Teodisea: Tuhan dan Masalah Kejahatan
Teodisea adalah pembelaan akan adanya Tuhan. Teodisea berasal dari kata theos (Tuhan) dan dike (keadilan), jadi digabungkan menjadi mengadili adanya Tuhan, atau pengadilan akan adanya Tuhan.
Tantangan
paling besar di dalam teodisea adalah menjawab tentang adanya kejahatan
dan penderitaan di dunia. Kenyataan bahwa kejahatan dan penderitaan
ada, mempertanyakan eksistensi Tuhan yang mahabaik, mahakuasa, mahatahu,
mahaadil.
Pertanyaan
tersebut dapat diringkas menjadi pertanyaan Epikuros: adanya kejahatan
dan penderitaan di muka bumi kontradiktif dengan kenyataan bahwa Tuhan
mahabaik dan mahakuasa. Adanya kejahatan dan penderitaan logis jika
dijelaskan dengan Tuhan yang mahabaik namun tidak mahakuasa, atau
mahakuasa tetapi tidak mahabaik; yang jelas tidak keduanya sekaligus.
Filsafat
sejak semula mencoba untuk memecahkan masalah tersebut, namun itu bukan
hal yang mudah. Meskipun demikian filsafat dapat dipakai untuk
mendekati masalah tersebut dan memeriksa argumen-argumen yang telah
dikemukakan.
Malum Morale dan Malum Physicum
Masalah tentang adanya kejahatan di muka bumi dapat diringkas menjadi dua, yaitu malum morale dan malum physicum. Malum morale
adalah kenyataan bahwa adanya kejahatan, secara harfiah berarti
keburukan moral, yaitu kenyataan bahwa di dunia ini ada keburukan dalam
moralitas; kejahatan benar-benar ada. Malum physicum adalah
kenyataan bahwa adanya penderitaans secara harfiah berarti keburukan
fisik, yaitu kenyataan bahwa dunia ini tidak selalu berjalan baik
khususnya bagi makhluk berperasa (sentient being); ia bisa mendatangkan penderitaan.
Masalah malum morale
di dalam teodisea adalah bagaimana Tuhan yang mahabaik membolehkan
adanya kejahatan di muka bumi ini. Jika ia sungguh mahabaik, semestinya
seluruh dunia ini baik adanya. Masalah malum physicum mirip logikanya dengan malum morale. Jika Tuhan mahabaik dengan mudah ia dapat menghilangkan semua penderitaan dari muka bumi ini.
Orang
kemudian mulai mencoba menjelaskan mengapa kejahatan dan penderitaan
ada tanpa menghilangkan eksistensi Tuhan. Beberapa di antaranya adalah:
<!–[if !supportLists]–>· <!–[endif]–>Penderitaan
adalah hukuman akibat dosa. Pernyataan ini umumnya diajukan oleh
penganut monoteis. Penyataan ini bisa dibantah dengan pertanyaan:
bagaimana dengan penderitaan yang dialami oleh seorang bayi yang tak
berdosa? Nyatalah bahwa pendekatan ini tidaklah cukup. Sementara para
penganut agama timur biasanya mengajukan pendapat lain. Mereka
menjelaskannya dengan reinkarnasi, penderitaan adalah akibat dari
perbuatan sebelumnya atau hukum karma. Maka dengan demikian penderitaan
yang dialami oleh seorang bayi dapat dijelaskan dengan akibat dari
perbuatan jahat pada kehidupan sebelumnya. Penjelasan yang kedua ini
relatif lebih baik daripada penjelasan pertama walaupun tetap tidak
memberikan jawaban final. Penderitaan seorang bayi akibat cacat atau
bencana alam mungkin bisa dijelaskan secara demikian (meskipun sulit
untuk dibuktikan), namun penderitaan seorang bayi akibat siksaan yang
dilakukan oleh orangtuanya lebih sulit untuk dijelaskan secara demikian,
karena orangtuanya secara hakiki dapat melakukan pilihan untuk tidak
menyiksa bayi tersebut.
<!–[if !supportLists]–>· <!–[endif]–>Penderitaan
di dunia akan dibalas dengan ganjaran di surga. Penjelasan ini lebih
lemah dari penjelasan yang pertama. Tuhan dengan model yang demikian
Tuhan yang sadis, yang mau melihat orang menderita terlebih dahulu
sebelum menganugerahkan kebahagiaan. Tuhan seperti ini adalah Tuhan yang
gila kuasa, yang lebih dekat dengan seorang megalomania ketimbang
sebuah entitas maha.
<!–[if !supportLists]–>· <!–[endif]–>Ada
juga yang menyebutkan bahwa penderitaan adalah cobaan untuk menguji
mutu manusia. Dalam versi lain juga dikatakan penderitaan memurnikan
hati. Pernyataan ini sama saja dengan pernyataan sebelumnya, Tuhan
sebagai makhluk yang suka mempermainkan ciptaan-Nya, alias pencipta yang
kekanak-kanakan.
<!–[if !supportLists]–>· <!–[endif]–>Dunia
dengan penderitaan lebih baik daripada dunia tanpa penderitaan;
Pendekatan seperti ini adalah utilitaris seakan-akan dibutuhkan adanya
penderitaan supaya secara total dunia lebih baik.
<!–[if !supportLists]–>· <!–[endif]–>Berhadapan dengan Tuhan, semua harus diam tanpa protes. Ini adalah pendekatan
gaya fundamentalis yang tidak memakai rasio dalam beriman. Cara beriman
seperti ini adalah beriman dengan mematikan nalar, dan dengan demikian
tidak dapat dipertanggungjawabkan di hadapan rasio, dan gagal memenuhi
keinginan manusia untuk menggali lebih jauh kemanusiaannya.
Penjelasan
yang paling masuk akal adalah seperti ini: Adanya kejahatan dapat
didekati dari kenyataan bahwa manusia diciptakan menjadi makhluk yang
bebas. Pemahaman ini diambil dari kejatuhan manusia dari firdaus.
Kejatuhan ini jangan dipandang sebagai jatuh ke dalam dosa, melainkan
manusia jatuh menjadi ciptaan. Seperti kita ketahui kejatuhan itu
disebabkan karena manusia makan buah terlarang—buah yang membuka pikiran
manusia sehingga mengerti baik dan buruk. Buah tersebut adalah kehendak
bebas. Adanya kejahatan adalah sebuah konsekuensi dari kebebasan
manusia.
Adanya
penderitaan dapat dilihat dari kenyataan bahwa ciptaan secara hakiki
tidak sempurna seperti Pencipta, yang digambarkan sebagai diusirnya
manusia dari taman firdaus. Ini tidak harus berarti bahwa pencipta dan
ciptaan terpisah selama-lamanya, Untuk bebas dari penderitaan manusia
harus lulus dari pencobaan di dunia. Bebas dari penderitaan dengan
demikian menjadi tema sentral semua agama, dalam bahasanya
masing-masing. Ada yang menyebutnya mencapai surga, nirvana atau moksa,
masing-masing dengan penjelasan yang berbeda-beda. Kenyataan bahwa
penderitaan ada memang harus dijawab oleh agama, dan ini akan dijabarkan
di bagian akhir tulisan ini.
Dengan demikian penderitaan adalah kodrat. Penderitaan adalah implikasi dari penciptaan itu sendiri.
Penjelasan
tentang adanya kejahatan tidak semudah itu. Dari manakah kejahatan itu?
Bukankah Tuhan mahabaik. Kalau Ia mahabaik, dari mana datangnya
kejahatan. Apakah Tuhan yang menciptakannya?
Penjelasan
simplisistis dari agama abrahamaik-monoteis adalah kejahatan berasal
dari setan, ciptaan Tuhan yang memberontak. Ini adalah jawaban yang
menyesatkan, dan cenderung tidak bertanggung jawab. Manusia dengan
mengatakan kejahatan berasal dari setan telah menumpahkan kesalahan yang
ia buat sendiri kepada setan. Setan ia jadikan kambing hitam, dengan
mengatakan ia berbuat jahat karena digoda oleh setan. Penjelasan seperti
ini malah berbahaya karena seakan memberikan kuasa yang setara kepada
setan, yang menguasai kejahatan, berhadapan dengan Tuhan yang menguasai
kebaikan, dan jatuh ke dalam faham dualisme.
Tentunya
ada penjelasan yang lebih baik dari agama moneteis, yaitu bahwa
kejahatan tidaklah mutlak pada dirinya. Ia ada hanyalah karena kondisi
jauh dari Tuhan. Ibarat cahaya, semakin jauh kita dari sumber cahaya,
akan semakin gelap. Kondisi gelap seperti itulah yang menjadi kejahatan,
kondisi tiadanya Tuhan di dalam hati manusia.
Tuhan yang Personal
Di
pihak lain penjelasan di atas nampaknya tidak memuaskan jika kita
melihat melimpahnya penderitaan dan kejahatan di dunia ini yang seolah
tidak bisa didamaikan dengan keberadaan Tuhan yang personal. Sangat
sulit untuk dipahami bagaimana Tuhan yang mahakasih dapat mengijinkan
perang yang luar biasa brutal dan membantai jutaan orang berdosa. Tuhan
yang personal yang ikut campur dalam hidup manusia dan mencintai manusia
sulit didamaikan dengan konsep ini.
Masalah
ini dengan demikian adalah masalah yang unik dialami oleh agama yang
menganut Tuhan yang Personal, Tuhan-Nya agama monoteis. Tuhan dalam
konsep agama yang lain: dualisme dan panteisme, tidaklah demikian.
Penganut
dualisme melihat bahwa pada dasarnya dunia adalah sebuah dualisme:
bukan sebuah realitas yang tunggal, melainkan dua kutub yang selalu
bertentangan. Tegangan antara dua kutub itulah yang melahirkan dunia
memelihara kehidupan. Dengan demikian kejahatan sama saja dengan
kebaikan, sebagai salah satu sisi dari koin yang sama. Jika kejahatan
tidak ada, maka kebaikan juga tidak ada, dengan demikian dunia ini juga
menjadi tiada.
Contoh
dari dualisme adalah Zoroaster dari Parsi dan filsafat Yin Yang dari
Cina. Zoroaster melihat bahwa dunia ada karena ada tegangan antara
penguasa siang Ahura Mazda dan penguasa malam Ahriman. Masing-masing adalah penguasa yang setara. Di belakang Ahura Mazda ada barisan malaikat dan di belakang Ahriman
ada barisan setan, sebagai pendukungnya. Mereka akan bertarung sampai
pada pertarungan terakhir di akhir zaman, yang akan dimenangkan oleh Ahura Mazda.
Begitu
pula dengan Yin Yang: Yin menggambarkan kekuatan yang pasif, gelap dan
menerima, dan Yang menggambarkan kekuatan yang aktif, terang, dan
memberi. Yin sering digambarkan dengan kekuatan feminin dan Yang dengan
maskulin. Masing-masing kekuatan memiliki dewanya sendiri-sendiri.
Manusia ibarat terantang dalam pertarungan abadi antara kedua unsur
tersebut. Namun yang penting adalah justru keseimbangan. Seperti yang
digambarkan dalam lambangnya: di dalam Yin juga ada Yang, dan di dalam
Yang juga ada Yin. Di saat kedua unsur berpadu dalam keseimbangan, di
situlah ada harmoni, di situlah kehidupan berjalan dengan baik.
Sementara
itu panteisme melihat masalah kejahatan ini secara berbeda. Panteisme
melihat bahwa hanya ada satu yang mutlak, yaitu Tuhan (meskipun
sesungguhnya mereka enggan memberi nama pada realitas mutlak ini, karena
pemberian nama sudah merendahkan realitas yang mutlak yang tak
terkatakan). Segala macam kenyataan di dunia ini, termasuk adanya
kejahatan dan kebaikan, adalah maya. Dunia yang maya ini masih terkena
hukum sebab akibat, berbeda dengan realitas mutlak yang satu dan tidak
ada pertentangan. Jika ada sebuah perbuatan yang berakibat buruk, kita
sebut jahat; jika ada perbuatan yang berakibat baik, kita sebut
kebajikan. Padahal semuanya itu maya, yang terjadi adalah konsekuensi
saja yang ditentukan oleh hukum alam.
Contohnya
begini: penemuan penisilin bisa kita anggap kebajikan pada mulanya
karena dengan demikian banyak jiwa bisa diselamatkan. Tetapi penemuan
antibiotik ini juga membuat kuman semakin ganas, dan membuat penyakit
juga semakin ganas. Begitu pula dengan industri yang pada mulanya
terlihat sebagai kebajikan karena mempermudah kehidupan manusia. Tetapi
kita semua tahu sekarang bahwa industrialisasi membawa masalah baru yang
tak kalah besar, yaitu polusi dan krisis energi yang bisa melumpuhkan
peradaban.
Ada sebuah cerita kuno yang bisa lebih menjelaskan perihal ini:
Ada
seorang petani bijak yang istrinya sedang mengandung. Para tetangganya
memberi selamat kepadanya karena ia sebentar lagi akan memiliki seorang
anak. Ia hanya berkata, “Kita lihat saja nanti.” Setelah lahir ternyata
anaknya seorang laki-laki, namun cacat kakinya. Para tetangganya
melihatnya dengan sedih dan mengasihaninya. Ia hanya berkata, “Kita
lihat saja nanti.” Beberapa tahun kemudian setelah anaknya beranjak
remaja terjadilah perang. Semua anak muda yang sehat dipanggil untuk
menjadi tentara. Karena anaknya cacat, maka ia tidak ikut perang. Kini
para tetangga berbalik melihat bahwa petani itu beruntung, karena
anaknya tidak harus ikut perang. Dan ia seperti biasa hanya berkata,
“Kita lihat saja nanti.”
Masalah Manusia
Di
lain pihak perlu dipahami bahwa penderitaan dan kejahatan adalah konsep
yang sangat manusiawi. Sebuah batu tidak dapat membedakan mana yang
jahat dan mana yang baik. Secara anatomis manusia bisa merasakan
penderitaan karena manusia memiliki urat syaraf. Dengan keluar dari
kacamata manusia, sebenarnya pembicaraan tentang penderitaan tidaklah
terlalu relevan. Seorang yang syarafnya putus pun tidak dapat merasakan
penderitaan dan rasa sakit. Dengan demikian penderitaan bukanlah sesuatu
yang mutlak melainkan relatif.
Begitu pula dengan penderitaan psikologis, ini terjadi karena manusia memiliki jiwa (psyche),
yang dapat merasakan. Seorang yang jiwanya beku juga tidak bisa
merasakan penderitaan. Ia tidak bisa merasakan bahagia dan juga duka.
Dengan
demikian jelas bahwa masalah penderitaan dan kejahatan adalah masalah
manusia yang melihat dari kaca mata manusia atau antropomorfis. Dari
sudut pandang bumi, gempa bumi adalah kehidupan baginya. Tanpa gempa
bumi, berarti proses geologis bumi sudah berhenti dan bumi sudah mati.
Dari sudut pandang tatasurya, apa yang terjadi di bumi baik perang
maupun kelaparan tidaklah relevan. Semuanya itu tidak berpengaruh pada
jalannya tata surya. Ia akan terus berjalan dengan hukumnya sampai suatu
saat matahari menjadi raksasa merah dan padam. Apalagi dari sudut
pandang galaksi bimasakti dan alam semesta. Apa yang terjadi di bumi
seperti tsunami yang merenggut jutaan jiwa, tidaklah relevan. Contoh
lain, dari sudut pandang bakteri, penderitaan bagi manusia karena sakit
adalah kehidupan bagi mereka. Bagi bakteri pengurai kematian manusia
justru adalah pesta bagi mereka karena mereka menguraikan mayat sebagai
makanan bagi mereka.
Konsolasi
Masalah
kejahatan dan penderitaan ini menjadi penting, karena kita sebagai
manusia mengalami keduanya. Agama memberikan penghiburan akan kenyataan
ini. Paling tidak ada dua kaca mata untuk melihat masalah ini, yaitu
menurut agama monoteis-Abrahamistik dan agama timur. Penganut monoteisme
akan melihat dengan kaca mata iman. Bagi mereka hanya dengan iman
seorang bisa melihat penderitaan di dalam naungan Ilahi, dan melihat
Tuhan yang mahabaik dan pada akhirnya semuanya akan baik adanya.
Sedangkan agama timur melihat penderitaan sebagai akibat dari
keterikatan manusia dengan dunia, dan oleh karena itu adalah maya. Untuk
bisa lepas dari penderitaan seseorang harus tercerahkan, yaitu mampu
melihat apa yang mutlak sesungguh, dan dengan demikian ia terlepas dari
sebab akibat dan mencapai nirwana.
Kiranya
lebih tepat agama memposisikan diri pada bagian ini saja, yaitu
bagaimana menghadapi penderitaan dan kejahatan. Klaim tentang bagaimana
munculnya penderitaan dan kejahatan adalah spekulasi metafisika yang
tidak banyak kegunaannya dalam kehidupan sehari-hari. Bukan berarti
spekulasi itu tidak penting, melainkan biarlah spekulasi itu dijalankan
oleh mereka yang memang mau menempuh jalan filsafat sebagai jalan
hidupnya. Untuk mereka yang mau hidup dengan tenang, yang penting agama
bisa memberikan penghiburan bagi mereka, bila menghadapi kesusahan. Bagi
Karl Marx, mungkin ini bisa disebut candu. Tetapi biarlah, toh orang
yang mau dioperasi butuh dibius juga, biar tidak sakit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar