Fundamentalisme Kristen
Fundamentalisme telah menjadi fenomena masyarakat modern, terutama sekali setelah peristiwa 9/11. Fundamentalisme seolah menjadi bintang panggung, entah sebagai seorang tokoh protagonis atau antagonis. Perhatian orang terhadap agama pun meningkat pesat. Semua orang memakai kata itu, namun sedikit orang yang memahami apa sesungguhnya arti kata fundamentalisme. Sebelum kita masuk lebih lanjut ada baiknya kita melihat terlebih dahulu makna kata fundamentalisme itu sendiri.Arti Kata Fundamentalisme
Kata fundamentalisme berasal dari kata fundament,
yang berarti fondasi atau dasar. Ada juga kata lain yang kerap kali
dipakai sebagai sinonim fundamentalisme, yaitu radikalisme, yang berasal
dari kata radix, yang berarti akar. Karena itu fundamentalisme
bisa diartikan sebagai sebuah gerakan kembali ke dasar atau kembali ke
akar. Dengan demikian, fundamentalisme agama berarti gerakan kembali ke
ajaran semula, pada ajaran awal agamanya. Pengertian ini memiliki makna
positif, karena jika kita menerima bahwa ajaran agama pada dasarnya
adalah baik, maka gerakan kembali ke ajaran semula tentunya juga baik
adanya. Pandangan ini pulalah yang banyak dipahami oleh para
fundamentalis. Pengertian ini juga kerap disertai makna kembali pada
masa keemasan di zaman dahulu di mana agama menduduki posisi sentral,
dan umumnya masa yang diacu adalah masa umat pertama yang terbentuk di
bawah bimbingan nabinya.[1]
Pengertian kedua yang juga sering
ditempelkan kepada fundamentalisme adalah literalisme. Artinya mereka
memahami arti kitab suci secara literal. Dalam beberapa hal tampaknya
ini benar, namun tidak sepenuhnya benar. Mengapa demikian akan
dijelaskan pada bagian lain dalam tulisan ini.
Pengertian ketiganya adalah revivalisme, yang berasal dari kata revival
yang artinya kebangkitan kembali. Kebangkitan kembali di sini bisa
diartikan sebagai kebangkitan iman atas kondisi keimanan masyarakat yang
merosot. Kebangkitan ini juga bisa diartikan sebuah perlawanan terhadap
ajaran standar yang dilihat telah merosot dan tidak sesuai dengan
ajaran asli.
Makna fundamentalisme sendiri bisa
dianggap sebagai gabungan dari semua makna di atas, meskipun ragam
fundamentalisme sangat bermacam-macam dan kerap kali berubah dari waktu
ke waktu. Kata “Fundamentalisme” sendiri sebenarnya melekat pada makna
tersebut karena dua belas pamflet yang berjudul “The Fundamentals” yang diterbitkan di Amerika antara tahun 1910-1915.[2] Di dalamnya dimuat unsur-unsur doktrinal yang diakui sebagai “fundamental” bagi iman kristiani.[3] Curtis Lee Laws sendiri, seorang editor di koran The Watchman Examiner, sebuah koran gereja Northern Baptist,
di tahun 1920 menuliskan bahwa seorang “fundamentalis” adalah orang
yang berani melakukan perang habis-habisan untuk membela
fundamen-fundamen imannya.[4] Jadilah kata tersebut melekat dalam penggunaan sampai sekarang.
Meskipun arti literal fundamentalisme
sebenarnya kurang tepat untuk menggambarkan seluruh perilaku kaum yang
kita sebut fundamentalis tersebut, namun karena faktor historis dan
kesepakatan bersama, jadilah kata itu dipakai sampai sekarang untuk
menggambarkan suatu subkultur agama yang akan kita bahas di dalam
bahasan ini.
Kata fundamentalisme juga sering
dikaitkan dengan kata konservatisme. Sulit untuk membedakan secara jelas
perbedaan kedua kata ini. Untuk sekadar memudahkan saja, konservatisme
biasa dipakai untuk mereka yang memegang ajaran standar agama pada
umumnya, dan fundamentalisme untuk mereka yang melakukan tekanan
tertentu pada ajaran agama sampai tahap ekstrim. Kedua pembagian ini
bukanlah pembagian yang biner, tetapi lebih sebuah spektrum yang
kontinyu. Pembagian ini juga bukan pembagian yang mutlak, sebab dalam
beberapa contoh yang akan diberikan kemudian, terlihat bahwa beberapa
fundamentalis pun bergeser ke arah konservatif seiring dengan waktu dan
berubahnya keadaan.
Sekelumit Sejarah Fundamentalisme Kristen
Fundamentalisme meskipun mengklaim
diri sebagai sebuah gerakan pemurnian ajaran atau kembali ke masa awal,
ia adalah sebuah gerakan modern. Pemikiran tentang fundamentalisme baru
mulai muncul ketika gereja sudah mapan di dalam Gereja Katolik Roma,
yang memegang monopoli ajaran di abad pertengahan Eropa. Akar dari
fundamentalisme Kristen sendiri bisa dirunut mulai dari awal Reformasi,
walaupun Martin Luther maupun John Calvin sendiri sulit untuk dimasukkan
ke dalam kategori fundamentalis, jika kita memakai ukuran masa kini.
Hal yang menjadi akar bagi fundamentalis yang dirintis gerakan Reformasi adalah tiga prinsip: sola gracia, sola fides, sola scriptura (hanya rahmat, hanya iman, hanya Kitab Suci). Secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut. Sola gracia
berarti keselamatan hanya dapat datang dari Tuhan sebagai rahmat dan
pemberian cuma-cuma. Ia tidak harus diperoleh dengan mengumpulkan
kebajikan atau pahala. Sola fides berarti keselamatan yang
merupakan rahmat hanya dapat diperoleh dengan pengakuan iman kepada
Yesus Sang Juru Selamat. Ia menjadi satu-satunya jalan mencapai
keselamatan. Sola scriptura berarti hanya Kitab Suci yang
menjadi petunjuk manusia menuju Allah, dan dengan ini berarti seluruh
hukum gereja tidak berlaku. Semua orang berhak melihat apa yang Tuhan
inginkan melalui Kitab Suci, tanpa perantaraan imam[5] atau gereja. Ajaran ini juga sering disebut sebagai imamat seluruh umat beriman (priesthood of all believers).
Dengan demikian setiap umat beriman boleh membaca dan menafsirkan Kitab
Suci, tanpa tergantung pada ajaran resmi. Tuhan menyapa setiap orang
melalui Kitab Suci.
Kesemua prinsip di atas adalah reaksi
atas monopoli ajaran Gereja Katolik Roma. Mereka lahir dalam sebuah
konteks. Imamat seluruh umat beriman misalnya adalah sebuah reaksi atas
bobroknya kekuasaan para imam di zaman itu. Luther setelah melakukan
penyelidikan di dalam Kitab Suci menemukan bahwa banyak praktek gereja
di saat itu bertentangan dengan Kitab Suci. Ia pun menerjemahkan Alkitab
ke dalam bahasa yang bisa dibaca awam[6],
yaitu bahasa Jerman, karena Alkitab di waktu itu hanya tersedia dalam
bahasa Latin dan Yunani yang tidak dimengerti orang biasa (meskipun
belum banyak orang yang bisa membaca di waktu itu).
Akar kedua dari fundamentalisme adalah
gerakan revivalisme di Eropa. Aliran-aliran baru yang muncul dari
revivalisme ini adalah Anabaptisme, Puritanisme, Pietisme, dan Metodism
yang lahir kurang lebih mulai dari abad ke-16 sampai 18. Kesemua gerakan
ini lahir sebagai reaksi atas makin bergesernya Gereja Protestan ke
arah kependetaan, upacara sakramen[7],
dan semakin duniawi sehingga mereka melihatnya semacam arah kembali ke
Katolik. Puritanisme Inggris misalnya lahir sebagai reaksi atas Gereja
Inggris (Anglikan) yang mereka lihat masih memegang ritualisme dan
sakramentalisme, dan semakin menyamai kepausan. Mereka lalu sewaktu
hijrah ke tanah baru Amerika mempraktekkan agama Kristen sesuai dengan
versi mereka.
Di daratan Amerika inilah lahir gerakan yang bisa disebut proto-fundamentalisme. Gerakan ini biasa disebut dengan The Great Awakening (1720-1740). Salah satu penggeraknya bernama George Whitefield.
Ia berkhotbah dari satu lapangan ke lapangan lain, karena pendengarnya
tidak akan cukup kalau dimasukkan ke dalam gedung gereja. Ia sendiri
adalah seorang pendeta Calvinis, meskipun terpengaruh oleh gerakan
Metodisme yang dibawa oleh John Wesley. Sewaktu ia berkunjung ke Amerika
pada tahun 1739-1740, ia menarik massa dengan khotbahnya yang
berapi-api, yang berpusat pada hukuman mengerikan bagi para pendosa jika
mereka tidak bertobat. Mereka yang hadir larut dalam eforia, terguncang
dan menangis secara emosional. Ia sendiri telah mengalami pertobatan
sewaktu masih kuliah, dan ia menamakan pengalaman ini sebagai “lahir
baru”. Istilah ini dipakai sampai sekarang oleh para fundamentalis untuk
menggambarkan suatu pertobatan radikal untuk menerima Yesus sebagai
satu-satunya Juru Selamat.
Dalam catatan tokoh gerakan ini, pendeta Jonathan Edwards, kita bisa melihat bagaimana terjadinya gerakan ini:
Sebelum terjadinya Kebangunan (Awakening), orang-orang di Northampton tidak benar-benar taat beragama. Tetapi di tahun 1734, dua anak muda tiba-tiba mati, dan kekacauan (catatan penulis:
yang dikompori oleh khotbah Edward yang emosional) melanda kota.
Orang-orang mendadak menjadi religius, dan menyebar seperti virus sampai
ke seluruh Massachusetts dan Long Island. Semua orang berhenti bekerja
dan hanya membaca Kitab Suci. Dalam enam bulan, tiga ratus orang telah
mengalami “lahir baru”. Emosi mereka berubah drastis, dari emosi yang
tinggi selangit lalu jatuh terjerembab; kadang-kadang seperti jatuh ke
jurang yang dalam karena perasaan berdosa yang tak layak diampuni, lalu
bangkit tertawa dan bersukacita sambil menangis karena merasa
diselamatkan.[8]
Setelah segala sukacita dan kegaduhan
berakhir di Northampton, seorang laki-laki bunuh diri, karena merasa
bahwa kehilangan sukacita di dalam dirinya adalah pertanda bahwa ia
terkutuk di neraka. Dua orang lain menjadi gila. Yang lain dapat kembali
kepada kehidupan seperti semula. Begitu iman menjadi irasional,
pengaman yang biasanya terdapat di dalam ajaran agama konservatif
menjadi hilang, dan orang dapat dengan mudah terserang segala macam
delusi. Ritual dalam ajaran standar biasanya dirancang untuk dapat
memberikan perasaan spiritual tanpa membahayakan keselamatan secara
psikologis. Pada peristiwa di Northampton ini, mereka tidak melaksanakan
ritual tertentu tetapi tenggelam ke dalam eforia massa tanpa aturan,
semuanya terjadi spontan. Dan bagi beberapa orang, akibatnya fatal.[9]
Kebangunan Besar Kedua (The Second Great Awakening)
terjadi mulai tahun 1790-an di New England, beberapa dekade setelah
melemahnya Kebangunan Pertama. Jika Kebangunan Pertama berpusat di
daerah utara, Kebangunan Kedua ini berpusat di daerah selatan, di
daerah-daerah perkebunan yang banyak mempekerjakan buruh-buruh.
Pertemuan tenda banyak diadakan di daerah perbatasan Kentucky dan
Tennessee. Belasan ribu orang berkumpul di tenda-tenda untuk
mendengarkan khotbah yang berapi-api, menyanyikan lagu pujian, dibaptis
di sungai setempat dan berdoa dengan khusyuk untuk keselamatan keluarga
dan teman mereka dari api neraka.[10]
Gerakan-gerakan kebangunan seperti ini
mengkhawatirkan golongan pendeta yang memegang hirarki gereja.
Pertobatan emosional terjadi dalam waktu yang singkat, dan mereka yang
berkhotbah adalah pendeta yang mengangkat dirinya sendiri dan kurang
berpendidikan. Pada akhirnya terjadi pemisahan dari gereja besar dan
membentuk gereja baru yang diperintah oleh umat sendiri.[11]
Lahirnya gerakan ini di Amerika
Serikat adalah sesuatu yang patut dicermati. Pertama, Amerika adalah
tanah baru tempat pelarian agama-agama yang ditindas di Eropa. Ia lahir
di tempat yang belum terjangkau yurisdiksi agama-agama. Di Amerika, di
sebuah tempat pelarian, keikutsertaan pada sebuah agama menjadi sebuah
kebebasan individu, bukan keterpaksaan seperti di Eropa. Ini adalah
sebuah ide yang sungguh modern, di mana kebebasan individu dihargai.
Yang kedua adalah konteks sosial ekonomi. Mulai bertumbuhnya kota-kota
di Eropa menciptakan masalah baru yaitu kemiskinan di kota yang kumuh.
Di Amerika juga terjadi hal yang sama, kota-kota baru terbentuk dan
perkebunan dibuka. Gereja-gereja tua yang lebih mapan lambat dalam
merespons gerakan ini. Gereja masih berkutat dalam masalah teologi dan
terlambat untuk melihat kenyataan bahwa modernisme telah menciptakan
sebuah realitas baru. Kemiskinan hanya sekadar menjadi tanda supaya ada
kebajikan dari orang-orang yang kaya. Gerakan-gerakan baru seperti
Metodis mampu bergerak lebih cepat dan memberikan makna bagi masyarakat
kelas bawah ini. Pertemuan-pertemuan mereka lakukan di
perkebunan-perkebunan atau di daerah-daerah kumuh. Kondisi ini
memberikan sumbangan besar bagi revivalisme yang memang sebagian besar
jemaatnya adalah masyarakat kelas bawah.[12]
Gerakan revivalis pertama seperti ini
yang melahirkan kelompok baru seperti Metodis di Inggris, Pietis di
Jerman, dan Puritan sebenarnya juga melahirkan pembaharuan sosial. Charles Finney (1795-1875), melahirkan banyak gerakan pembaharuan sosial dan karitatif. William Wilberforce
(1759-1833) adalah seorang anggota parlemen Inggris yang memperjuangkan
undang-undang anti-perbudakan yang berhasil diundangkan pada tahun
1807.[13]
Revivalisme seperti yang diceritakan
di atas belumlah membentuk sebuah fundamentalisme modern seperti yang
kita kenal sekarang. Mereka lebih seperti reaksi spontan atas kondisi
gereja saat itu dan kebetulan bersamaan dengan kondisi sosial masyarakat
bawah yang baru terbentuk akibat modernisasi. Fundamentalisme dalam
wajah seperti yang kita kenal sekarang baru mulai terbentuk setelah
munculnya teologi liberal. Teologi liberal memperlakukan teks Kitab Suci
seperti halnya teks lain yang bisa dianalisis dan dikritik. Kritik
Tinggi seperti yang dilakukan para sarjana Jerman seperti Wellhausen dan
Graf mengatakan bahwa Kitab Taurat, yang secara tradisi dipercaya
ditulis oleh Musa, ditulis pada periode terakhir masa Perjanjian Lama
oleh para pendeta Yahudi kira-kira abad ke-8 SM. Kritik Tinggi juga
melihat bahwa Kitab Taurat ditulis oleh lebih dari satu pengarang dari
hasil analisis sastra. Mereka juga mencoba menjelaskan segala peristiwa
dan mukjizat dengan metode ilmiah sehingga terlihat lebih masuk akal dan
menghilangkan segi keajaibannya.[14]
Hasil penelitian seperti ini merupakan
pukulan yang luar biasa bagi mereka yang mempercayai bahwa Kitab Suci
adalah wahyu Ilahi yang menginspirasi para nabi untuk menuliskannya dan
apa yang tertulis di dalam Kitab Suci adalah benar kata per kata. Inilah
yang memicu munculnya fundamentalisme modern yang berkesinambungan
sampai sekarang.
Lubang ketidakpastian yang dimunculkan
oleh teologi liberal ini dicoba ditutupi oleh mereka yang membutuhkan
kepastian. Salah satunya adalah oleh Arthur Pierson yang ingin membuat Kitab Suci terjelaskan secara benar dan ilmiah di dalam bukunya “Many Infallible Proof” yang terbit tahun 1895. Seminari The New Light Prebysterian di Princeton menjadi benteng aliran Kristen fundamentalis ini terhadap gempuran modernisme. Pada tahun 1873, Charles Hodge yang mengajar teologi di sana menerbitkan buku “Systematic Theology”
yang berisikan argumen bahwa Kitab Suci harus dipahami secara literal,
bukan alegori atau simbolik. Ia ingin memberlakukan Kitab Suci
sebagaimana buku sains yang sistematik dan terbuktikan oleh fakta.[15]
Dwight L. Moody, yang dikenal sebagai bapak kaum fundamentalisme Amerika, bergerak lebih maju lagi. Ia mendirikan Moody Bible Institute
di tahun 1886 dengan tujuan untuk melahirkan para penginjil yang mampu
melawan ajaran Kritik Tinggi yang dinilainya sebagai ancaman bagi umat
Kristen. Ia tidak bermaksud mencetak teolog terpelajar melainkan
menciptakan para penginjil yang mampu memberikan penjelasan kepada umat
biasa yang bingung dengan fakta yang dibeberkan teologi liberal. Ia
percaya bahwa teologi liberal-lah yang telah menghancurkan Amerika, dan
ia ingin menyelamatkannya. Ia juga seorang premilenialis[16]
yang percaya bahwa kondisi tidak akan membaik melainkan akan terus
memburuk sampai Yesus datang. Di lain pihak ia memulai kerja sosial
dengan memberikan pelayanan sosial bagi orang-orang miskin. Ia juga
tidak menutup diri dan mau bekerja sama dengan umat Kristen aliran mana
pun, asal orang-orang berdosa mau menerima Kristus dan diselamatkan. Moody Bible Institute bertahan sampai saat ini sebagai salah satu kubu terkuat kaum fundamentalis.[17]
Pengorganisasian gerakan fundamentalisme dengan pendirian sekolah
penginjil seperti ini menjadi semacam tren. Menjelang 1930, paling tidak
ada lima puluh Bible College milik kelompok fundamentalis di seluruh Amerika Serikat. Sewaktu Great Depression berdiri lagi sebanyak dua puluh enam buah.[18]
Perang Sipil yang meluluhlantakkan Amerika juga melahirkan sebuah teologi baru. John Nelson Darby di
antara tahun 1859-1877 berkeliling Amerika dan menyebarkan ajaran
premilenialisme versinya dengan mengatakan bahwa perang akan membawa ke
akhir zaman dan Yesus akan segara datang untuk membereskannya. Salah
satu poin penting dalam ajaran Darcy adalah tentang “pengangkatan ke
awan-awan” (rapture)[19],
orang Kristen yang benar akan menghilang dan terangkat ke surga dan
terhindar dari Armageddon yang membawa penderitaan bagi mereka yang
tidak percaya. Ayat ini dipercaya secara literal oleh para fundamentalis
sampai saat ini dan memegangnya sebagai salah satu kunci sentral ajaran
mereka. C. I. Scofield yang menerbitkan The Scofield Reference Bible
di tahun 1909 mengukuhkan posisi premilenialis. Ia melihat Kitab Suci
sebagai kitab sejarah untuk masa lalu, masa kini, dan masa depan. Kitab
Suci terbitannya penuh dengan referensi sejarah. Tafsir Scofield oleh
para fundamentalis dianggap sama sahihnya dengan Kitab Suci itu sendiri.[20]
Perang Dunia Pertama juga dilihat
dengan kaca mata yang sama (setelah ternyata Perang Sipil tidak
mendatangkan kiamat). Perang yang dahsyat ini dilihat sebagai
penggambaran Armageddon dari Kitab Wahyu.[21] Tiga konferensi besar bertajuk Prophecy Conference digelar selama 1914-1918 untuk melihat “tanda-tanda zaman”.[22] Deklarasi Balfour[23]
dilihat sebagai pemenuhan nubuat di dalam Kitab Suci yang mengatakan
bahwa sebelum zaman akhir umat Israel akan kembali ke tanah terjanji,
Palestina. Rusia dilihat sebagai bangsa dari Utara yang akan menyerang
Israel sesaat sebelum Armageddon.[24]
Gerakan Protestanisme di Amerika Serikat di antara tahun 1900-1920 melahirkan “Social Gospel” dengan
tujuan membawa Tuhan ke ranah publik, di kota dan pabrik. Gerakan ini
mendirikan banyak kerja-kerja sosial di penjara, tempat kumuh dan
kawasan pabrik. Masa ini adalah masa bulan madu antara kaum liberal dan
konservatif. Mereka bekerja sama dalam program-program sosial walaupun
berbeda secara ideologi. Kaum fundamentalis melihat bahwa perjuangan
melawan kemiskinan adalah sebuah perjuangan melawan setan dan
materialisme. Meskipun demikian para fundamentalis kemudian mulai kritis
terhadap gerakan ini karena melihat tidak ada gunanya untuk
menyelamatkan dunia ini dan lebih baik menunggu kedatangan Yesus.
Kemudian mereka mulai memisahkan diri dengan kaum liberal karena kaum
liberal mulai bekerja sama dengan kaum kiri. Tetapi mereka masih
meneruskan karya-karya sosial mereka.[25]
Di saat yang bersamaan, sebuah arus baru muncul di dalam gerakan fundamentalisme. Gerakan tersebut adalah gerakan Pentekostalisme. Gerakan ini lahir di Parham’s Bethel Bible College di Topeka, Kansas, 1 Januari 1901, saat Agnes Oznam,
tiba-tiba meracau dalam bahasa yang tidak dikenal. Tak lama berselang,
para pengikut yang lain pun mengalami hal yang sama. Pendeta di gereja
tersebut, Charles Parham memahami kejadian ini sebagai
pembaptisan oleh Roh Kudus yang membuat mereka “berbahasa roh”, yang
mengacu pada kejadian Pentekosta yang tertulis di dalam Kitab Suci. [26]
Kejadian ini dilihat oleh para penganutnya sebagai tanda bahwa akhir
zaman sudah dekat. Gerakan ini meluas secara nasional dan internasional
setelah berpusat di Azusa Street, Los Angeles di bawah pimpinan William Seymor,
seorang yang mengalami pertobatan di bawah pendeta Parham. Gerakan ini
berpusat pada ekstasi massal yang kemudian berbahasa roh dan penyembuhan
baik secara spiritual maupun fisik. Mereka tidak begitu tertarik dengan
isi Kitab Suci maupun tafsirnya. Mereka ibarat mempunyai saluran
telepon langsung dengan Tuhan.[27]
Munculnya arah baru ini tidak diamini oleh seluruh fundamentalis.
Gerakan fundamentalis menganggap gerakan ini sesat karena langsung
mendasarkan ajaran mereka pada kehadiran Ilahi melalui bahasa roh, bukan
pada teks Kitab Suci.[28]
Pukulan berikutnya yang akan membuat gerakan fundamentalisme menjadi ekstrim datang dari penerbitan Origin of Species-nya
Charles Darwin di tahun 1859. Meskipun sebenarnya Darwin tidak membahas
tentang penciptaan makhluk hidup di dalam bukunya itu, masyarakat
Kristen sudah terlanjur menganggap bahwa Darwin mengajarkan penciptaan
tanpa Tuhan. Darwin sebenarnya sekadar mengatakan bahwa keanekaragama
hayati timbul akibat seleksi alam, yang memang tidak terdapat di dalam
Kitab Suci yang mengatakan bahwa segala ciptaan sudah diciptakan
demikian adanya sejak awal mula penciptaan. Darwin telah menggeser
posisi manusia dari makhluk spesial ciptaan Allah menjadi sama dengan
binatang yang tunduk pada hukum alam.[29]
Mulanya
masalah evolusi tidak menjadi sebuah permasalahan besar, semata-mata
sebuah masalah baru untuk menambah masalah-masalah lama yang memang
memisahkan mereka dari kaum liberal. Masalah teori evolusi ini menjadi
besar ketika terjadi pengadilan di tahun 1925 atas John Scopes,
seorang guru di Dayton, Tennessee, yang mengajarkan teori evolusi di
sekolah. Ia didakwa melanggar undang-undang negara bagian Tennesse yang
memang melarang pengajaran teori evolusi Darwin. Pengadilan tersebut
menjadi medan peperangan antara para modernis rasionalis dan
fundamentalis Kristen. Para modernis diwakili oleh pengacara Scopes, Clarence Darrow, sedangkan penuntutnya adalah William Jennings Bryan. Scopes kalah dalam pengadilan tersebut dan didenda $100, yang ditanggung oleh ACLU (American Civil Liberty Union).
Tetapi kemenangan sesungguhnya berpihak pada para rasionalis karena di
dalam persidangan Darrow berhasil memaksa Bryan untuk mengakui di depan
majelis bahwa Bumi lebih tua dari enam ribu tahun, dan mengakui bahwa
satu hari penciptaan di dalam Kitab Kejadian adalah lebih dari dua puluh
empat jam dan dengan demikian mengakui bahwa Kitab Suci tidak bisa
dibaca secara literal. Kemenangan para rasionalis ini mendapatkan
publikasi besar-besaran dan ini membuat para fundamentalis makin menutup
diri, untuk kemudian bangkit kembali secara lebih fanatik.[30]
Gerakan
fundamentalis mengalami kemunduran setelah kasus Scopes, dan mengurung
diri untuk konsolidasi. Di dalam kubu mereka juga terjadi perpecahan.
Yang lebih mau bekerja sama dengan golongan lain menamakan diri mereka
“evangelis”, sedangkan para “fundamentalis” tetap bertahan dalam
kelompok mereka dan menyetankan gerakan lain.[31] Gerakan evangelis ini diwarnai oleh orang seperti Billy Graham
yang membawa gerakan ini ke khalayak ramai bahkan sampai ke panggung
politik, dan menjadikannya menjadi salah satu penasihat presiden Amerika
Serikat.[32]
Fundamentalisme kemudian mulai bangkit
kembali dengan menunggang dua isu besar: Perang Dingin dan gerakan
persamaan hak sipil. Dalam isu Perang Dingin mereka menunggangi Senator
McCharty yang melakukan pembersihan terhadap komunisme di tanah Amerika.[33]
Dalam isu persamaan hak sipil, terutama kulit hitam, muncul Ku Klux
Klan di daerah selatan yang melakukan gerakan anti-integrasi. Perlawanan
juga dilakukan sewaktu ada usulan Equal Right Amendment (ERA). Bangkitnya gerakan liberal seperti hippies, gay dan lesbian ditahun 1960-an, memancing gerakan fundamentalisme untuk melakukan perlawanan keras. Buku Tim LaHaye “The Battle for Mind” yang terbit di tahun 1980 menggambarkan
pergulatan ini dalam isu-isu seperti: pelarangan doa di sekolah, ERA,
gay, aborsi, “sekular humanisme”, pembatasan hukuman badan terhadap
anak, sertifikasi sekolah Kristen, dan penyelidikan terhadap keuangan
organisasi gereja.[34]
Era teknologi membuat gerakan
fundamentalis juga berevolusi. Tokoh seperti Billy Graham mulai
menggunakan televisi sebagai sarananya, dan dimulailah era
“televangelis” dan tumbuh berkembang subur sampai sekarang. Di tahun
1979, sebuah poling yang dilakukan Gallup menunjukkan bahwa ada sekitar
1.300 stasiun radio dan televisi evangelis di seluruh Amerika Serikat,
dengan pemirsa sebesar 130 juta orang, dan menghasilkan keuntungan
sebesar mulai dari $500 juta sampai “milyaran” dolar.[35]
Melihat perkembangan yang luar biasa
ini, fundamentalis yang sebelumnya adalah sebuah gerakan yang menarik
diri dari dunia yang penuh dosa mulai menyadari kekuatan mereka, dan
mulai berani masuk ke dalam kontes politik. Jerry Falwell di tahun 1979 mendirikan gerakan yang dinamai Moral Majority,
dengan tujuan untuk mengajak para fundamentalis untuk terlibat di dalam
politik dan menggagalkan agenda pemerintah yang mereka sebut sebagai
“sekular humanisme”. Kekuatan mereka terlihat dalam terpilihnya wakil
Partai Republik Ronald Reagen dalam pemilihan presiden. Gerakan ini
sendiri, meskipun awalnya dimotori oleh tokoh fundamentalisme, tidak
membatasi diri pada kelompok mereka saja. Mereka mulai merangkul
denominasi Kristen yang lain, bahkan Pentekostal, Katolik, Mormon,
Yahudi, dan sekularis yang sepikiran dengan mereka sejauh menyangkut
agenda-agenda politik.[36]
Besarnya pengaruh mereka bisa terlihat
sampai sekarang melalui terpilihnya George W. Bush selama dua periode.
Sentimen agama juga selalu didengungkan dalam kampanye presiden Amerika
yang baru lalu antara McCain dan Obama. Ini terlihat dari survei yang
dilakukan dalam Fundamentalism Project yang dilakukan Marty dan Appleby
terhadap penduduk Amerika Serikat:
· 44 persen percaya bahwa keselamatan hanya datang melalui Yesus Kristus;
· 30 persen menggambarkan diri mereka sebagai telah “lahir baru”;
· 28 persen percaya bahwa Alkitab harus dibaca secara literal;
· 27 persen tidak percaya bahwa Alkitab bisa mengandung kesalahan saintifik maupun sejarah; dan
· hanya 9 persen yang menyatakan dirinya sebagai fundamentalis.[37]
Karakteristik Fundamentalisme Kristen
Sulit untuk menyatukan seluruh
fenomena fundamentalisme Kristen ke dalam satu kategori. Fenomena
fundamentalisme lebih terlihat sebagai sekumpulan fenomena yang tidak
tetap dan terus berevolusi sesuai dengan tantangan yang mereka hadapi.
Namun beberapa ciri berikut ini bisa menjadi semacam petunjuk.
Ketiadasalahan (inerrancy) Alkitab
Ciri ini adalah ciri yang paling
mutlak dari ciri-ciri lainnya. Berlawanan dengan pandangan umum, cara
pembacaan Alkitab kaum fundamentalis tidaklah harfiah. Pembacaan harfiah
terhadap Alkitab adalah sesuatu yang tidak mungkin karena di dalamnya
terdapat kontradiksi-kontradiksi. Kontradiksi yang terjadi di dalam
Kitab Suci tentu tidak bisa diterima oleh kaum fundamentalis. Untuk itu
mereka harus mengembangkan suatu teknik pembacaan yang tetap membuat
Alkitab tidak mungkin salah.[38]
Cara pembacaan yang memungkinkan untuk
menghindarkan kesalahan Kitab Suci adalah dengan berganti-ganti dari
pembacaan harfiah dan non-harfiah atau alegoris. Beberapa bagian Alkitab
yang mereka tetapkan sebagai fundamen dibaca secara harfiah. Jika ada
ayat yang lain yang kelihatannya kontradiktif dengan fundamen yang telah
mereka tentukan, mereka akan berganti ke pembacaan non-harfiah.[39]
Cara pembacaan lain adalah dengan
melakukan harmonisasi. Harmonisasi adalah sebuah usaha untuk
menggabungkan dua versi atau lebih dari sebuah cerita yang sama. Jika
misalnya sebuah kejadian digambarkan terjadi di hari Senin di satu versi
dan hari Selasa di versi lain, maka usaha harmonisasi yang dilakukan
mengatakan bahwa ada dua kejadian, yang terjadi di hari Senin dan
Selasa, karena Alkitab tidak mungkin salah.[40]
Usaha untuk membaca Alkitab secara
tiada-salah adalah salah satu fenomena modernisme. Dalam sejarahnya
Alkitab justru dilihat sebagai mythos, bukan logos.
Taurat, sebagai bagian dari Perjanjian Lama di dalam Alkitab dalam
tradisi Midrash Yahudi tidaklah dibaca secara harfiah. Setiap kali
mereka membaca ayat yang sama, arti yang baru akan muncul sesuai dengan
kebutuhan di saat itu. Mereka melakukan hermeneutika yang tidak ada
habis-habisnya terhadap teks. Justru karena Taurat bisa memberikan makna
yang tiada habis-habisnya, maka IA adalah kitab yang suci. Tidak ada
satu pun tafsir yang otoritatif terhadap satu ayat.[41]
Di satu pihak, kaum fundamentalisme
menolak modernisme, tetapi mereka justru menerapkan metode keketatan
ilmiah terhadap Kitab Suci. Mereka dengan demikian justru adalah
anak-anak dari logos, berlawanan dengan tradisi Yudeo-Kristiani berabad sebelumnya yang justru membaca Kitab Suci sebagai sebuah mythos.
Semangat separatis
Semangat separatis juga menjadi ciri
yang sangat kuat di dalam kaum fundamentalis. Semangat ini masih
berhubungan dengan ciri yang pertama, yaitu ketiadasalahan Alkitab. Di
dalam keyakinan teguh terhadap Alkitab, mereka mempostulatkan bahwa ada
Injil sejati yang tersembunyi di dalamnya. Hanya merekalah, kaum
fundamentalis, yang mengetahui Injil sejati ini, dengan cara pembacaan
tertentu terhadap Alkitab. Umat manusia, bahkan gereja, dengan demikian
terbagi atas dua kelompok, kelompok yang menerima Injil sejati, dan
tidak menerima Injil sejati. Yang menerima Injil sejati akan
diselamatkan, dan yang lain terkutuk di dalam api neraka.
Mereka menganggap dirinya sebagai
Kristen sejati, dan mengatakan bahwa golongan Kristen yang lain sebagai
Kristen nominalis, alias Kristen KTP. Untuk menjadi seorang Kristen
dibutuhkan pertobatan sejati yang disebut sebagai “lahir baru”.
Pembaptisan yang dalam tradisi Kristen adalah sebuah tanda pertobatan
dan keselamatan dianggap tidaklah cukup untuk menjamin keselamatan.[42]
Untuk menekankan perbedaan dengan
kelompok lain, mereka menekankan pada kemurnian moral. Mereka melakukan
praktek-praktek moral yang dititikberatkan pada kemurnian seksual dan
tidak minum minuman keras serta merokok, tidak berjudi, dan menolak
hiburan yang tidak sehat. Semakin keras suatu aliran fundamentalis,
tekanan pada kemurnian moral ini biasanya menjadi semakin keras.[43]
Ada juga beberapa kelompok
fundamentalis yang melakukan pemisahan diri secara mutlak dari
masyarakat seperti komunitas Amish, salah satu pecahan kelompok Mennonite.
Mereka menolak untuk ikut serta dalam seluruh aktivitas duniawi dan
menolak teknologi secara total dengan hidup tanpa listrik dan telepon,
karena menganggap bahwa teknologi merupakan godaan yang dapat
menghancurkan komunitas dan iman mereka.[44] Kelompok lain seperti Society of Friends yang lebih dikenal dengan nama Quaker,
yang merupakan pecahan dari Puritanisme juga menerapkan separatisme.
Mereka menitikberatkan ajaran mereka pada “perjumpaan pribadi” dengan
Tuhan. Tetapi mereka paling terkenal dengan paham pasifisme mereka
dengan tidak mau melibatkan diri dalam perang dengan menolak menjadi
tentara, dan kalau pun diwajibkan menjadi tentara mereka hanya mau
menjadi pendeta atau paramedik.[45] Begitu pula dengan kelompok Brethren yang terpengaruh oleh gerakan Pietisme. Mereka juga menitikberatkan ajaran pada pasifisme.[46]
Menarik untuk dilihat bahwa justru dari kelompok separatis pasif yang menarik diri seperti Mennonite, Friends, dan Brethren,
lahir para pecinta damai yang justru seratus delapan puluh derajat
berbeda dengan fundamentalis yang lain yang bercirikan kekerasan.
Ideologi pasif dan separatis mereka justru membawa mereka kepada
pluralisme dan sekarang ketiga aliran di atas justru menjadi menjadi
pelopor perdamaian dan pluralisme yang aktif di Amerika.[47]
Mesianisme
Semangat mesianisme ini paling
terlihat dari ajaran premilenialisme. Pandangan premilenialis ini
cenderung menjauhkan mereka dari usaha pembaharuan sosial menuju yang
lebih baik, karena mereka menganggap bahwa dunia sudah jatuh dan tidak
bisa diperbaiki lagi. Satu-satunya yang bisa dilakukan hanya menunggu
kedatangan Juru Selamat.
Penantian Juru Selamat ini biasanya
digambarkan secara dramatis. Seluruh sejarah dunia dilihat sebagai
menuju zaman akhir. Semakin mereka dilawan, semakin akan menguatkan
semangat mereka karena mereka yakin itu adalah pertanda bahwa akhir
zaman sudah dekat.
Bukan hanya diri mereka sendiri yang
dimasukkan ke dalam skema eskatologis melainkan juga lawan-lawan mereka.
Komunisme dan liberalisme umumnya mereka lihat sebagai pengejawantahan
dari setan sendiri. Bahkan Liga Bangsa-Bangsa mereka lihat sebagai
anti-Kristus dan Uni Eropa yang mulanya beranggotakan sepuluh negara
mereka gambarkan sebagai makhluk apokaliptik yang berkepala tujuh dan
bertanduk sepuluh.[48]
Pandangan seperti ini kemudian ada
yang berevolusi ke posmilenialis yang lebih optimis. Tentu saja gerakan
ini banyak dicemooh oleh rekan-rekan mereka yang lain dan dianggap
sesat. Ini menunjukkan bahwa fundamentalisme juga sebenarnya bukan
sesuatu yang stagnan. Ia mampu mengubah dirinya sesuai dengan tantangan
zaman, atau dengan bahasa yang lebih negatif bisa disebut oportunis. Di
lain pihak jika dilihat secara positif, kelompok posmilenialis ini pada
akhirnya justru bekerja sama dengan kelompok liberal dan environmentalis
untuk mewujudkan kondisi dunia yang lebih baik.
Militansi dan Reaktif
Militansi adalah sebuah konsekuensi
logis dari ideologi separatis. Militansi ini juga diciptakan dari
ketakutan yang selalu disebarkan. Militansi ini bisa dilihat sebagai
sebuah strategi untuk penguatan komunitas yang merasa dirinya terancam
di tengah musuh-mereka.
Ayat yang mereka kutip untuk membenarkan semangat ini adalah:
Tetapi
kalian suam-suam kuku; panas tidak, dingin pun tidak. Itu sebabnya
kalian akan Kumuntahkan keluar dari dalam mulut-Ku. (Wahyu 3:16)
Mereka juga selalu mendefinisikan diri
mereka dengan definisi negatif, sebagai anti-ini dan anti-itu. Ini
sebenarnya adalah sebuah politik identitas yang erat kaitannya dengan
strukturalisme, yang adalah sebuah anak dari modernisme. Untuk itulah
seorang fundamentalis sejati sangat sulit untuk mau bekerja sama di luar
kelompoknya.
Militanisme ini dipelihara dengan
menekankan semangat separatis terus-menerus ke dalam kelompok. Penekanan
ini bahkan diteruskan setelah anggota yang telah bergabung ke dalam
kelompok mereka. Dosa dan pengakuan iman terus menerus menjadi tema
sentral sebagai pemisah antara mereka yang selamat dan tidak selamat.
Pertobatan dan kesaksian dipelihara sebagai ritual yang menunjukkan
pemisahan antara mereka yang selamat dan tidak. Tegangan-tegangan yang
dipelihara ini menyebabkan semangat militanisme tetap terpelihara.
Militanisme ini juga dipelihara dengan
drama eskatologis yang mengangkat pertarungan yang baik dan jahat
sampai pada level kosmik. Kelompok-kelompok yang berbeda dengan mereka
didemonisasi. Pengikutnya selalu diingatkan bahwa mereka sedang berada
pada zaman akhir. Krisis sedang terjadi, baik itu krisis yang nyata
maupun krisis yang dipersepsikan oleh para pemimpin mereka. Kesadaran
ini juga berkontribusi untuk mempertahankan militanisme mereka.[49]
Menolak modernitas secara selektif
Dari awalnya gerakan fundamentalisme
adalah perlawanan terhadap modernisme. Perlawanan ini mulai terlihat
dari gerakan revivalisme yang merupakan perlawanan terhadap perubahan
sosial yang ditimbulkan oleh awal industrialisasi. Tetapi perlawanan
yang paling keras atas modernisme adalah perlawanan terhadap teologi
liberal khususnya Kritik Tinggi dalam kritik biblika. Perlawanan yang
kedua adalah perlawanan terhadap teori evolusi Darwinian. Dan yang
ketiga dan yang paling sering didengungkan saat ini adalah perlawanan
terhadap apa yang mereka sebut “sekular humanisme”. Sekular humanisme
adalah sebuah kebun binatang yang mereka gunakan untuk menampung segala
macam gerakan yang tidak sesuai dengan doktrin fundamentalisme. Di
dalamnya termasuk ateisme, agnostisisme, liberalisme, sosialisme,
komunisme, gerakan persamaan hak sipil, gay dan lesbian, aborsi,
persamaan ras, perjuangan buruh, pluralisme, sains modern, kebebasan
pers, dan lain-lain.
Meskipun mereka menolak
modernisme dalam arti luas, tetapi mereka secara terbuka sebenarnya
mengakui bahwa mereka sebenarnya mengadopsi modernisme dalam bentuk
tertentu, yaitu secara Baconian. Bacon sebagai seorang rasionalis
awal mengatakan bahwa kita tidak bisa mempercayai indra kita sepenuhnya
dan harus bergantung pada rasio kita. Mereka menerapkan logika deduktif
Francis Bacon dengan menggunakan Kitab Suci sebagai premis. Dan mereka
menurunkan semua kebenaran sains yang mereka anut berdasarkan prinsip
ini. Tentu saja ini bertentangan dengan logika sains yang telah menganut
logika induksi yang mengumpulkan data dan kemudian menganalisisnya dan
mengambil kesimpulan darinya. Prinsip-prinsip induksi yang dipakai sains
ini tidak bisa mereka terima dan mereka klaim sebagai sesat dan
bertentangan dengan Kitab Suci.[50]
Penolakan mereka terhadap sains juga
adalah sebuah tindakan yang ahistoris. Calvin dan Luther sendiri tidak
mengharapkan Alkitab untuk menjadi sebuah kitab sains. Orang yang ingin
belajar astronomi harus mempelajarinya di tempat lain, bukan di kitab
suci. Kitab Suci dianggap benar sejauh menyangkut masalah hubungan
manusia dengan yang ilahi, bukan benar secara sainfitik.[51]
Penerimaan kaum fundamentalis paling
jelas terlihat dengan diterimanya teknologi, teknik-teknik komunikasi
massa dan korporasi dengan basis laissez-faire. Mereka
memanfaatkan media sepenuh-penuhnya. Billy Graham sendiri berkata, “Saya
menjual produk terbesar di dunia. Mengapa produk saya tidak boleh
dipromosikan sama baiknya dengan sebuah sabun?”[52]
Mereka menggunakan teknik-teknik komunikasi massa bahkan psikologi
tercanggih untuk melahirkan sebuah produk agama yang mudah dikonsumsi
umum, dan yang paling penting membuat massa tergantung pada mereka
sehingga terus kembali untuk mengonsumsi. Gereja-gereja harus bersaing
ketat untuk mendapatkan umat (baca: uang) sehingga mampu mempertahankan
eksistensi mereka.
Fundamentalisme adalah bisnis milyaran
dolar, dengan jaringan media, penerbitan, sekolah, bahkan museum dengan
menciptakan sebuah subkultur tersendiri. Mereka tidak tergangggu oleh
kenyataan bahwa fundamentalisme kini telah menjadi sebuah bisnis besar
yang mendatangkan uang, padahal hal ini bertentangan dengan ajaran Yesus
sendiri yang menolak kekayaan duniawi.[53]
Mereka berkhotbah kepada umatnya agar menyumbang demi kerajaan Allah
dan mendahulukan gereja. Tetapi mereka sendiri hidup mewah seperti The
Bakkers pemilik jaringan Praise The Lord and People That Love
yang menghabiskan $375 ribu untuk kondominium mereka yang mengarah ke
laut dan $22 ribu untuk membeli kaca setinggi langit-langit untuk kondo
mereka.[54]
Dan yang paling jelas adalah, secara
tradisional kelompok fundamentalis adalah pendukung kelompok korporasi
yang tidak menginginkan regulasi pemerintah sebagai pembatas gerakan
mereka. Mereka adalah kantong suara Partai Republik yang lebih banyak
berpihak pada korporasi, dan menolak kebijakan seperti menaikkan pajak
dan menaikkan tunjangan sosial.
Menarik untuk dilihat bahwa para
pengikut gerakan fundamentalis yang mengutuk modernisme, ternyata banyak
di antara mereka yang diuntungkan oleh modernisme itu sendiri.
Karakteristik pengikut gerakan revivalisme di abad ke-18 yang sebagian
besar adalah masyarakat bawah tidak lagi berlaku untuk fundamentalisme
modern. Seorang dokter yang memakai teknologi modern untuk menyembuhkan
pasiennya dengan teknologi paling mutakhir bisa saja percaya bahwa Bumi
diciptakan enam ribu tahun yang lalu. Ini disebabkan oleh karakteristik
perkembangan ilmu pengetahuan yang menuju spesialisasi sehingga seorang
tidak perlu menguasai seluruh kaidah-kaidah dasar ilmu pengetahuan untuk
bisa menerapkannya.[55]
Kesimpulan
Fundamentalisme adalah sebuah fenomena
modernisme yang tidak akan lahir tanpa modernisme. Pertama, ia adalah
reaksi terhadap modernisme itu sendiri. Modernisme telah menghilangkan
misteri yang penting dalam sebuah agama. Sains telah menghilangkan
kepastian Alkitabiah menjadi sebuah eksplorasi sains yang tidak pasti.
Kehilangan pijakan seperti ini adalah sesuatu yang mengerikan bagi para
pemeluk agama. Untuk keluar dari ketidakpastian ini mereka melakukan
gerakan ekstrim yaitu kembali ke Kitab Suci dengan cara mereka sendiri.
Kedua, meskipun mereka menolak modernisme, mereka secara selektif
sebenarnya juga memakai modernisme, khususnya teknologi, organisasi dan
korporasi.
Caputo melihat bahwa fenomena fundamentalisme yang mau mengerangkeng misteri yang dulu diekplorasi secara mythos menjadi sesuatu yang pasti dan sistematik—sebuah logos—adalah sesuatu
yang sia-sia. Jika ia dilakukan, yang terjadi adalah justru sebuah
gangguan mental, karena mencoba memasukkan air seluruh samudra ke dalam
botol. Gangguan mental inilah yang kemudian melahirkan segala bentuk
kekerasan yang lazim terlihat sebagai ciri dari fundamentalisme itu
sendiri.[56]
Daftar Pustaka
1. ________________. Alkitab Terjemahan Baru Indonesia. Jakarta: LAI, 1974.
2. ________________. Encyclopedia of Religion 2nd Edition. Detroit: Macmillan, 2005.
3. ________________. Encyclopædia Britannica, Ultimate Reference Suite, Chicago: Encyclopædia Britannica, 2008.
4. Armstrong, Karen. The Battle for God. NewYork: Ballantine Books, 2000.
5. ________________. The Bible. London: Atlantic Books, 2007.
6. Barr, James. Fundamentalisme. Jakarta: BPK, 1996.
7. Byler, Anne Meyer. Cara-cara Praktis Mengajarkan Perdamaian pada Anak. Yogyakarta: Gloria Graffa, 1997.
8. Caputo, John. On Religion. London: Routledge, 2001.
9. Collins, Michael dan Price, Matthew A. The Story of Christianity.Yogyakarta: Kanisius, 2006.
10. Eller, Jack David. Introducing Anthropology of Religion. New York: Routledge, 2007.
11. Marty, Martin E. dan Appleby, R. Scott. Fundamentalism Observed. Chicago: The University of Chicago Press, 1991.
12. __________________________________. Accounting for Fundamentalisms. Chicago: The University of Chicago Press, 1994.
[1]
Di dalam Islam dikenal sebagai Salaf, jemaat di masa Muhammad; di dalam
Kristen dikenal sebagai kembali ke cara hidup jemaat pertama seperti
dituliskan dalam Kitab Kisah Para Rasul 2:41-47.
[2] Armstrong, 2000, hal 171
[3] Fundamen tersebut diformulasikan oleh Prebysterian Princeton College
di tahun 1910 dengan mengajukan lima doktrin: (1) Kitab Suci tidak
mungkin salah, (2) Yesus lahir dari seorang perawan, (3) Yesus menebus
dosa umat manusia di salib, (4) Yesus mengalami kebangkitan badan, dan
(5) mukjizat Yesus adalah nyata dan historis.
[4] Ammerman, North American Protestant Fundamentalist, di dalam Marty dan Appleby (ed.), 1991, hal 2
[5] Imam dalam bahasa sehari-hari lebih dikenal dengan pastor atau romo
[6]
Luther bukan satu-satunya orang yang melakukan hal ini dengan niat
mengajarkan Kitab Suci secara langsung kepada khalayak ramai. John
Wycliffe dari Inggris telah melakukan ini jauh sebelumnya (1380-1381).
Namun karya-karyanya dimusnahkan dan dianggap bidaah. William Tyndale
juga menerjemahkan Kitab Suci ke dalam bahasa Inggris di tahun 1525.
Hanya ia tidak seberuntung Luther, ia dihukum mati di tahun 1536.
[7]
Dalam arti luas sakramen bisa diartikan upacara-upacara sakral di dalam
ritual. Dalam arti sempit sakramen diartikan sebagai tanda kehadiran
Tuhan di dalam ritual-ritual tertentu.
[8] Armstrong, 2000, hal 78-79
[9] Ibid, hal 79
[10] Collins dan Price, 2006, hal 184
[11] Ibid, hal 184-185
[12] bdk. Ibid, hal 190
[13] Encyclopedia of Religion 2nd Edition, hal 2888
[14] Ammerman, North American Protestant Fundamentalist, di dalam Marty dan Appleby (ed.), 1991, hal 11
[15] Armstrong, 2000, hal 141
[16]
Premilenialisme: Ajaran bahwa Yesus akan datang untuk kedua kalinya di
saat bumi kacau balau dan akan membereskannya, kemudian memerintah di
bumi dalam masa keemasan selama seribu tahun. Lawannya adalah ajaran
posmilenialisme: ajaran yang mengatakan bahwa manusia harus menciptakan
damai di bumi selama seribu tahun, hanya setelah itu Yesus akan datang
untuk kedua kalinya.
[17] Armstrong, 2000, hal 144-145
[18] Ibid., hal 214
[19] 1 Tesalonika 4:16-17, Sebab
pada waktu tanda diberi, yaitu pada waktu penghulu malaikat berseru dan
sangkakala Allah berbunyi, maka Tuhan sendiri akan turun dari sorga dan
mereka yang mati dalam Kristus akan lebih dahulu bangkit; sesudah itu,
kita yang hidup, yang masih tinggal, akan diangkat bersama-sama dengan
mereka dalam awan menyongsong Tuhan di angkasa. Demikianlah kita akan
selama-lamanya bersama-sama dengan Tuhan.
[20] Armstrong, 2000, hal 139-140
[21]
Kitab Wahyu adalah kitab terakhir di dalam Alkitab yang menggambarkan
kisah apokaliptik yang banyak dipakai oleh para penafsir untuk
meramalkan akhir dunia.
[22] Armstrong, 2000, hal 171
[23]
Deklarasi Balfour adalah sebuah pernyataan yang dibuat Menteri Luar
Negeri Inggris, Arthur J. Balfour, yang mengatakan bahwa pemerintah
Inggris akan mendukung pengembalian tanah Palestinan kepada orang
Israel.
[24] Daniel 11:14, Maka
raja negeri Utara itu akan datang, mendirikan kubu pengepungan dan
merebut kota yang berbenteng; dan tentara negeri Selatan tidak akan
dapat bertahan, juga pasukan-pasukan pilihannya sekalipun, ya, tidak ada
kekuatan apa pun yang dapat bertahan.
[25] Armstrong, 2000, hal 170
[26] Kisah Para Rasul 2:4, Maka
penuhlah mereka dengan Roh Kudus, lalu mereka mulai berkata-kata dalam
bahasa-bahasa lain, seperti yang diberikan oleh Roh itu kepada mereka
untuk mengatakannya.
[27] Encyclopedia of Religion 2nd Edition, hal 7029
[28] Armstrong, 2000, hal 179
[29] Ibid., hal 94
[30] Ibid. hal 176-178
[31] Encyclopedia of Religion 2nd Edition, hal 2890
[32] Eller, 2007, hal 287
[33] Ammerman, North American Protestant Fundamentalist, di dalam Marty dan Appleby (ed.), 1991 hal 35
[34] Eller, 2007, hal 288
[35] Armstrong, 2000, hal 266-267
[36] Ibid., hal 309-310
[37] Wuthnow dan Lawson, Sources of Christian Fundamentalism in the United States, dalam Marty dan Appleby (ed.), 1994 hal 20.
[38] Barr, 1996, hal 43
[39] Ibid., hal 45
[40] Ibid., hal 61
[41] Armstrong, 2007, hal 81-82
[42] Barr, 1996, hal 16
[43] Ibid., hal 28
[44] “Amish.” Encyclopædia Britannica, Ultimate Reference Suite, 2008
[45] “Society of Friends.” Encyclopædia Britannica, Ultimate Reference Suite (2008)
[46] “Brethren.” Encyclopædia Britannica, Ultimate Reference Suite (2008)
[47] Byler, 2006, hal 16
[48]
Wahyu 13:1, Lalu aku melihat seekor binatang keluar dari dalam laut,
bertanduk sepuluh dan berkepala tujuh; di atas tanduk-tanduknya terdapat
sepuluh mahkota dan pada kepalanya tertulis nama-nama hujat.
[49] Marty dan Appleby, Conclusion: An Interim Report on a Hypothetical Family, dalam Marty dan Appleby (ed.), 1994 hal 819-822.
[50] Armstrong, 2000, hal 140-141
[51] Armstrong, 2007, hal 167
[52] Barr, 1996, hal 114
[53] Matius 6:24, Tak
seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia
akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia
kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat
mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon.” Catatan: Mamon = uang
[54] Armstrong, 2000, hal 356
[55] Barr, 1996, hal 105
[56] Bdk. Caputo, 2001, hal 107
Tidak ada komentar:
Posting Komentar