Powered By Blogger

Selasa, 03 April 2012

Mengapa Justifikasi Agama

Mengapa Justifikasi Agama

Oleh Ulil Abshar-Abdalla
Yang menarik adalah bahwa justifikasi dibutuhkan oleh manusia, karena dia mengandaikan adanya suatu standar tertentu. Kita bertanya tentang boleh-tidaknya melakukan tindakan tertentu karena sebetulnya di luar sana kita mengandaikan adanya semacam plafon moral tertentu yang menjadi semacam standar. Biasanya seseorang melakukan penalaran berdasarkan standar-standar itu.
Salah satu ciri khas manusia yang sangat menarik adalah adanya kecenderungan untuk memberikan justifikasi kepada sebagian besar tindakan yang ia lakukan. Tentu kecenderungan semacam ini tidak seluruhnya bersifat eksplisit. Biasanya kenderungan ini akan muncul pada saat orang yang bersangkutan berhadapan dengan (meminjam istilah yang sering dipakai dalam filsafat eksistensialisme) “situasi batas”.
Pada umumnya, orang bertindak setiap hari tanpa mempersoalkan apakah yang ia lakukan justifiable atau tidak. Pertanyaan soal justifikasi biasanya tidak muncul dalam konteks tindakan rutin sehari-hari. Misalnya, seorang guru sekolah melakukan kegiatan rutin setiap hari: berangat pagi-pagi ke sekolah, mengajar, menyelesaikan tugas-tugas pendidikan yang lain, sore pulang ke rumah, berlibur dengan keluarga pada akhir minggu, dsb. Pak Guru melakukan semua kegiatan rutin itu secara alamiah saja tanpa mempersoalkan justifikasi untuk tindakan-tindakan tersebut.
Tetapi, pertanyaan tentang justifikasi akan muncul saat kita berhadapan dengan situasi tak normal. Dalam kasus Pak Guru tadi, pertanyaan tentang justifikasi baru muncul manakala dia berada pada situasi yang tak lazim. Andaikan saja, dia menghadapi situasi berikut ini. Ada dua murid yang ingin mendaftar di sekolah tempat ia mengajar. Murid pertama sangat pintar tetapi datang dari keluarga miskin. Murid kedua pas-pasan dari segi kecerdasan, tetapi berasal dari keluarga kaya. Keluarga murid yang kedua menjanjikan untuk memberikan bantuan yang cukup besar untuk memperbaiki fasilitas di sekolah tersebut, dengan anak mereka diterima di sekolah tersebut. Sementara itu, Pak Guru, karena satu dan lain hal, tak bisa menerima kedua murid itu sekaligus.
Ini hanya situasi artifisial yang saya andaikan saja sekedar untuk memberi gambaran tentang situasi batas yang kadang kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Dalam situasi semacam ini, Pak Guru berhadapan dengan sebuah dilema. Untuk memutuskan menerima entah murid pertama atau kedua, dia membutuhkan justifikasi yang masuk akal, agar dia bertindak dengan tenang dan tak terganggu oleh nuraninya.
Justifikasi biasanya dicapai melalui sebuah proses yang saya sebut reasoning  atau penalaran. Dalam kehidupan sehari-hari, kita terus-menerus berhadapan dengan situasi-situasi baru yang kerap membutuhkan penalaran untuk mencapai justifikasi tertentu. Ini berlaku baik pada level kehidupan pribadi atau sosial.
Yang menarik adalah bahwa justifikasi dibutuhkan oleh manusia, karena dia mengandaikan adanya suatu standar tertentu. Kita bertanya tentang boleh-tidaknya melakukan tindakan tertentu karena sebetulnya di luar sana kita mengandaikan adanya semacam plafon moral tertentu yang menjadi semacam standar. Biasanya seseorang melakukan penalaran berdasarkan standar-standar itu. 
Misalnya, kita mengandaikan bahwa norma keadilan adalah standar yang mengatur semua tindakan manusia. Atau seorang Muslim beranggapan bahwa hukum-hukum yang ada dalam Alquran dan Hadis adalah norma dasar yang menjadi landasan mereka untuk bertindak secara moral. Penalaran biasanya kita lakukan berdasarkan norma-norma semacam itu. Melalui penalaran itu, kita sampai pada suatu kesimpulan bahwa tindakan tertentu memenuhi standar norma tertentu, dan karena itu justifiable .
Ada dua jenis justifikasi. Pertama adalah justifikasi tradisional, dan kedua justifikasi rasional. Yang pertama adalah justifikasi yang diperoleh dengan bersandar pada sebuah otoritas tradisi tertentu, entah dalam bentuk kitab suci, adat, kebiasaan sosial, dsb. Yang kedua adalah justifikasi yang dicapai berdasarkan proses individual dengan memakai rasio kita sendiri.
Secara empiris, jarang sekali seseorang semata-mata memakai satu model justifikasi. Yang terjadi pada umumnya adalah seseorang memakai penalaran berdasarkan norma tradisional dan norma yang bersifat rasional secara serentak. Dengan kata lain, baik justifikasi tradisional dan rasional berlangsung secara simultan dalam proses yang sifatnya dialektis.
Justifikasi tradisional biasanya cenderung bersifat sosial, sementara justifikasi rasional bersifat individual. Tetapi, saya harus memberikan caveat di sini. Meskipun justifikasi rasional bersifat individual, secara empiris tidak lah demikian keadaanya. Apa yang kita sebut sebagai rasio pada dasarnya bukan sebuah wujud yang terisolasi dari proses sosial di luar dirinya. Rasio juga terbentuk dan dibatasi oleh keadaan-keadaan dalam masyarakat. Dengan demikian, saat seseorang melakukan penalaran rasional, dia bukanlah seorang individu yang secara otonom bekerja dengan rasionya, karena pada momen yang sama masyarakat juga bekerja dalam dirinya.
Di atas semua itu, sebuah justifikasi pada akhirnya bekerja dalam konteks tertentu. Justifikasi dibatasi oleh horison sosial dan individual sekaligus. Tentu batas di situ bukan sesuatu yang bersifat statis. Batas terus bergerak, dan bersamaan dengan itu justifikasi bergerak pula.
Saya hanya bisa memakai istilah yang sama sekali bersifat umum dan sangat ambigu di sini, yakni horison. Saya sendiri belum bisa menjelaskan dengan detail apa bentuk horison itu. Saya hanya membayangkan bahwa setiap justifikasi selalu bergerak dalam horison semacam itu. Justifikasi tidak bisa bekerja sepenuhnya secara transendental dan melampui horison tersebut. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar