Powered By Blogger

Minggu, 01 April 2012

Kekuatan dan Kelemahan Paham Asyari Sebagai Doktrin Aqidah Islamiah


Kekuatan dan Kelemahan Paham Asyari Sebagai Doktrin Aqidah Islamiah

Pokok pembicaraan kita ialah paham Asy'ari dalam tinjauan segi kekuatan dan kelemahannya. Tetapi meskipun pembicaraan ini menyangkut penilaian kritis terhadap paham itu, namun kritik itu an sich tidaklah menjadi tujuannya. Pembicaraan kita bertolak pada usaha untuk mengenali segi-segi positif paham itu dan mencari jalan bagaimana mengembangkannya agar dapat menjadi suatu sumbangan kepada tantangan hidup masa kini. Juga dengan sendirinya pada usaha mengenali segi-segi negatifnya serta sedapat mungkin menemukan jalan untuk menghindari atau menghilangkannya.
Relevansi pembicaraan ini ialah bahwa sebagian besar kaum Muslimin Indonesia, jika tidak seluruhnya, menganut paham Asy'ari di bidang 'aqidah. Pertama, karena Islam di Indonesia beraliran Sunni, sehingga tidak menganut aqidah Syi'ah atau Mu'tazilah. Kedua, karena Islam di Indonesia bermazhab Syafi'i dan seperti di mana-mana, kaum Syafi'i kebanyakan menganut 'aqidah Asy'ari. Ini berbeda dengan kaum Sunni bermazhab Hanafi (di Asia Daratan) yang kebanyakan menganut 'aqidah Maturidi, dan dari kaum Sunni bermazhab Hanbali (di Arabia) yang tidak menganut Asy'ari maupun Maturidi, melainkan mempunyai aliran sendiri khas Hanbali. Pembela paling tegas paham Sunnah (lengkapnya, Ahl Sunnah wa al-Jama'ah -- baca: "Ahlusunnah waljama'ah") di negeri kita, yaitu Nahdlatul 'Ulama', dalam muktamarnya di Situbondo akhir 1984 yang lalu merumuskan dan menegaskan bahwa paham Sunnah ialah paham yang dalam 'aqidah menganut al-Asy'ari atau al-Maturidi. Sedangkan kelompok-kelompok lain, seperti Muhammadiyah sebagai yang pertama-tama dan terbesar, yang biasanya oleh Nahdlatul 'Ulama' dipandang sebagai tidak tegas berpaham Ahl al-Sunnah wa al jama'ah (namun sebenarnya dalam banyak hal malah sangat Sunni), juga masih tetap menganut al-Asy'ari dalam 'aqidah, tanpa banyak mengambil alih kritik para pemikir modernis Islam seperti Muhammad 'Abduh, ataupun pemikir reformis seperti Ibn Taymiyyah dan, apalagi, Muhammad ibn 'Abd-al-Wahhab, terhadap beberapa segi paham Asy'ari itu. Maka membicarakan paham Asy'ari berarti membicarakan pandangan kepercayaan agama yang paling kuat dan luas di negeri kita.

Imam al-Asy'ari

Jika disebut paham Asy'ari, kita maksudkan keseluruhan penjabaran simpul ('aqidah) atau simpul-simpul ('aqa'id) kepercayaan Islam dalam Ilmu Kalam yang bertitik tolak dari rintisan seorang tokoh besar pemikir Islam, Abu al-Hasan 'Ali al-Asy'ari dari Basrah, Iraq, yang lahir pada 260 H./873 M. dan wafat pada 324 H./935 M. Jadi dia tampil sekitar satu abad setelah Imam al-Syafi'i (wafat pada 204 H./819 M.), atau setengah abad setelah al-Bukhari (wafat pada 256 H./870 M.) dan hidup beberapa belas tahun sezaman dengan pembukuan hadits yang terakhir dari tokoh yang enam, yaitu al-Tirmidzi (wafat pada 279 H./892 M.). Dengan kata lain, al-Asy'ari tampil pada saat-saat konsolidasi paham Sunnah di bidang hukum atau fiqh, dengan pembukuan hadits yang menjadi bagian mutlaknya, telah mendekati penyelesaian. Dan penampilan al-Asy'ari membuat lengkap sudah konsolidasi paham Sunnah itu, yaitu dengan penalaran ortodoksnya di bidang keimanan atau 'aqidah.
Penalaran al-Asy'ari disebut ortodoks karena lebih setia kepada sumber-sumber Islam sendiri seperti Kitab Allah dan Sunnah Nabi daripada penalaran kaum Mu'tazilah dan para Failasuf. Meskipun mereka ini semuanya, dalam analisa terakhir, harus dipandang secara sebenarnya tetap dalam lingkaran Islam, namun, dalam pengembangan argumen-argumen bagi paham yang mereka bangun, mereka sangat banyak menggunakan bahan-bahan falsafah Yunani. Banyaknya penggunaan bahan falsafah Yunani itu memberi ciri pokok pemikiran kaum Mu'tazilah dan para Failasuf sehingga mereka melakukan pendekatan ta'wil atau interpretasi metaforis terhadap teks-teks dalam Kitab dan Sunnah yang mereka anggap mutashabihat karena, misalnya, mengandung deskripsi tentang Tuhan yang antropomorfis (Tuhan menyerupai manusia seperti punya tangan, mata, bertahta di atas Singgasana atau Arasy, bersifat senang atau ridla, murka atau ghadlab, dendam atau intiqam, terikat waktu seperti menunggu atau intidhar, dan seterusnya). Disebabkan kuatnya peranan dan unsur logika dan dialektika dalam penalaran kaum Mu'tazilah dan para Failasuf ini, maka sistem mereka disebut Ilmu Kalam, yakni, Ilmu Logika atau Dialektika. Maka jika penalaran mereka itu merupakan sebuah teologi, lebih tepat disebut Teologi Rasional, Teologi Dialektis atau Teologi Spekulatif, kadang-kadang disebut Teologi Skolastik, juga disebut Teologi Alami (Natural Teology), bahkan Teisme Falsafati (Philosophical Theism).[1]
Tetapi penggunaan argumen-argumen logis dan dialektis tidak terbatas hanya kepada kaum Mu'tazilah dan para Failasuf saja. Kaum Asy'ari juga banyak menggunakannya, meskipun metode ta'wil yang menjadi salah satu akibat penggunaan itu hanya menduduki tempat sekunder dalam sistem Asy'ari. Kemampuan Abu al-Hasan 'Ali al-Asy'ari menggunakan argumen-argumen logis dan dialektis ia peroleh dari latihan dan pendidikannya sendiri sebagai seorang Mu'tazili. Ia memang kemudian, pada usia empat puluh tahun, menyatakan diri lepas dari paham lamanya, dan bergabung dengan paham kaum Hadits (Ahl al-Hadits) yang dipelopori kaum Hanbali, yang bertindak sebagai pemegang bendera ortodoksi, sehingga sering diisyaratkan sebagai kaum Sunni par excellence. Namun al-Asy'ari nampak tidak mungkin melepaskan diri sepenuhnya dari metode logis dan dialektis, yang kali ini ia gunakan justru untuk mendukung dan membela paham Ahl al-Hadits. Disebabkan oleh metodologinya itu mula-mula al-Asy'ari tetap mencurigakan bagi kaum Hadits pada umumnya, sehingga ia merasa perlu membela diri melalui sebuah risalahnya yang sangat penting, Istihsan al-Khawdl fi 'Ilm al-Kalam ("Anjuran untuk Mendalami Ilmu Kalam", yakni, Ilmu Logika). Karena ilmu logika formal, atau silogisme, dipelajari orang-orang Muslim dari Aristoteles (maka dalam bahasa Arab disebut secara lengkap sebagai al-manthiq al-aristhi, logika Aristoteles), pemikiran Ilmu Kalam adalah juga dengan sendirinya bersifat Aristhi atau Aristotelian, dengan ciri utama pendekatan rasional-deduktif. (Segi ini pada umumnya, dan segi-segi tertentu konsep dalam Kalam pada khususnya, merupakan alasan kritik dan penolakan oleh kaum Hanbali atas Kalam, termasuk yang dikembangkan oleh kaum Asy'ari, dengan kontroversi dan polemik yang masih berlangsung sampai hari ini).
Walaupun demikian, sungguh sangat menarik bahwa dalam pergumulan pemikiran yang sengit di bidang teologi itu akhirnya Imam Abu al-Hasan 'Ali al-Asy'ari dari Basrah tersebut memperoleh kemenangan besar, jika bukan terakhir atau final. Ini terutama sejak tampilnya Imam al-Ghazali sekitar dua abad setelah al-Asy'ari, yang dengan kekuatan argumennya yang luar biasa, disertai contoh kehidupannya yang penuh zuhud, mengembangkan paham Asy'ari menjadi standar paham Ortodoks atau Sunni dalam 'aqidah. Karena itu, seperti telah disinggung di atas, pada saat sekarang ini, untuk sebagian besar kaum Muslim seluruh dunia, paham Asy'ari adalah identik dengan paham Sunni, dan, lebih dari itu, bahkan Ilmu Kalam pun sekarang menjadi hampir terbatas hanya kepada metode penalaran Asy'ari. Maka dilihat dari kadar penerimaannya oleh sedemikian besar kaum Muslim, dan dari bagaimana penerimaan itu melintasi batas-batas kemazhaban dalam fiqh, paham Asy'ari adalah paham yang paling luas menyebar dalam Dunia Islam, sehingga al-Asy'ari bisa disebut sebagai pemikir Islam klasik yang paling sukses. Tidak ada tokoh pemikir dalam Islam yang dapat mengklaim sedemikian banyak penganut dan sedemikian luas pengaruh buah pikirannya seperti Abu al-Hasan 'Ali al-Asy'ari. Maka sebutan yang paling umum untuk tokoh ini ialah Syaykh Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah, sebagaimana senantiasa digunakan pada lembaran judul karya-karyanya yang cukup banyak dan kini telah diterbitkan.

Beberapa Inti Pokok Paham Asy'ari

Sesungguhnya letak keunggulan sistem Asy'ari atas lainnya ialah segi metodologinya, yang dapat diringkaskan sebagai jalan tengah antara berbagai ekstremitas. Maka ketika menggunakan metodologi manthiq atau logika Aristoteles, ia tidaklah menggunakannya sebagai kerangka kebenaran itu an sich (seperti terkesan hal itu ada pada para Failasuf), melainkan sekedar alat untuk membuat kejelasan-kejelasan, dan itu pun hanya dalam urutan sekunder. Sebab bagi al-Asy'ari, sebagai seorang pendukung Ahl al-Hadits, yang primer ialah teks-teks suci sendiri, baik yang dari Kitab maupun yang dari Sunnah, menurut makna harfiah atau literernya. Oleh karena itu kalaupun ia melakukan ta'wil, ia lakukan hanya secara sekunder pula, yaitu dalam keadaan tidak bisa lagi dilakukan penafsiran harfiah. Hasilnya ialah suatu jalan tengah antara metode harfi kaum Hanbali dan metode ta'wili kaum Mu'tazili. Di tengah-tengah berkecamuknya dengan hebat polemik dan kontroversi dalam dunia intelektual Islam saat itu, metode yang ditempuh al-Asy'ari ini merupakan jalan keluar yang memuaskan banyak pihak. Itulah alasan utama penerimaan paham Asy'ari hampir secara universal, dan itu pula yang membuatnya begitu kukuh dan awet sampai sekarang.
Meskipun begitu, inti pokok paham Asy'ari ialah Sunnisme. Hal ini ia kemukakan sendiri dalam bukunya yang sangat bagus dan sistematis, yaitu Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Mushallin ("Pendapat-pendapat Kaum Islam dan Perselisihan Kaum Bersembahyang"), sebuah buku heresiografi (catatan tentang berbagai penyimpangan atau bid'ah) dalam Islam yang sangat dihargai karena kejujuran dan obyektifitas dan kelengkapannya. Dalam meneguhkan pahamnya sendiri, terlebih dahulu al-Asy'ari menuturkan paham Ahl al-Hadits seperti yang ada pada kaum Hanbali, kemudian mengakhirinya dengan penegasan bahwa ia mendukung paham itu dan menganutnya. Untuk memperoleh gambaran yang cukup lengkap tentang hal yang amat penting ini, di sini dikutip beberapa persoalan mendasar dari keterangan al-Asy'ari yang dimaksud:
Keseluruhan yang dianut para pendukung Hadits dan Sunnah ialah: mengakui adanya Allah, para malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul, dan semua yang datang dari sisi Allah dan yang dituturkan oleh para tokoh terpercaya berasal dari Rasulullah s.a.w., tanpa mereka menolak sedikit pun juga dari itu semua. Dan Allah --Subhanahu-- adalah Tuhan Yang Maha Esa, Unik (tanpa bandingan), tempat bergantung semua makhluk, tiada Tuhan selain Dia, tidak mengambil isteri, tidak juga anak; dan bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya; dan bahwa surga itu nyata, neraka itu nyata, dan hari kiamat pasti datang tanpa diragukan lagi, dan bahwa Allah membangkitkan orang yang ada dalam kubur.
Dan bahwa Allah --subhanahu-- ada di atas 'Arasy (Singgasana), sebagaimana difirmankan (Q., 20:5), "Dia Yang Maha Kasih, bertahta di atas Singgasana"; dan bahwa Dia mempunyai dua tangan tanpa bagaimana (bi la kayfa) sebagaimana difirmankan (Q., 37:75), "Aku menciptakan dengan kedua tangan-Ku", dan juga firmanNya (Q., 5:64), "Bahkan kedua tangan-Nya itu terbuka lebar"; dan Dia itu mempunyai dua mata tanpa bagaimana, sebagaimana difirmankan (Q., 54:14), "Ia (kapal) itu berjalan dengan mata Kami"; dan Dia itu mempunyai wajah, sebagaimana difirmankan (Q., 55:27), "Dan tetap kekallah Wajah Tuhanmu Yang Maha Agung dan Maha Mulia."
Dan nama-nama Allah itu tidak dapat dikatakan sebagai lain dari Allah sendiri seperti dikatakan oleh kaum Mu'tazilah dan Khawarij. Mereka (Ahl al-Sunnah) juga mengakui bahwa pada Allah --subhanahu-- ada pengetahuan ('ilm), sebagaimana difirmankan (Q., 4:166), "Diturunkan-Nya ia (al-Qur'an) dengan pengetahuanNya", dan juga firman-Nya (Q., 35:11), "Dan tidaklah ia (wanita) mengandung (bayi) perempuan, juga tidak melahirkannya, kecuali dengan pengetahuan-Nya."...
Mereka (Ahl al-Sunnah) juga berpendapat bahwa tidak ada kebaikan atau keburukan di bumi kecuali yang dikehendaki Allah, dan segala sesuatu terjadi dengan kehendak Allah, sebagaimana difirmankan oleh Dia Yang Maha Tinggi dan Maha Agung (Q., 81:29), "Dan kamu (manusia) tidaklah (mampu) menghendaki sesuatu jika tidak Allah menghendakinya", dan sebagaimana diucapkan oleh orang-orang Muslim, "Apa pun yang dikehendaki Allah akan terjadi, dan apa pun yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi."
Mereka juga berpendapat bahwa tidak seorang pun mampu melakukan sesuatu sebelum Dia (Allah) melakukannya, juga tidak seorang pun mampu keluar dari pengetahuan Allah, atau melakukan sesuatu yang Allah mengetahui bahwa ia tidak melakukannya.
Mereka mengakui bahwa tidak ada Pencipta selain Allah, dan bahwa keburukan para hamba (manusia) diciptakan oleh Allah, dan bahwa semua perilaku manusia diciptakan Allah 'azza wa jalla, dan bahwa manusia itu tidak berdaya menceritakan sedikit pun dari padanya.
Dan bahwa Allah memberi petunjuk kepada kaum beriman untuk taat kepada-Nya, serta menghinakan kaum kafir. Allah mengasihi kaum beriman, memperhatikan mereka, membuat mereka orang-orang saleh, membimbing mereka, dan Dia tidak mengasihi kaum kafir, tidak membuat mereka saleh, serta tidak membimbing mereka. Seandainya Allah membuat mereka saleh, tentulah mereka menjadi saleh, dan seandainya Allah membimbing mereka tentulah mereka menjadi berpetunjuk.
Dan Allah --subhanahu-- berkuasa membuat orang-orang kafir itu saleh, mengasihi mereka sehingga menjadi beriman; tetapi Dia berkehendak untuk tidak membuat mereka saleh dan (tidak) mengasihi mereka sehingga menjadi beriman, melainkan Dia berkehendak bahwa mereka itu kafir adanya seperti Dia ketahui, menghinakan mereka, menyesatkan mereka dan memateri hati mereka.
Dan bahwa baik dan buruk dengan keputusan (qadla') dan ketentuan (qadar) Allah, dan mereka (Ahl al-Sunnah) beriman kepada qadla' dan qadar Allah itu, yang baik dan yang buruk, serta yang manis dan yang pahit. Mereka juga beriman bahwa mereka tidak memiliki pada diri mereka sendiri (memberi) manfaat atau madarat, kecuali dengan yang dikehendaki Allah, sebagaimana difirmankan-Nya, dan mereka (Ahl al-Sunnah) itu menyerahkan segala perkaranya kepada Allah --subhanahu-- dan mengakui adanya kebutuhan kepada Allah dalam setiap waktu serta keperluan kepada-Nya dalam setiap keadaan.[2]
Selanjutnya al-Asy'ari menuturkan pokok-pokok pandangan Sunni lainnya seperti bahwa al-Qur'an adalah kalam Ilahi yang bukan makhluk, bahwa kaum beriman akan melihat Allah di surga "seperti melihat bulan purnama di waktu malam", bahwa Ahl al-Qiblah (orang yang melakukan sembahyang dengan menghadap kiblat di Makkah) tidak boleh dikafirkan meskipun melakukan dosa besar seperti mencuri dan zina, bahwa Nabi akan memberi syafa'at kepada umatnya, termasuk kepada mereka yang melakukan dosa-dosa besar, bahwa iman menyangkut ucapan dan perbuatan yang kadarnya bisa naik dan turun, bahwa nama-nama Allah adalah Allah itu sendiri (bukan sesuatu yang wujudnya terpisah), bahwa seseorang yang berdosa besar tidak mesti dihukumi masuk neraka, sebagaimana seseorang yang bertauhid tidak mesti dihukumi masuk surga sampai Allah sendiri yang menentukan, dan bahwa Allah memberi pahala kepada siapa yang dikehendaki dan memberi siksaan kepada siapa saja yang dikehendaki, bahwa apa saja yang sampai ke tangan kita dari Rasulullah s.a.w. melalui riwayat yang handal harus diterima, tanpa boleh bertanya: "Bagaimana?" ataupun "Mengapa?", karena semuanya itu bid'ah.
Juga bahwa Allah tidak memerintahkan kejahatan, melainkan melarangnya; dan Dia memerintahkan kebaikan dengan tidak meridlai kejahatan, meskipun Dia menghendaki kejahatan itu.
Dan bahwa keunggulan para sahabat Nabi seperti manusia pilihan Allah harus diakui, dengan menghindarkan diri dari pertengkaran tentang mereka, besar maupun kecil, dan bahwa urutan keunggulan Khalifah yang empat ialah pertama-tama Abu Bakr, kemudian 'Umar, disusul 'Utsman, dan diakhiri dengan 'Ali.
Selanjutnya, menurut al-Asy'ari, paham Sunni juga mengharuskan taat mengikuti imam atau pemimpin, dengan bersedia bersembahyang sebagai ma'mum di belakang mereka, tidak peduli apakah mereka itu orang baik (barr) ataupun orang jahat (fajir).
Disebutkan pula bahwa kaum Sunni mempercayai akan munculnya Dajjal di akhir zaman, dan bahwa 'Isa al-Masih akan membunuhnya. Lalu ditegaskannya pula bahwa Ahl al-Sunnah itu berpendapat harus menjauhi setiap penyeru bid'ah; harus rajin membaca al-Qur'an, mengkaji Sunnah dan mempelajari fiqh dengan rendah hati, tenang, dan budi yang baik; harus berbuat banyak kebaikan dan tidak menyakiti orang; harus meninggalkan gunjingan, adu domba dan umpatan, dan terlalu mencari-cari makan dan minum!
Demikian kutipan sebagian dari keterangan al-Asy'ari yang panjang-lebar. Pada akhir keterangannya itu, al-Asy'ari menyatakan: "Dan kita pun berpendapat seperti semua pendapat yang telah kita sebutkan itu, dan kepadanyalah kita bermazhab."[3]

Alur Argumen Kalam Asy'ari

Disamping menuturkan 'aqidah Ahl Al-Sunnah yang kemudian ia nyatakan sebagai ia ikuti sendiri itu, al-Asy'ari, seperti telah disinggung di depan, juga mengembangkan alur argumen logis dan dialektisnya sebagaimana ia pelajari dari para guru Mu'tazilah. Dan pengembangannya oleh al-Asy'ari, yang kemudian lebih dikembangkan lagi oleh para pengikutnya, terutama al-Ghazali, menjadi tumpuan kekuatan paham Asy'ari itu sebagai doktrin dalam 'aqidah Islamiah kaum Sunni. Praktis semua nuktah kepercayaan dalam Islam ia dukung dengan argumen-argumen logis dan dialektis, sebagian bahkan tidak lagi merupakan kelanjutan argumen yang telah ada sebelum dia sendiri, melainkan menjadi kontribusinya yang orisinal dalam pemikiran Keislaman.
Sebagaimana halnya dengan setiap pembahasan teologis, pusat argumentasi Kalam Asy'ari berada pada upayanya untuk membuktikan adanya Tuhan yang menciptakan seluruh jagad raya, dan bahwa jagad raya itu ada karena diciptakan Tuhan "dari ketiadaan" (min al-'adam, ex nihilo). Karena tidak mungkin memaparkan keseluruhan argumen Kalam itu, maka di sini dikutipkan penjelasan sarjana Muslim moderen, al-Alousi, tentang argumen Kalam berkenaan dengan penciptaan alam raya ini. Menurut al-Alousi, ada enam argumen yang digunakan para tokoh Ilmu Kalam untuk membuktikan tidak abadinya alam raya:
(1) Argumen dari sifat berlawanan benda-benda sederhana (basith): unsur-unsur dasar alam raya (tanah, air, dan lain-lain) dan sifat-sifat dasarnya (panas, dingin, berat, ringan dan lain-lain) semuanya saling berlawanan, namun kita dapati dalam kenyataan tergabung (murakkab); penggabungan itu memerlukan sebab, yaitu Pencipta.
(2) Argumen dari pengalaman: Penciptaan dari ketiadaan (al-ijad min al-'adam, creatio ex nihilo) tidaklah berbeda dari pengalaman kita, sebab, melalui perubahan, bentuk lama hilang dan bentuk baru muncul dari ketiadaan.
(3) Argumen dari adanya akhir untuk gerak, waktu, dan obyek-obyek temporal: gerak tidak mungkin berasal dari masa tak berpermulaan, sebab mustahil bagi gerak itu mundur dalam waktu secara tak terhingga (tasalsul, infinite, temporal regress), sebab bagian yang terhingga tidak mungkin ditambahkan satu sama lain untuk menghasilkan keseluruhan yang tak terhingga; karena itu jagad dan gerak tentu mempunyai permulaan. Atau lagi, gerak tidak mungkin ada dari awal tanpa permulaan (azal, eternity), sebab mustahil bagi gerak itu mundur dalam waktu secara tak terhingga, karena sesuatu yang tak terhingga tidak dapat dilintasi. Atau lagi, jika pada suatu titik waktu mana pun, deretan tak terhingga, telah berlangsung, maka pada titik tertentu sebelumnya hanya suatu deretan terhingga saja yang telah berlangsung; tetapi titik tertentu itu terpisah dari lainnya oleh suatu sisipan yang terhingga; oleh karena itu seluruh deretan waktu itu terhingga dan diciptakan.
(4) Argumen dari keterhinggaan jagad: karena jagad ini tersusun dari bagian-bagian yang terhingga, maka ia pun terhingga pula; segala sesuatu yang terhingga adalah sementara; oleh karena itu jagad adalah sementara, yakni, mempunyai suatu permulaan dan diciptakan.
(5) Argumen dari kemungkinan (imkan, contingency): jagad ini tidaklah (secara rasional) pasti terwujud; oleh karena itu harus terdapat faktor penentu (mukhashshish, murajjih) yang membuat jagad itu terwujud, yaitu Pencipta.
(6) Argumen dari kesementaraan (huduts, temporality): benda tidak mungkin lepas dari kejadian ('aradl, accident) yang bersifat sementara; apa pun yang tidak dapat terwujud kecuali dengan hal yang bersifat sementara tentu bersifat sementara pula; karena itu seluruh jagad raya adalah sementara (hadits) dan tentu telah terciptakan (muhdats).[4]
Sudah diisyaratkan di atas bahwa sebagian dari argumen itu diwarisi para pemikir Muslim dari falsafah Yunani. Beberapa failasuf Islam seperti Ibn Rusyd dan al-Suhrawardi memang menyebutkan nama Yahya al-Nahwi (Yahya si Ahli Tatabahasa, yaitu John Philoponus, meninggal sekitar tahun 580 M.), seorang pemikir Nasrani dari Iskandar, Mesir, telah merintis argumen "kalami" untuk adanya Tuhan dan terciptanya alam raya. Namun di tangan kaum Muslim, khususnya para penganut paham Asy'ari, dan lebih khusus lagi al-Ghazali pribadi, argumen itu berkembang seperti ringkasan al-Alousi di atas, dan menjadi salah satu segi kontribusi alam pikiran Islam yang paling orisinal kepada alam pikiran umat manusia.
Karena itu semua, maka Ilmu Kalam menjadi karakteristik pemikiran mendasar yang amat khas Islam, yang membuat pembahasan teologis dalam agama itu berbeda dari yang ada dalam agama lain mana pun, baik dari segi isi maupun metodologi. Sungguh sangat menarik bahwa dalam perkembangan teologis umat manusia, Ilmu Kalam seperti yang dipelopori oleh al-Asy'ari dan dikembangkan oleh al-Ghazali itu telah mempengaruhi banyak agama di dunia, khususnya yang bersentuhan langsung dengan Islam, yaitu Yahudi dan Kristen, sebegitu rupa. Sehingga banyak para pemikir Yahudi sendiri memandang bahwa agama Yahudi seperti yang ada sekarang ini adalah agama Yahudi yang dalam bidang teologi telah mengalami "pengislaman", seperti tercermin dalam pembahasan buku Austryn Wolfson, Repercussion of Kalam in Jewish Philosophy ("Pengaruh Kalam dalam Falsafah Yabudi").[5]
Dan William Craig mengisyaratkan bahwa berbagai polemik teologis dan filosofis dalam Yahudi dan Kristen adalah karena pengaruh, dan merupakan kelanjutan, dari polemik teologis dan filosofis dalam Islam. Seperti kita ketahui, dalam Islam terjadi polemik antara Kalam (ortodoks) dengan falsafah, diwakili oleh polemik posthumous antara al-Ghazali (Tahafut al-Falasifah, "Kerancuan para Failasuf') dan Ibn Rusyd (Tahafut al-Tahafut, "Kerancuannya Kerancuan"). Dalam Yahudi, polemik yang paralel juga telah terjadi, yaitu antara Saadia (pengaruh Kalam al-Ghazali) dengan Maimonides (pengaruh falsafah Ibn Rusyd), dan dalam Kristen polemik serupa ialah antara Bonaventure (pengaruh Kalam al-Ghazali) dan Thomas Aquinas (pengaruh falsafah Ibn Rusyd).[6]
Sekarang ini, di zaman Moderen, para pengikut paham Asy'ari boleh merasa lebih mantap dan berbesar hati, sebab, sepanjang pembahasan William Craig, seorang ahli filsafat moderen dari Berkeley, California, ilmu pengetahuan mutakhir, khususnya teori-teori tentang asal kejadian alam raya seperti teori ledakan besar dalam Astronomi moderen, sangat menunjang argumen-argumen Ilmu Kalam, khususnya dalam pandangan bahwa alam raya berpermulaan dalam suatu titik waktu di masa lampau, dan bahwa ia diciptakan dari tiada. Sebagai seorang failasuf non-religi, Craig tetap skeptis tentang apakah Tuhan itu mempunyai sifat-sifat seperti yang dibicarakan dalam Ilmu Kalam. Namun ia menyimpulkan pembahasannya dengan mengakui validitas argumen Kalam tentang adanya Tuhan:
Jadi telah disimpulkan tentang adanya suatu Khaliq yang personal bagi alam raya yang ada tanpa berubah dan lepas sebelum penciptaan dan dalam waktu sesudah penciptaan. Inilah inti pusat apa yang oleh kaum Ketuhanan dimaksudkan dengan "Tuhan". Kita tidak melangkah lebih jauh dari itu. Argumen kosmologis kalam membimbing kita kepada adanya Khaliq yang personal bagi alam raya, namun perkara apakah Khaliq ini Mahakuasa, baik, sempurna, dan seterusnya, kita tidak akan membahas.[7]
Meskipun skeptis tentang sifat-sifat Tuhan, namun, juga sebagai seorang failasuf non-religi, William Craig mengisyaratkan bahwa setelah terjadi kesimpulan mantap tentang adanya Tuhan, sepatutnya kita melihat apakah Tuhan itu "pernah" menyatakan Diri melalui wahyu-Nya seperti dikatakan dalam agama-agama, ataukah tidak. Jika jawabnya afirmatif, itu berarti landasan keabsahan bagi agama. Dan kalau negatif, maka barangkali Aristoteles benar bahwa Tuhan itu adalah penggerak yang tak tergerakkan, dan bahwa Dia tetap jauh dan lepas dari jagad raya yang telah diciptakanNya.[8]
Tentu saja para ahli Ilmu Kalam menolak konsep Aristoteles itu. Namun tetap bahwa kesimpulan failasuf moderen tersebut membuktikan segi paling tangguh dari paham Asy'ari sebagai doktrin 'aqidah Islamiah. Paham Asy'ari dengan deretan argumennya itu, seperti telah disebutkan, telah berjasa ikut memperkokoh konsep Ketuhanan dalam agama-agama besar, khususnya Islam sendiri, serta Yahudi dan Kristen. Dan jika Craig benar, paham Asy'ari juga akan berjasa ikut memperkokoh konsep Ketuhanan bagi manusia zaman mutakhir dengan ilmu-pengetahuan dan astronomi moderennya.

Masalah Perilaku Manusia

Tanpa kehilangan pandangan tentang segi-segi kuat di atas itu, pembicaraan tentang paham Asy'ari tidak mungkin lepas dari segi-segi lemahnya, baik dalam pandangan para pemikir Islam sendiri di luar kubu Kalam Asy'ari, maupun dari dalam pandangan para pemikir lainnya. Dalam batasan ruang dan waktu, kita akan hanya menyinggung satu segi saja yang paling relevan dan juga paling banyak dijadikan sasaran kritik, yaitu pandangan dalam sistem paham Asy'ari tentang perilaku manusia berkenaan dengan masalah sampai di mana manusia mampu menentukan sendiri kegiatannya dan sampai di mana ia tidak berdaya dalam masalah penentuan kegiatan itu berhadapan dengan qudrat dan iradat Tuhan.
Dari kutipan tentang paham Ahl Al-Sunnah yang dijabarkan al-Asy'ari di muka --dan yang ia dukung dan anut sepenuhnya-- dapat kita baca pandangan tentang perilaku manusia, termasuk tentang kebahagiaan dan kesengsaraannya, yang bernada sikap pasrah kepada nasib (fatalisme).
Sesungguhnya al-Asy'ari bukanlah seorang Jabari 'sehingga dapat disebut fatalis. Tetapi ia juga bukan seorang Qadari yang berpaham tentang kemampuan penuh manusia menentukan perbuatannya, seperti kaum Mu'tazilah dan Syi'ah. Al-Asy'ari ingin menengahi antara kedua paham yang bertentangan itu, sebagaimana dalam bidang metodologi ia telah menengahi antara kaum Hanbali yang sangat naqli (hanya berdasar teks-teks suci dengan pemahaman harfiah) dan kaum Mu'tazili yang sangat 'aqli (rasional).
Dalam usahanya menengahi antara jabariah dan qadariah itu, Abu Hasan al-Asy'ari tampil dengan konsep kasb (perolehan, acquisition) yang cukup rumit. Berikut ini tiga bait syair tentang pengertian kasb, dari kitab Jawharat al-Tawhid, salah satu buku teks dalam paham Asy'ari:
Wa 'indana li al-'abd-i kasb-un kullifa
Wa lam yakun mu'atstsir-an fa 'l-ta'rifa
Fa laysa majbur-an wa la ikhtiyar-an
Wa laysa kull-an yaf' al-u ikhtiyar-an
Fa in yutsibna fa bi mahdl-i al-fadl'l-i
Wa in yu'adzdzib fa bi mahdl-i al-'adl-i[9]
Artinya:
Bagi kita, hamba (manusia) dibebani kasb,
Namun kasb itu, ketahuilah, tidak akan berpengaruh
Maka manusia tidaklah terpaksa, dan tidak pula bebas,
Dan tidak pula masing-masing itu berbuat dengan kebebasan
Jika Dia (Allah) memberi pahala kita maka semata karena murah-Nya,
Dan jika Dia menyiksa kita maka semata karena adil-Nya
Jadi, jelasnya, manusia tetap dibebani kewajiban melakukan kasb melalui ikhtiarnya, namun hendaknya ia ketahui bahwa usaha itu tak akan berpengaruh apa-apa kepada kegiatannya. Karena kewajiban usaha atau kasb itu maka manusia bukanlah dalam keadaan tak berdaya seperti kata kaum Jabari, tapi karena usahanya toh tidak berpengaruh apa-apa kepada kegiatannya maka ia pun bukanlah makhluk bebas yang menentukan sendiri kegiatannya seperti kata kaum Qadari. Dan jika Allah memberi kita pahala (masuk surga), maka itu hanyalah karena kemurahan-Nya (bukan karena amal perbuatan kita), dan jika dia menyiksa kita (masuk neraka) maka itu hanyalah karena keadilan-Nya (juga bukan karena semata perbuatan kita).
Kutipan itu menggambarkan betapa sulitnya memahami konsep kasb dalam paham Asy'ari. Maka tidak heran konsep itu menjadi sasaran kritik tajam para pemikir lain, termasuk Ibn Taymiyyah yang menganggapnya sebagai salah satu keanehan atau absurditas Ilmu Kalam. Ibn Taymiyyah malah menggubah syair yang dapat dipandang sebagai tandingan konsep kasb:
Wa la makhraj-a li 'l-'abd-i 'amma qadla,
Walakinnahu mukhtar-u husn-in wa saw'at-i
|Fa laysa bi majbur-in 'adim-i 'l-iradat-i
Wa lakinnahu sya'a bi khalq-i 'l-iradat-i[10]
Artinya:
Tidak ada jalan keluar bagi manusia dari ketentuan-Nya,
Namun manusia tetap mampu memilih yang baik dan yang buruk
Jadi bukannya ia itu terpaksa tanpa kemauan, melainkan ia berkehendak dengan terciptanya kemauan (dalam dirinya)
Begitulah, Ibn Taymiyyah melihat bahwa dalam proses perkembangan paham Asy'ari, konsep kasb yang sulit itu telah menjerumuskan para pengikutnya kepada sikap yang lebih mengarah ke Jabariah, tidak ke jalan tengah yang dikehendakinya. Ibn Taymiyyah sendiri, karena menolak baik Qadariah maupun Jabariah, juga tampil dengan konsepnya jalan tengah, yaitu, sebagaimana ternyata dari syair tersebut, konsep bahwa Allah telah menciptakan dalam diri manusia kehendak (iradah), yang dengan iradah itu manusia mampu memilih jalan hidupnya, baik maupun buruk.
CATATAN
1 William Lane Craig, The Kalam Cosmological Argument (New York: Barnes & Noble, 1979), h. 4.
2 Abd al-Hasan 'Ali ibn Isma'il al-Asy'ari, Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Mushallin, edisi Muhammad Muhy-al-Din 'Abd-al Hamid 2 jilid (kairo: Maktabat al-Nahdlat al-Mishriyyah, 1969), jil, 1, hh. 345-50.
3 Ibid., h. 350.
4 Al-Alousi, sebagaimana dikutip dalam Craig, op. cit., hh. 7-8.
5 Diterbitkan oleh Harvard University Press, Cambridge, Mass., 1979.
6 Craig, op. cit., "Pengantar".
7 "We have thus concluded to a personal Creator of the universe who exists changelessly and independently prior to creation and in time subsequent to creation. This is a central core of what theists mean by "God". Further than this we shall not go. The Kalam cosmological argument leads us to a personal Creator of the universe, but as to whether this Creator ia omniscient, good, perfect, and so forth, we shall not inquire". (Ibid., h. 152).
8 Ibid., hh. 152-3.
9 Tarjamah Sabil al-'Abid 'ala Jawharat al-Tawhid (karangan Ibrahim al-Laqqani) oleh H. Muhammad Shalih ibn 'Umar Samarani, (tanpa data penerbitan), hh. 146, 149, 150 don 156.
10 Dikutip dalam 'Abd-al-Salam Hasyim Hafidh, al-Imam ibn Taymiyyah (Kairo: Musthafa al-Halabi, 1969), h. 15.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar