Powered By Blogger

Senin, 02 April 2012

Teodisea: Tuhan dan Masalah Kejahatan

Teodisea: Tuhan dan Masalah Kejahatan


Teodisea adalah pembelaan akan adanya Tuhan. Teodisea berasal dari kata theos (Tuhan) dan dike (keadilan), jadi digabungkan menjadi mengadili adanya Tuhan, atau pengadilan akan adanya Tuhan.
Tantangan paling besar di dalam teodisea adalah menjawab tentang adanya kejahatan dan penderitaan di dunia. Kenyataan bahwa kejahatan dan penderitaan ada, mempertanyakan eksistensi Tuhan yang mahabaik, mahakuasa, mahatahu, mahaadil.
Pertanyaan tersebut dapat diringkas menjadi pertanyaan Epikuros: adanya kejahatan dan penderitaan di muka bumi kontradiktif dengan kenyataan bahwa Tuhan mahabaik dan mahakuasa. Adanya kejahatan dan penderitaan logis jika dijelaskan dengan Tuhan yang mahabaik namun tidak mahakuasa, atau mahakuasa tetapi tidak mahabaik; yang jelas tidak keduanya sekaligus.
Filsafat sejak semula mencoba untuk memecahkan masalah tersebut, namun itu bukan hal yang mudah. Meskipun demikian filsafat dapat dipakai untuk mendekati masalah tersebut dan memeriksa argumen-argumen yang telah dikemukakan.

Malum Morale dan Malum Physicum

Masalah tentang adanya kejahatan di muka bumi dapat diringkas menjadi dua, yaitu malum morale dan malum physicum. Malum morale adalah kenyataan bahwa adanya kejahatan, secara harfiah berarti keburukan moral, yaitu kenyataan bahwa di dunia ini ada keburukan dalam moralitas; kejahatan benar-benar ada. Malum physicum adalah kenyataan bahwa adanya penderitaans secara harfiah berarti keburukan fisik, yaitu kenyataan bahwa dunia ini tidak selalu berjalan baik khususnya bagi makhluk berperasa (sentient being); ia bisa mendatangkan penderitaan.
Masalah malum morale di dalam teodisea adalah bagaimana Tuhan yang mahabaik membolehkan adanya kejahatan di muka bumi ini. Jika ia sungguh mahabaik, semestinya seluruh dunia ini baik adanya. Masalah malum physicum mirip logikanya dengan malum morale. Jika Tuhan mahabaik dengan mudah ia dapat menghilangkan semua penderitaan dari muka bumi ini.
Orang kemudian mulai mencoba menjelaskan mengapa kejahatan dan penderitaan ada tanpa menghilangkan eksistensi Tuhan. Beberapa di antaranya adalah:
<!–[if !supportLists]–>· <!–[endif]–>Penderitaan adalah hukuman akibat dosa. Pernyataan ini umumnya diajukan oleh penganut monoteis. Penyataan ini bisa dibantah dengan pertanyaan: bagaimana dengan penderitaan yang dialami oleh seorang bayi yang tak berdosa? Nyatalah bahwa pendekatan ini tidaklah cukup. Sementara para penganut agama timur biasanya mengajukan pendapat lain. Mereka menjelaskannya dengan reinkarnasi, penderitaan adalah akibat dari perbuatan sebelumnya atau hukum karma. Maka dengan demikian penderitaan yang dialami oleh seorang bayi dapat dijelaskan dengan akibat dari perbuatan jahat pada kehidupan sebelumnya. Penjelasan yang kedua ini relatif lebih baik daripada penjelasan pertama walaupun tetap tidak memberikan jawaban final. Penderitaan seorang bayi akibat cacat atau bencana alam mungkin bisa dijelaskan secara demikian (meskipun sulit untuk dibuktikan), namun penderitaan seorang bayi akibat siksaan yang dilakukan oleh orangtuanya lebih sulit untuk dijelaskan secara demikian, karena orangtuanya secara hakiki dapat melakukan pilihan untuk tidak menyiksa bayi tersebut.
<!–[if !supportLists]–>· <!–[endif]–>Penderitaan di dunia akan dibalas dengan ganjaran di surga. Penjelasan ini lebih lemah dari penjelasan yang pertama. Tuhan dengan model yang demikian Tuhan yang sadis, yang mau melihat orang menderita terlebih dahulu sebelum menganugerahkan kebahagiaan. Tuhan seperti ini adalah Tuhan yang gila kuasa, yang lebih dekat dengan seorang megalomania ketimbang sebuah entitas maha.
<!–[if !supportLists]–>· <!–[endif]–>Ada juga yang menyebutkan bahwa penderitaan adalah cobaan untuk menguji mutu manusia. Dalam versi lain juga dikatakan penderitaan memurnikan hati. Pernyataan ini sama saja dengan pernyataan sebelumnya, Tuhan sebagai makhluk yang suka mempermainkan ciptaan-Nya, alias pencipta yang kekanak-kanakan.
<!–[if !supportLists]–>· <!–[endif]–>Dunia dengan penderitaan lebih baik daripada dunia tanpa penderitaan; Pendekatan seperti ini adalah utilitaris seakan-akan dibutuhkan adanya penderitaan supaya secara total dunia lebih baik.
<!–[if !supportLists]–>· <!–[endif]–>Berhadapan dengan Tuhan, semua harus diam tanpa protes. Ini adalah pendekatan gaya fundamentalis yang tidak memakai rasio dalam beriman. Cara beriman seperti ini adalah beriman dengan mematikan nalar, dan dengan demikian tidak dapat dipertanggungjawabkan di hadapan rasio, dan gagal memenuhi keinginan manusia untuk menggali lebih jauh kemanusiaannya.
Penjelasan yang paling masuk akal adalah seperti ini: Adanya kejahatan dapat didekati dari kenyataan bahwa manusia diciptakan menjadi makhluk yang bebas. Pemahaman ini diambil dari kejatuhan manusia dari firdaus. Kejatuhan ini jangan dipandang sebagai jatuh ke dalam dosa, melainkan manusia jatuh menjadi ciptaan. Seperti kita ketahui kejatuhan itu disebabkan karena manusia makan buah terlarang—buah yang membuka pikiran manusia sehingga mengerti baik dan buruk. Buah tersebut adalah kehendak bebas. Adanya kejahatan adalah sebuah konsekuensi dari kebebasan manusia.
Adanya penderitaan dapat dilihat dari kenyataan bahwa ciptaan secara hakiki tidak sempurna seperti Pencipta, yang digambarkan sebagai diusirnya manusia dari taman firdaus. Ini tidak harus berarti bahwa pencipta dan ciptaan terpisah selama-lamanya, Untuk bebas dari penderitaan manusia harus lulus dari pencobaan di dunia. Bebas dari penderitaan dengan demikian menjadi tema sentral semua agama, dalam bahasanya masing-masing. Ada yang menyebutnya mencapai surga, nirvana atau moksa, masing-masing dengan penjelasan yang berbeda-beda. Kenyataan bahwa penderitaan ada memang harus dijawab oleh agama, dan ini akan dijabarkan di bagian akhir tulisan ini.
Dengan demikian penderitaan adalah kodrat. Penderitaan adalah implikasi dari penciptaan itu sendiri.
Penjelasan tentang adanya kejahatan tidak semudah itu. Dari manakah kejahatan itu? Bukankah Tuhan mahabaik. Kalau Ia mahabaik, dari mana datangnya kejahatan. Apakah Tuhan yang menciptakannya?
Penjelasan simplisistis dari agama abrahamaik-monoteis adalah kejahatan berasal dari setan, ciptaan Tuhan yang memberontak. Ini adalah jawaban yang menyesatkan, dan cenderung tidak bertanggung jawab. Manusia dengan mengatakan kejahatan berasal dari setan telah menumpahkan kesalahan yang ia buat sendiri kepada setan. Setan ia jadikan kambing hitam, dengan mengatakan ia berbuat jahat karena digoda oleh setan. Penjelasan seperti ini malah berbahaya karena seakan memberikan kuasa yang setara kepada setan, yang menguasai kejahatan, berhadapan dengan Tuhan yang menguasai kebaikan, dan jatuh ke dalam faham dualisme.
Tentunya ada penjelasan yang lebih baik dari agama moneteis, yaitu bahwa kejahatan tidaklah mutlak pada dirinya. Ia ada hanyalah karena kondisi jauh dari Tuhan. Ibarat cahaya, semakin jauh kita dari sumber cahaya, akan semakin gelap. Kondisi gelap seperti itulah yang menjadi kejahatan, kondisi tiadanya Tuhan di dalam hati manusia.

Tuhan yang Personal

Di pihak lain penjelasan di atas nampaknya tidak memuaskan jika kita melihat melimpahnya penderitaan dan kejahatan di dunia ini yang seolah tidak bisa didamaikan dengan keberadaan Tuhan yang personal. Sangat sulit untuk dipahami bagaimana Tuhan yang mahakasih dapat mengijinkan perang yang luar biasa brutal dan membantai jutaan orang berdosa. Tuhan yang personal yang ikut campur dalam hidup manusia dan mencintai manusia sulit didamaikan dengan konsep ini.
Masalah ini dengan demikian adalah masalah yang unik dialami oleh agama yang menganut Tuhan yang Personal, Tuhan-Nya agama monoteis. Tuhan dalam konsep agama yang lain: dualisme dan panteisme, tidaklah demikian.
Penganut dualisme melihat bahwa pada dasarnya dunia adalah sebuah dualisme: bukan sebuah realitas yang tunggal, melainkan dua kutub yang selalu bertentangan. Tegangan antara dua kutub itulah yang melahirkan dunia memelihara kehidupan. Dengan demikian kejahatan sama saja dengan kebaikan, sebagai salah satu sisi dari koin yang sama. Jika kejahatan tidak ada, maka kebaikan juga tidak ada, dengan demikian dunia ini juga menjadi tiada.
Contoh dari dualisme adalah Zoroaster dari Parsi dan filsafat Yin Yang dari Cina. Zoroaster melihat bahwa dunia ada karena ada tegangan antara penguasa siang Ahura Mazda dan penguasa malam Ahriman. Masing-masing adalah penguasa yang setara. Di belakang Ahura Mazda ada barisan malaikat dan di belakang Ahriman ada barisan setan, sebagai pendukungnya. Mereka akan bertarung sampai pada pertarungan terakhir di akhir zaman, yang akan dimenangkan oleh Ahura Mazda.
Begitu pula dengan Yin Yang: Yin menggambarkan kekuatan yang pasif, gelap dan menerima, dan Yang menggambarkan kekuatan yang aktif, terang, dan memberi. Yin sering digambarkan dengan kekuatan feminin dan Yang dengan maskulin. Masing-masing kekuatan memiliki dewanya sendiri-sendiri. Manusia ibarat terantang dalam pertarungan abadi antara kedua unsur tersebut. Namun yang penting adalah justru keseimbangan. Seperti yang digambarkan dalam lambangnya: di dalam Yin juga ada Yang, dan di dalam Yang juga ada Yin. Di saat kedua unsur berpadu dalam keseimbangan, di situlah ada harmoni, di situlah kehidupan berjalan dengan baik.
Sementara itu panteisme melihat masalah kejahatan ini secara berbeda. Panteisme melihat bahwa hanya ada satu yang mutlak, yaitu Tuhan (meskipun sesungguhnya mereka enggan memberi nama pada realitas mutlak ini, karena pemberian nama sudah merendahkan realitas yang mutlak yang tak terkatakan). Segala macam kenyataan di dunia ini, termasuk adanya kejahatan dan kebaikan, adalah maya. Dunia yang maya ini masih terkena hukum sebab akibat, berbeda dengan realitas mutlak yang satu dan tidak ada pertentangan. Jika ada sebuah perbuatan yang berakibat buruk, kita sebut jahat; jika ada perbuatan yang berakibat baik, kita sebut kebajikan. Padahal semuanya itu maya, yang terjadi adalah konsekuensi saja yang ditentukan oleh hukum alam.
Contohnya begini: penemuan penisilin bisa kita anggap kebajikan pada mulanya karena dengan demikian banyak jiwa bisa diselamatkan. Tetapi penemuan antibiotik ini juga membuat kuman semakin ganas, dan membuat penyakit juga semakin ganas. Begitu pula dengan industri yang pada mulanya terlihat sebagai kebajikan karena mempermudah kehidupan manusia. Tetapi kita semua tahu sekarang bahwa industrialisasi membawa masalah baru yang tak kalah besar, yaitu polusi dan krisis energi yang bisa melumpuhkan peradaban.
Ada sebuah cerita kuno yang bisa lebih menjelaskan perihal ini:
Ada seorang petani bijak yang istrinya sedang mengandung. Para tetangganya memberi selamat kepadanya karena ia sebentar lagi akan memiliki seorang anak. Ia hanya berkata, “Kita lihat saja nanti.” Setelah lahir ternyata anaknya seorang laki-laki, namun cacat kakinya. Para tetangganya melihatnya dengan sedih dan mengasihaninya. Ia hanya berkata, “Kita lihat saja nanti.” Beberapa tahun kemudian setelah anaknya beranjak remaja terjadilah perang. Semua anak muda yang sehat dipanggil untuk menjadi tentara. Karena anaknya cacat, maka ia tidak ikut perang. Kini para tetangga berbalik melihat bahwa petani itu beruntung, karena anaknya tidak harus ikut perang. Dan ia seperti biasa hanya berkata, “Kita lihat saja nanti.”

Masalah Manusia

Di lain pihak perlu dipahami bahwa penderitaan dan kejahatan adalah konsep yang sangat manusiawi. Sebuah batu tidak dapat membedakan mana yang jahat dan mana yang baik. Secara anatomis manusia bisa merasakan penderitaan karena manusia memiliki urat syaraf. Dengan keluar dari kacamata manusia, sebenarnya pembicaraan tentang penderitaan tidaklah terlalu relevan. Seorang yang syarafnya putus pun tidak dapat merasakan penderitaan dan rasa sakit. Dengan demikian penderitaan bukanlah sesuatu yang mutlak melainkan relatif.
Begitu pula dengan penderitaan psikologis, ini terjadi karena manusia memiliki jiwa (psyche), yang dapat merasakan. Seorang yang jiwanya beku juga tidak bisa merasakan penderitaan. Ia tidak bisa merasakan bahagia dan juga duka.
Dengan demikian jelas bahwa masalah penderitaan dan kejahatan adalah masalah manusia yang melihat dari kaca mata manusia atau antropomorfis. Dari sudut pandang bumi, gempa bumi adalah kehidupan baginya. Tanpa gempa bumi, berarti proses geologis bumi sudah berhenti dan bumi sudah mati. Dari sudut pandang tatasurya, apa yang terjadi di bumi baik perang maupun kelaparan tidaklah relevan. Semuanya itu tidak berpengaruh pada jalannya tata surya. Ia akan terus berjalan dengan hukumnya sampai suatu saat matahari menjadi raksasa merah dan padam. Apalagi dari sudut pandang galaksi bimasakti dan alam semesta. Apa yang terjadi di bumi seperti tsunami yang merenggut jutaan jiwa, tidaklah relevan. Contoh lain, dari sudut pandang bakteri, penderitaan bagi manusia karena sakit adalah kehidupan bagi mereka. Bagi bakteri pengurai kematian manusia justru adalah pesta bagi mereka karena mereka menguraikan mayat sebagai makanan bagi mereka.

Konsolasi

Masalah kejahatan dan penderitaan ini menjadi penting, karena kita sebagai manusia mengalami keduanya. Agama memberikan penghiburan akan kenyataan ini. Paling tidak ada dua kaca mata untuk melihat masalah ini, yaitu menurut agama monoteis-Abrahamistik dan agama timur. Penganut monoteisme akan melihat dengan kaca mata iman. Bagi mereka hanya dengan iman seorang bisa melihat penderitaan di dalam naungan Ilahi, dan melihat Tuhan yang mahabaik dan pada akhirnya semuanya akan baik adanya. Sedangkan agama timur melihat penderitaan sebagai akibat dari keterikatan manusia dengan dunia, dan oleh karena itu adalah maya. Untuk bisa lepas dari penderitaan seseorang harus tercerahkan, yaitu mampu melihat apa yang mutlak sesungguh, dan dengan demikian ia terlepas dari sebab akibat dan mencapai nirwana.
Kiranya lebih tepat agama memposisikan diri pada bagian ini saja, yaitu bagaimana menghadapi penderitaan dan kejahatan. Klaim tentang bagaimana munculnya penderitaan dan kejahatan adalah spekulasi metafisika yang tidak banyak kegunaannya dalam kehidupan sehari-hari. Bukan berarti spekulasi itu tidak penting, melainkan biarlah spekulasi itu dijalankan oleh mereka yang memang mau menempuh jalan filsafat sebagai jalan hidupnya. Untuk mereka yang mau hidup dengan tenang, yang penting agama bisa memberikan penghiburan bagi mereka, bila menghadapi kesusahan. Bagi Karl Marx, mungkin ini bisa disebut candu. Tetapi biarlah, toh orang yang mau dioperasi butuh dibius juga, biar tidak sakit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar