Powered By Blogger

Selasa, 03 April 2012

Seksualitas Perempuan

Seksualitas Perempuan

Oleh Husein Muhammad
“Ada kisah yang menarik. Imam Bukhari menceritakan bahwa dalam perang Uhud, ketika banyak orang meninggalkan Nabi, Siti Aisyah dan Ummu Salim menggulung pakaian bawah mereka sehingga betis mereka terbuka. Mereka membawa air dan menuangkannya ke mulut tentara yang luka yang kehausan.  Khansa bint Amr, penyair perempuan Arab terkemuka, berdiri di hadapan Nabi membacakan puisi-puisinya dengan seluruh ekspresinya yang memukau. Nabi mengagumi sekaligus memujinya.”
Istilah seksualitas sering disederhanakan pengertiannya hanya untuk hal-hal yang mengacu pada aktivitas biologis yang berhubungan dengan organ kelamin baik laki-laki maupun perempuan. Sejatinya, lebih dari sekedar soal hasrat tubuh biologis, seksualitas bagi saya adalah sebuah konsep tentang eksistensi manusia yang mengandung di dalamnya aspek emosi, cinta, aktualisasi, ekspresi, perspektif dan orientasi atas tubuh yang lain. Dalam konteks ini seksualitas merupakan ruang kebudayaan tempat dimana manusia mengekspresikan dirinya terhadap yang lain secara timbal-balik, dalam arti yang sangat kompleks. Seksualitas, dengan begitu merupakan konstruksi kebudayaan.
Seksualitas adalah sesuatu yang instingtif, intrinsik dan fitrah bagi semua jenis kelamin, bukan hanya milik laki-laki, tetapi juga perempuan dengan kadar yang relatif sama. Seksualitas adalah sentral dalam diri manusia. Naluri seksual berakar dalam kimiawi tubuh setiap manusia, tak ada bedanya antara laki-laki dan perempuan. Akan tetapi sepanjang sejarah peradaban manusia, seksualitas perempuan selalu mengalami reduksi makna secara besar-besaran. Seksualitas perempuan ditempatkan dalam posisi yang direndahkan, dieksploitasi untuk kesenangan laki-laki. Ini adalah wajah dari peradaban patriarkhis yang paradoks yang terus dipertahankan sampai hari ini dengan beragam cara oleh berbagai kepentingan. Kepentingan diri, politik, sosial, budaya dan lain-lain.
Di banyak komunitas dunia, termasuk di dunia muslim, seksualitas perempuan diperbincangkan secara ambigu. Ia bisa dibicarakan dengan penuh apresiasi dan diagungkan tetapi dalam waktu yang sama juga sangat tertutup dan ditabukan. Seksualitas dirayakan dengan kemegahan dan penuh nuansa-nuansa sakralitas. Ini misalnya muncul dalam upacara perkawinan. Perkawinan adalah sebuah mekanisme yang disakralkan untuk wahana kebebasan manusia mengaktualisasikan hasrat-hasrat seksualitasnya. Perempuan dalam upacara ini ditampilkan secara terbuka dan dipersiapkan untuk tampil dengan performance yang begitu elok, penuh pesona dan amat potensial menarik hasrat libido laki-laki. Tetapi begitu upacara selesai dan pada momen yang lain tubuh perempuan dan keelokannya seringkali tak boleh ditampilkan dan diekspresikan di ruang publik, hasrat-hasrat biologisnya dibatasi dan dikendalikan oleh orang lain.
Seksualitas Perempuan di ruang domestic
Dalam ruang domestic (rumah tangga), perempuan acapkali tidak memiliki hak-hak seksualitas atas tubuhnya sendiri. Bahkan bukan hanya bisa menikmati hak-hak seksualitasnya, tetapi banyak sekali anggapan budaya bahwa tubuh perempuan, bukan milik dirinya, melainkan milik laki-laki/suami. Ketika dia telah menikah, tubuh itu milik suaminya. “Swarga nunut, neroko katut” atau “Sumur, Kasur dan Dapur” adalah “kata-kata bijak”, yang menggambarkan status dan posisi perempuan/isteri seperti itu. Dalam konteks fiqh Islam, perkawinan dirumuskan sebagai “transaksi kepemilikan atas tubuh untuk pemenuhan kebutuhan seksualitas laki-laki atas perempuan dan tidak sebaliknya”. Definisi ini membawa konsekuensi kewajiban perempuan untuk siap kapan saja di mana saja memenuhi hasrat seksual laki-laki, dan tidak sebaliknya. Banyak pandangan kebudayaan yang mengatakan: “seorang perempuan yang telah terikat perkawinan secara permanen, tidakboleh meninggalkan rumahnya dan harus merelakan dirinya demi segala kesenangan suaminya”. Beberapa hal ini memperlihatkan bahwa hak-hak seksualitas perempuan bukan hanya tidak diapresiasi, melainkan juga ditundukkan. Celakalah isteri yang tiak mau melayani hasrat-hasrat seksualitas suaminya.
Perspektif budaya ini sungguh-sungguh tidaklah sejalan dengan kehendak Tuhan. Dia mengatakan dengan eksplisit :”mereka (perempuan/isteri) bagai pakaian bagi laki-laki (suami) dan laki-laki (suami) bagai pakaian bagi isteri”. Kalimat ini mengandung dua makna.  Pertama bahwa ia metafora untuk arti penyatuan dua tubuh secara interaktif (indhimam jasad kulli wahid minhuma li shahibih). Kedua, ia berarti masing-masing pasangan saling memberi ketenangan bagi yang lainnya (Hunna sakanun lakum wa Antum sakanun lahunna).
Seksualitas Perempuan di Ruang Publik
Seksualitas perempuan di ruang publik menghadapi problem yang sama dengan seksualitasnya dalam ruang domestik. Bicara soal seksualitas perempuan di ruang public dalam konteks masyarakat muslim selalu merujuk pada bicara soal “aurat” perempuan. Aurat adalah istilah untuk tubuh yang terlarang dipertontonkan/diperlihatkan di depan mata orang lain. Sejak lama kebudayaan dunia telah mendefinisikan ruang domestic sebagai ruang perempuan, dan ini adalah ruang eksklusif, tertutup. Jika mereka harus keluar dari ruang ini, karena satu dan lain hal, mereka tak boleh memperlihatkan tubuhnya, kecuali wajah dan telapak tangan, dan harus berada di bawah control keluarganya yang laki-laki. Perempuan juga terlarang menari dengan meliuk-liuk, misalnya jaipongan. Perempuan yang mengabaikan norma social ini, dia harus menanggung segala risiko yang mungkin terjadi terhadap tubuhnya, termasuk jika dia diperkosa. Seluruh kesalahan dibebankan kepadanya, meskipun menjadi korban kekerasan seksualitas, dan tidak terhadap pelakunya. Ini merupakan pandangan kebudayaan yang tidak adil, tidak masuk akal dan mencederai hak-hak seksualitas manusia perempuan. Norma semacam ini juga terekam dalam teks-teks keagamaan (fiqh). 
Tetapi dalam teks-teks keagamaan juga seksualitas perempuan di ruang public memperoleh apresiasi. Perempuan adalah eksistensi yang merdeka sekaligus diberi tanggungjawab atas problem-problem sosial, ekonomi, pendidikan, budaya dan politik. Kaum perempuan dituntut untuk bekerja sama dengan kaum laki-laki dalam semua aspek kehidupan tersebut dan melakukan transformasi atasnya. Salah satu ayat al Qur’an misalnya menyebutkan : “Kaum beriman laki-laki dan perempuan hendaklah bekerjasama untuk menegakkan kebaikan dan menghapuskan kemunkaran”. Teks ini menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan dituntut untuk melakukan peran dan aktifitas transformasi sosial, ekonomi, politik dan budaya. Pada saat Nabi masih hidup, kaum perempuan sering terlibat dalam debat terbuka dengan kaum laki-laki di masjid maupun di ruang publik lainnya untuk mengkaji berbagai problem sosial, budaya, ekonomi dan politik. Bahkan perempuan pada masa Nabi juga dapat menjalankan ritual keagamaan personalnya (ibadah mahdhah) di masjid bersama kaum laki-laki. Nabi mengatakan : “Jangan halangi kaum perempuan pergi ke masjid”. Umm Darda, perempuan sahabat, biasa memberikan kuliah di masjid Jami al Umawi di hadapan puluhan jama’ah, laki-laki dan perempuan. Aisyah bint Abu Bakar adalah guru dari 232 laki-laki. Umm Salamah guru dari sekitar 78 laki-laki. Dan masih banyak perempuan yang lain.
Ada kisah yang menarik. Imam Bukhari menceritakan bahwa dalam perang Uhud, ketika banyak orang meninggalkan Nabi, Siti Aisyah dan Ummu Salim menggulung pakaian bawah mereka sehingga betis mereka terbuka. Mereka membawa air dan menuangkannya ke mulut tentara yang luka yang kehausan.  Khansa bint Amr, penyair perempuan Arab terkemuka, berdiri di hadapan Nabi membacakan puisi-puisinya dengan seluruh ekspresinya yang memukau. Nabi mengagumi sekaligus memujinya. 
Nawal Sa’dawi, feminis Arab kontemporer terkemuka, mengatakan : “Adalah pasti bahwa pandangan Muhammad (Nabi Saw) dan prinsip-prinsip Islam tentang seksualitas perempuan memperoleh apresiasi begitu tinggi melampaui peradaban manapun. Mereka menikmati hak-hak itu seperti juga mereka dapat mengekspresikan hak-haknya baik dalam ruang domestik maupun publik. .
Soal batasan aurat. Ini sebenarnya sudah lama diperdebatkan para juris muslim. Dalam pandangan dominan aurat perempuan adalah seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan telapak tangan. Pandangan paling ketat dikemukakan oleh Ibnu Hanbal. Ia menyatakan bahwa seluruh tubuh perempuan, tanpa kecuali, termasuk kuku adalah aurat.  Sementara para juris rasionalis; Abu Hanifah, Abu Yusuf, Ibrahim al Nakha’i, Sufyan al Tsauri berpendapat bahwa lengan tangan perempuan, bukanlah aurat. Demikian juga rambut yang terjurai’. (Anna al-Dzira’ min al Mar’ah laisa bi ‘aurah, wa kadzalika al-Sya’r al-Mustarsal minha).  Sebagian juris Maliki menganjurkan agar baju perempuan menutup hingga separoh betis. Katanya : “wa al-Mustahab fi al Tsiyab an Takuna ila Nishf al Saaq”.
Informasi ini ingin menunjukkan bahwa soal batasan tubuh perempuan mana yang boleh diperlihatkan atau tidak, tidaklah tunggal. Pandangan pluralistic ini memiliki referensi keagamaan yang sama-sama perlu dihargai. Pertanyaan krusial atas isu ini adalah mengapa para juris muslim berbeda-beda menginterpretasikan teks-teks keagamaan?. Mengapa dewasa ini lebih banyak di antara kita hanya memiliki pengetahuan yang tunggal tentang batasan aurat dan ingin membakukannya?. Mengapa kita tidak bisa menghargai pandangan yang lain?. Mengapa untuk urusan ini muncul kecenderungan agar negara diminta intervensinya?. Isu-isu seksualitas perempuan tampaknya masih menjadi problem serius di negeri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar