah dibantai, sementara penguasa setempat sangat
memusuhinya, misalnya di zaman Yazid bin Muawiyah beliau dirantai dan
dipermalukan di depan umum, di zaman Abdul Malik raja dari Bani Umayyah
beliau dirantai lagi dan dibawa dan Damaskus ke Madinah lalu kembali
lagi ke Madinah, Akhirnya beliau banyak menyendiri serta selalu
bermunajat kepada khaliqnya.
Amalannya
dilakukan secara tersembunyi. Setelah wafat, barulah orang-orang
mengetahui amalannya. Sebagaimana datuknya, Ali bin Abi Thalib, beliau
memikul tepung dan roti dipunggungnya guna dibagi-bagikan kepada
keluarga-keluarga fakir miskin di Madinah.
Dalam
pergaulannya, beliau sangat ramah bukan hanya kepada kawannya saja
melainkan juga kepada lawannya. Dalam bidang ilmu serta pengajaran,
meskipun yang berkuasa saat itu al-Hajjaj bin Yusuf As-Tsaqofi seorang
jiran yang kejam yang tidak segan-segan membunuh siapapun yang membela
keluarga Rasulullah s.a.w, beliau masih sempat memberikan pengajaran
dan menasehati para penguasa.
Namun,
apapun yang dilakukannya, keluarga Umayyah tidak akan membiarkannya
hidup dengan tenang. Dan pada tanggal 25 Muharram 95 Hijriah, ketika
beliau berada di Madinah, Al-Walid bin Abdul Malik bin Marwan meracuni
Imam Ali Zainal Abidin a.s.
Keagungan
beliau sulit digambarkan dan kata-katanya bak mutiara yang berkilauan.
Munajat beliau terkumpul dalam sebuah kitab yang bernama "Shahifah As-Sajjadiah".
Imam As Sajjad dan Hikmah Haji
Seorang
murid Imam Ali Zainal Abidin a.s bernama asy-Syibli, setelah selesai
melaksanakan ibadah haji, pergi menemuinya untuk menyampaikan padanya
apa-apa yang dialaminya selama itu. Maka terjadilah percakapan di
antara keduanya.
"Wahai Syibli, bukankah anda telah selesai mengerjakan ibadah haji?"
"Benar, wahai putra Rasulullah".
"Apakah
anda telah berhenti di Miqat lalu menanggalkan semua pakaian yang
terjahit yang terlarang bagi orang yang sedang mengerjakan haji dan
kemudian mandi.. . ?"
"Ya, benar ... .?"
"Adakah
anda ketika berhenti di Miqat juga meneguhkan niat untuk berhenti dan
menanggalkan semua pakaian maksiat dan, sebagai gantinya, mengenakan
pakaian taat?"
"Tidak .. . ."
"Dan
pada saat menanggalkan semua pakaian yang terlarang itu, adakah anda
menanggalkan dari diri anda semua sifat riya', nifaq, serta segala yang
diliputi syubhat ....?"
"Tidak ..."
"Dan
ketika mandi dan membersihkan diri sebelum memulai ihram, adakah anda
berniat mandi dan membersihkan diri dari segala pelanggaran dan
dosa-dosa?"
"Tidak ...."
"Kalau
begitu, anda tidak berhenti di Miqat, tidak menanggalkan pakaian yang
terjahit dan tidak pula mandi membersihkan diri ..!"
Kemudian Ali Zainal Abidin melanjutkan:
".
. . .Dan ketika mandi dan berihram serta mengucap niat untuk memasuki
ibadah haji, adakah anda menetapkan niat untuk membersihkan diri dengan
cahaya taubat yang tulus kepada Allah swt.... ?"
"Tidak ...."
".
. . . Dan pada saat niat berihram, adakah anda berniat mengharamkan
atas diri anda segala yang diharamkan oleh Allah Azza wa Jalla...?"
"Tidak ...."
.
. . Dan ketika mulai mengikat diri dalam haji, adakah anda, pada waktu
yang sama, melepaskan juga segala ikatan selain bagi Allah?"
Tidak ...."
"Kalau
begitu, anda tidak membersihkan diri, tidak berihram, dan tidak pula
mengikat diri dalam Haji... .!" Kemudian Ali Zainal Abidin melanjutkan:
Bukankah anda telah memasuki Miqat, lalu solat Ihram dua rakaat, dan setelah itu mulai rukuk talbiah?
Ya,…benar..."
Apakah ketika memasuki Miqat anda meniatkannya sebagai ziarah menuju keridhaan Allah . . ?"
Tidak .. ."
.
. Dan ketika shalat Ihram dua rakaat, adakah anda berniat mendekatkan
diri, bertaqarrub kepada Allah dengan mengerjakan suatu amal yang
paling utama di antara segala macam amal, shalat yang juga merupakan
kebaikan yang di antara kebaikan-kebaikan yang dikerjakan hamba-hamba
Allah swt......?"
Tidak...."
. . Kalau begitu, anda tidak memasuki Miqat, tidak bertalbiah, dan tidak shalat Ihram dua rakaat!"
Ali Zainal Abidin bertanya lagi:
"Apakah anda telah memasuki Masjidil Haram, dan memandang Ka'bah, serta shalat di sana ... ?"
"Ya ..., benar..."
"Ketika
memasuki Masjidil Haram, adakah anda berniat mengharamkan atas din
anda, segala macam pergunjingan terhadap diri kauni muslimin .. . ?"
"Tidak .. .."
".
. . . Dan ketika sampai di kota Makkah, adakah anda mengukuhkan niat
untuk menjadikan Allah swt. sebagai satu-satunya tujuan ... ?"
"Tidak . . .."
". . Kalau begitu, anda tidak memasuki Masjidil Haram, tidak memandang Ka'bah, dan tidak pun bershalat di sana . . .!"
Dan beliau melanjutkan lagi:
"Apakah anda telah bertawaf mengeliling Ka'bah. Baitullah, dan telah menyentuh rukun rukunnya?"
"Ya..."
".
. .Pada saat bertawaf, adakah anda berniat berjalan dan berlari menuju
keridhaan Allah Yang Maha Mengetahui segala yang ghaib dan tersembunyi?"
'Tidak .. ."
"Kalau begitu .. ., anda tidak bertawaf mengelilingi Baitullah, dan tidak menyentuh rukun-rukunnya.
Dan beliau melanjutkan pertanyaannya:
"... Dan apakah anda telah berjabatan (bersalam tangan) dengan Hajar Aswad, dan berdiri - bershalat di tempat Maqam Ibrahim?"
"Ya . . . !"
Mendengar
jawaban itu, Ali Zainal Abidin tiba-tiba berteriak, menangis dan
meratap, dengan suara merawankan hati seperti hendak meninggalkan hidup
ini, seraya berucap:
"Oh,
... oh,... Barangsiapa berjabat tangan dengan Hajar Aswad, seakan-akan
ia berjabatan tangan dengan Allah swt.! Oleh karena itu, ingatlah
baik-baik, wahai insan yang merana dan sengsara, janganlah sekali-kali
berbuat sesuatu yang menyebabkan engkau kehilangan kemuliaan agung yang
telah kau capai, dan membatalkan kehormatan itu dengan pembangkanganmu
terhadap Allah dan mengerjakan yang diharamkanNya, sebagaimana
dilakukan oleh mereka yang bergelimang dalam dosa-dosa ....!"
Kemudian beliau berkata lagi:
"Ketika
berdiri di Maqam Ibrahim, adakah anda mengukuhkan niat untuk tetap
berdiri di atas jalan ketaatan kepada Allah dan meninggalkan jauh-jauh
segala maksiat. ..?"
"Tidak . . ."
"...
Dan ketika shalat dua rakaat di Maqam Ibrahim adakah anda berniat
mengikuti jejak Nabi Ibrahim as. dalam shalat beliau, serta menentang
segala bisikan syaitan?"
"Tidak..."
•
"Kalau begitu . . . , anda tidak berjabat tangan dengan Hajar Aswad,
tidak berdiri di Maqam Ibrahim, dan tidak pula shalat dua rakaa di
dalamnya..."
Dan beliau melanjutkan lagi:
"Apakah anda telah mendatangi dan memandangi telaga Zamzam dan minum airnya ...?'
"Ya...."
"Apakah
anda, pada saat memandangnya berniat menujukan pandangan anda kepada
semua bentuk kepatuhan kepada Allah, serta memejamkan mata terhadap
setiap maksiat kepadaNya?
"Tidak ..."
"Kalau begitu ..., anda tidak memandanginya dan tidak pula minum airnya ...!"
Selaujutnya beliau bertanya lagi:
". . . Apakah anda telah mengerjakan Sa'i antara Shafa dan Marwah, dan berjalan pulang pergi antara kedua bukit itu?"
"Ya ...., benar."
"Dan pada saat-saat itu, anda menempatkan diri anda di antara harapan akan rahmat Allah dan ketakutan menghadapi azabNya ...?"
"Tidak..."
"Kalau begitu . . . , anda tidak mengerjakan Sa'i dan tidak berjalan pulang-pergi antara keduanya!"
Lalu beliau bertanya:
"Anda telah pergi ke Mina ... ?"
"Ya..."
"Ketika
itu, adakah anda menguatkan niat akan berusaha sungguh-sungguh agar
semua orang selalu merasa aman dari gangguan lidah, hati, serta tangan
anda sendiri ... ?"
"Tidak ...."
"Kalau
begitu, anda belum pergi ke Mina! Dan ..., anda telah berwuquf di
Arafat. .. ? Mendaki Jabal Rahmah, mengunjungi Wadi Namirah, serta
menghadapkan doa-doa kepada Allah swt. di bukit-bukit as-Shakharaat...
?"
"Ya,.,benar..."
"Ketika
berdiri — wuquf di Arafat, adakah anda dalam kesempatan itu,
benar-benar menghayati ma'rifat akan kebesaran Allah swt. serta
mendalami pengetahuan tentang hakikat ilmu yang akan menghantarkanmu
kepadaNya? Dan apakah ketika itu anda menyadari benar-benar betapa
Allah Yang Maha Mengetahui meliputi segala perbuatan, perasaan, serta
kata-kata hati sanubari anda ...
"Tidak ..."
"Dan
.... ketika mendaki Jabal Rahmah, adakah anda sepenuhnya mendambakan
rahmah Allah bagi setiap orang mukmin, serta mengharapkan bimbinganNya
atas setiap orang muslim?"
"Tidak . . .."
"Dan
ketika berada di Wadi Namirah, adakah anda berketetapan hati untuk
tidak mengamarkan (memerintahkan) sesuatu yang ma'ruf, sebelum anda
mengamarkannya pada diri anda sendiri? Dan tidak melarang seseorang
melakukan sesuatu, sebelum anda melarang diri sendiri ....?"
"Tidak ...."
"Dan
ketika berdiri di bukit-bukit di sana, adakah anda menyadarkan diri
bahwa tempat itu menjadi saksi atas segala kepatuhan pada Allah, dan
mencatatnya bersama-sama para Malaikat pencatat, atas perintah Allah,
Tuhan sekalian lelangit?"
"Tidak ...."
"Kalau
begitu . . . , anda tidak berwuquf di Arafat, tidak mendaki Jabal
Rahmah, tidak mengenal Wadi Namirah, dan tak pula berdoa di
tempat-tempat itu .. . !"
Dan Ali Zainal Abidin bertanya lagi:
"Apakah
anda telah melewati kedua bukit al-Alamain, dan mengerjakan dua rakaat
shalat sebelumnya, dan setelah itu meneruskan perjalanan ke Muzdalifah;
memungut batu-batu di sana, kemudian melewati Masy'arul'Haram. . . ?"
"Ya. . ."
"Dan
ketika shalat dua rakaat, adakah anda meniatkannya sebagai shalat
syukur, pada malam menjelang tanggal sepuluh Dzul-Hijjah, dengan
mengharapkan tersingkirnya segala kesulitan serta datangnya segala
kemudahan?"
"Tidak ..."
"Dan
ketika lewat di antara kedua bukit itu dengan sikap lurus tanpa menoleh
ke kanan atau ke kiri, adakah anda saat itu meneguhkan niat untuk tidak
bergeser (menyeleweng) dari Agama Islam, agama yang haq, baik ke arah
kanan atau pun kiri…..,tidak dengan hatimu, tidak pula dengan lidahmu,
atau pun dengan semua gerak-gerik anggota tubuhmu yang lain?"
"Tidak ..."
".
. . Dan ketika menuju Muzdalifah, dan memungut batu-batu di sana,
adakah anda berniat membuang jauh-jauh dari dirimu segala macam maksiat
dan kejahilan terhadap Allah swt, dan sekaligus menguatkan hatimu untuk
tetap mengejar ilmu dan amal yang diridhai Allah ....?"
"Tidak .. "
"Dan
ketika melewati al-Masy'arul-Haram, adakah anda mengisyaratkan kepada
diri anda sendiri, agar bersyi'ar seperti orang-orang yang penuh takwa
dan takut kepada Allah Azza wa Jalla ...?"
"Tidak .. ."
"Kalau
begitu . . . , anda tidak melewati 'Alamain, tidak shalat dua rakaat,
tidak berjalan ke Muzdalifah, tidak memungut batu-batu di sana, dan
tidak pula lewat di Masy'ar-ul-Haram…!'
Dan beliau melanjutkan:
"Wahai
Syibli, apakah anda telah mencapai Mina, melempar Jumrah, mencukur
rambut, menyembelih kurban, bershalat di masjid Khaif; kemudian kembali
ke Makkah dan mengerjakan tawaf Ifadhah (Ifadhah adalah berangkat
dan betemu kembali dari sesuatu tempat ke tempat lainnya. Yang
dimaksudkan di sini ialah thawaf yang dikerjakan setelah berangkat
pulang dari 'Arafat).?
"Ya .., benar..."
"Ketika
sampai di Mina, dan melempar Jumrah, adakah anda berketetapan hati
bahwa anda kini telah sampai ke tujuan, dan bahwa Tuhanmu telah
memenuhi untukmu segala hajatmu...?"
"Tidak..."
"Dan
pada saat melempar Jumrah, adakah anda meniatkan dalam hati, bahwa
dengan itu anda melempar musuh yang ramai , yaitu Iblis, serta
memeranginya dengan disempurnakannya ibadah hajimu yang amat mulia itu?"
"Tidak..."
"Dan
pada saat mencukur rambut, adakah anda berketetapan hati bahwa dengan
itu anda telah mencukur dari dirimu segala kenistaan; dan bahwa anda
telah keluar dari segala dosa-dosa seperti ketika baru lahir dari perut
ibumu ... ?"
"Tidak ..."
"Dan
ketika shalat di masjid Khaif, adakah anda berniat untuk tidak memiliki
perasaan khauf (takut) kecuali kepada Allah swt. serta dosa-dosamu
sendiri? Dan bahwa anda tiada mengharapkan sesuatu kecuali rahmat Allah
... ?"
"Tidak...."
"Dan pada saat memotong hewan kurban, adakah anda berniat memotong urat ketamakan dan kerakusan, dan berpegang pada sifat wara'
yang sesungguhnya? Dan bahwa anda mengikuti jejak Nabi Ibrahim as. yang
rela memotong leher putra kecintaannya, buah-hatinya dan penyegar
jiwanya . . . , agar menjadi teladan bagi manusia sesudahnya . . . ,
semata-mata demi mengikuti perintah Allah swt... ?"
"Tidak..."
".
. . Dan ketika kembali ke Makkah, dan mengerjakan tawaf Ifadhah, adakah
anda meniatkan berifadhah dari pusat rahmat Allah, kembali kepada
kepatuhan terhadapNya, berpegang teguh pada kecintaan kepadaNya,
menunaikan segala perintahNya, serta bertaqarrub selalu kepadaNya ... ?"
"Tidak ..."
"Kalau
begitu . . . , anda tidak mencapai Mina, tidak melempar Jumrah, tidak
mencukur rambut, tidak menyembelih kurban, tidak mengerjakan manasik,
tidak bershalat di masjid Khaif, tidak bertawaf thawaful-Ifadhah, dan
tidak pula mendekat kepada Tuhanmu . . .! Kembalilah . . . , kembalilah
. . . , sebab anda sesungguhnya belum menunaikan haji anda!!"
(Dipetik dari buku,"Hidup dan Pikiran Ali Zainal Abidin Cucu Rasulullah, Hikmah Haji, hlm. 79-90, Mizan, 1986).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar